• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Of Sustainable Fishing Management In South Sulawesi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Of Sustainable Fishing Management In South Sulawesi"

Copied!
294
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP

BERKELANJUTAN DI SULAWESI SELATAN

ANDI ZAINAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP

BERKELANJUTAN DI SULAWESI SELATAN

ANDI ZAINAL

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof Dr Ir Daniel Monintja

2. Prof Dr Ir Mulyono Sumitro Baskoro, MSc

(4)

Nama Andi Zainal

NRP

P0620a0191

Disetujui oleh Kornisi Pembimbing

Dr. Ir. E Riani, MS

Ketua

!

Prof. Dr. Ir. H. Se 0 Budi Susilo, MSc Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSc

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus:

3 1 JUL

2013

(5)

Sulawesi Selatan

Nama : Andi Zainal

NRP : P062080191

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Etty Riani, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, MSc Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSc

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

(6)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

.

Bogor, Juli 2013

Andi Zainal

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(8)

Penulis lahir di Soppeng, Sulawesi Selatan, pada tanggal 28 September 1968 serta merupakan anak dari pasangan H Andi Peruddin dan H Andi Rohani. Penulis menikah dengan Dr Andi Nurlinda, SKM, Mkes dan memiliki 3 orang anak yaitu Andi Mesyara Jerni Maswara, Andi Azura Arumi Masomba dan Andi Muhammad Ingkra Irfana Arbila. Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis menempuh pendidikan formalnya di SD Negeri 17 Bila Watansoppeng (1976-1981), SMP Negeri 2 Watansoppeng (1981-1984), SMA PGRI Watansoppeng (1984-1987) serta melanjutkan pendidikan jenjang S1 dan S2 di Universitas Muslim Indonesia, Fakultas Hukum (1987-1996) dan Magister Hukum (1996-2005) dan menempuh pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor – Mayor Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan.

Pada penulisan tugas akhir doktoral, penulis menyusun disertasi berjudul Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan.

(9)

Alhamdulillah Rabbilalamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat yang tak terhingga sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi yang berjudul Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan merupakan suatu karya ilmiah yang diharapkan dapat memberi solusi terhadap pelanggaran hukum khususnya pidana perikanan yang terjadi di Sulawesi Selatan.

Penelitian ini dilaksanakan di 3 kabupaten di Sulawesi Selatan yakni kabupaten Pangkep, Takalar dan Bulukumba pada bulan Februari hingga Oktober 2011. Jenis data yang dipergunakan berupa data primer dan sekunder. Disertasi ini dapat dirampungkan berkat bantuan dan kerjasama seluruh pihak, yaitu pemerintah dan masyarakat Kabupaten Pangkep, Takalar, dan Bulukumba serta Pemerintah Sulawesi Selatan pada umumnya, pembimbing, enumerator, sahabat dan keluarga. Untuk itu ucapan terimakasih setinggi-tinnginya diucapkan kepada:

1. Ketua komisi pembimbing Dr Ir Etty Riani, MS, serta anggota yakni Prof Dr Ir H Setyo Budi Susilo, MSc dan Dr Ir Ferdinan Yulianda, MSc.

2. Gubernur Sulawesi Selatan, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan.

3. Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Pangkep, Takalar, dan Bulukumba.

4. Enumerator, Sahabat dan kawan-kawan PSL angkatan 2008.

Apresiasi setinggi-tingginya penulis berikan kepada Almarhum Orang tua H Andi Paeruddin dan Hj Andi Rohani atas doa dan motivasinya. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr Andi Nurlinda, SKM, MKes (istri), dan Andi Mesyara Jerni Maswara (Anak), Andi Azura Arumi Masomba (Anak), Andi Muhammad Ingkra Irfana Arbila (Anak) atas semua dukungan yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(10)

Abstrak

Penelitian model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan dilaksanakan di tiga kabupaten yakni Kabupaten Pangkep,

Kabupaten Takalar dan Kapaten Bulukumba. Tujuan penelitian adalah: 1) menganalisis pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap; 2) menganalisis

keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap; 3) merumuskan model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan; dan 4) menganalisis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi Selatan. Pelaksanakan penelitian sejak bulan Februari sampai Oktober 2011. Jenis data yang dipergunakan berupa data primer dan sekunder. Analisis data menggunakan metode Rapfish dan Multi Dimensional Scaling (MDS). Analisis

Rapfish digunakan untuk mengetahui indeks tingkat keberlanjutan pada kegiatan perikanan tangkap dari berbagai dimensi dan MDS digunakan untuk mengetahui pengelolaan perikanan tangkap keberlanjutan di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis Rapfish yang dilakukan secara parsial pada setiap dimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi, sebagai berikut : a) Dimensi Ekologi sebesar 49,07 berarti kurang berkelanjutan, b) Dimensi Ekonomi sebesar 53,13 berarti cukup berkelanjutan, c) Dimensi Sosial sebesar 60,92 berarti cukup berkelanjutan, d) Dimensi Kelembagaan dan Etika sebesar 46,93 berarti kurang berkelanjutan, e) Dimensi Teknologi dan Infrastruktur sebesar 48,35 berarti kurang berkelanjutan. Kesimpulan dari penelitian ini nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan kurang berkelanjutan, serta skenario optimis merupakan skenario model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan, karena skenario ini merupakan pengembangan model yang paling realistis untuk dilakukan secara terintegratif.

(11)

ANDI ZAINAL. MODEL OF SUSTAINABLE FISHING MANAGEMENT IN SOUTH SULAWESI.Supervised byETTY RIANI, SETYO BUDI SUSILO and FREDINAN YULIANDA

Research on sustainable fishing management in South Sulawesi was carried out in three regencies, namely Pangkep Regency, Takalar Regency and Bulukumba Regency. The aim of the research was 1) to analyze fishing resource used; 2) to determine the index value and the status of sustainable fishing; 3) to formulate the model for managing sustainable fishing; and 4) to formulated policy for managing sustainable fishing in South Sulawesi. The research was carried out from February to October 2011. The types of data used were primary as well as secondary data. The data were analyzed using the Rapfish method and the Multi Dimensional Scaling (MDS). The Rapfish method was used to find out the index of sustainable level of the fishing activities from various dimensions, whereas MDS was used to know sustainable fishing management in South Sulawesi. The results of the research showed that based on the rapfish analyses that was carried out partially on every dimension the sustainable index value for each dimension was as follows: a) Ecological dimension was 49.07, which shows less sustainable, b) Economical dimension was 53.1, which means quite sustainable, c) Social dimension 60.93, which means quite sustainable, d) Institutional and ethical dimension 46.93, which means less sustainable, e) Technological and infrastructure dimension 48.35, which means less sustainable. From the research, it can be seen that the sustainable index value of fishing in South Sulawesi is less sustainable. The optimistic scenario is the model scenario for sustainable fishing management in South Sulawesi Province, since this scenario is the most realistic model development to be carried out in an integrated manner

(12)

ANDI ZAINAL. Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh ETTY RIANI, SETYO BUDI SUSILO dan FREDINAN YULIANDA

Perikanan tangkap di Sulawesi Selatan belum menggunakan dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial (people), dan keberlanjutan ekologi. Padahal ketiga dimensi tersebut

saling mempengaruhi. Berangkat dari fakta tersebut tujuan penelitian adalah : 1) menganalisis pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap; 2) menganalisis

keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap; 3) merumuskan model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan; dan 4) menganalisis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi Selatan

Penelitian ini dilaksanakan di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan yakni Kabupaten Pangkep, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Bulukumba. Alasan pemilihan lokasi ada 2 hal yakni berdasarkan tingkat kejadian kasus dan keterwakilan secara geografis. Kasus pelanggaran hukum paling sering terjadi di lokasi tersebut dan secara geografis Kabupaten Pangkep mewakili Laut Makassar, Kabupaten Takalar mewakili Laut Flores dan Kabupaten Bulukumba mewakili Teluk Bone. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari hingga Oktober 2011. Jenis data yang dipergunakan berupa data primer dan sekunder. Analisis data menggunakan metode rapfish dan multidimensional scaling (MDS). Analisis Rapfish digunakan untuk mengetahui indeks tingkat keberlanjutan pada kegiatan perikanan tangkap dari berbagai dimensi dan MDS digunakan untuk mengetahui keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis Rapfish yang dilakukan secara parsial pada setiap dimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi, sebagai berikut :

a. Dimensi Ekologi sebesar 49,07 berarti kurang berkelanjutan (indeks terletak antara 25,00 - 50,00).

b. Dimensi Ekonomi sebesar 53,13 berari cukup berkelanjutan (indeks di antara nilai 50,00- 74,99).

c. Dimensi Sosial sebesar 60,92 berarti cukup berkelanjutan (indeks terletak antara 50,00 – 74,99).

d. Dimensi Kelembagaan dan Etika sebesar 46,93 berarti kurang berkelanjutan

(indeks terletak antara 25,00-49,99).

e. Dimensi Teknologi dan Infrastruktur sebesar 48,35 berarti kurang berkelanjutan (indeks terletak antara 25,00 - 50,00).

Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan adalah model yang disusun dalam upaya meningkatkan atau menjamin adanya pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan melalui menjaga atau meningkatkan kinerja faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutannya. Model yang berkelanjutan disusun melalui tiga skenario yaitu Skenario I (Pesimis), Skenario II (Moderat), dan Skenario III (Optimis).

(13)

daya dukung ekosistem perikanan tangkap tidak terus mengalami penurunan hingga mengarah kepada kondisi yang lebih buruk.

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan kurang berkelanjutan, serta dipilihnya skenario optimis untuk keberlanjutan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan sebab merupakan skenario paling realisitis untuk dilakukan. Disarankan untuk diberlakukan kebijakan dan pengawasan yang ketat terhadap faktor penghambat kelestarian pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan, dan kebijakan yang sudah ada mesti diimplementasikan.

(14)

YULIANDA

SUMMARY

Fishing in South Sulawesi has not used sustainable dimensions, namely economical sustainability (profit), social sustainability (people), and ecological sustainability. In fact the three dimensions have affected one another. Fishing that is not sustainable can be found at Pangkep Regency, Takalar Regency and Bulukumba Regency. Criminal cases of fishing, such as fish bombing, often happen in those locations. The aim of the research were : 1) to analyze fishing resource used; 2) to determine the index value and the status of sustainable fishing; 3) to formulate the model for managing sustainable fishing; and 4) to formulated policy for managing sustainable fishing in South Sulawesi.

The research was carried out in three regencies in South Sulawesi, namely Pangkep Regency, Takalar Regency, and Bulukumba Regency. There are two reason for choosing the locations, based on the extent of cases and their geographical representation. Legal violations occur the most in those locations, and geographically Pangkep Regency represents Makassar Sea, Takalar Regency represents Flores Sea, and Bulukumba Regency represents Bone Bay. The research was carried out from February to October 2011. The types of data used were primary and secondary data. The data were analyzed using the Rapfish method and the Multi Dimensional Scaling (MDS). The Rapfish method was used to find out the index of sustainable level of the fishing activities from various dimensions, whereas MDS was used to know sustainable fishing management in South Sulawesi.

The results of the research showed that based on the rapfish analyses that was carried out partially on every dimension the sustainable index value for each dimension was as follows:

a. Ecological dimension: 49.07 meaning less sustainable (index between 25.00-50.00).

b. Economical dimension: 53.13 meaning quite sustainable (index between 50.00-74.99).

c. Social dimension: 60.92 meaning quite sustainable (index between 50.00– 74.99).

d. Institutional and Ethical dimension: 46.93 meaning less sustainable (index between 25.00-49.99).

e. Technological and infrastructure dimension: 48.35 meaning less sustainable

(index between 25.00–50.00).

The model of sustainable fishing management in South Sulawesi Province is a model established in order to increase or ensure the existence of sustainable fishing management through maintaining or improving the performance of dominant factors that give effects to sustainable index values. The sustainable model was made through three scenarios, namely Scenario I (pessimistic), Scenario II (moderate) and Scenario III (optimistic).

(15)

ecosystem of fishing will not degrade continuously and lead to unsustainable In conclusion, the index value of fishing sustainability in South Sulawesi is less sustainable. The choice of optimistic scenario for fishing sustainability in South Sulawesi is because it is the most realistic scenario to do. It is suggested that there must be a policy and strict control towards the inhibiting factor on the preservation of sustainable fishing management, and the existing policy must be implemented.

(16)

1.1 Latar belakang

Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang

81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta

km2 (Dahuri et al. 2002). Kondisi ini memungkinkan perairan laut dijadikan sebagai tulang punggung pembangunan Indonesia di masa depan. Perairan laut

Indonesia memiliki keragaman ekosistem yang sangat besar (mega biodiversity). Tercatat di seluruh wilayah perairan Indonesia ditemukan ekosistem terumbu

karang seluas 50.000 km² dengan jumlah spesies lebih dari 500 jenis atau

merupakan 75% keanekaragaman terumbu karang di dunia atau hampir 25%

terumbu karang dunia dengan jumlah genera berkisar 70 - 80%. Lebih lanjut

perairan Indonesia memiliki 4.5 juta hektar ekosistem mangrove, 12 juta hektar

ekosistem padang lamun dan lebih dari 5000 jenis ikan di perairan laut (Dahuri

2003). Terkait dengan sumberdaya perikanan laut, Rais (2003) mengemukakan

hasil perikanan mampu mencukupi lebih dari 60 persen rata-rata kebutuhan

bahan protein penduduk secara nasional, dan hampir 90 persen di sebagian

desa pesisir.

Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat

penting di Propinsi Sulawesi Selatan dan kontribusinya cukup besar bagi

produksi perikanan dan kelautan secara umum. Potensi sumberdaya perikanan

yang terkandung di wilayah perairan laut Sulawesi Selatan ± 162.436 ton/tahun,

sementara tingkat pemanfaatannya baru mencapai 10.235, 57 ton per tahun dari

berbagai komoditi perikanan ekonomis yang ada sehingga tingkat

pemanfaatannya belum optimal. Lebih lanjut dijelaskan perairan Selat Makassar,

Teluk Flores serta pulau kecil di sekitarnya adalah kawasan kaya ikan. Namun,

pada kenyataanya potensi sumberdaya perikanan di Sulawesi Selatan masih

belum bisa dikelola dan dimanfaatkan secara optimal dan bijaksana. Ditambah

hampir seluruh wilayah di Sulawesi Selatan mengarah pada kondisi overfishing

yaitu terjadi tangkapan jumlah ikan yang melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk

mempertahankan stok ikan dalam suatu daerah.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut memberikan kontribusi penting

bagi perekonomian Sulawesi Selatan. Kondisi ini menunjukkan bahwasanya

(17)

pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan.

Pengembangan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan selama ini tidak berjalan

dengan baik disebabkan oleh kompleksnya permasalahan yang dihadapi,

menyangkut faktor-faktor teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan. Terkait dengan

hal tersebut, upaya pelestarian sumber daya ikan merupakan kewajiban yang

harus dilakukan.

Paradigma pembangunan berkelanjutan mencakup lebih banyak aspek

dalam penilaian keberlanjutan, sehingga penilaian terhadap keberlanjutan dan

pelestarian sumber daya perikanan menjadi lebih kompleks dengan penambahan

aspek sosial, kelembagaan dan teknologi. Interaksi aspek-aspek tersebut

menjadi indikator bagi keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Berdasarkan hal

tersebut di Propinsi Sulawesi Selatan perlu dilakukan pengembangan sektor

perikanan tangkap yang baik dan ideal. Pengembangan tersebut dilakukan

dengan memperhatikan kemampuan daya dukung dan kebutuhan optimal dari

setiap aspek keberlanjutan hingga perlu dilakukan penilaian pengembangan

perikanan tangkap yang dapat menjadi acuan kebijakan dalam pemanfaatan

perikanan secara optimal.

1.2 Kerangka Pemikiran

Wilayah perairan laut merupakan kawasan perairan yang memiliki sejumlah

sumberdaya penting, salah satunya adalah berupa sumberdaya perikanan

bernilai ekonomi tinggi. Tidak salah jika salah satu kebijakan pemerintah adalah

meningkatkan hasil perikanan bahkan menjadi produsen perikanan terbesar di

dunia (Sularso 2010). Terkait hal tersebut dalam rangka pencapaian tersebut

banyak kalangan mencoba mengeksploitasi laut beserta isinya termasuk

masyarakat pesisir yang memanfaatkan potensi perikanan di laut dengan

menjadikan menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama yang

menghasilkan pendapatan.

Perikanan tangkap adalah suatu upaya / kegiatan yang menyangkut pengusahaan suatu sumber daya di laut atau perairan umum rnelalui cara

penangkapan baik secara komersial atau tidak. Kegiatan ini meliputi penyediaan

prasarana, sarana, kegiatan penangkapan, penanganan hasil tangkapan,

pengolahan serta pemasaran hasil. Lebih lanjut, pengelolaan sumber daya

perikanan adalah suatu tindakan melalui pembuatan peraturan yang didasari

(18)

kegiatan monitoring, controlling dan surveilance, dimana tujuan akhirnya adalah suatu kelestarian sumber daya perikanan dan lingkungannnya dan memberikan

keuntungan secara ekonomi maupun ekologi. Arti pengelolaan mencakup

pengembangan dan pengendalian, dimana acuan yang dianut dalam

pelaksanaannya adalah konsep perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries).

Pelaksanaan perikanan yang bertanggungjawab didasarkan atas

pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan melalui secara berkelanjutan, diatur

dalam Undang- Undang Republik Indonesia No 45 Tahun 2009. Undang-undang

tersebut menyebutkan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan

dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya

mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang

dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Selanjutnya pasal 6 ayat 1

menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk tercapainya manfaat

yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan.

Kompleksitas pengelolaan perikanan tangkap membutuhkan upaya yang

terintegrasi dan mencakup sejumlah aspek atau dimensi. Untuk melaksanakan

pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan secara optimal di Propinsi

Sulawesi Selatan sebagai salah satu kawasan di Indonesia yang memiliki potensi

perikanan tangkap, didasarkan atas 3 dimensi utama dan 2 dimensi tambahan

yang harus diperhatikan, yaitu 1) dimensi ekologi; 2) dimensi ekonomi; 3) dimensi

sosial; 4) dimensi teknologi; serta 5) dimensi kelembagaan. Dimensi ekologi

terkait dengan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan tetap

memperhatikan pelestarian lingkungan serta tanpa menyebabkan

terdegradasinya kondisi lingkungan. Hal ini diperlukan untuk menjamin

keberlangsungan stok perikanan tangkap yang dapat dimanfaatkan generasi

yang akan datang. Dimensi ekonomi, merupakan upaya pemanfaatan perikanan

tangkap yang dapat memberikan keuntungan atau layak secara ekonomi bagi

pemanfaat (nelayan dan masyarakat pesisir). Dimensi sosial, mengindikasikan

upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap harus mampu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat nelayan. Dimensi teknologi, terkait dengan upaya

peningkatan efisiensi dan efektifitas penangkapan yang dilakukan. Dimensi

kelembagaan, terkait dengan tata aturan/peraturan yang menjadi landasan

(19)

Propinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu kawasan dengan potensi

kelautan yang besar memilik luas wilayah 62.483 km2 dengan panjang garis

pantai 2.500 km memiliki penduduk 8.213.864 jiwa dimana kurang lebih 475.902

jiwa bekerja sebagai nelayan dan petani tambak. Terkait dengan potensi dan

kondisi Sulawesi Selatan, pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan

diperlukan arahan dan kebijakan yang didasarkan atas kelima dimensi

keberlanjutan diatas. Hal ini diperlukan untuk menjamin upaya perikanan tangkap

yang dilakukan bermanfaat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

Berdasarkan penjelasan diatas, kerangka pemikiran penelitian yang

dilakukan terlihat pada Gambar 1.

(20)

1.3 Perumusan Masalah

Sumberdaya perikanan merupakan barang umum (good common) yang bersifat open access, artinya setiap orang berhak menangkap ikan dan mengeksploitasi sumberdaya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun

jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Secara empiris, keadaan ini menimbulkan

dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan maupun konflik antar

orang yang memanfaatkannya. Oleh karena itu, perlu diatur regulasi dalam

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan

yang bersifat diperbaharui (renewable) ini menuntut adanya pengelolaan dengan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati hati (Fauzi 2006).

Sifat sumber daya yang open access dan common property serta adanya titik persinggungan dengan sektor lain, menyebabkan banyaknya permasalahan

yang dihadapi dalam perikanan tangkap. Pada dasarnya tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai potensi ikan (resource conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan (regulations) dan pengkayaan

(enhancement) yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada potensi ikan.

Kenyataan pengelolaan perikanan tangkap di Propinsi Sulawesi Selatan

memperlihatkan bahwa banyak kegiatan perikanan belum berjalan optimal, hal ini

antara lain disebabkan oleh tidak efisiennya kegiatan penangkapan ikan,

fasilitas-fasilitas pendukung perikanan yang belum terpenuhi dan sistem

pengelolaan yang kurang optimal. Bertolak dari kondisi yang ada, maka untuk

mengatasi permasalahan- permasalahan tersebut, di Propinsi Sulawesi Selatan

perlu dikembangkan model pembangunan perikanan berkelanjutan. Konsep

perikanan berkelanjutan memiliki tiga dimensi penting, yaitu: ekologi, ekonomi

dan sosial. Keberlanjutan ketiga dimensi tersebut merupakan tipe ideal, artinya

suatu tipe yang hanya berfungsi sebagai acuan teoritas karena dalam kenyataan

secara empiris sulit ditemukan. Fungsi kebijakan (policy) merupakan upaya untuk mengatur proses tarik ulur sehingga ketiganya dalam kondisi seimbang (Satria

2004). Keberlanjutan salah satu faktor menjadi prasyarat bagi keberlanjutan

faktor dimensi lain. Tanpa keberlanjutan ekologi maka kegiatan ekonomi akan

terhenti sehingga akan berdampak pula pada kehidupan sosial masyarakat yang

(21)

harga ikan yang tidak sesuai dengan biaya operasional) maka akan

menimbulkan eksploitasi besar-besaran yang dapat merusak kehidupan ekologi

perikanan dan terjadinya konflik. Begitu pula tanpa keberlanjutan kehidupan

sosial para stakeholder perikanan maka proses pemanfaatan perikanan dan kegiatan ekonomi tidak dapat berlangsung optimal.

Mengacu pada penjelasan tersebut diatas, dalam pengelolaan perikanan

tangkap secara berkelanjutan di Sulawesi Selatan terdapat beberapa perumusan

masalah yaitu :

1. Bagaimana kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi

Selatan

2. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan

tangkap di Sulawesi Selatan

3. Bagaimana model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi

Selatan

4. Bagaimana rumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah :

1. Menganalisis pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap

2. Menganalisis keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap.

3. Merumuskan model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di

Sulawesi Selatan.

4. Menganalisis kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di

Sulawesi Selatan

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan manfaat praktis yaitu menyediakan model perikanan tangkap

berkelanjutan yang bersifat holistik dalam rangka mencapai pembangunan

sumberdaya ikan yang berkelanjutan.

2. Terhadap aspek pengembangan keilmuan diharapkan bermanfaat dalam

(22)

1.6 Kebaruan Penelitian (Novelty)

Kebaharuan (novelty) yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pengembangan model pengelolaan perikanan tangkap berdasarkan

identifikasi dan analisis faktor-faktor penting yang terkait dalam pengelolaan

(23)

2.1 Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan rumusan yang didasarkan pada laporan dari Brundtland Report sebagai hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pembangunan berkelanjutan lebih lanjut

didefinisikan sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk

mewujudkan kebutuhannya (WCED 1987). Konsep pembangunan berkelanjutan

mempunyai dua arah yang harus diperhatikan yaitu pertama, mengingatkan pentingnya keterbatasan kendala sumberdaya alam dan lingkungan dalam

mendukung pola pembangunan dan konsumsi dan pemanfaatan sumberdaya,

dan kedua, menyangkut kebutuhan untuk kesejahteraan (well being) generasi kini dan yang akan datang.

Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar utama yaitu ekonomi, sosial

dan ekologi. Ketiga pilar tersebut akan saling berinteraksi tergantung kepada titik

prioritas bersama yang akan terjadi saling tolak angsur (trade-off) antar tujuan (Munasinghe 1993). Konsep pembangunan berkelanjutan terdiri atas tiga

dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial (people), dan keberlanjutan ekologi. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi dan harus diperhatikan secara berimbang. Kerangka

dimensi keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.

(24)

Kerangka tiga dimensi pembangunan berkelanjutan menjelaskan, suatu

kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai

dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi,

ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin 1996). Berkelanjutan

secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat

menghasilkan pertumbuhan ekonomi, kualitas sumberdaya alam terpelihara

secara baik, dan penggunaan sumberdaya secara efisien, serta adanya distribusi

hasil pemanfaatan yang berkeadilan diantara para pihak terkait.

Pembangunan merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan

bersama, sehingga memberikan dampak terhadap aspek ekonomi, sosial, dan

politik. Tujuan pembangunan yang merupakan vector dari berbagai aspek yang

didukung dengan ketersediaan sumberdaya diarahkan untuk mencapai

kesejahteraan melalui (a) peningkatan pendapatan per kapita; (b) peningkatan

kondisi kesehatan dan gizi masyarakat; (c) tingkat pendidikan; (d) akses

terhadap sumberdaya; serta (e) distribusi pendapatan yang lebih merata dan

lainnya. Keberlanjutan merupakan suatu syarat umum dimana karakter vektor

pembangunan tersebut tidak berkurang sesuai dimensi waktu pemanfaatannya.

Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut

harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung

lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati.

Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan

hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas

sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat,

identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Cincin-Sain and Knecht 1998).

Terkait dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan

berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan

sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi

pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan

kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya.

Lebih lanjut, konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang

perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi.

Pada tataran pengembangan konsep, keberlanjutan mencakup berbagai

aspek kehidupan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan

(25)

keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagaan.

FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah

pesisir berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan

pertahanan keamanan.

Konsep pembangunan berkelanjutan mengandung 4 (empat) aspek

keberlanjutan yaitu keberlanjutan ekologi, sosial ekonomi,masyarakat/komunitas,

dan kelembagaan (Fauzi dan Anna, 2005). Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) yaitu adanya upaya memelihara stok (biomass) sehingga tidak melebihi daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas

ekosistemnya. Keberlanjutan sosio-ekonomi (socio-economic sustainability) harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada

tingkat individu dan pencapaian kepada kesejahteraan masyarakat.

Keberlanjutan masyarakat/komunitas (community sustainability) yaitu masyarakat harus menjadi perhatian utama dalam pembangunan perikanan.

Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability) yaitu adanya keberlanjutan pada aspek finansial dan administrasi yang sehat yang merupakan

prasyarat untuk mencapai ketiga aspek keberlanjutan sebelumnya.

2.2 Pembangunan Berkeberlanjutan pada Perikanan Tangkap

Pengelolaan sumberdaya perikanan lestari diawali dengan pendekatan

hasil tangkapan maksimum lestari atau maximum sustainable yield (MSY) yang ditunjukkan oleh produktivitas sumberdaya biologi semata (Fauzi 2002). Konsep

ini belum mempertimbangkan pada spek sosial ekonomi yang berkembang di

masyarakat secara dinamis. Produktivitas setiap species biologis mampu

berproduksi melebihi kapasitas prduksi (surplus), sehingga pemanenan dilakukan

pada sejumlah surplus yang dihasilkan oleh produktivitas ini, dan sumberdaya

perikanan tangkap akan terjaga kesinambungannya. Namun kondisi sosial

ekonomi berkembang lebih cepat dari perkembangan biologis tersebut.

Perikanan tangkap meruapakan suatu sistem agribisnis perikanan yang

terdiri dari beberapa subsistem yang berpengaruh satu dengan yang lainnya.

Subsistem-subsistem pada perikanan tangkap terdiri dari subsistem (a) sarana

produksi; (b) usaha penangkapan; (c) prasarana pelabuhan; (d) unit pengolahan;

(e) unit pemasaran; dan (f) unit pembinaan (Monintja 2001).

Pembangunan berkelanjutan pada perikanan tangkap jika diperoleh kelima

kondisi yang dapat diwujudkan, yaitu (1) tingkat kemanfaatan yang diperoleh

(26)

(2) sumberdaya dikelola secara baik untuk memberikan kesempatan produksi di

masa yang akan datang; (3) kondisi sumberdaya alam yang dikelola tidak

mengalami penurunan kualitasnya (non-declining); (4) sumberdaya yang dikelola dapat mempertahankan komoditas produksi yang dihasilkan; dan (5) kondisi

minimal sumberdaya dapat dipertahankan dan daya lentur sumberdaya dapat

dipertahankan (resilience) (Fauzi 2005).

Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pembangunan yang

mampu menghasilkan kondisi ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem

alamiah serta sumberdaya yang ada di dalamnya. Ambang batas bersifat luwes

(flexible) tergantung pada kapasitas teknologi dan sosial ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya alam serta daya dukung (carrying capacity) terhadap dampak kegiatan manusia (Charles 2001). Pembangunan berkelanjutan

(sustainability development) diartikan sebagai serangkaian aktivitas perikanan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep keberlanjutan adalah

pemanfaatan sumberdaya yang dapat memenuhi masyarakat perikanan itu

sendiri dan mampu memelihara kondisi sumberdaya perikanan yang

dimanfaatkan (Fauzi dan Anna 2002).

Pembangunan berkelanjutan paling tidak harus ada beberapa komponen

yang harus diperhatikan, yaitu (1) ekologi berupa tingkat eksploitasi, keragaman

ikan yang ditangkap, perubahan ukuran tangkap; discard dan bycatch serta produktivitas primer tangkapan; (2) aspek ekonomi, yaitu kontribusi perikanan

terhadap pendapatan domestik wilayah (gross domestic product), penyerapan tenaga kerja, sifat kepemilikan, tingkat subsidi, dan pendapatan (income)

alternatif; (3) teknologi meliputi lama trip, tempat pendaratan, selektivitas alat

tangkap, FAD, ukuran kapal da efek samping dari alat tangkap; dan (4) etika,

menyangkut kesetaraan, illegal fishing, mitigasi terhadap habitat, mitigasi terhadap ekosistem, dan sikap terhadaplimbah dan bycatch (Fauzi dan Anna 2002). Keseluruhan ini diperlukan sebagai prasarana dari dipenuhinya

pembangunan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan Food Agricultural Organization (FAO) tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF

(FAO 1995).

Tujuan pembangunan perikanan pelagis berkelanjutan adalah memelihara

stok sumberdaya perikanan dengan melindungi habitatnya. Dalam pengelolaan

(27)

dengan tetap mempertimbangkan berbagai aspek daripada aspek daya tahan

hidup ikan dan perikanan itu sendiri. Namun demikian, prioritas utama

keberlanjutan pada perikanan pelagis adalah menghindarkan kondisi

pemanfaatan sumberdaya ikan yang tidak memperhatikan kelestariannya (FAO

2001).

Lebih lanjut bilamana kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan tidak

dapat dipenuhi maka sumberdaya perikanan akan mengarah pada degradasi

lingkungan, over exploitation, dan praktek perikanan yang merusak (destructive fishing practices). Kondisi demikian diakibatkan oleh tingginya keinginan untuk memenuhi kepentingan saat kini, sehingga tingkat eksploitasi sumberdaya

perikanan diarhakan untuk memperoleh manfaat masa kini saja. Hal demikian

berakibat diabaikannya kepentingan lingkungan dan penggunaan teknologi yang

quick-yielding yang sering bersifat merusak (destructive) seperti penggunaan bom dalam penangkapan ikan (fish bombing) dan penggunaan racun ikan (poisoning) (Fauzi dan Anna 2002).

2.3 Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sebagaimana ditetapkan oleh FAO pada tanggal 31 Okrober 1995 menjelaskan bahwa

pedoman ini diharapkan diacu bagi para pelaku perikanan yang meliputi

negara-negara anggota PBB maupun bukan anggota, komunitas nelayan, organisasi

internasional, dan semua yang libat dalam aktivitas perikanan dalam penyusunan

kebijakan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi,

pengolahan hasil dan pemasaran sumberdaya alam perikanan (Pasal 1 ayat 2).

Code of Conduct tersebut mencakup 19 prinsip (pasal 6), yaitu :

1. Negara harus melestarikan ekosistem perairan. Penangkapan ikan harus

disertai dengan tanggung jawab / kewajiban untuk melestarikan ekosistem

laut.

2. Pengelolaan perikanan harus berkelanjutan dengan mempertimbangkan

pemanfaatan generasi saat ini dan pemenuhan kebutuhan untuk

kesejahteraan bagi generasi yang akan datang.

(28)

4. Kebijakan eksploitasi dan konservasi perikanan didasarkan data yang akurat

dan dengan memperhatikan kearifan tradisional yang telah berkembang di

masyarakat.

5. Pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan dilakukan dengan

data yang akurat dan mengambil tindakan untuk tetap melindungi

keberadaan sumberdaya perikanan walaupun kurang didukung dengan data

dimaksud.

6. Penggunaan alat tangkap ikan secara selektif sehingga dapat memelihara

keragaman biota, struktur populasi dan ekosistem perairan serta kualitas ikan

terlindungi.

7. Eksploitasi sumberdaya perikana harus dilakukan secara baik (cara-cara

tertentu) sehingga dapat dihindarkan menurunnya kualitas ikan hasil

tangkapan dan praktik-praktik pemborosan serta dampak negative terhadap

lingkungan.

8. Semua habitat perikanan baik habitat laut maupun daratan harus dilindungi

untuk menjaga keberlangsungan sumberdaya perikanan.

9. Negara menjamin pengelolaan sumberdaya alam perikanan yang terintegrasi

dengan pengelolaan kawasan pantai untuk kepentingan sumberdaya

perikanan.

10. Kerangka kerja penegakan jaminan pemenuhan dan pelaksanaan

pelestarian, manajemen dan mekanisme yang efektif untuk memantau dan

mengontrol aktivitas-aktivitas kapal ikan.

11. Negara harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap perijinan

kapal-kapal ikan yang berperasi.

12. Peningkatan kerjasama sub regional maupun regional untuk mendorong

pelestarian dan pengelolaan sumberdaya perikanan.

13. Negara harus mempraktekkan secara transparan dan ketepatan waktu atas

penyelesaian masalah yang bersifat mendesak.

14. Perdagangan internasional ikan segar harus sesuai dengan prinsip, hak dan

kewajiban yang tercantum dalam kesepakatan WTO dan kesepakatan

internasional.

15. Negara berkewajiban mencegah terjadinya sengketa dalam praktek dan

aktivitas perikanan.

16. Negara berkewajibam meningkatkan kesadaran tanggung jawab (bagi

(29)

17. Negara menjamin penyediaan prasarana perikanan (fasilitas, perlengkapan)

yang memungkinkan kondisi kerja yang aman, sehat dan terbuka serta

berstandar internasional.

18. Negara menjamin terpenuhinya hak nelayan dan pekerja perikanan,

khususnya nelayan subsisten (menangkap ikan hanya untuk sekedar

memenuhi kebutuhan sehari-hari) maupun melindungi daerah tangkapan

tradisional.

19. Negara dapat mengembangkan perikanan budidaya air sebagai sarana untuk

diversifikasi pangan dan pendapatan, tanpa mengancam kelestarian

lingkungan dan tidak berdampaknegatif bagi masyarakatlokal / tradisional.

Disamping ke-19 prinsip tersebut, CCRF juga menekankan perlunya

penanganan pascapanen, dan pengelolaan perikanan secara terpadu, serta

perlindungan terhadap hak-hak khusus kepada masyarakat pantai atas daerah

tertentu yang merupakan wilayah perairan di sekitar desa masyarakat lokal.

Pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan memiliki

karakteristik (Monintja 2001), yaitu :

a. Proses penangkapan yang ramah lingkungan, yaitu (1) selektivitas tinggi, (2)

hasil tangkapan yang terbuang rendah, (3) tidak membahayakan

keanekaragaman hayati, (4) tidak menangkap jenis-jenis ikan yang

dilindungi, (5) tidak membahayakan habitat, (6) tidak membahayakan

kelestarian sumberdaya ikan target, (7) tidak membahayakan keselamatan

nelayan, dan (8) memenuhi CCRF.

b. Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai seimbang).

c. Adanya jaminan pasar.

d. Usaha penangkapan ikan masih menguntungkan.

e. Tidak menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat (konflik sosial) dan

memenuhi persyaratan legal (ijin dari pemerintah).

Penangkapan ikan telah berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi

dan keterbatasan kelimpahan sumberdaya perikanan tangkap. Metode

penangkapan ikan yang ramah lingkungan telah dikembangkan sesuai dengan

tuntutan dunia internasional yang mulai mengecam danmengancam akan

memboikot ekspor ikan dari negara yang penangkapannya masih merusak

lingkungan. Mengingat sektor perikanan yang memberikan devisa yang cukup

besar bagi Indonesia sudah seharusnya penerapan penangkapan yang merusak

(30)

lingkungan terdiri dari antara lan memilki (1) Selektifitas tinggi, (2) Tidak

destruktif terhadap habitat, (3) Tidak membahayakan nelayan (operator), (4)

Menghasilkan ikan bermutu baik, (5) Produk tidak membahayakan kesehatan

konsumen, (6) Minimum hasil tangkapan yang terbuang, (7) Dampak minimun

terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, (8) Tidak menangkap spesies

yang dilindungi atau terancam punah, (9) Diterima secara sosial.

2.4 Model Pengembangan Perikanan Tangkap

Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi

dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan

hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah

sebab akibat, oleh karena itu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat

mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Salah satu dasar utama

untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa

yang penting dan tepat. Model juga diartikan suatu teknik untuk membantu

konseptualisasi dan pengukuran dari suatu yang kompleks, atau untuk

memprediksi konsekuensi (response) dari sistem terhadap tindakan (intervensi) manusia. Model dapat berfungsi sebagai alat manajemen dan alat ilmiah.

Umumnya model digunakan sebagai alat untuk mengambil keputusan tentang

bagaimana pengolahan sumberdaya alam yang terbaik. Penggunaan model

dalam penelitian umum merupakan cara pemecahan masalah yang bersifat

umum (Eriyatno 2003).

Model perikanan tangkap dapat diwujudkan melalui pengelolaan

sumberdaya yang terintegrasi. Artinya mengintegrasikan semua kepentingan dari

pelaku sistem perikanan. Pengelolaan dilakukan secara terpadu untuk seluruh

lingkup perairan, tidak dilakukan secara spasial per provinsi atau kabupaten.

Model perikanan juga harus didukung oleh kebijakan pemerintah dan dukungan

sarana dan prasarana penunjang usaha perikanan tangkap, khususnya

kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, perizinan, penciptaan

iklim berusaha yang kondusif, kebijakan standar mutu produk, kebijakan ekspor

dan kebijakan terhadap lingkungan (Haluan et al. 2007).

Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia

untuk meningkatkan produksi dalam bidang perikanan dan sekaligus

meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik.

(31)

perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah

jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak,

dengan pendapatan nelayan yang memadai. Pengembangan perikanan

dibutuhkan untuk penyediaan protein bagi masyarakat Indonesia, maka dipilih

unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit dan produktivitas nelayan

yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan

ekonomis (Monintja 2000).

Sistem perikanan menurut Charles (2001) terdiri dari tiga komponen, yaitu

sistem alam (natural system), sistem manusia (human system) dan sistem pengelolaan perikanan (fishery management system). Sistem alam terdiri dari 3 subsistem, yaitu ikan (fish), ekosistem biota (ecosystem) dan lingkungan biofisik (biophysical environment). Sistem manusia terdiri dari 4 subsistem yaitu nelayan (fishers), bidang pasca panen dan konsumen (post harvest sector and consumers), rumah tangga dan komunitas masyarakat perikanan (fishing households and communities) dan lingkungan sosial ekonomi budaya (social economic/cultural environment). Sistem manajemen dikelompokkan menjadi 4 subsistem, yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan (fishery policy and

planning), manajemen perikanan (fishery management), pembangunan

perikanan (fishery development) dan riset perikanan (fishery research).

Pengelolaan sumberdaya perikanan, haruslah dikelola secara terpadu,

karena dalam proses pengaturan, para stakeholder yang umumnya anggota kelompok nelayan memiliki kekuatan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam

perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di

daerahnya. Saat ini, sudah banyak kelompok masyarakat nelayan yang sadar

akan pentingnya keterlibatan mereka dalam merumuskan atau merencanakan

kegiatan-kegiatan perikanan di wilayahnya (Kaplan dan Powell 2000).

Umumnya masyarakat nelayan membutuhkan koordinasi lebih lanjut

dengan pemerintah dalam pembentukan peraturan yang mengatur tentang

bagaimana sebaiknya memanfaatkan sumberdaya perikanan yang

berkesinambungan. Pengelolaan sumberdaya perikanan, hendaknya dimengerti

sebagai proses dinamis dan interaktif yang mengalami dinamika dan perubahan

secara terus menerus. Untuk itu, dukungan pemerintah untuk mengelola

sumberdaya perikanan yang efesien dan berkesinambungan sangat dibutuhkan

(32)

Pengembangan perikanan tangkap membutuhkan kaidah-kaidah tata ruang

khususnya tata ruang wilayah pesisir dan laut yang umumnya selalu

berubah-berubah seriring terjadi pasang surut di wilayah pantai. Hal ini terkadang

menyulitkan terutama untuk justifikasi batas wilayah administrasi daerah. Untuk

kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir dibagi dua macam, yaitu batas

wilayah perencanaan (planning zone) dan batas wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-today management). Wilayah perencanaan dapat meliputi seluruh daratan apabila terdapat aktivitas ekonomi

yang dilakukan oleh manusia yang secara nyata dapat menimbulkan dampak

terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir serta masih memungkinkan untuk

dikembangkan. Untuk wilayah keseharian, pemerintah mempunyai kewenangan

yang dapat menetapkan beberapa peraturan terkait dengan aktivitas ekonomi

atau pembangunan yang dilakukan oleh manusia (Dahuri 2001). Lebih lanjut,

pengembangan perikanan tangkap memerlukan keterlibatan berbagai pihak,

yaitu nelayan, pemerintah, dan stakeholder lainnya dalam pengembangan perikanan tangkap. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan diperlukan untuk

menjamin agar sektor perikanan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi

para stakeholder baik sekarang atau masa yang akan datang, serta terciptanya perikanan yang bertanggung jawab.

2.5 Kapal Perikanan

Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang

dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, pembudidaya ikan,

pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan

penelitian/eksplorasi perikanan (Diniah 2008). Berdasarkan Statistik Kelautan

dan Perikanan, kapal perikanan terdiri atas kapal penangkap ikan dan kapal

pengangkut ikan. Kapal penangkap ikan dikelompokan menjadi:

1. Perahu Tanpa Motor (PTM) – Non powered motor, adalah perahu yang digerakkan menggunakan tenaga penggerak dayung atau layar.

2. Perahu Motor Tempel (PMT) – Outboard motor, adalah kapal atau perahu yang digerakkan menggunakan tenaga penggerak mesin atau motor yang

dipasang di perahu pada saat akan dioperasikan dan dilepaskan kembali

pada saat selesai dioperasikan.

(33)

Kapal motor berdasarkan bobot dikelompokan menjadi kapal motor < 5 GT,

5-10 GT hingga >200 GT. Mesin kapal diletakkan di ruang mesin di dalam

bangunan kapal.

Berdasarkan fungsinya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45

tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan pasal 34 mengelompokan kapal ikan menjadi:

1. Kapal penangkap ikan

2. Kapal pengangkut ikan

3. Kapal pengolah ikan

4. Kapal latih perikanan

5. Kapal penelitian/eksplorasi perikanan

6. Kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau pembudidaya ikan

2.6 Alat Penangkapan Ikan

2.6.1 Purse seine

Purse seine biasanya disebut jaring kantong, karena bentuk jaring tersebut waktu dioperasikan menyerupai kantong. Purse seine kadang-kadang juga disebut jaring kolor, karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali

kolor yang berguna untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi,

dengan cara menarik tali kolor tersebut (Sadhori, 1985).

Alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap yang dioperasikan secara aktif, yaitu dengan cara mengejar dan melingkarkan jaring pada suatu

gerombolan ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa purse seine terdiri dua jenis yaitu tipe Amerika dan Jepang. Purse seine tipe Amerika berbentuk empat persegi panjang dengan bagian pembentuk kantong terletak di bagian tepi jaring. Purse seine tipe Jepang berbentuk empat persegi panjang dengan bagian bawah berbentuk busur lingkar. Bagian pembentuk kantong pada purse seine tipe Jepang terletak ditengah jaring (Brandt 2005).

Prinsip penangkapan dengan menggunakan purse seine adalah melingkari gerombolan ikan dengan jaring, kemudian bagian bawah jaring dikerucutkan

sehingga ikan tujuan penangkapan akan terkurung pada bagian kantong, atau

dengan memperkecil ruang lingkup gerakan ikan, sehingga ikan tidak dapat

(34)

datang atau berkumpul dengan menggunakan lampu atau rumpon (Ayodhyoa,

1981). Bentuk alat penangkapan ikan jenis purse sein ditampilkan pada Gambar

3.

2.6.2 Bagan perahu

Bagan (lifnet) merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara menarik waring ke permukaan air pada posisi horisontal. Pada saat

pengangkatan waring ke permukaan terjadi proses penyaringan air, ikan yang

berukuran lebih besar dari ukuran mata waring akan tersaring pada waring

(Fridman, 1986). Kontruksi bagan perahu terdiri dari waring, perahu, rumah

bagan (anjang-anjang), lampu, serok, dan roller yang berfungsi untuk mengangkat dan menurunkan waring (Subani dan Barus, 1989). Lebih lanjut,

Von Brandt (2005), mengklasifikasikan bagan ke dalam klasifikasi jaring angkat

(lifnet) karena proses pengoperasiannya, jaring diturunkan ke dalam perairan, kemudian diangkat secara vertikal, berdasarkan teknik yang digunakan untuk

memikat perhatian ikan agar berkumpul pada area, maka bagan diklasifikasikan

dalam light fishing yang menangkap ikan dengan menggunakan atraktor cahaya untuk mengumpulkan ikan. Bentuk alat penangkapan ikan jenis bagan perahu

[image:34.595.61.497.68.786.2]

ditampilkan pada Gambar 4.

(35)

2.6.3 Hand line

Hand line atau pancing ulur adalah salah satu alat tangkap yang paling dikenal oleh masyarakat umum, terlebih dikalangan nelayan. Pada prinsipnya

pancing terdiri dari dua komponen utama yaitu : tali (line) dan pancing (hook). Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat (satuan) pancing terdiri

satu atau lebih mata pancing. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi

disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus,

1989).

Pancing ulur adalah sistem penangkapan yang mempergunakan mata

pancing dengan atau tanpa umpan yang dikaitkan pada tali pancing dan secara

langsung dioperasikan dengan tangan manusia. Ciri khas dari alat ini adalah bisa

dioperasikan di tempat yang alat tangkap lain sukar dioperasikan, misalnya

tempat-tempat yang dalam, berarus cepat atau dasar perairan yang berkarang.

Alat ini dapat dioperasikan oleh satu atau dua orang. Bentuk alat penangkapan

ikan jenis hand line ditampilkan pada Gambar 5..

Gambar 4. Alat tangkap bagan perahu

(36)

2.6.4 Payang

Payang digolongkan kedalam boat seine. Disainnya terdiri atas dua sayap, badan dan kantong mirip trawl. Jaring ini dioperasikan dari kapal dan ditarik

dengan dua tali selembar. Menurut klasifikasi Von Brandt (2005) payang

termasuk kelompok seine net yaitu alat tangkap yang memiliki warp penarik yang sangat panjang dengan cara melingkari wilayah seluas-luasnya dan kemudian

menariknya ke kapal atau pantai. Seine net terdiri dari kantong dan dua buah sayap yang panjang, serta dilengkapi pelampung dan pemberat. Bentuk alat

penangkapan ikan jenis payang ditampilkan pada Gambar 6.

2.6.5 Bubu

Bubu adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif yaitu

dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip

penangkapan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar

dari bubu (Sainsbury, 1996). Secara garis besar komponen bubu di bagi menjadi

tiga bagian, yaitu badan (body), mulut (funnel) dan pintu. Bubu biasanya terbuat dari bahan anyaman bambu, anyaman rotan atau anyaman kawat. Bentuk bubu

sangat bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk

sendiri-sendiri (Subani dan Barus, 1989).

Unit penangkapan bubu terdiri atas perahu atau kapal, bubu dan nelayan.

Pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang. Untuk

memudahkan dalam mengetahui tempat pemasangan bubu, biasanya bubu

dilengkapi dengan pelampung tanda (Subani dan Barus, 1989). Bentuk alat

(37)

2.6.6 Gillnet

Gillnet secara harfiah berarti jaring insang. Alat tangkap ini disebut jaring insang karena ikan yang tertangkap oleh gillnet umumnya tersangkut pada tutup insangnya (Sadhori, 1985). Martasuganda (2002), mengemukakan bahwa yang

dimaksud dengan jaring insang adalah jaring yang berbentuk empat persegi

panjang, dimana mata jaring dari bagian jaring utama ukurannya sama dan

jumlah mata jaring ke arah horisontal lebih banyak dari pada jumlah mata jaring

arah vertikal. Pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pemberat dan

bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat sehingga adanya dua

[image:37.595.108.493.64.757.2]

gaya yang berlawanan. Bentuk alat penangkapan ikan jenis gill net ditampilkan pada Gambar 8.

Gambar 7. Alat tangkap bubu

[image:37.595.204.449.77.257.2]
(38)

2.6.7 Sero

Sero adalah alat penangkap ikan yang dioperasikan di perairan pantai,

bersifat menetap dan berfungsi sebagai perangkap ikan yang melakukan

gerakan ke pantai atau ikan yang habitatnya di pantai. Sifat ikan sasaran,

umumnya adalah berenang menyusuri pantai karena pola ruayanya dan pada

waktu tertentu akan kembali mendekati pantai (Martasuganda, 2002). Unit

penangkapan sero, umunya terbuat dari kombinasi antara jaring dan bambu

yang disusun menyerupai pagar. Bentuk alat penangkapan ikan jenis sero

ditampilkan pada Gambar 9.

2.7 Analisis Kebijakan

Kebijakan adalah suatu peraturan yang mengatur atau mengubah suatu

kondisi ke kondisi yang lebih baik (Murtadi 1999). Manusia menetapkan suatu

kebijakan merupakan upaya manusia untuk mengetahui dan mengatasi sesuatu.

Kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan publik (public policy) dan kebijakan pribadi (privat policy). Salah satu kebijakan publik adalah pengelolaan perikanan tangkap. Mustodidjaja (1992) mendefinisikan bahwa kebijakan publik

merupakan suatu keputusan untuk mengatasi masalah tertentu, kegiatan tertentu

atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah

yang secara formal dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Hogwood dan Gun (1984) menjelaskan kebijakan publik adalah tindakan kolektif

yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimasi untuk

mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan pribadi (individu

[image:38.595.49.478.53.703.2]
(39)

atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang

ditetapkan oleh pemerintah; dan (2) bersifat memaksa atau berpengaruh

terhadap tindakan pribadi masyarakat luas (public). Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat

memaksa kepada orang lain atau lembaga lain.

Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang

menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan

dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga

dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah

masalah kebijakan. Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang

menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga memberi

landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn 1998).

Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan terbaik guna

mengatasi permasalahan atau untuk mencapai sejumlah tujuan yang diinginkan.

Analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian

teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-masalah

kebijakan cukup kompleks. Oleh karena itu, teori-teori semacam ini sering gagal

untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil keputusan

mengendalikan dan memanipulasi proses kebijakan. Analisis kebijakan juga

menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat

dimanfaatkan untuk memecahkan masalah. Selain itu, analisis kebijakan juga

menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik.

Dengan demikian, analisis kebijakan meliputi evaluasi maupun anjuran

kebijakan.

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan mempunyai topik mengenai model pengelolaan

perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Komponen yang dilakukan

kajian meliputi : 1) pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap; 2)

keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap; merumuskan model

pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan; dan 4) menganalisis kebijakan

pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Sulawesi Selatan.

Adapun penelitian terdahulu yang telah dilakukan, terkait dengan penelitian

(40)
[image:40.595.55.487.80.802.2]

Tabel 1. Hasil penelitian terdahulu

Peneliti Judul Metode Hasil

1. Metcalf, Gaughan dan Shaw (2009)

Conceptual models for Ecosystem Based Fisheries Managemnt (EBFM) in Western Australia

Risk Assessment

Method dan

Qualitative Modelling Method

Diperoleh lima sistem

pengelolaan yang

merupakan

bagian dari ekosistem, yang diidentifikasikan dalam kondisi resiko

tinggi dan atau

merupakan prioritas

utama sebagai model yang akan dihasilkan. Model yang dihasilkan mengilustrasikan

kebutuhan informasi

terkait pengaruh

terhadap perubahan

dalam perikanan dan

ketersediaan ikan

yang berakibat pada pengelolaan perikanan 2. Pomeroy, Garces

Pido, Geronimo

(2009)

Ecosystem-based fisheries management in small –scale tropical marine fisheries: Emerging models of governance arrangements in Philippines

Pendekatan analisis

yang telah dilakukan

untuk pengelolaan

sumberdaya

perikanan dalam level multi-jurisdictional

Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada lima perbedaan

dalam susunan

pemerintahan, yaitu:

kluster dan aliansi

kotamadya untuk

integrasi pengelolaan

sumberdaya pesisir;

seluruh kota FARMC dan kluster Barangay

FARMC; Integrasi

perikanan dan Dewan pengelolaan Aquatic;

Dewan Pengelolaan

Teluk; IFARMC

daerah 3. Rusmilyansari,

Wiryawan, Haluan dan Simbolon (2011)

Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Periran Kalimantan Selatan

Survei PISCES (participatory

institutional survei and conflict

evaluated exercise) dan survei persepsi

Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dapat dilakukan secara efektif setelah penyebab konflik dan teknik resolusi konflik teridentifikasi

4. Astariani, Haluan, Sugeng (2009)

Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Code of Conduct For

Responsible fisheries (CCRF) di Perairan Ternate Provinsi Maluku Utara

Survey secara

purposive

Strategi pengembangan

perikanan tangkap

berbasis CCRF dapat

dilakukan melalui

penentuan kriteria –

kriteria unit

penangkapan 5. Hamdan,

Monintja, Purwanto, Budiharsono, Purbayanto (2007) Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Di Kabupaten Indramayu

Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) dan Data Envelope Analysis (DEA)

Status perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu tidak berkelanjutan baik ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial,

teknologi, etika maupun kelembagaan

(41)

Tabel 1 (lanjutan)

Peneliti Judul Metode Hasil

6. Suherman. Murdiyanto, Marimin, Wisudo (2007)

Rekayasa Model Pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap

Metode surplus produksi model Schaefer dan Fox, NPV,

EIRR dan Net B/C, Fuzzy-Analytical Hierarchy Process (Fuzzy-AHP).

Model

pengembangan PPSC melalui suatu paket program yang diberi nama

SISBANGPEL; (2) model pengembangan PP yang dirancang dapat digunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam merencanakan pengembangan PP 7. Firman .

Fahrudin dan Sobari (2008)

Model Bioekonomi Pengelolaan Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan Metode surplus

produksi model

Schaefer dan Fox

Model bioekonomi pengelolaan

sumberdaya rajungan

8. Danial, Haluan, Mustaruddin, Darmawan (2007) Model Pengembangan Industri Perikanan Berbasis Pelabuhan Perikanan di Kota Makassar Sulawesi Selatan

Survey secara purposive dan SEM (structural equation modelling)

Model pengembangan industri perikanan

[image:41.595.80.528.84.798.2]
(42)
(43)

3

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan mulai bulan Februari 2011

hingga Oktober 2011. Lokasi penelitian dilakukan di 3 kabupaten yaitu

Kabupaten Pangkep, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Bulukumba. Adapun

letak geografis dari lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

No Kabupaten Letak geografis

LU BT

1. Pangkep 4° 33' - 5° 02' 119° 38' - 119° 57'

2, Takalar 50 30’ - 50 38’ 1190 02’ - 1190 39’

[image:43.595.107.526.72.684.2]

3, Bulukumba 5°20” - 5° 40’ 119° 50’– 120 °28’

(44)

Alasan pemilihan lokasi adalah berdasarkan tingkat kejadian illegal fishing, suku dan keterwakilan perairan, dimana Pangkep mewakili perairan Selat Makassar,

Takalar mewakili Laut Flores dan Bulukumba mewalili Teluk Bone

3.2 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian yang

disusun sesuai dengan tahapan tujuan penelitian. Rancangan penelitian ini

dilaksanakan melalui 5 (lima) tahapan yaitu :

1. Analisis pemanfaatan perikanan tangkap.

Analisis pemanfaatan perikanan tangkap merupakan tahapan awal dalam

pelaksanaan penelitian, untuk menilai kondisi atau status pemanfaatan

perikanan tangkap di Sulawesi Selatan.

2. Analisis keberlanjutan perikanan tangkap.

Analisis keberlanjutan dilakukan untuk menilai status keberlanjutan

pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan berdasarkan pencapaian

5 dimensi keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan

kelembagaan)

3. Analisis faktor kunci pengelolaan perikanan tangkap.

Analisis yang digunakan untuk mendapatan atribut penting atau faktor kunci

pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulaw

Gambar

Gambar  3   Alat tangkap purse seine
Gambar  8.   Alat tangkap gill net
Gambar  9.   Alat tangkap sero
Tabel  1.  Hasil penelitian terdahulu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Flavonoid yang terdapat pada ekstrak kulit lidah buaya termasuk jenis flavonoid yang kurang polar ka - rena lebih efektif menggunakan pelarut yang bersifat semi polar yaitu

VID BESERTA MAHASISWA TAMBAHAN.. DAFTAR

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa “Unified Modeling Language (UML) adalah sebuah bahasa yang berdasarkan grafik

Perlakuan dosis pupuk urea ( D ) berpengaruh nyata terhadap diameter umbi dan berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun rumpun -1 , jumlah

Timbangan ini dipasang pada bagian luar pabrik Casting (Penuangan) yang digunakan untuk menimbang MTC (Metal Transportation Car), yang digunakan untuk membawa ladle yang

Dengan demikian data yang telah diperoleh dapat membuktikan bahwa data mengenai pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Prodi Teknik Pertambangan Fakultas

Menurut Harrel (2004;144) yang dikutip dalam modul praktikum simulasi Universitas Brawijaya mengartikan model merupakan representasi dari suatu sistem nyatta, dimana dalam

 pen7aharian untuk untuk sementara sementara 0aktu 0aktu berdasarkan berdasarkan hasil hasil anamnesis anamnesis ditemukan ditemukan kepala kepala.. dibenturkan ke