• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manifestasi klinis dan diagnosis lab S.p

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Manifestasi klinis dan diagnosis lab S.p"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

JUDUL RINGKASAN : MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSA LABORATORIUM Streptococcus pyogenes.

NAMA MAHASISWA : RIA CHANIA DEWI

NIM : AK816064

SEMESTER : 4

KELAS : 4A

MATA KULIAH : BAKTERIOLOGI III

PROGRAM STUDI : DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

(2)

1. Pendahuluan

S pyogenes digambarkan pertama sekali oleh Billroth tahun 1874 pada penderita luka

infeksi. Tahun 1883 Fehleisen mengisolasi organisme berbentuk rantai pada kultur murni dari

lesi perierysipleas. Rosebach menamakan organisme ini S pyogenes di tahun 1884. Penelitian

dari Schottmueller tahun 1903 dan J.H Brown menggiring kepada pengetahuan tentang

perbedaan pola hemolysis yang dijelaskan sebagai alpha, beta dan hemolysis gamma.1 Perkembangan lebih lanjut adalah klasifikasi Lancefield dari streptokokus hemolisis beta dengan

serotyping berbasis reaksi presipitasi protein. Lancefield membangun aturan penting dari

M-Protein sebagai penyebab penyakit.2 Di tahun 1900an, Dochez, George and Dick

mengidentifikasi bahwa demam scarlet (scarlet fever) disebabkan oleh infeksi streptokokus

hemolitikus. Studi epidemiologi di pertengahan tahun 1900-an menolong pengembangan

hubungan antara infeksi Kelompok A Streptokokus (Group A streptococci (GAS)) dengan

demam rematik akut (Acute Rheumatic Fever (ARF)) dan Glomerulonephritis Akut.1

Streptokokus adalah kelompok besar dan beraneka ragam dari kokus gram positif yang

tumbuh secara berpasangan atau berantai. Sebagian merupakan flora normal, sebagian lain

berkaitan dengan infeksi penting pada manusia2. Streptococcus pyogenes (streptokokus group A) adalah organisme yang diketahui dapat menimbulkan beraneka ragam penyakit pada manusia.

Berdasarkan surveilans bakteri pada infeksi yang muncul, data epidemiologik menyatakan

bahwa infeksi akibat S. Pneumoniae, S. pyogenes (grup A), dan S. agalactiae (grup B) terjadi

pada 17-30 juta orang di USA pada tahun 2003.3

S. pyogenes tersebar secara luas pada manusia; sebagian menjadi asymptomatic carrier.4 S.pyogenes berkolonisasi di tenggorokan dan kulit manusia dan membentuk mekanisme virulensi

yang kompleks untuk melawan sistem pertahanan tubuh. S.pyogenes dapat menyebabkan infeksi

superfisial atau sistemik berdasarkan toksin dan respon imun yang memerantarai mekanisme

timbulnya penyakit. Penyakit yang umum disebabkan oleh bakteri ini adalah faringitis bakterial

dan impetigo. Selain itu S. pyogenes juga berkaitan dengan infeksi sistemik dan invasif

khususnya bakterimia, sepsis, infeksi jaringan lunak dalam seperti erisipelas, selulitis, dan

necrotizing fasciitis. Manifestasi yang lebih jarang yaitu miositis, osteomielitis, septic arthritis,

pneumonia, meningitis, endokarditis, perikarditis, dan infeksi neonatal berat akibat transmisi

intrapartum. Komplikasi nonsupuratif dapat terjadi poststreptococcal glomerulonephritis dan

acute rheumatic fever, yang terjadi setelah infeksi faringitis dan infeksi kulit (hanya

glomerulonefritis) akibat S.pyogenes.3

Komplikasi dari infeksi tonsilopharingitis yang bernanah karena infeksi GAS adalah:

selulitis atau abses tonsilofaringeal, otitis media, sinusitis, necrotizing fasciitis, Streptococcal

(3)

2. Sifat Pertumbuhan Streptococcus pyogenes

Umumnya streptokokus bersifat anaerob fakultatif, hanya beberapa jenis yang bersifat

anaerob obligat. Pada umumnya tekanan O2 harus dikurangi, kecuali untuk enterokokus. Pada

perbenihan biasa, pertumbuhannya kurang subur jika ke dalamnya tidak ditambahkan darah atau

serum. Kuman ini tumbuh baik pada pH 7,4 - 7,6 dan suhu optimum untuk pertumbuhan 37oC tetapi pertumbuhannya cepat berkurang pada 40Oc.

Streptococcus hemolyticus meragi glukosa dengan membentuk asam laktat yang dapat

menghambat pertumbuhannya. Tumbuhnya akan subur bila diberi glukosa berlebih dan

diberikan bahan yang dapat menetralkan asam laktat yang terbentuk. Streptococcus pyogenes

mudah tumbuh dalam semua enriched media. Untuk isolasi primer harus dipakai media yang

mengandung darah lengkap, serum atau transudat misalnya cairan asites atau pleura.

Penambahan glukosa dalam konsentrasi 0,5% meningkatkan pertumbuhannya tetapi

menyebabkan penurunan daya lisisnya terhadap sel darah merah. Dalam lempeng agar darah

yang dieram pada 370C setelah 18-24 jam akan membentuk koloni kecil ke abu-abuan dan agak

opalesen, bentuknya bulat,pinggir rata, pada permukaan media, koloni tampak sebagai setitik

cairan.

Streptokokus membentuk 2 macam koloni, mucoid dan glossy. Yang dahulu disebut matt,

sebenarnya bentuk mucoid yang telah mengalami dehidrasi. Koloni berbentuk mucoid dibentuk

oleh kuman yang berselubung asam hialuronat. Tes katalasa negatif untuk streptokokus, ini dapat

membedakan dengan stafilokokus di mana tes katalase positif. Juga streptococcus hemolyticus grup A sensitif pada cakram basitrasin 0,2 μg, sifat ini digunakan untuk membedakan dengan grup lainnya yang resisten terhadap basitrasin.

Hanya jenis dari lancefield grup B dan D yang koloninya membentuk pigmen

(4)

Berdasarkan sifat hemolitiknya pada lempeng agar darah, kuman ini dibagi dalam :

A.Hemolisis tipe alfa

Membentuk warna kehijau-hijauan dan hemolisis sebagian disekeliling koloninya,

bila disimpan dalam peti es zona yang paling luar akan berubah menjadi tidak berwarna

B.Hemolisis tipe beta

Membentuk zona bening di sekeliling koloninya, tak ada sel darah merah yang masih

utuh dan zona tidak bertambah lebar setelah disimpan dalam peti es.

C. Hemolisis tipe gamma, tidak menyebabkan hemolisis.

Untuk membedakan hemolisis yang jelas sehingga mudah dibeda-bedakan maka

dipergunakan darah kuda atau kelinci dan media tidak boleh mengandung glukosa.

Streptokokus yang memberikan hemolisis tipe alfa juga disebut streptoccocus

viridans. Yang memberikan hemolisis tipe beta disebut streptococcus hemolyticus dan tipe

(5)

3. Gambaran Klinis

3.1 Suppurative Streptococcal Disease Faringitis

Streptokokus grup A sering berkolonisasi di tenggorokan orang yang sehat. Frekuensi

pembawa diantara anak usia sekolah bervariasi berdasarkan letak geografis dan pengaruh

musim. Pada beberapa studi, frekuensi pembawa berkisar 15-20%.6

Faringitis biasanya terjadi 2 sampai 4 hari setelah terpapar patogen, ditandai dengan

munculnya sakit di tenggorokan secara mendadak, demam, malaise, dan sakit kepala.5,6

Faring posterior terlihat merah dengan adanya eksudat disertai limfadenopathy kelenjar leher

yang mencolok. Dari gejala ini, sulit membedakan faringitis yang disebabkan oleh

Streptokokus dengan yang disebabkan oleh virus. Diagnosis yang spesifik hanya dapat

ditegakkan dengan pemeriksaan bakteriologik atau serologi.5 Selama fase akut dari infeksi tonsilofaringeal, streptokokus grup A tipe M umumnya dijumpai dalam jumlah besar pada

hidung dan tenggorokan. Pada kakus yang tidak diobati, organisme menetap selama

beberapa minggu, meskipun gejala penyakit mereda dalam beberapa hari. Pada masa

konvalesen, jumlah mikroorganisme berkurang disertai penurunan kadar protein M.6

Temuan laboratorium menunjukkan adanya kultur usap tenggorokan yang positif

terhadap streptokokus hemolisis β, jumlah lekosit yang meningkat mencapai 12.000/mm3 dengan peningkatan jenis lekosit polimorfonuklear. Uji C-reactive protein biasanya positif.6

Scarlet fever merupakan komplikasi dari faringitis streptokokus yang terjadi saat strain

bakteri yang menginfeksi dilisogeni oleh bakteriofaga yang menstimulasi produksi dari

eksotoksin yang pirogen. Dalam 1 sampai 2 hari setelah simptom klinik awal, muncul ruam

eritematus yang difus di bagian dada dan menyebar ke ekstremitas, kecuali area sekitar

mulut yang terlihat sebagai circumoral pallor, demikian juga pada telapak tangan dan kaki.

Pada lidah terdapat gambaran strawberry tongue. Ruam akan menghilang setelah 5 sampai 7

hari dan diikuti dengan proses deskuamasi. Komplikasi menjadi proses supuratif (cth., abses

peritonsilar dan retrofaringeal jarang dijumpai sejak adanya terapi antibiotik.5

Pyoderma

Pyoderma (impetigo) merupakan infeksi kulit bernanah yang berbatas, biasanya timbul

pada area yang terpapar (wajah, lengan, kaki). Infeksi terjadi oleh karena adanya kolonisasi S.

pyogenes akibat kontak langsung dari orang yang terinfeksi. Organisme masuk ke jaringan

subkutan melalui kerusakan kulit seperti garukan dan gigitan serangga. Terbentuk vesikel

(6)

membesar, tetapi tanda infeksi sistemik jarang dijumpai. Penyebaran sekunder umumnya

disebabkan oleh garukan.2

Pyoderma biasanya terjadi selama musim panas dengan kelembaban dan suhu yang

hangat, terutama pada anak kecil dengan higinitas dan status ekonomi yang jelek. Meskipun

S. pyogenes bertanggung jawab pada sebagian besar infeksi kulit streptokokal, namun

Streptokokus grup C dan G juga dapat dijumpai. Stafilokokus aureus umumnya juga dapat

dijumpai pada lesi tersebut. Strain streptokokus tipe M yang menyebabkan infeksi kulit

berbeda dengan yang menyebabkan faringitis secara serotipe dan genotipe.5,6 Strain kulit dan

tenggorokan dapat dibedakan dengan markergenetik.6

Erysipelas

Erisipelas merupakan infeksi kulit akut, disertai rasa nyeri, inflamasi, pembesaran

kelenjar getah bening disertai tanda sistemik (demam, menggigil, lekositosis). Area kulit

yang terlibat ditandai dengan adanya peninggian dan berbeda dari kulit yang sehat. Erisipelas

paling sering terjadi pada anak atau lansia, pada daerah wajah tetapi sekarang lebih sering

terjadi di kaki dan biasanya diawali oleh infeksi saluran nafas atau kulit oleh S.pyogenes.5

Selulitis

Selulitis melibatkan kulit dan jaringan subkutan, dan batas antara kulit sehat dan yang

terinfeksi tidak jelas. Seperti halnya erisipelas, inflamasi lokal dan gejala sistemik harus

diobservasi. Identifikasi dengan tepat dari organisme penyebab mutlak diperlukan, oleh

karena banyak organisme berbeda yang dapat menyebabkan selulitis.5 Fasciitis nekrotik (Necrotizing Fasciitis)

Disebut juga gangren streptokokus, merupakan infeksi yang terjadi di jaringan subkutan yang

dalam, menyebar di sepanjang bidang fasia serta ditandai dengan kerusakan otot dan lemak

yang luas. Organisme masuk ke jaringan melalui kerusakan pada kulit (luka atau trauma,

infeksi virus vesikular, luka bakar, pembedahan). Toksisitas sistemik, kegagalan multiorgan,

dan kematian merupakan komplikasi dari penyakit ini, sehingga diperlukan intervensi medis

yang tepat untuk menyelamatkan pasien. Selain pemberian antibiotik, fasciitis juga harus

diatasi secara agresif dengan melakukan pembedahan debridement dari jaringan yang

terinfeksi.5

Streptococcal toxic shock syndrome (STSS)

Pasien yang mengalami kondisi ini awalnya mengalami inflamasi jarinan lunak pada

lokasi infeksi, nyeri, gejala inflamasi non-spesifik seperti demam, menggigil, malaise, mual,

muntah, dan diare. Rasa nyeri semakin hebat seiring dengan progresitas penyakit menuju

(7)

berbagai kelompok umur rentan terhadap streptococcal toxic shock syndrome, namun pasien

dengan kondisi tertentu lebih berisiko tinggi, seperti pada pasien dengan infeksi HIV, kanker,

diabetes melitus, penyakit jantung dan paru, infeksi virus varicella-zooster, serta pecandu

alkohol dan narkotika suntik. Strain dari S.pyogenes yang bertanggung jawab terhadap

sindroma ini berbeda dari strain yang menyebabkan faringitis, dimana yang paling banyak

adalah serotipe M 1atau 3 dan banyak yang memiliki kapsul asam hialuronat

mukopolisakarida yang prominen (strain mukoid). Produksi dari eksotoksin yang pirogenik,

khususnya SpeA dan SpeC, juga merupakan gambaran prominen dari organisme ini.5

Bakterimia

S.pyogenes merupakan salah satu jenis streptokokus hemolisis β yang paling sering

diisolasi dari kultur darah. Pasien dengan infeksi yang terlokalisir seperti faringitis,

pyoderma, dan erisipelas jarang mengalami bakterimia. Kultur darah dari sebagian besar

pasien fasciitis nekrotik atau toxic shock syndrome positif terdapat organisme ini, dan

mortalitas dari pasien yang mengalami bakterimia mencapai 40%.5

3.2Nonsuppurative Streptococcal Disease Demam rematik (Rheumatic fever)

Demam rematik merupakan komplikasi lambat non-supurative dari infeksi S.pyogenes di

saluran nafas atas.5,6 Ditandai dengan reaksi inflamasi yang melibatkan jantung, sendi, pembuluh darah, dan jaringan subkutan. Manifestasi pada jantung berupa pankarditis

(endokarditis, perikarditis dan miokarditis) dan sering dihubungkan dengan nodul subkutan.

Dapat terjadi kerusakan progresif dan kronis pada katub jantung. Manifestasi pada sendi berkisar dari atralgia hingga artrits “frank”, dengan keterlibatan sendi secara multipel dengan pola yang berpindah-pindah. Organisme penyebab adalah dari tipe M spesifik (tipe 1, 3, 5, 6,

dan 18).5 Khususnya dari strain mukoid M18.6

Demam rematik dikaitkan dengan faringitis streptokokus, namun tidak pada infeksi

streptokokus kutan. Kondisi ini banyak terjadi pada anak usia sekolah, tanpa ada predileksi

jeni kelamin dan sering terjadi selam musim dingin. Meskipun penyakit ini paling banyak

terjadi pada pasien dengan riwayat faringitis streptokokus yang berat, namun sebanyak

sepertiga pasien mengalami infeksi yang ringan atau asimtomatik.5

Penjelasan yang lengkap mengenai patogenesis dari demam rematik akut membutuhkan

pemahaman tidak hanya dari agen penyebab namun juga dari kerentanan alamiah dari

penjamu. Terbukti dari meskipun pada epidemi yang berat dari faringitis yang eksidatif,

(8)

bergandengan dengan hubungan keluarga dari kasus demam rematik, menunjukkan adanya

kemungkinan predisposisi genetik dari terjadinya serangan rematik. Sebuah laporan

menyatakan adanya asosiasi yang secara statistik signifikan antara antigen HLA kelas II

tertentu (HLA-DR2 pada kulit hitam dan HLA-DR4 pada kulit putih) dengan demam

rematik.6

Acute glomerulonephritis

Ditandai dengan adanya inflamasi akut dari glomerulus ginjal yang ditandai adanya

lesi glomerulus yang proliferatif dan difus dan secara klinis disertai edema, hipertensi,

hematuria dan proteinuria.5,6 Penyakit ini merupakan komplikasi nonsupuratif lambat dari

infeksi di faring atau infeksi kulit oleh strain tertentu dari streptokokus grup A yang

nefritogenik dalam jumlah yang terbatas. Serotipe M-12 merupakan serotipe tersering yang

menyebabkan glomerulonefritis akut setelah infeksi faringitis atau tonsilitis, sedangkan

serotipe M-49 merupakan jenis yang sering dari nefritis yang disebabkan oleh pyoderma

(tabel 3).6 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis serta adanya bukti infeksi S.pyogenes sebelumnya.5

Mekanisme pasti dari streptokokus yang menyebabkan glomerulonefritis akut belum

dapat digambarkan. Namun bukti menunjukkan adanya kerusakan pada ginjal yang

diperantarai mekanisme imunologis. Imunoglobulin, komponen komplemen, dan antigen

yang bereaksi dengan antiserum streptokokus dapat dijumpai pada glomerulus segera setelah

munculnya penyakit. Kemungkinan antibodi yang didapat dari infeksi streptokokus

nefritogenik bereaksi dengan jaringan ginjal yang menyebabkan terjadinya trauma pada

glomerulus. Di sisi lain, temuan mikroskop elektron menunjukkan adanya subepitelial nodul

pada biopsi ginjal pasien dengan glomerulonefritis akut yang mengindikasikan terjadinya

penumpukan kompleks yang mengandung antigen streptokokus dan antibodi penjamu di

dalam glomerulus. Penumpukan nodul subepitelial tersebut merupakan gambaran khas dari

penyakit yang disebabkan kompleks imun yang bersirkulasi.6

4. Diagnosis Laboratorium 4.1 Spesimen

Spesimen yang diambil tergantung dari infeksi streptokokus yang terjadi. Untuk

kultur, digunakan spesimen yang berasal dari usap tenggorokan, pus, atau darah.

Sedangkan untuk pemeriksaan antibodi, digunakan spesimen serum.2

Meskipun sulit untuk melakukan pengambilan spesimen usap tenggorokan dari

(9)

di daerah anterior mulut lebih sedikit, dan mulut (khususnya saliva) terkolonisasi oleh

bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan S.pyogenes.5 4.2 Pemeriksaan Mikroskopis

Sebagai diagnosis preliminer dari infeksi jaringan lunak maupun pyoderma dapat

dilakukan pewarnaan Gram dari sampel yang berasal dari jaringan yang terkena.

Dijumpainya kokus Gram positif berpasangan dan berantai serta adanya lekositosis

merupakan hal yang penting oleh karena streptokokus bukan flora normal pada kulit.

Sebaliknya, streptokokus merupakan bagian dari flora normal orofaring, sehingga

keberadaannya pada spesimen pernafasan dari pasien faringitis memiliki nilai prediksi

yang jelek.2,5 Sebagai contoh Streptococcus viridans dapat dijumpai pada usap tenggorok

dan memiliki gambaran yang sama dengan streptokokus grup A.2 Identifikasi langsung

secara mikroskopis dari Streptokokus ini sangat membantu terutama pada spesimen dari

lokasi steril, seperti cairan serebrospinal.3 Streptokokus dapat menjadi Gram negatif oleh karena organisme yang tidak dapat bertahan hidup lama serta menjadi kehilangan

kemampuannya untuk menahan zat warna ungu kristal.2

4.3 Kultur dan Identifikasi Biokimia

Spesimen yang diduga mengandung streptokokus diinkubasi pada media agar darah

dalam suasana inkubasi dengan 10% CO2 untuk mempercepat hemolisis. Kultur darah akan

menumbuhkan streptokokus grup A dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Sedangkan

beberapa streptokokus hemolisis α dan enterokokus dapat tumbuh lebih lambat. Jenis dan

tingkatan dari hemolisis serta gambaran koloni dapat membantu menempatkan organisme

kedalam grupnya secara defenitif.2 Bakteri streptokokus membutuhkan bahan pertumbuhan untuk organisme fastidius. Antibiotik (seperti trimethoprim-sulfamethoazole) dapat

ditambahkan pada media agar darah untuk menekan pertumbuhan flora mulut.5

S.pyogenes dapat diidentifikasi dengan uji cepat yang spesifik untuk melihat

keberadaan antigen spesifik grup A dan juga melalui uji PYR. Sebagai metode identifikasi

presumtif untuk streptokokus grup A dapat dilakukan uji penghambatan pertumbuhan oleh

basitrasin (tabel 4).2 S.pyogenes dapat diidentifikasi dengan melihat suseptibilitasnya terhadap basitrasin. Melalui metode ini, cakram kertas yang mengandung 0,04 unit

basitrasin diletakkan pada permukaan media agar darah yang sebelumnya telah disemai

dengan organisme yang akan diidentifikasi. Setelah diinkubasi selama satu malam, adanya

(10)

Diferensiasi dari S. pyogenes dari S. anginosus dan streptokokus hemolisis β yang lain

secara cepat adalah melalui keberadaan enzim L-pyrrolidonyl arylamidase (PYR). Enzim ini

menghidrolisis L-pyrrolindonyl-β-naphtylamide, melepaskan β-naphtylamine yang akan

terdeteksi dengan adanya p-dimethylaminocinnamaldehyde yang membentuk senyawa

berwarna merah.5

4.4 Deteksi Antigen

Streptokokus secara defenitif diidentifikasi berdasarkan karbohidrat spesifik grup

melalui uji deteksi antigen langsung.5 Berbagi macam tes imunologi yang menggunakan

antibodi yang akan bereaksi dengan karbohidrat spesifik grup pada dinding sel bakteri dapat

digunakan untuk mendeteksi streptokokus grup A secara langsung dari usap tenggorokan.2,3,5

Tes ini menggunakan metode kimiawi atau enzimatik untuk mengekstraksi antigen dari swab,

kemudian menggunakan enzyme immunoassay (EIA) atau uji aglutinasi dari partikel lateks

untuk melihat keberadaan antigen.2,5 Ekstrasi antigen dari spesimen menggunakan nitrous acid atau pronase selama 5 menit.5 Uji ini dapat diselesaikan dalam beberapa menit atau

beberapa jam sejak spesimen didapat, dengan sensitifitas 60-90% dan spesifisitas 98-99%

jika dibanding dengan metode kultur.2 Metode deteksi langsung S. pyogenes dari spesimen dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dapat diperoleh melalui pemeriksaan dengan

probe asam nukleat.5 4.5 Deteksi Antibodi

Pasien yang mengalami infeksi S. pyogenes memproduksi antibodi terhadap banyak

enzim yang spesifik.2,5 Diantaranya antistreptolisin O (ASO), khususnya untik infeksi di saluran nafas, anti-DNase, dan antihialurodinase pada infeksi kulit, antistreptokinase,

antibodi anti M spesifik. Meskipun antibodi terhadap protein M diproduksi dan penting untuk

mempertahankan imunitas, namun antibodi ini munculnya lambat dalam perjalanan penyakit

dan bersifat spesifik. Sebaliknya pengukuran antibodi terhadap Streptolysin O (uji ASO)

bermanfaat untuk mengkonfirmasi kondisi demam rematik atau glomerulonefritis akut yang

dihasilkan dari infeksi faring oleh streptokokus yang baru dialami. Antibodi ini muncul 3-4

minggu setelah paparan awal organisme dan kemudian menetap, namun peningkatan titer

ASO ini tidak dijumpai pada pasien dengan pyoderma. Produksi antibodi yang lain terhadap

enzim streptokokus, khususnya DNase B telah dilaporkan pada pasien dengan faringitis

maupun pyoderma oleh streptokokus. Uji anti-DNase B sebaiknya dilakukan jika ada

(11)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sharma S, Harding G: Strepcoccus Group A Infection, 1996.

Available at http://www.emedicine.com/med/TOPIC2184.HTM. Juni

03. 2009

2. Jawetz, Melnick, Adelberg. Medical Microbiologi. 24 th ed. Mc Graw-Hill, 2005. p :

233-39

3. Murray PR (ed in chief). Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. ASM Press. 2007. p :

412-29

4. Willey J, Sherwood L, Woolverton C. Microbiology Prescott, Harley, and Klein’s. 7th

ed. McGraw-Hill. 2008. p : 125-30

5. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. Medical Microbiology. 5 th ed. Elsevier Mosby.

2005. p : 237-46

6. Mandell GL, Bennett JE, Dolin R. Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and

Practise of Infectious Diseases. 6th ed. Elsevier Churchill Livingstone. 2005. p : 2364-87

7. Cappuccino JG, Sherman N. Microbiology : A Laboratory Manual. 8 th ed. Pearson

International Edition. 2008. p : 452-3

8. Wilson WR, Sande MA (ed). Current Diagnosis & Treatment in Infectious Diseases.

Referensi

Dokumen terkait

Maka dikeluarkanlah suatu kebijakan mengenai pengelolaan dan pembinaan pendidikan Islam yang dikenal dengan SKB 2 Menteri yakni Menteri Agama dan Menteri Pendidikan

Tabel 1.4 Rasio Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak dalam Melaporkan

Pelaksana Seksi Pemeriksaan membuat Konsep Surat Usulan Pemeriksaan Khusus berdasarkan Berita Acara Hasil Pembahasan Tim Asistensi Analisis Risiko dalam Rangka Usulan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prosedur model pembelajaran kooperatif adalah (1) guru harus menjelaskan tujuan pembelajaran terlebih dahulu,

Pada Kelurahan Rangga Mekar yang akan dibangun area perumahan, dilakukan uji infiltrasi menggunakan infiltrometer cincin ganda dengan acuan SNI: 7752:2012 dan analisis

a) Sebagai bahan referensi untuk membuat model pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan metoda pengomposan di daerah lain, dan membantu memecahkan atau

Pada dasarnya spiral classifier  spiral classifier   ini merupakan suatu mesin yang   ini merupakan suatu mesin yang utamanya digunakan untuk mengklasifikasikan slimes

Kabala herkese açıktır. Maneviyata erişmek için, kendini gerçekten ıslah etmek isteyen kişiler içindir. İhtiyaç, kendini ıslah etme şeklindeki ruhun dürtüsünden gelir.