• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum dan Kearifan Lokal docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum dan Kearifan Lokal docx"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

(2)

suatu keharusan bagi pria dan wanita itu mencari pasangan di luar klenya dengan pemeberian barang yang bersifat religio magis,wanita dilepaskann dari ikatan klennya dan dimasukan ke dalam klen suaminya dan selanjutnya berhak,berkewajiban dan bertugas dilingkungan keluarga suami.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah kaitan antara hukum adat dengan hukum positif terutama tentang perkawinan?

Apakah wujud Kearifan local dalam perkawinan Mentawai?

1.3 Tujuan

(3)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Perkawinan adat Masyarakat Mentawai TRADISI PERNIKAHAN

Di Siberut, pernikahan resmi memerlukan kesiapan pihak lelaki. Lelaki dimintai pertanggung-jawaban yang cukup berat untuk kelangsungan hidup calon istrinya. Pihak lelaki mesti membayar mahar yang bernilai tinggi. Hubungan muda-mudi sebagai pasangan rumah tangga dapat diterima secara sosial dalam “hubungan rusuk”, yaitu suatu perkawinan yang belum diresmikan adat. Kedua muda-mudi pasangan rumah tangga harus mendirikan rumah secara sederhana, sementara si suami berusaha mencari nafkah yang lebih baik dan kesiapan materi yang lebih memadai.

Jika pihak laki-laki dipandang telah cukup mampu bertanggung-jawab secara materi dengan kepemilikan atas ladang, peralatan rumah tangga, pohon sagu dan babi, maka perkawinan bisa langsung diresmikan secara adat. Sejak itu mereka diakui sebagai pasangan yang “dewasa” secara sosial. Ini adalah tanda bahwa pasangan muda tersebut masuk dalam sistem sosial, masuk ke dalam kebersamaan adat. Hubungan ini disebut hubungan lalep. Mereka bisa tinggal di uma ayah si suami atau bila dia cukup mampu mendirikan rumah sendiri yang disebut rumah lalep. Seseorang akan menjadi terhormat kedudukannya jika dia telah tinggal di rumah lalep, yang berarti pernikahannya telah diresmikan adat.

(4)

Mentawai lebih dikenal kental sistem adat istiadatnnya dari Siberut yang kemudian berkembang hingga ke Sipora dan pulau Pagai Utara dan Selatan. Sistem perkawinan di Mentawai adalah menganut sistem patrilinial atau garis turunan ayah (bapak) dan perkawinan menganut sistem eksogami, yaitu seseorang diharuskan kawin di luar suku keluarganya (keluarga clan). Proses perkawinan di Mentawai, terutama di Siberut sangat kuat adat istiadat dan terkesan banyak sanksi. Proses pacaran dan sanksi seseorang pria yang ketahuan mengirim surat kepada kekasihnya perempuan, maka laki-laki tersebut mendapatkan sanksi denda yang rata-rata setiap daerah adalah 1 buah parang (untuk peralatan ke ladang) dan atau seekor ayam, sedangkan ketahuan mendatangi rumah perempuan secara diam-diam (niat pacaran) baik pacar gadis maupun janda dan memacari istri orang (zinah) maka akan dapat sanksi denda atau dikenal istilah tulou yang nilainya bervariasi sesuai dengan tempo dan locus delicty. Selain dikenakan denda karena mendatangi rumah pacar/ selingkuhan, bila akibat ketahuan mendatangi rumah perempuan tersebut dalam tempo waktu dekat kehilangan ternak pihak perempuan, maka si laki-laki juga dikenakan sanksi denda /tulou mengganti kehilangan ternak tersebut karena dianggap menodai rumah pihak keluarga si perempuan.

Upacara pernikahan masyarakat Mentawai tidak dilaksanakan di Mesjid atau Gereja, tapi mereka melakukan pernikahan di Uma (rumah adat suku Mentawai) dan yang bertindak sebagai wali adalah Kepala Suku. Acara dilakukan selama 5 hari 5 malam. Untuk acara pinang meminang, yang datang ke rumah si perempuan bukan calon suaminya melainkan kakak perempuan dari calon suaminya tersebut. Misalnya, jika kakak perempuan si laki-laki datang ke rumah perempuan membawa kain sebagai tanda meminang dan si perempuan telah menerima kain tersebut maka baik perempuan atau laki-laki tidak boleh lagi “main-main”, maksudnya keduanya tidak boleh selingkuh. Jika melanggar maka akan dikenai sanksi, misalnya denda sebuah ladang.

(5)

Sedangkan proses pelamaran dan sanksi, untuk dimulainya pertunangan kepada pihak keluarga perempuan, pria tidak boleh mendatangi rumah si perempuan akan tetapi pihak orang tualah yang berunding untuk menetapkan jadwal pelamaran untuk memutuskan pertunangan. Selama proses pertunangan, pasangan kekasih (laki-laki dan perempuan) tidak boleh dibolehkan bertemu berduaan baik itu untuk ngobrol maupun mengantar cucian, rantangan/masakan makanan maupun yang lain-lain kecuali ada salah satu pihak keluarga. Dan bila ternyata keduanya terbukti oleh warga melakukan pertemuan berdua walaupun tidak melakukan hubungan di luar kewajaran, maka mendapatkan sanksi sosial yaitu tidak dinikahkan/ dikawinkan secara agama di gereja / mesjid akan tetapi dinikahkan secara agama di rumah mempelai. Hal ini dianggap telah menodai sosial masyarakat dalam lingkungan perkampungan

Seminggu setelah acara meminang mereka akan melangsungkan pernikahan di gereja atau mesjid. Beberapa hari setelah itu diadakanlah punen (acara), setelah itu barulah pasangan tersebut boleh sekamar. Satu atau dua bulan setelah itu ada lagi acara yang dinamakan acara pembelian. Pihak perempuan akan mendatangi pihak laki-laki untuk membicarakan pembelian. Demi menjaga keamanan, ditunjuklah satu wali dari pihak perempuan karena kedua belah pihak tidak boleh saling berhadapan. Setelah disepakati, pihak perempuan datang mengambil barang dan kemudian oleh orang tua diberi nasehat-nasehat. Kemudian diadakanlah acara Pangurei yaitu acara adat dimana kedua suami istri memakai pakaian adat atau disebut juga pesta pernikahan dan pihak perempuan yang menyiapkan pesta. Setelah 2-3 hari pihak laki-laki datang ke rumah perempuan untuk mengantarkan pakaian yang dipakai saat Pangurei. Kegiatan ini disebut Parurut mungu. Beberapa hari setelah itu mereka pulang ke rumah laki-laki.

(6)

rujuk dan masing-masing dari mereka boleh menikah lagi. Laki-laki boleh miliki istri lebih dari satu orang tergantung kesanggupannya.

Setelah dilakukannya akad nikah baik di gereja / mesjid dan atau di rumah bagi yang mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat akibat ketahuan berduaan / pertemuan berdua, maka beberapa waktu kemudian sepersukuan (marga) keluarga perempuan melakukan rembuk di dalam internal persukuannya untuk hitung-hitungan ternak masing-masing untuk persiapan mempestakan anak perempuan dan suaminya. Lama waktu setelah perkawinan tidak ditentukan secara pasti akan tetapi menjadi motivasi dan harga diri, lebih cepat lebih baik agar tidak dianggap pihak keluarga perempuan tidak punya apa-apa (ternak). Soal nilainya perawan di Mentawai terutama di Pulau Siberut, sangat penting dan akan menjadi persoalan adat secara serius bila nanti ternyata pada saat malam pertama, istri tidak lagi perawan (kecuali saat mau nikah/kawin keduanya berterus terang dan saling menerima). Bila keperawanan ternyata sudah tidak ada, atau sudah berzinah dengan lelaki lain sebelumnya, maka dianggap telah melakukan kebohongan dan oleh karena itu pihak laki-laki dapat meminta kembali mas kawin (barang yang dijadikan sebagai alat bayar) dari pihak perempuan

(7)

punu alaket.Dengan demikian dapat dipahami bahwa fungsi pertukaran harta benda dalam perkawinan adalah untuk memperkuat hubungan baik antara kedua kelompok kerabat,karena sebagaimana diketahui perkawinan antara dua orang individu bukanlah semata mata urusan kedua individu.

Penetapan jumlah dan bentuk ala toga biasanya dilakukan selang beberapa saat setelah peminangan diterima.Ada juga sebagian anggota masyarakat yang membuat kesepakatan bahwa pembicaraan mengenai ala toga baru akan dilakukan pada hari lain( misalnya dua hari,tiga hari,atau seminngu) setelah acara lamaran.Pembicaraan(patiboat) mengenai ala toga biasanya akan berlangsung lama,karena masing masing pihak dalam pertemuan itu akan mendapata giliran untuk mengemukakan pendapatnya.Pihak penerima ala toga (pihak pemberi gadis) akan mengajukan perminataan berupa sejumlah harta,baik barang bergerak maupun barang tetap.Bila jumlah ala toga yang diminta dianggap besar dan memberatkan,maka pihak pria akan mengajukan penawaran sesuai kondisi dan kemampuan ekonominya.

Bentuk Ala toga yang dimaksud antara lain:

1. Babi sebanyak 5 ekor ( 3 ekor induk dan 2 ekor anak)

2. Durian,4-7 batang,2 batang di lokasi/lading dekat kampung dan sisanya boleh di lading lain yang jauh dari kampung.bagaimana bentuk atau kualitas batang durian juga ditentukan oleh penerima ala toga.

3. Sagu 1 rumpun

4. Kelapa 1 batang

2.2 Hukum Perkawinan Adat

(8)

penerus agar supaya kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara adat.

Di dalam perkawinan hukum adat terdapat 3 sistem yaitu:

1. Sistem Endogami

Yaitu suatu sistim perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang melakukan perkawinan dengan seorang dari suku keluarganya sendiri.

2. Sistem Eksogami

Yaitu suatu sistim perkawinan yang mengharuskan seseorang melakukan perkawina dengan seorang dari luar suku keluarganya.

3. Sistem Eleutherpgami

Yatu sistim perkawinan yang tidak mengenal larangan atau keharusan seperti halnya dalam sistim endogami ataupun eksogami.

Di dalam hukum adat juga terdapat asas -asas yang mengatur perkawinan,asas – asas yang dimaksud adalah:

1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.

2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat

3. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota keluarga dan anggota kerabat.Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui masyarakat adat

(9)

5. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudkan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.

Bentuk Bentuk dari perkawinan hukum adat:

1. Perkawinan Pinang

Yaitu bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan perkawinan dilaksanakan dengan cara meminang atau melamar. Pinangan pada umumnya dari pihak pria kepada wanita untuk menjalin perkawinan.

2. Perkawinan Lari Bersama

Yaitu perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak untuk enghindarkan diri berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan mereka berdua lari kesuatu tempat untuk melangsungkan perkawinan.

3. Kawin Bawa Lari

Yaitu bentuk perkawinan dimana seorang laki- laki melarikan seorang wanita secara paksa.

Berdasarkan atas tata susunan kekerabatan perkawinan dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu :

1. Bentuk Perkawinan Patrilineal

Perkawinan jujur

Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan jujur. Oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, sebagai lambang diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang tua, kerabat, dan persekutuannya.

(10)

Yaitu perkawinan yang disebabkan karena pihak pria tidak dapat memenuhi syarat -syarat dari pihak wanita

Perkawinan Mengganti

Yaitu perkawinan antara seorang janda dengan saudara laki laki almarhum suaminya

Perkawinan Meneruskan

Yaitu bentuk perkawinan seorang duda dengan saudara perempuan almarhum istrinya.

2. Bentuk Perkawinan Matrilineal

Yaitu Sistem perkawinan dimana diatur menurut tertib garis ibu,sehingga setelah dilangsungkan perkawinan si istri tetap tinggal dalam clannya matrilineal

3. Bentuk Perkawinan Parental

Yaitu bentuk perkawinan yang mengkiatkan bahwa pihak suami maupun pihak istri,masing masing menjadi anggota kerabat dari kedua belah pihak.Demikian juga anak anak yang lahir kelak dan seterusnya

2.3 Hubungan Dengan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(11)

perkawinan,perjanjian perkawinan,hak dan kewajiban suami isteri,harta benda dalam perkawinan,putusnya perkawinan serta akibatnya,kedudukan anak,perwalian,Ketentuan lain dan Ketentuan Penutup.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Dalam hukum adat perkawinan yang dilakukan oleh kedua pihak mempelai biasanya atas dasar perjodohan yang ditentukan oleh orang tua dari masing-masing anak. Perkawinan semacam ini sudah dilakukan oleh para pendahulu turun temurun sampai sekarang (dibeberapa tempat yang masih kuat hukum adatnya). Filosofinya adalah perkawinan tersebut tidak hanya menghubungkan dua manusia saja, akan tetapi persatuan dua keluarga dan mengeratkan hubungan.

(12)

menentukan batasan umur minimal 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Sehingga dari pasal tersebut bisa kita lihat bahwa hukum positif tidak memperbolehkan perkawinan di bawah umur minimal. Hukum positif mengatur hal tersebut mengharapkan agar orang yang akan menikah sudah memiliki kematangan dalam menghadapi kehidupan, sehingga tidak terjadi penyesalan di akhir kemudian seperti perceraian.

Akan tetapi, perkawinan adat tetap bisa dijalankan meskipun terpaksa karena UU No. 1 Tahun 1974 masih memungkinkan akan terjadi penyimpangan. Melihat pada saat ini cara pikir masyarakat Indonesia yang melakukan penyimpangan-penyimpangan karena salah mengadopsi pemikiran-pemikiran yang glamour. Maka dari itu dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, bagi yang ingin melakukan perkawinan (adat) dibawah umur pengadilan memberikan dispensasi.

Adat seperti ini akan banyak kita temui saat ini di daerah pedalaman-pedalaman yang masih belum tersentuh modernisasi. Dan dapat dilihat hasilnya, minim pengetahuan namun memiliki kekuatan budaya yang kuat sehingga kehidupan yang dijalani tidak seperti orang modern yang cerai-cerai semakin marak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang ada sebenarnya adalah demi kemaslahatan langgengnya sebuah perkawinan, artinya pengkondisian yang ada di hukum adat merupakan dasar-dasar yang meminimkan masalah yang akan timbul di kemudian hari.

3.2 Saran

1. Diharapkan pemerintah dalam memrumuskan ketentuan mengenai perkawinan juga memperhatikan perkembangan kerafan local setiap wilayah.

(13)

3. diharapkan adanya upaya pemerintah dalam memenuhi ketentuan UUD 1945 yaitu pasal 18 b yang mengatur tentang hak-hak masyarakat hukum adat.

DAFTAR PUSTAKA

http://retpository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1615/3/07000691.tpdf.txt

http://bloghukumumum.blogstpot.sg/2010/04/tpeggeriag-tperkaiigag-megurut-ugdagg.html

http://iii.tpuailiggoubat.com/arikel/478/sistem-tperkaiigag-adat-di-mayoritas-ketpulauag-megtaiai.html

http://serlagia.blogstpot.sg/2012/01/hukum-tperkaiigag-adat.html

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan rata-rata responden dari hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh responden yang diambil dari TNLL pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada

Dengan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang DKV, dengan ini saya memberikan karya tugas akhir yang berjudul PERANCANGAN BUKU ENSIKLOPEDIA TANAMAN

Strategi yang digunakan untuk mempersuasi menggunakan media-media yang dapat memberi informasi dari bahaya softlens tersebut agar pesan dapat tersampaikan pada masyarakat sehingga

Pengaruh Budaya Organisasi, Komitmen Organisasi, Kompetensi Terhadap Kinerja Aparat Pemerintah Daerah Melalui Good Governance Sebagai Variabel Moderasi (Studi Empiris

Penyakit mental yang diderita oleh pemeran tokoh utama dalam film tersebut, dalam kehidupan nyata dikenal dengan Pseudobulbar affect (PBA), yaitu penyakit

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan: 1) Program peningkatan kualitas kinerja guru yang dibuat kepala sekolah di SMP Negeri 1 Mantingan

Request “HELP” untuk mengetahui informasi format SMS yang bisa dikirimkan ke server Aplikasi SMS Gateway Pelayanan wali murid pada SMPN 2 Airgegas, yang kemudian

Pasien mengharapkan bahwa dokter dapat respek, penuh perhatian dan terbuka untuk menerima atau mendengarkan apa yang dirasakan pasien, dari segi provider , diperlukannya