• Tidak ada hasil yang ditemukan

2017 Musik Indie Tidak Bisa jadi Pahlaw

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "2017 Musik Indie Tidak Bisa jadi Pahlaw"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnalruang.com

https://jurnalruang.com/read/1508571384-musik-indie-tidak-bisa-jadi-pahlawan

Musik Indie Tidak Bisa jadi Pahlawan

oleh Ferdhi F Putra

20 Oktober 2017 | Durasi: 7 Menit

Akhir dekade 1990-an adalah momen krusial bagi Indonesia. Suharto tumbang setelah 32 tahun bercokol sebagai penguasa tunggal, dan Indonesia memasuki fase transisi menuju demokrasi. Dalam banyak narasi sejarah mengenai periode tersebut, anak muda –

terutama mahasiswa – kerap disebut sebagai biangnya. Sebagaimana periode 1965-66, mahasiswa angkatan 1998 juga memainkan peranan penting dalam proses peralihan kekuasaan. Bedanya, pada ‘98, ada kelompok anak muda lain yang dianggap turut berperan melengserkan Suharto. Mereka adalah para penikmat musik underground.

Esai etnomusikolog asal Amerika Serikat, Jeremy Wallach yang berjudul Underground Rock Music: And Democratization in Indonesia (2005) menyuratkan itu. Secara

sederhana, Wallach mengajukan bahwa scene musik underground turut berperan dalam perubahan sosial pada tahun-tahun tersebut. Sebagai gerakan kebudayaan, musik populer — termasuk musik underground atau independen — memainkan peranan lain di luar Politik (dengan ‘P’ besar) selama kurun waktu krisis.

Scene inilah yang turut mempengaruhi perspektif anak muda, terutama yang bergiat dalam scene, agar mau ikut ambil pusing dalam urusan politik (dengan ‘p’ kecil). Bangkitnya kesadaran politik anak muda ini, tulis Wallach, terhitung penting setelah bertahun-tahun lamanya anak muda dijauhkan dari politik melalui berbagai kebijakan Orde Baru – mulai dari NKK/BKK hingga pelarangan rambut gondrong.

(2)

Membaca selintas sejarah scene underground — termasuk punk — di Indonesia, kita akan menemukan banyak kisah mengenai bagaimana scene ini berdinamika pada senjakala hingga pasca kejatuhan Orde Baru. Di Bandung, misalnya komunitas-komunitas punk membentuk Front Anti Fasis (FAF) dan berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD), organisasi yang radikal pada masanya. Tidak hanya mengorganisir komunitas, ‘anak-anak punk’ ini terlibat dalam aksi politik kelompok lain, seperti aksi solidaritas pada Hari Buruh Internasional tahun 1997.

Pola serupa terjadi di Jakarta. Dalam tesisnya, Fathun Karib mencatat bahwa komunitas punk Jakarta terlibat dalam aktivitas politik seiring dengan memanasnya situasi nasional kala itu. Seperti di Bandung, komunitas punk Jakarta juga bergabung dengan PRD. Masih menurut Karib, pada masa itu PRD memang sengaja merekrut anak muda dari kelompok-kelompok punk di seluruh Indonesia. Meski sebetulnya, kecuali kasus Jakarta dan

Bandung, saya belum menemukan literatur yang memperkuat kesimpulan itu.

Artinya, selain melalui gerakan kebudayaan seperti musik, konser, dan zine, sebagian anak punk atau scenester underground juga terlibat dalam gerakan politik. Hanya saja, tak banyak literatur yang menyorot keterlibatan punk dalam politik. Beberapa penelitian justru memberi panggung pada estetika musik underground semata, alih-alih politik. (Wallach 2003 & 2005, Martin-Iverson 2007 & 2014).

****

Dari sekian banyak produk budaya musik underground, lirik

lagu-lagu underground memang kerap jadi favorit bagi para peneliti untuk membuktikan keberpihakan suatu subyek terhadap isu tertentu. Singkatnya, ia mudah diteliti. Wallach (2005), misalnya, mengambil contoh lirik band Death Metal bernama Slowdeath yang dianggapnya sangat tajam: “There’s no difference between Dutch Colonialism and the New Order! (Tak ada bedanya kolonialisme Belanda dan Orde Baru)”.

Bukan sekadar liriknya yang bikin Wallach terkesima. Lirik tersebut, yang diambil dari lagu berjudul The Pain Remains the Same, ditulis dan dinyanyikan di masa ketika Suharto masih berjaya. Tak banyak musisi – kalaupun ada – yang berani seterang-terangan itu mengkritik Orba ketika ia masih berkuasa.

(3)

Salah satu eksponen gerakan ‘98 yang juga saksi hidup musik underground dan gerakan sosial di Bandung, Herry ‘Ucok’ Sutresna, meyakini bahwa musik tidak seperkasa itu. “Saya tidak percaya musik bisa berbicara banyak di gerakan sosial,” kata Ucok

ketika diwawancarai Jurnal Ruang. “Kalau lu mau bikin gerakan sosial, terlibatlah. Turun dan organisir bersama masyarakat. Di luar itu, enggak ada hal lain. Para petani itu tidak akan tergerak untuk mereklaim lahan hanya karena mereka mendengar lagu lu.”

Pun pada kenyataannya, di Indonesia, lagu-lagu dengan lirik politis tidak serta merta menumbuhkan kesadaran politik para scenester underground. Salah satu buktinya, lirik-lirik bernada pembangkangan milik Sex Pistols, Crass, Black Flag atau Dead Kennedys, tidak berpengaruh apapun bagi Generasi Pertama Punk Jakarta. Kesadaran politik mereka baru tumbuh melalui zine seperti Profane Existence dan Maximum Rock N Roll, dan – ini kuncinya – infiltrasi organisasi politik seperti PRD (Karib, 2007).

Itulah mengapa meski hampir setiap produk lirik dari musik underground berisi nada-nada perlawanan nan politis, tidak semua scenester memiliki keinginan untuk berpolitik.

Yang Politis dan Apolitis

Sejatinya, perbedaan pilihan politik adalah kenyataan sosial yang tidak hanya terjadi di ranah underground. Ia terjadi di hampir setiap lapisan masyarakat. Tentu kita tidak membayangkan bahwa scene underground memiliki suara politik yang seragam – toh mereka bukan Orba. Tapi dalam konteks ini, pilihan politik sangat berimplikasi pada bagaimana kita melihat scene underground dan perannya dalam perubahan sosial. Perbedaan pilihan politik ini, hemat saya, mestinya menjadi aspek yang penting

digarisbawahi bila ingin melihat seberapa besar pengaruh scene underground terhadap perubahan sosial-politik. Sebab, di Jakarta dan Bandung misalnya, keberadaan punk politis diimbangi oleh keberadaan punk yang secara terang-terangan menolak politik.

Dalam risetnya, Fransiska Titiwening (2001; dalam Karib 2007) menemukan, perseteruan antara punk politis (anarcho-punk) dengan punk apolitis (street-punk) begitu mewarnai perjalanan komunitas punk Jakarta. Meski tidak ada konfrontasi fisik antara keduanya — beritahu saya jika ada — garis demarkasi ‘ideologis’-nya cukup jelas. Punk politis

melihat bahwa keterlibatan dalam politik (bukan ‘P’ besar, artinya politik di sini

dimaknai secara lebih luas) adalah sesuatu yang penting. Di masa-masa bergejolak, tidak sedikit scenester yang ikut mengorganisir massa, beradu batu dan molotov dengan aparat di jalanan, mengokupasi gedung radio milik pemerintah — laiknya Cakrabirawa pada 1 Oktober ‘65, hingga diculik dan disiksa oleh aparat (Yunus, 2004).

Sementara di sisi lain, punk apolitis melihat bahwa politik adalah omong kosong belaka. Tentu mereka tidak mempersetankan politik. Tapi, mereka cenderung enggan

(4)

Di Bandung, Resmi Setia (2001; dalam Martin-Iverson, 2014) dalam studinya menemukan pola yang hampir serupa. Ada perbedaan yang cukup besar di salah satu tongkrongan punk di Bandung; antara scenester lawas dari kelas menengah yang punya komitmen kuat terhadap musik dan politik, dengan kelompok baru yang terdiri dari anak-anak jalanan kelas bawah yang hanya tertarik pada fashion dan gaya hidup ala punk.

Ini persoalan nyata yang masih bertahan sejak era awal punk di Indonesia hingga Pemilihan Presiden 2014 — dan mungkin pemilu-pemilu selanjutnya. Ada dua esai menarik dari Herry Sutresna yang berjudul Making Punk A Threat Again dan Rosemary, Punk Rock dan Endorsment Polisi: Garis Tipis antara Naif dan Moron. Keduanya ditulis berdasarkan peristiwa di lapangan, yang menurut saya mampu memperlihatkan anomali punk di Indonesia; bagaimana pilihan untuk menjadi politis atau apolitis akan sangat berdampak pada situasi kultural dan politik, bahkan dalam scene itu sendiri. Ini tidak hanya terjadi di scene punk, tapi juga di scene underground lain seperti metal, hip hop, dan alternatif — omong-omong, ini klasifikasi underground menurut Wallach.

Sejarah yang Berulang

Apa yang terjadi pada anak muda di senjakala kekuasaan Suharto, menurut saya, tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di penghujung kekuasaan Sukarno. Pada tahun 1965, 1998, serta fase setelah ’65 dan ’98, anak muda – terutama yang menyukai musik non-mainstream – hanya sedang merayakan kebebasannya tanpa memiliki kecenderungan politik apapun.

Seperti yang Wallach kutip dari pernyataan Yukie (Pas Band), “underground rock movement di Indonesia adalah bukti bahwa pemuda Indonesia sedang menentukan pilihannya sendiri,” (Wallach, 2005). Atau simak kesaksian Munif Bahasuan ketika diminta menggambarkan masa-masa pasca kejatuhan Sukarno: “Jujur saja, setelah Pak Harto berkuasa, semuanya jadi lebih terbuka. Kami merasakan masa-masa penuh kebebasan.”

Tentu saja kita bisa memaknai kedua pernyataan tersebut sebagai pilihan politik — toh saya meyakini kebebasan individual adalah tindakan politik. Tapi, apakah ini berdampak pada Politik (huruf ‘P’ besar) pada skala yang lebih besar? Belum tentu.

Ketika Orba membuka diri terhadap pengaruh Barat, termasuk budaya, para ‘pemuda’ berbondong-bondong mengadopsi gaya hidup ala Barat, lebih spesifik lagi

budaya hippies. Jika di Amerika Serikat hippies melakukan pembangkangan budaya sekaligus politik, tidak demikian di Indonesia. Aria Wiratma dalam Dilarang

(5)

Sejarah membuktikan, meruaknya kebebasan di setiap transisi tidak melulu bermakna politis. Ini hanya gejala industri budaya, yang membuat semangat perlawanan

dalam hippies maupun gerakan underground beralihrupa menjadi komoditas belaka. Tak ada yang politis, kecuali kecenderungan untuk bebas mengonsumsi segala tetek bengek dari ‘budaya perlawanan’, tanpa peduli dengan perlawanan itu sendiri.

Dalam Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Dominic Strinati menyebut bahwa, “industri budaya telah membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keinginan atas

kebutuhan-kebutuhan palsu.” Boleh dikatakan, kebutuhan akan perubahan sistemik kondisi sosial-politik, disederhanakan menjadi perkara kebebasan

berekspresi/menentukan pilihan sendiri belaka; menjadi perkara kebebasan memilih benda-benda atau gaya hidup ‘pembangkang’ yang sebetulnya sama sekali tidak menyentuh bagian yang substansial. Atau dalam bahasa Strinati, “mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan riil, konsep-konsep alternatif dan radikal, serta cara-cara berpikir dan bertindak oposisional politis.”

****

Apa yang kemudian terjadi pasca-Orba tumbang? Dalam wawancara dengan Jurnal Ruang, Wallach memberikan pandangan yang lebih jelas: “Mungkin, anak-anak kelas menengah ini (para scenester underground) lelah. Setelah politis selama beberapa tahun, mereka mulai berpikir, ‘Kita sudah terlalu banyak bikin lagu anti-Suharto.’ Buat apa? Toh dia sudah lengser. Biarin aja, tinggal kita sekarang mau apa? Lantas, musik independen bergeser. Band yang sangat politis seperti Burgerkill dan Puppen disusul oleh band yang lebih eksperimental dan ‘nyeni’ seperti The Upstairs, White Shoes & The Couples

Company, dan Mocca.”

Sebetulnya tidak berhenti di situ. Pergeseran yang terjadi bukan cuma dari politis menjadi ‘nyeni’, tetapi juga dari segi komersil. Demokrasi pasar pasca-Orba telah mengakibatkan disorientasi wacana dan gerakan scene underground, menyamarkan musuh, dan yang paling penting, membuka peluang bagi setiap individu untuk semakin terlibat di sistem. Industri budaya memastikan kelompok-kelompok ini turut serta dalam sistem (Strinati, 2016).

Penelitian Martin-Iverson (2012) menemukan bahwa pada dekade 2000-an di

(6)

“Para pengikutnya aman secara finansial,” tulis Strinati. “bisa membeli banyak barang yang mereka inginkan; atau yang mereka pikir mereka inginkan, dan tak lagi memiliki alasan-alasan sadar untuk menghendaki tumbangnya kapitalisme dan menggantikannya dengan sebuah masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara.” Pada akhirnya semua pelaku di scene underground — yang politis maupun apolitis — menjadi betul-betul apolitis.

****

Dalam kesempatan diskusi di Jakarta beberapa waktu silam, ada satu pertanyaan menarik dari partisipan diskusi untuk Jeremy Wallach. Orang itu kira-kira bertanya: “Seberapa signifikan pengaruh musik populer bagi perubahan sosial, terutama pada periode '98?”

Wallach kemudian menjawab, "Kalau tidak ada pengaruhnya, Orba (mungkin) masih bertahan sampai sekarang."

Ada raut kekecewaan dari si penanya. Ia tidak puas. Demikian dengan saya. Selama beberapa waktu, pertanyaan orang itu juga membenak di kepala saya. Dan menurut saya, jawaban Wallach saat itu terlalu menyederhanakan. Entah memang itu jawaban yang ada di kepalanya, atau ia cuma sedang malas menjawab saja.

Kita bisa bersepakat bahwa setiap budaya tanding punya daya ubah. Tapi seberapa besar pengaruhnya? Bagaimana ia bekerja? Hingga level mana? Cukupkah lagu-lagu itu

‘menginspirasi’ massa — bukan cuma individu — untuk bergerak? Dan yang paling penting, apakah perubahan pada skala individu atau kelompok kecil dapat berpengaruh terhadap situasi yang lebih makro?

Tanpa ekosistem, sebuah elemen radikal – lirik lagu, misalnya – tidak akan berarti apa-apa. Sebuah laku budaya bisa dianggap memiliki daya ubah hanya apabila ia bekerja secara sistemik sehingga memengaruhi situasi yang lebih luas. Lebih jauh lagi, ia mampu menandingi ekosistem arus utama.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Mathelumual (2007) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas air tanah di suatu wilayah karena adanya pengaruh dari material (tanah dan batuan) yang

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi jenis spesies, komposisi botani, produksi biomasa dan kandungan nutriennya untuk melihat produktivitas dan kualitas hijauan

[r]

3 Landasan Bimbingan Konseling Islam 4 Latar balakang Bimbingan Konseling Islam 5 Subjek dan objek Bimbingan Konseling Islam 6 Ruang Lingkup Bimbingan Konseling Islam. 7

Saluran primer adalah saluran drainase yang menerima air dari saluran sekunder dan menyalurkannya ke badan air penerima. Dimensi saluran primer  tergantung pada

Software System for Educational Institute (ETAP) dinyatakan GAGAL ITEM karena tidak ada peserta yang memasukkan penawaran pada ITEM tersebut. Demikian pengumuman ini dibuat

Ada dua dimensi struktur lewis yang terdiri dari electron-dot simbol yang menggambarkan masig-masing atom yang berikatan dengan pasangan yang menahan mereka bersama-sama, dan

Sisi positif dari menonton televisi adalah bahwa di beberapa tayangan tertentu dapat menjadi sumber pelajaran yang membantu kita, terutama anak dan remaja untuk memahami dunia