• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Putusan No. 294/PID.SUS/2015/PN-Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Putusan No. 294/PID.SUS/2015/PN-Medan)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

(2)

penganiayaan ini di diamkan bagi korban penganiayaan. Tindak pidana penganiayaan ini tidak semua sama, dengan kata lain pada tindak pidana penganiyaan ini adanya tingkatan-tingakatan dalam penganiayaan yaitu mulai dari ringan, penganiayaan berat bahkan sampai menyebabkan kematian bagi korban tindak pidana penganiayaan tersebut.

Dalam kesempatan ini saya akan membahas mengenai tindak pidana penganiayaan.Dalam rumah tangga jelas memiliki anggota keluarga, yaitu suami, istri anak, dan bahkan individu lain yang masuk ataupun yang berkerja dalam rumah tangga termasuk dalam anggota keluarga, yang di sebut sebagai Pembantu Rumah Tangga. Pembantu rumah tangga atau biasa disebut PRT merupakan bagian penting dalam keluarga yang memiliki kesibukan di luar rumah sehingga membutuhkan tenaga bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Sehingga pekerjaan rumah di lakukan oleh Pembantu Rumah Tangga (PRT), seperti memasak, mencuci mengurus taman, mengentar jemput anak dll. Dalam pekerjaannya sering kali PRT perlakukan tidak layak yang di lakukan oleh majikannya bahkan teman sekerjanya, dengan berasalan pekerjaan yang di lakukan Pembantu Rumah Tangga atau korban tidak sesuai dengan harapan si majikan ataupun teman sekerjanya sehingga dalam hal ini seringnya terjadi penganiayaan yang dilakukan terhadap Pembantu Rumah tangga yang sebagai korban penganiayaan yang di lakukan majikan dan teman sekerjanya yang merupakan hal sepele.

(3)

tangga. Dalam berkehidupan bermasyarakat pekerjaan pembantu rumah tangga atau di sebut PRT sering kali di anggap sebuah pekerjaan rendah sehingga cara pandang masyarakat kepada pembantu rumah tangga adalah pekerjaan yang tidak patut untuk di jadikan sebuah pekerjaan. Tidak adanya kesetaraan yang terjadi dalam kemasyarakatan ini yang menyebabkan cideranya sebuah pekerjaan tersebut yang dimana pekerjaan tersebut adalah pekerjaan penting dalam sebuah Rumah tangga yang membutuhkan tenaga tambahan untuk mengurus sebuah rumah tangga.Dalam penganiayaan undang-undang tidak memberikan perumusan, namun menurut Yurisprudensi Pengadilan maka yang dinamakan penganiayaan adalah :

1. Menyebabkan luka-luka pada fisik

2. Menyebabkan korban merasakan sakit pada tubuhnya

3. Sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan) yang di alami korban

Sifat melawan hukum, unsur kesalahan yang dalam bahasa Belanda disebut dengan “schuld” juga merupakan unsur utama 2. Unsur dengan sengaja

disini harus meliputi tujuan menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Dengan pengertian si pelaku menghendaki akibat terjadinya suatu perbuatan. Kehendak atau tujuan disini harus di simpulkan dari sifat pada perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Penganiayaan-penganiayaan

2

(4)

yang di alami pembantu rumah tangga ini sering terjadi di area rumah yang tertutup dari pandangan-pandangan publik.

(5)

Engracia dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap Endang Murdianingsih.

Bahwa Anis Rahayu yang berasal dari Malang diperkerjakan sebagai pembantu rumah tangga di rumah H.Samsul Rahman sejak bulan September 2014, dimana Anis Rahayu dikirim oleh Yayasan Wijaya yang beralamat di jalan kebun Mangga Jakarta Barat ke rumah H.Samsul Rahman, Anis Rahayu di tugasi untuk mengurus anak-anak H.Samsul Rahman, namun bilamana dalam menjalankan tugasnya Anis Rahayu dianggap melakukan kesalahan Anis Rahayu sering mengalami penyiksaan yang dilaukan oleh Bibi Randika, kemudian oleh anak kandung majikan terdakwa yang bernama Muhammad Tariq Anwar Alias Pai, Feri Syahputra, Muhammad Hanafi Bahri, Zainal Abaidin Als Zahri dan oleh termasuk terdakwa di waktu-waktu yang berbeda, sehingga akibat penyiksaan-penyiksaan yang dialaminya, berdasarkan surat Visum et Repertum Nomor R/40/VER UM/XI/2014 tanggal 27 November 2014 yang dikeluarkan oleh RS Bhayangkara Medan dan ditandatangani oleh Dr Engracia dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap Anis Rahayu

(6)

Feri Syahputra, Muhammad Hanafi Bahri, Zainal Abaidin Als Zahri dan oleh termasuk terdakwa di waktu-waktu yang berbeda. Sehingga akibat dari penyikasaan-penyiksaan yang dialaminya, berdasarkan surat Visum et Repertum Nomor : R/41/VER UM/XI/2014 tanggal 27 November 2014 yang dikeluarkan oleh RS Bhayangkara Medan dan ditandatangani oleh Dr. Engracia dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap Anis Rahayu.

Dalam keterangan selanjutnya mereka, Endang Murdianingsih, Rukmiani dan Anis Rahayu kerap kali diberi makan dedak yang di campur dengan tulang ikan, Tidak tutup kemungkinan bahwa dengan penganiayaan yang telah dialaminya, kondisi psikologis korban juga akan terganggu karena adanya sebab-sebab tertentu. Pengaturan mengenai penganiayaan harus selalu mengacu pada hak asasi manusia karena rakyat menginginkan perlindungan atas Hak-haknya. 3

Perbuatan penganiayaan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan pidana.menurut wujudnya penganiayaan adalah perbuatan melawan hukum, perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Disini sebenarnya tidak hanya rakyat yang punya kepentingan akan tetapi pemerintah juga yaitu membuat masyarakat jadi sadar Hukum. Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada manusia, bersifat Universal dan langsung hal ini termasuk pula hak yang harus diperoleh oleh korban penganiayaan. Hak-hak termasuk pula hak yang harus diperoleh oleh Korban penganiayaan hak-hak para

3

(7)

korban ini harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, kurangi atau di rampas oleh siapapun. Hal ini juga harus menjadi pemikiran khusus dari sekian banyak alasan mengapa pengaturan dan perlindungan hukum terhadap pelaku penganiayaan harus dijaga dan dibuktikan pelaksanaannya tanpa memandang status korban. Secara umum tindak pidana kejahatan tubuh pada KUHP disebut, penganiayaan bila ditelusuri dari pengertiannya, maka penganiayaan merupakan serangkaian tindak dengan kekerasan yang bisa mengakibatkan korban mendapat beragam penderitaan yang menimpa fisik korban walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa dengan penganiayaan yang telah dialaminya, kondisi psikologis korban juga akan terganggu karena adanya sebab-sebab tertentu. 4 Perbuatan penganiayaan sendiri merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Ini bisa dilihat berdasarkan Undang-undang RI No.39 Tahun 1999 pasal 1 angka 6 tentang Hak asasi Manusia yaitu ;

“Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang djamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang belaku”.

Selain itu, ada peraturan pada pasal 33 ayat (1) yang berbunyi :5

“Selain orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam tidak manusiawi merendahkan derajat dan martabat kemanusiannya”

4

UU No.39 Tahun 1999 Pasal 1 angka 6, hal 3

5

(8)

Dari penjelasan pasal di atas dapat dsimpulkan bahwa penganiayaan merupakan suatu bentuk kejahatan yang sangat diperhatikan oleh hukum, karena pelanggaran ini sangat rentan terjadi dikalangan masyarakat, bahkan hampir setiap hari media masa maupun elektronik terisi oleh kejadian-kejadian tersebut.

Bahwa kita lebih melihat lebih jauh sistemisasi dalam KUHP yang mengenai penganiayaan yang berakibat luka berat terdiri dari :

 Penganiayaan berdasarkan pasal 351 KUHP adalah :6

1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima Tahun.

3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pada ruang lingkup ini, putusan ini juga masuk pada ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga, dimana pekerja rumah tangga merupakan bagian dari keluarga yang posisinya sama dengan anggota keluarga lainnya. Kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam

6

(9)

undang ini pengertian kekerasan Lingkup rumah tangga pada pasal 1 ayat 1 yakni :7

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga ternasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

8

Korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat, perlindungan dari Negara dan atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusia. Pada putusan ini para korban kerap kali mengalami penyiksaan yang secara umum termasuk dalam lingkup undang-undang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga nomor 23 tahun 2004, dimana dalam undang-undang ini yang di maksud lingkup rumah tangga tertera pada pasal 2 yakni :9

(1) Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi : a. Suami, isteri, dan anak

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang sebagaimana dimaksud pada huruf a arena hubungan darah perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga atau

7

Uu nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tanggapasal 1 ayat 1

8

Badriyah Khaleed, S.H PENYELESAIAN HUKUM KDRT (Yogyakarta:penerbit Pustaka Yustisia,2015), h.14

9

(10)

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

(2) Orang yang berkerja yang sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat dirumuskan untuk menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana penganiayaan menurut KUHP ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak

pidana penganiayaan berdasarkan

PutusanNo.294/PID.SUS/2015/PN-Medan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitan ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang tindak pidana penganiayaan menurut KUHP dan konsep KUHP.

(11)

Adapun manfaat yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum umumnya dan bidang hukum pidana khususnya.

b. Untuk memberikan masukan bagi Universitas Sumatera Utara dalam memperkaya bahan bacaan diperpustakaan, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bacaan untuk melakukan penelitian. 2. Manfaat praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta kajian pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten, baik kalangan akademisi maupun penegak hukum, untuk menambah wawasan di bidang hukum khususnya yang berkaitan tentang bagaimana pengaturan tentang tindak pidana penganiayaan menurut KUHP, dan bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaandberdasarkan Putusan No.294/PID.SUS/2015/PN-Medan.

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaarfeit”. Dan para ahli hukum mengemukakan

(12)

Pembentuk undang – undang telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “ tindak pidana“ di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa

yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit tersebut.10Adami Chazawi telah menginventarisasi sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah staraafbaarfeit, yaitu sebagai berikut :11

1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001.

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya:Tresna dalam Bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” H. J van Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Zainal Abidindalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu dalam UUD’S 1950 [baca pasal 14 ayat (1).12Nullum delictum, nulla

poena sine praevia lege poenali kitab undang-undang, Hukum Pidana

10

Mohammad Ekaputra DASAR-DASAR HUKUM PIDANA, edisi 2 (medan:usu Press, 2013)

11

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo: Jakarta, 2002, hal 67-68.

12

(13)

pasal 1 baris I : sesuatu peristiwa tak dapat dikenakan hukuman, selain atas kekuatan peraturan undang-undang pidana yang mendahuluinya. 3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

straafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E.Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I);

4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam bukuM.H Tirtaadmidjaja yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana;

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana” begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”;

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang di dalam UU No.12/Drt/1951 tentang senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3);

7. Perbuatan Pidana, digunakan olehMoeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana.

2. Tindak Pidana Penganiayaan

(14)

(penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka13. Pada umumnya tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan” mengenai arti dan makna kata

penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia dimuat arti sebegai berikut “perilaku yang sewenang-wenang”. Pengertian tersebut adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau

batiniah.

Penganiayaan merupakan salah satu tindak kejahatan, dengan sengaja melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang yang mengakibatkan luka-luka, dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara,14Dibentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia (misdrijven tegen het lijf) ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.

Mengenai penganiayaan dalam pasal 351 KUHP, R.Soesilo dalam bukunya berjudul kitab Undang-Undang hukum pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal mengatakan bahwa Undang-Undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. R. Soesilo

dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan” :

13

R. SOESILO kitab undang-undang hukum pidana (BOGOR: POLITEIA 1994) h.245

14

(15)

1. “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya

2. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.

3. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.

4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin

Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada dua macam, ialah :

1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja.15 Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP dimuat dalam Bab XX buku II, pasal 351 s/td 358. (akan dibahas pada pembahasan, “Undang-Undang yang mengatur tentang

tindak kejahatan, penganiayaan).16

15

Ibid., h. 50

16

(16)

2. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360 Bab XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka atau mati.17

Luka terdapat apabila terdapat perubahan dalam bentuk badan manusia yang berlainan dari pada bentuk semula, sedangkan pada rasa sakit hanya cukup bahwa orang lain merasa sakit tanpa ada perubahan dalam bentuk badan. Jadi penganiayaan jelas sebagai melakukan suatu perbuatan dengan tujuan menimbulkan rasa sakit atau luka pada badan orang lain.

Unsur dengan sengaja harus meliputi tujuan menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain merupakan tujuan atau kehendak dari pelaku. Kehendak atau tujuan ini harus disimpulkan dari sifat dari pada perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau luka itu. Dalam hal ini harus ada sentuhan pada badan orang lain yang dengan sendirinya menimbulkan akibat sakit atau luka pada badan orang itu, misalnya memukul, menendang, menggaruk, menusuk atau mengiris dengan alat-alat tajam. Disamping itu,memukul, menendang, menggaruk, menusuk atau mengiris dengan alat-alat tajam merupakan juga merupakan bersifat materi yang termasuk dalam kualifikasi penganiayaan, apabila akibat rasa sakit atau luka timbul sebagai tujuan. 18

dibentuknya kejatan terhadap tubuh manusia (misdrijven tegen bet lijf) ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh dari perbuatan-perbuatan-perbuatan-perbuatan berupa

17

R. Soesilo, op.cit., h. 248

18

(17)

penyerangan atas bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.

Pembuktian atas penganiayaan adalah cukup, apabila termuat bahwa pelaku telah dengan sengaja melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang dapat menimbulkan rasa sakit atau luka sebagai tujuan atau kehendak dari pelaku.

Apabila perbuatan yang menimbulkan rasa sakit pada orang dengan tujuan lain seperti :

 Orang tua memukul anak untuk menjamin ketertiban dalam lingkungan

keluarga,

 Seorang ahli bedah ( chirug) meakukan pembedahan pada orang,

berdasarkan undang-undang tidak dapat dikualifisir sebagai penganiayaan.

3. Pertanggung jawaban Pidana

Kitab undang-undang Hukum Pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Yang diatur adalah kebalikannya, yaitu ketidak mampuan bertanggungjawab, seperti isi pasal 44 KUHP Indonesia, yang masih pakai rumusan pasal 37 lid W.v.S Nederland tahun 1886 yang berbunyi :

“tidak dapat dipidana ialah barang siapa yang mewujudkan suatu peristiwa, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kekurang sempurnaan atau gangguan sakit kemampuan akalnya “19

.

19

(18)

Sistem pertanggung jawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan disamping asas legalitas. Pertanggung jawaban pidana merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Maka dari itu terjadinya pertanggung jawaban pidana karena ada kesalahan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, dan telah ada aturan yang mengatur tindak pidana tersebut. Roeslan saleh menyatakan bahwa dalam membicarakan tentang pertanggung jawaban pidana, tidaklah dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggung jawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas, pertanggung jawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggung jawabkan pada pelakunya atas perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang tercela itu pada pelakunya, apakah pelakunya juga di cela ataukah pelakunya tidak dicela, pada hal yang pertama maka pelakunya tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua pelakunya tentu tidak dipidana. 20

Dalam bahasa asing pertanggung jawaban disebut sebagai

toerekeningsvarbaarheid pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle)21. Bahwa pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang

20

Roeslan Saleh 1982, pikiran-pikiran tentang pertanggung jawaban pidana, Ghalia (Indonesia : jakarta) h 10

21

(19)

tersangka/terdakwa dipertanggung jawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari pelaku yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan 22.

Bahwa demikian ternyata, bahwa orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut 23. Pertanggung jawaban pidana menjurus pada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang, seseorang akan dapat mempertanggung jawabkan pidananya yang terlarang, seseorang akan dapat mempertanggung jawabkan pidananya atas suatu tindakan tersebut apabila bersifat melawan hukum.

Bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada :24

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

22

E.Y Kanter dan S.R Siantar 2002,asas-asas hukum pidana di indonesia dan penerapannya, storia grafika, jakarta hal. 250.

23

Prof. Moeljatno, S.H. op.cit h. 169.

24

(20)

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kemampuan bertanggung jawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa (geeteojevermogens) dan bukan pada keadaan dan kemampuan berpikir (verstanddelijke vermogens) dari seseorang.

Seseorang atau pelaku tindak pidana apabila tidak melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana tersebut haruslah melawan hukum, namun meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dapat dipidana. Orang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan.

Untuk mempertanggung jawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka apabila lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan, berkaitan dengan kesalahan yang bersifat psikologis dan kesalahan yang bersifat normatif di atas juga unsur-unsur tindak pidana dan pendapat para pakar mengenai kesalahan, dapat disimpulkan bahwa kesalahan memiliki beberapa unsur :25

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku dalam arti jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal.

25

(21)

2. Adanya hubungan batin antara sipelaku dengan perbuatannya, baik yang sengaja maupun karena kealpaan

3. Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.

harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan. Juga adanya alasan pemaaf tidak mungkin, kalau orang tidak mampu bertanggung jawab atau tidak mampu sehingga untuk adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah :26

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum) 2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab.

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal, yang sehat. Dalam KUHP tidak ada ketentuan arti kemampuan bertanggung jawab.hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan itu tadi. Terdapat 3 hal yang dipkirkan selain adanya kesalahan yaitu pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang

26

(22)

diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volutional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas yang diperbolehkan dan mana yang tidak27. Adanya keadaan psikis (batin) tertentu dan yang kedua yaitu adanya hubungan yang tertentu antara keadan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan. 28

Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban. Jan Remmelink mendefinisikan :29

“kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari”.

Kesalahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu ;

1. Kesengajaan (opzet) mempunyai tiga unsur yaitu perbuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan perbuatan itu melanggar hukum;

2. Kurang hati-hati (culpa) yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat kesengajaan yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi 30.

Tegasnya bahwa, pertanggung jawaban pidana mempunyai kaitan yang erat dengan beberapa hal yang cukup luas. Manusia itu mempunyai kebebasan

27

Ibid.,h.179.

28

Moeljatno, azas-azas hukum pdana, PT Bina aksara :(Jakarta :1983)h.158

29

Prof Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si op.cit h. 226

30

(23)

untuk menentukan kehendaknya atau tidak. Kehendak merupakan aktivitas batin manusia yang pada gilirannya berkaitan dengan pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya,31 adalah merupakan pertanggung jawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya, sebab terjadinya pertanggung jawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dimana masyarakat telah sepakat menolak suatu perbuatan tertentu yang mewujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Sehingga orang yang melakukan perbuatan tersebut akan dicela karena dalam keadaan tersebut sebenarnya pembuat dapat berbuat lain pertanggung jawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.

a. Subjek hukum

Hukum menentukan, bahwa manusialah yang diakuinya sebagai penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya dipertimbangkan dari segi yang bersangkut paut atau mempunyai arti hukum. Dalam hubungan ini bisa terjadi bahwa hukum menentukan pilihannya sendiri. 32Subjek hukum merupakan subjek tindak pidana, karena berdasarkan uraian-uraian diatas telah dibahas bahwa yang akan mempertanggung jawaban suatu tindak pidana adalah pelaku tindak pidana itu sendiri sehingga sudah barang tentu subjeknya haruslah sama antara pelaku tindak pidana dan yang akan mempertanggung jawabkan perbuatan pidananya.

31

Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si op.cit h. 83

32

(24)

Menurut KUHP yang dapat menjadi Subjek hukum adalah manusia (natuutlijk-personen), sedangkan hewan dan badan-badan hukum (rechtpersonen) tidak dianggap sebagai subjek. Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subjek tindak pidana ini tersimpulkan antara lain dari :33

a. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah barang siapa, warga negara Indonesia, nahkoda, pegawai negeri dan lain sebagainya. Penggunaan istilah-istilah tersebut selain dari pada yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan ditemukan dasarnya dari pasal 2 sampai dengan pasal 9 KUHP. Untuk istilah barang siapa dalam pasal 3 dan pasal 4 KUHP digunakan istilah “een ieder’ yang berarti setiap orang.

b. Ketentuan mengenai pertanggung jawaban pidana seperti diatur, terutama dalam pasal 44, pasal 45, pasal 49 KUHP yang antara lain mengisyaratkan sebagai geestelijke vermogens dari petindak.

c. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP, terutama mengenai pidana denda, hanya manusialah yang mengerti nilai uang.

Perkembangan hukum pidana selanjutnya memang bukan hanya manusia saja yang dianggap sebagai subjek. Penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subjek tindak pidana, adalah karena kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan,

33

(25)

Kewenangan hukum adalah sesuatu sifat yang diberikan oleh hukum objektif, kekuasaan pembentuk undang-undang untuk memberikannya dibatasi oleh keadaan riil.Hukum objektif hanya dapat memberikannya kepada manusia, karena hanya manusia yang dapat mempunyai hak-hak subjektif artinya kewenangan dan kewajiban.34

Berdasarkan ketentuan pasal 55 ayat (1) ke-1, ke-2 dan ayat (2) KUHP menjelaskan bahwa :35

Ayat (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

(1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan.

(2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan. Atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Ayat (2) terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan yang diperhitungkan, berserta akibat-akibatnya. Ketentuan pasal 55 ayat (1), ke-2 dan ayat (2) KUHP di atas mengkategorikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang melakukan sendiri suatu tindak pidana dan orang yang turut serta atau bersama-sama untuk melakukan tindak pidana.

34

Prof. Dr. Mr. L.J van Apeldoorn op.cit h.192

35

(26)

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran Kepustakaan (library research)

khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, terhadap judul “Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Putusan No.

294/PID.SUS/2015/PN-Mdn)” ini, belum pernah ada judul yang sama ditemukan dengan demikian penelitian ini asli serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Beberapa skripsi berkaitan dengan penganiayaan di perpustakaan fakultas hukum sumatera utara antara lain :

1. Aspek hukum pidana terhadap penganiayaan tenaga kerja wanita indonesia (studi kasus di serawak dan Kuala Lumpur Malaysia, 2004 ).

2. Penganggulangan tindak pidana penganiayaan dalam perfektif kebijakan kriminal (2001).

3. Penjaringan perkara pidana oleh polisi (diskresi kepolisian )terhadap tindak pidana penganiayaan ringan (riset di polres langkat (2005).

F. Metode Penelitian

(27)

konsisten.36 Melalui proses penelitian tersebut maka diadakan suatu analisa dan konstruksi terhadap data yang telah diolah.

Agar suatu penelitian dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan suatu metode penelitian yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Penelitian normatif ini merupakan penelitian doktriner, karena penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari dokumen-dokumen, tulisan para ahli, buku-buku literatur, jurnal hukum, situs internet, kamus hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi dan isu dari permasalahan.

2. Sifat Penelitian.

Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif, yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena. Penelitian deskriptif tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan dan penyusunan data, tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi data tersebut. Penelitian ini juga bertujuan menggambarkan secara lengkap dan sistematis keadaan objek yang diteliti, yang dalam hal ini meneliti apakah tuntutan hukuman

36

(28)

dan penerapan hukumyang diberikan terhadap terdakwa tersebut sudah sesuai dengan hukum yang berlaku.

3. Bahan Penelitian.

Dalam penelitian normatif, bahan yang didapatkan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.37 Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Putusan No.294/PID.SUS/2015/PN-Mdn, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.38 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini seperti buku-buku literatur, dan artikel-artikel yang berkaitan dengan judul yang dibahas yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tersier, adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Adapaun bahan tersier yang digunakan adalah ensikopedia hukum dan kamus hukum yang berhubungan dengan materi dan isu permasalahan.

37

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada : Jember : 1996) h. 113.

38

(29)

4. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus tersebut bahan yang digunakan adalah putusan pengadilan yang selanjutnya akan dilihat ketentuan asas dan norma yang berlaku dan terkandung dalam perundang-undangan. karena yang akan diteliti adalah putusan pengadilan maka pendekatan ini dilakukan dengan menelaah perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang diteliti yaitu tentang tindak pidana dalam Putusan No. 294/PID.SUS/2015/PN-Medan.

5. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan oleh penulis adalah teknik analisa data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dan bahan hukum yang berkaitan dengan isu permasalahan melalui studi kepustakaan kemudian diuraikan yang logis dan sistematis dengan menarik kesimpulan dari penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Adapun untuk memberikan gambaran mengenai sistematika skripsi, maka berikut ini akan diuraikan sistematika penulisan yang terdiri dari bab-bab beserta sub-sub bab yang memudahkan pemahaman terhadap hasil penelitian :

BAB I. PENDAHULUAN

(30)

penulisan, keaslian penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II. PENGATURAN DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN Bab ini berisikan perumusan masalah yang pertama, yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang tindak pidana penganiayaan.

BAB III. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGANIAYAAN BERDASARKANPUTUSAN No. 294/Pid.Sus/2015/PN.MDN Bab ini berisikan perumusan masalah kedua, yaitu untuk mengetahui pertanggungjawaban tindak pidana penganiayaan berdasarkan putusan No. 294/Pid.Sus/2015/PN.Mdn.

BAB IV. PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Ketiga, pengaruh perubahan luasan lahan sawah padi terhadap daya dukung lahan pertanian di Kecamatan Tasikmadu dapat diketahui dengan cara overlay Sebelum

Energy Sources Optimization: A Micro-Grid Model Design", Energy Procedia, 2014.

Pada Tabel 2, bisa diketahui bahwa penulis yang memiliki artikel paling banyak mengenai bank sampah dari tahun 2008 hingga 2018, yakni Indriyani Rachman dari

- Tabel ini berisi informasi mengenai perkiraan jumlah biaya sekolah (pengembangan dan operasional) dalam kurun 4 tahun mendatang - Inputlah jumlah peserta yang akan dilatih

Buatlah sebuah Automata Hingga Deterministik dengan simbol input a,b, yang hanya dapat menerima untai karakter yang mengandung sejumlah b yang habis dibagi 3. Buatlah sebuah

Pada Entrance Hall menampilkan suasana alam berupa vegetasi (taman) dan air (kolam) yang membawa suasana rekreatif yang sangat berpengaruh dalam menghadirkan kesan yang

Penelitian terdahulu membahas mengenai makna pesan non verbal pada fashion wanita karir menggunakan kerangka interaksionalisme simbolik, sedangkan peneliti

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Secara keseluruhan ada perbedaan antara gaya mengajar dan gaya mengajar praktek timbal balik Bola Voli hasil belajar,