1
LEGISLASI HUKUM ISLAM : LEMBAGA LEGISLATIF, EKSEKUTIF, YUDIKATIF DAN POLITIK HUKUM ISLAM
Rijal Imanullah, S.HI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meskipun Islam bukan agama negara di Indonesia, tetapi Islam mampu mensublimasi melalui tatanan hukum (fiqh dan syari’ah) yang meresap dalam perilaku bangsa Indonesia. Hukum Islam yang berdasarkan al-qur’an dan al-sunnah yang dikembangkan dengan ijtihad dalam konteks masyarakat Indonesia yang heterogen dan plural berproses secara dinamis. Perkembangan legislasi hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan, selanjutnya berkembang setelah Indonesia merdeka hingga era reformasi saat ini. Berkembangnya legislasi hukum Islam di Indonesia tentu saja tidak lepas dari beberapa teori berkembangnya hukum Islam seperti teori receptio in complexu1, teori receptie2, dan teori
reception a contrario.3
Dalam pembentukan legislasi hukum Islam tentu saja ada yang berperan dalam hal tersebut. Hukum Islam yang telah dilegalkan dalam bentuk perundang-undangan saat ini memiliki proses dalam prosedur pembuatannya. Prosedur lahirnya suatu undang-undang telah diatur dalam Inpres No. 15 tahun 1970 dan lembaga yang berwenang menangani hal tersebut diatur didalamnya dan terdapat pula dalam Undang-undang Dasar 1945.
1
Kondisi di mana hukum Islam diterima secara menyeluruh, bahkan hukum adat setempat sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 58.
2
Hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresapi dan diterima oleh hukum adat. Dengakan kata lain hukum adat menentukan ada tidaknya hukum Islam. Ahmad Rofiq, Pembaharuan …, h. 63.
3
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan permasalah dalam mekalah ini antara lain:
1. Bagaimana sejarah legislasi hukum Islam di Indonesia ?
2. Peranan lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan politik hukum Islam dalam legislasi hukum Islam ?
II. PEMBAHASAN
A. Legislasi Hukum Islam
Legislasi berasal dari Bahasa Inggris “legislation”; making law; the law made (pembuatan undang-undang atau perundang-undangan). Dalam kamus edisi lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, inggris disebut dengan
wet giving artinya perundang-undangan. Dalam Bahasa arab, legislasi identik dengan tasyri’, bentuk masdar dari kata syara’a, artinya pembuatan jalan raya menuju air kehidupan. Para ahli hukum Islam mengartikan
tasyri’ secara terminologi sebagai pembentukan garis-garis besar hukum Islam atau pembentukan teori-teori hukum Islam (Islamic legal theory) secara sistematis dan praktis.4 Berdasarkan hal tersebut, legislasi hukum Islam dapat diartikan dasar atau aturan dalam hukum Islam yang telah dimasukan perundang-undangan sehingga memiliki legalitas hukum. Namun, dalam proses akomodir hukum Islam dalam hukum negara memiliki proses yang pajang dalam sejarah Indonesia. Sejarah legislasi hukum Islam di Indonesia dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1. Legislasi Hukum Islam Sebelum Kemerdekaan
Perkembangan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan dan peraturan-peraturan hukum tidak terlepas dari pengaruh yang ditimbulkan oleh penjajahan yang datang menjajah di Indonesia. Sebelum penjajahan datang, hukum Islam yang berlaku
4
3
secara tradisional dan berpedoman dengan kitab-kitab fiqh yang dikembangkan para fuqoha pada masanya.
Masyarakat pada masa itu dengan rela dan patuh serta tunduk mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme barat yang membawa misi tertrentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.5
Sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda mengakui bahwa dikalangan masyarakat Indonesia Islam merupakan agama yang sangat dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Penyelesaian masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk kepada ajaran agama Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakatan lainnya. Atas fenomena ini, maka para pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa ditengah-tengah komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan undang-undang agama Islam.6
Melihat fenomena tersebut, Belanda memberikan pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku. Melalui VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris dan perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang merupakan legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.7 Pada masa ini Van Den Berg dengan teori Receptio in complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk
5
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 46.
6
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama Di indonsia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 8.
7
4
agama Islam walaupun dalam pelaaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.8
Bukti Belanda secara tegas mengakui bahwa hukum Islam berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada pasal 78 reglement op de beliedder regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan
regreeings reglement (RR) Staatsblad tahun 1854 No. 129 dan Staatsblad tahun 1855 No. 2. Peraturan ini secara mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia. Pasal 78 RR berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.9
Dengan Staatblad 1882 No. 152 Belanda menetapkan pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan tanpa mengurangi legalitasnya dalam pelaksanaan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan kitab fikih.10 Kelahiran Staatblad ini berdasarakan keputusan raja Belanda (konnink besluit) yakni raja Willem III tanggal 19 januari 1882 no. 24 yang dimuat dalam staatsblad 1882 no. 152. Badan peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut dengan rapat agama atau RaadAgama dan terakhir dengan pengadilan agama. Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam Staatblad 1882 no.153, sehingga
8
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h. 117-118.
9
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan …, h. 8.
10
5
dengan demikian dapatlah dikatakan tanggal kelahiran badan peradilan agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882.11
Namun, teori Receptio In Complexu yang dikemukakan Van De Berg mendapat kritikan tajam oleh Snouck Horgronje karena teori
Receptio In Complexu bertentangan dengan kepentinggan-kepentingan pemerintah Hindia Belanda dan akhirnya mengemukakan teori
Receptie yang menurut teori ini hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh hukum adat
Teori Receptie bertujuan untuk mengetahui peranan hukum Islam dengan mengedepankan hukum adat atau bahkan mengganti hukum Islam dengan hukum adat. Selain itu bertujuan untuk memperkuat pemerintah kolonial dan adanya kepentingan pemerintah kolonial dalam penyebaran agama kristen di wilayah Hindia Belanda.12
Era receptie lahir setelah pemerintah Belanda mengeluarkan
Indeische Staatsregeling (IS) yang menggantikan regreeings reglement
(RR). Dalam IS tersebut diundangkan Stbl 1929 No. 212 yang menyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Substansi teori receptie tertuang jelas dalam pasal 134
ayat (2) yang menyatakan “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak
ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi”. Dengan alasan hukum
waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Stbl. 1937 No. 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan Agama dalam masalah waris yang sejak 1882 telah menjadi kompetensinya dan dialihkan ke Pengadilan Negeri.13
11
Abdul Halim, Peradilan …, h. 51.
6
Setelah Belanda kalah dari Jepang, tahun 1942 Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan pertama yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan Belanda tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan.14 Pada zaman Jepang, posisi pengadilan agama tetap tidak akan berubah kecuali terdapat perubahan nama menjadi SooryoHooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu 1942 No. 1.15
Membicarakan tentang pelembagaan hukum Islam, tidak dapat lepas dari lembaga peradilan agama. Pada zaman penjajahan Belanda regulasi terhadap peradilan agama tertuang dalam Staatblad 1882 No. 152 tentang pembentukan peradilan agama di Jawa dan Madura, Staatblad 1937 No. 638 dan No. 639 tentang peradilan agama di Kalimantan selatan.16 Pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di Indonesia membuat Belanda mengeluarkan
Resolute de Indieshe Regeering atau yang lebih dikenal dengan nama
Compendium Freijer yang berisi pemberlakuan hukum waris dan perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Bukti tegas dengan lahirnya Staatsblad tahun 1854 No. 129 dan Staatsblad tahun 1855 No. 2 dalam pasal 78. Pada masa penjajahan Jepang regulasi terhadap peradilan agama tidak berubah sebagaimana saat penjajahan Belanda, hanya nama dari peradilan agama di ubah menjadi
Sooryo Hooin berdasarkan Osanu Seizu 1942 No. 1. Dari uraiaan di atas dapat disimpulkan bahwa legislasi hukum Islam masa penjajahan : a. Staatsblad tahun 1854 No. 129 dan Staatsblad tahun 1855 No. 2
yang mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia berdasasarkan pasal 78;
14
Basiq jalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006)., h. 60
7
b. Resolute de Indieshe Regeering atau Compendium Freijer tentang pemberlakuan hukum waris dan perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia;
c. Staatblad 1882 No. 152 tentang pembentukan peradilan agama di Jawa dan Madura, dan Staatblad 1937 No. 638 dan No. 639 tentang peradilan agama di Kalimantan Selatan;
d. Osanu Seizu 1942 No. 1.
2. Legislasi Hukum Islam Setelah Kemerdekaan
Dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dan keberlakuan UUD 1945 pada tanggal 17 dan 18 Agustus 1945, kedudukan Hukum Islam secara umum tidak diubah dan masih berfungsi sebagai sistem hukum khusus orang Islam di bidang tertentu. Kedudukan tersebut diwujudkan melalui ketentuan bahwa Republik Indonesia adalah negara berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila yang dimuat dalam Pembukaan dan pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 yang sesuai dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pasal 29 Ayat (1)
UUD 1945 diikuti dengan Ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.17
Kedudukan Hukum Islam tersebut dikukuhkan melalui keberlakuan peraturan perundangan Belanda. Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 menetapkan: “Segala Badan Negara dan Peraturan yang
ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.18 Berdasarkan hal tersebut lembaga peradilan agama masih tetap berlaku di Indonesia. Namun, pada tahun 1948 berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman dan kejaksaan, peranan
17 Moh. Hatta, “Perkembangan Legislasi Hukum
Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Al-Qānūn, Vol. 11, No. 1, 2008, h. 156.
18
8
peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dihapuskan19. Peradilan agama menjadi bagian dari Peradilan Umum. Untuk menangani perkara yang menjadi kewenangan dan kekuasaan peradilan agama ditangani oleh peradilan umum secara istimewa dengan seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan didampingi dua orang hakim ahli agama Islam.20
Pada masa berikutnya, berdasarkan ketentuan pasal 98 UUD sementara dan pasal 1 ayat (4) UU Darurat No. 1 tahun 1951, pemerintah mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa-Madura.21 Undang-Undang No. 23 tahun 1945 yang mengatur tentang perkawinan, talak, dan rujuk. Undang-undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957. Dimana pembinaan Peradilan Agama berada dibawah Kementrian Agama berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946.22
Setelah memasuki masa orde baru, banyak lahir peraturan perundang-undangan yang menandakan bahwa hukum Islam telah eksis di Indonesia, seperti Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo PP No. tahun 1975 yang memberlakukan hukum Islam dalam bidang perkawinan.23
19
Berdasarkan undang-undang ini kekuasaan kehakiman di Indonesia di laksanakan oleh tiga lembaga peradilan yaitu: 1) Peradilan Umum; 2) Peradilan Tata Usaha Pemerintah; 3) Peradilan Ketentaraan. M. Idris Ramulyo, Beberapa …, h. 84
20
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), h. 24.
21 Menurut ketentuan pasal 1, “di tempat-tempat yang ada pengadilan negeri ada sebuah
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah, yang daerah hukum sama dengan daerah hukum pengadilan negeri”. Sedangkan menurut ketentuan pasal 11, “apabila tidak ada ketentuan lain, di ibu kota propinsi diadakan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah propinsi yang wilayahnya meliputi satu, atau lebih, daerah, propinsi yang ditetapkan oleh menteri agama. Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 115.
9
Kelembagaan Peradilan Agama yang sebelumnya berada di bawah pembinaan Kementrian Agama melalui Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pemerintah mengakui kesejajaran Peradilan Agama dengan peradilan lainnya sebagai pelaksana kekuasaan: “kekuasan kehakiman dilakukan oleh peradilan dalam lingkungan : a) Peradilan Umum, b) Peradilan Agama, c) Peradilan Militer d) Peradilan Tata Usaha Negara”. Dimana kompetensi peradilan agama hanya berkenaan dengan perkawinan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sebagai pegangan hukum tertulisnya.24
Selain pelaksanaaan kekuasaannya sejajar dengan peradilan lainnya, setelah disahkannya Undang-undang No. 7 tahun 1989 semakin menegaskan kedudukan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal di Indonesia. Setelah undang-undang tersebut menjadi hukum positif, peradilan agama berwenang memeriksa perkara-perkara perdata di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf dan sedekah bagi masyarakat yang beragama Islam.25
Selanjutnya, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI) diberlakukan. KHI diberlakukan di lingkungan peradilan agama di Indonesia yang berfungsi sebagai petunjuk dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan keperdataan orang-orang Islam. Positivisasi KHI merupakan hasil diskusi para ulama yang digagas oleh Mahkamah Agung dan departemen agama yang melibatkan berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia beserta komponen masyarakat lainnya.26
Selain perundang-undangan di atas masih terdapat peraturan perundang-undangan lainnya yang secara formil maupun material
24 Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 54 25 Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 52. 26
10
tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam seperti UU No. 7/1992
tentang Perbankan Syari’ah, PP No.28/1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik, PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dan lain-lain yang lahir pasca kemerdekaan Indonesia.
Dari uraian di atas dapat dilihat perkembangan legislasi hukum Islam pada masa pasca kemerdekaan:
Pertama, peradilan agama yaitu:
a. UU Darurat No. 1 tahun 1951 dan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan peradilan agama di Jawa dan Madura;
b. Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
c. Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama;
Kedua, Hukum Islam, yaitu:
a. Undang-Undang No. 23 tahun 1945 tentang perkawinan, talak, dan rujuk;
b. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. tahun 1975 tentang pelaksaan UU No. 1 tahun 1974;
c. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam;
d. Undang-Undang No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah,
e. Peraturan Pemerinda No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, f. Peraturan Pemerinda No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil; 3. Legislasi Hukum Islam Era Reformasi
Pada era ini, terdapat beberapa tuntutan sekaligus harapan. Tuntutan atau harapan yang relevan untuk terbentuknya hukum nasional dengan mengakomodasi berbagai hukum lokal yang plural, termasuk hukum agama (Hukum Islam).27
11
Arah kebijakan pembangunan hukum nasional sebagaimana diamanatkan oleh garis-garis besar haluan negara dalam ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, yang antara lain mengamanatkan agar diakui dan dihormati hukum agama (termasuk hukum Islam) dalam menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dan diupayakan agar segala perundang-undangan, tidak bertentangan dengan moral agama-agama (termasuk agama-agama Islam).28
Secara yuridis formal, ide untuk menggali dan memberlakukan hukum sesuai dengan kesadaran masyarakat terdapat dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang pada pokoknya mengamanatkan hakim wajib “menggali, mengikuti dan memahami” hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat. Filosofinya adalah agar hukum dapat diterapkan sesuai dengan kesadaran dan diterima masyarakat.29
Perkembangan hukum Islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum Islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi Daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU No.22/1999 tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No.31/2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum. Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Dasar hukumnya adalah UU No.44 tahun 1999 tentang Keistimewaan
12
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam, yang memberi otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam untuk menerapkan syariat Islam.30
Melihat realita kebhinekaan dalam kebijakasanaan pembangunan hukum Nasional tersebut berarti Hukum Islam memiliki peluang untuk bertransformasi ke dalam hukum Nasional. Berdasarkan hal tersebut, Hukum Islam memiliki kekuatan yuridis dalam hukum nasional, seperti lahirnya Kelahiran Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang memberi legislasi terhadap beroperasinya perbankan berdasarkan prinsip syariah, UU RI No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Hají, Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU RI No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU RI No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU RI No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan atas UU RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.31
B. Lembaga Legislatif, Eksekutif dan Politik Hukum Islam
Sebagaimana sejarah legislasi hukum Islam yang berkembang di Indonesia, tentu saja tidak lepas dari para pihak yang berwenang dalam pembentukan undang-undang di Indonesia khususnya undang-undang yang bernuansakan hukum Islam. Berdasarkan hal tersebut, lembaga legislatif, eksekutif dan politik hukum Islam yang menjadi pembahasan dibawah ini.
1. Lembaga Legislatif
Lembaga legislatif dalam sistem ketatanegaraan modern disebut dengan parlemen yang mana para anggotannya dipilih oleh rakyat.
30
Edi Rosman, “Legislasi Hukum Islam Di Indonesia (Sejarah Dan Relevansi Praktis Pembaharuan Hukum Nasional)”, dalam Jurnal Alhurriyah, Vo 1, No 1, 2016 , h. 41.
31
13
Parlemen menjadi intrumen penting dalam penyelenggaraan demokrasi dan merupakan pengewajahan prinsip rakyat dalam bentuk perwakilan. Dalam konsep demokrasi menempatkan pertisipasi sebagai inti, artinya menghendaki keikutsertaannya masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik.32 Berdasarkan hal tersebut, lembaga legislatif merupakan kekuasaan yang mencerminkan kedaulatan rakyat.
Lembaga legislatif atau lembaga perwakilan, menurut Jimly Asshiddiqie memiliki 3 fungsi, yaitu fungsi pengaturan (legislasi), fungsi pengawasan (kontrol) dan fungsi perwakilan (representasi).
Pertama, fungsi pengaturan. Fungsi pengaturan ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Sehingga kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum yang dimaksud. Sebab, cabang kekuasaan yang diaggap berhak mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyar, maka peraturan yang paling tinggi di bawah undang-undang dasar haruslah dibuat dan dtetapkan oleh parlemen dengan persetujuan bersama dengan eksekutif.33 Fungsi legislatif juga menyangkut empat bentuk kegiatan sebagai berikut:34
a. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initation);35 b. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process),36 c. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law
enactment approval),
d. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen yang
32 Annisa Halida, “Presidensial, Partai Politik dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif
dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pasca Amandemen UUD 1945)”, Skripsi, Universitas Sumatera Utaram 2009, h. 57.
33
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konsdtitusi Republik Indonesia, 2006), h. 32.
34 Jimly Asshiddiqie, Pengantar …, h. 34. 35
Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
36
14
mengikat lainnya (binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding document);
Kedua, fungsi pengawasan. Secara teoritis fungsi-fungsi kontrol atau pengawasan oleh parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat dibedakan sebagai berikut:37
a. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making);
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing);
c. Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara (control of budgeting);
d. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budget implementation);
e. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of govermnet performences);
f. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political appointment of public official) dalam bentuk persetujuan atau penolakan, ataupun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.
Parlemen haruslah terlibat dalam mengawasi proses perumusan dan penentuan kebijakan pemerintahan, jangan sampai bertentangan dengan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama oleh parlemen bersama dengan pemerintah. Pada pokoknya, undang-undang dasar dan undang-undang serta peraturan perundang-undangan pelaksana lainnya mencerminkan norma-norma hukum yang berisi kebijakan atau state policy yang dituangkan dalam bentuk hukum tertentu yang tdaik boleh bertentangan dengan state policy yang tertuang dalam bentuk hukum yang lebih tinggi. Setiap kebijakan dimaksud, baik menyangkut bentuk penuangannya, sisinya, mapun
37
15
pelaksanaanya haruslah dikontrol dengan seksama oleh lembaga perwakilan rakyat.38
Ketiga, fungsi perwakilan. Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali. dalam hubungan itu, penting dibedakan antara pengertian representation in presence dan representation in ideas. Pengertain pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea.39 Dalam rangka pelenbagaan fungsi representasi itu, dikenal pula adanya tiga sistem perwakilan yang dipraktikkan diberbagai negara demokrasi. Ketiga fungsi itu adalah:40
a. Sistem perwakilan politik (political representation);
b. Sistem perwakilan teritorial (territorial atau regional representation);
c. Sistem perwakilan fungsional (functional representation). 2. Eksekutif
Eksekutif adalah cabang pemerintahan yang bertanggungjawab mengimplementasikan atau menjalankan hukum. Dengan kata lain eksekutif melaksanakan subtansi undang-undang yang telah disahkan oleh lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif yang biasanya terdiri dari kepala negara seperti raja
38 Jimly Asshiddiqie, Pengantar …,h. 37. 39
Dalam pengertian formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang ter[ilih sudah duduk dilembaga perwakilan rakyat. Akan tetapi, secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rayat yang diwakili benar-benar telah memperjuangkan dan berhasil menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau setidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh palemen. Jimly Asshiddiqie, Pengantar …,h. 39.
16
atau presiden, beserta para menterinya.41 Menurut Harold J Laski,
lembaga eksekutif adalah “alat yang berkewajiban melaksanakan
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh badan pembuat undang dan bekerja di bawa pengawasan pembuatan
undang-undang.”42
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa presiden memiliki kekuasaan eksekutif dimana presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, presiden adalah simbol resmi negara. Sebagai kepala pemerintahan, presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.43 Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki beberapa wewenang antara lain:
a. Memegang kekuasan pemerintahan menurut undang-undang dasar 1945;44
b. Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengsahkan RUU menjadi Undang-undang;45 c. Menetapkan peraturan pemerintah penganti undang-undang; d. Menetapkan peraturan pemerintah;46
3. Yudikatif
Selain badan eksekutif dan legislatif, indonesia pun memilki badan yudikatif indonesia yang berfungsi menjalankan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
41
Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 45 .
42Annisa Halida, “Presidensial, …,
h. 37
43
Murjani, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2012), h. 106
44
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
45
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
46
17
Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 47 Terdapat 3 lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman tersebut, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.48
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa dalam menjalankan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 3 lembaga kehakiman. Pertama, Mahkamah Agung merupakan pengadilan tingkat tertinggi (kasasi) dari 4 peradilan di bawahnya,49 yang memiliki wewenang :
a. untuk mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung kecuali undang-undang menentukan lain;
b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;50
Kedua, Mahkamah Kontitusi sesuai Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.51 Ketiga, Komisi Yudisial sesuai Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945, merupakan lembaga mandiri yang memiliki kewenangan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 350.
49
4 peradilan tersebut adalah Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan tata Usaha Negara. Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.
50
Lihat Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009. Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundangundangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung. Lihat Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.
51
18
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.52
Berdasarkan hal tersebut badan yudikatif sebagai badan yang menjalankan kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar utama selain badan eksekutif dan badan legislatif dalam sistem pemerintahan.
4. Politik Hukum Islam
Politik hukum seperti yang disampaikan oleh Mahfud MD adalah garis resmi tentang hukum yang akan dibuat oleh negara untuk mencapai tujuan dalam waktu tertentu.53 Ismail Sunny, mengilustrasikan politik hukum sebagai suatu proses penerimaan hukum Islam digambarkan kedudukannva menjadi dua periode yakni pertama, periode persuasive source di mana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu; dan kedua, periode authority source di mana setiap orang Islam menyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang haruss dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal apabila dikodifikasikan dalam perundang-undangan nasional.54
Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan merupakan produk interaksi antar elit politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elit kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, kebijakan politik negara terhadap legislasi hukum Islam yang muncul yaitu lahirnya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No, 28 tentang perwakafan tanah milik. Keduanya memperkokoh dalam peradilan dengan melahirkan UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Untuk memenuhi substansi hukum Islam, dikeluarkan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
52
Lihat pula Pasal 40 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.
53
Sudarno Shobron, “Strategi Politik Hukum Islam Di Indonesia Masa Depan”, dalam Jurnal Suhuf, Vol. 21, No. 1, 2009, h. 13.
54 Didi Kusnadi, “
19
selanjutnya disahkann pula UU No. 17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.55
Adapun Prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam (legal drafting) hendaknya mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang layak.56
Sebelumnya telah dijelaskan diatas peranan yang dimiliki lembaga legislatif, eksekutif, dan politik hukum Islam dalam legislasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan. Selanjutnya berhubungan dengan Ketentuan yang mengatur proses perundang-undangan termasuk perundang-undang yang bernuasa hukum Islam antara lain adalah Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970 yang mengatur garis-garis besar menyangkut proses pembentukan undang-undang dan peraturan pemerintah. Berdasarkan Intruksi Persiden tersebut dapat diurutkan prosesnya sebagai berikut:57
1. Masing-masing Departemen dan Lembaga Pemerintah non Departemen mempersiapkan rancangan undang-undang (RUU) dan rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang menyangkut bidang masing-masing;58
2. Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah non Departemen melaporkan kepada presiden tentang pokok-pokok materi serta urgensinya dan meminta persetujuan Presiden;59
55 Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 37. 56 Sudarno Shobron, “Strategi …, h. 14.
57
Amiroeddin Syarif, Perundang-Undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 139.
58
Pasal 1 Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970.
59
20
3. Apabila disetujui Presiden, Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah non Departemen tersebut membentuk panitia. Bila materinya menyangkut bidang Departemen lain dan Lembaga Pemerintah non Departemen tentunya dibentuk panitia antar Departemen dan Lembaga Pemerintah non Departemen;60
4. Hasil dari panitia tersebut di atas diedarkan kepada :
a. Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah non Departemen yang erat hubungannya dengan materi yang diatur guna memperoleh tanggapan dan pertimbangan;
b. Menteri kehakiman untuk memperoleh tanggapan dan pertimbangan dari sudut hukum;
c. Sekertaris cabinet untuk persiapan rancangan tersebut selanjutnya;61
5. Tanggapan dan pertimbangan diterima dari menteri dan kepala Lembaga Pemerintah non Departemen;
6. Untuk mengelola tanggapan dan pertimbangan tersebut, Departemen atau Lembaga Pemerintah non Departemen pemrakarsa mengadakan konsultasi dan kordinasi dengan Departemen atau Lembaga Pemerintah non Departemen yang bersangkutan;62
7. Hasil yang sudah memperoleh kebulatan pendapat atas materi RUU dan RPP disampaikan kepada Presiden disertai penjelasan mengenai pokok materi dari rancangan serta proses penggarapannya;63
Selanjutnya berdasarkan praktek yang telah berjalan selama ini dapat ditambahkan runtutan proses berikutnya sebagai berikut:64
1. Pemerintah menyerahkan RUU kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dengan disertai amanat presiden;
60
Pasal 2 ayat (2) Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970.
61
Pasal 3 ayat (1) Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970.
62
Pasal 4 Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970.
63
Pasal 5 Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970.
21
2. Apabila RUU tersebut disetujui oleh DPR maka oleh DPR disampaikan kembali kepada Presiden dengan surat yang menyatakan persetujuan tersebut;
3. Presiden mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang dengan menandatanganinya;
4. Meteri/Sekertaris Negara mengundangkan dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Repbulik Indonesia;
Sedangkan proses mengenai peraturan pemerintah menurut A. Hamid, setelah Sekertaris Kabinet berpendapat, bahwa RPP telah selesai disusun dan dianggap sudah baik, diajukan kepada presiden untuk ditandatangani. Dan selanjutnya Menteri/Sekertaris Negara mengundangkan dengan dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Repbulik Indonesia.65
Sebagaimana pendapat Montesquiue berhubungan dengan pembagian kekuasaan negara dibagi menjadi tiga bagian yaitu kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan, dan kekusaan untuk menghakimi atau yudikatif.66 Sehingga dalam melegislasikan hukum Islam dalam perundang-undangan perlu proses melalui lembaga legislatif dan eksekutif, dan ketika perundang-undangan tersebut telah disetujui, perlu dilakukan uji materi terhadap undang-undang tersebut melalui badan yudikatif.
III.KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sejarah legislasi hukum Islam terbagi menjadi tiga periode, yaitu periode penjajahan, periode pasca kemerdekaan dan periode era reformasi. Periode penjajahan legislasi hukum Islam bermula dari lahirnya Staatsblad tahun 1854 No. 129 dan Staatsblad tahun 1855 No. 2, Resolute de Indieshe Regeering atau
Compendium Freijer, Staatblad 1882 No. 152, dan Staatblad 1937 No. 638
65
Amiroeddin Syarif, Perundang …, h. 140.
22
dan No. 639. Periode pasca kemerdekaan lebih banyak menghasilkan legislasi hukum Islam diantaranya yaitu UU No. 7 tahun 1989, UU No. 1 tahun 1974 jo. PP No. tahun 1975, Inpre No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No. 7tahun 1992. Periode reformasi menghasilkan UU No. 17 tahun1999, UU No. 38 Tahun 1999, UU No. 41 Tahun 2004, UU No 21 Tahun 2008, UU No.50 tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Sehubungan dengan lahirnya undang-undang dan peraturan pemerintah di atas, lembaga legislatif, eksekutif, dan politik hukum Islam berperan dalam lahirnya legislasi hukum Islam dalam perundang-undangan di Indonesia. Di mana proses pembentukan undang-undang tersebut melalui proses lembaga legislatif dan eksekutif, kemudian hasilnya di uji materi oleh lembaga yudikatif.
23
DAFTAR PUSTAKA
Al Amruzi, M. Fahmi, “Membumikan Hukum Islam Di Indonesia”, dalam Jurnal Al-Banjari, Vol. 14, No. 2, 2015.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konsdtitusi Republik Indonesia, 2006.
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Gunaryo, Achmad, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Halida, Annisa, “Presidensial, Partai Politik dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pasca Amandemen UUD
1945)”, Skripsi, Universitas Sumatera Utaram 2009.
Halim, Abdul, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Hamami, Taufiq, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 2003.
Hatta, Moh., “Perkembangan Legislasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Al-Qānūn, Vol. 11, No. 1, 2008.
Jalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (akarta: Prenada Media Group, 2006.
Kusnadi, Didi, “Hukum Islam Di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum
dan Produk Hukum)” dalam http://badilag.net pada tanggal 06 Maret 2017.
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Pada Masa Penjajahan
Hingga Masa Orde Baru”, dalam Jurnal Al-Hukama Vol. 1, No. 2, 2011. Miriam, Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
24
Murjani, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia Pasca Reformasi, Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2012.
Pancasilawati, Abnan, Perkembangan Legislasi Hukum Islam dalam Pembentukan Sistem Hukum Nasional: Tinjauan Juridis dan Politis, Bandung: Alfabeta, 2009
Praja, Juhaya S., Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.
Ramulyo, M. Idris, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta: Ind-Hill.Co, 1991.
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Rosman, Edi, “Legislasi Hukum Islam Di Indonesia (Sejarah Dan Relevansi
Praktis Pembaharuan Hukum Nasional)”, dalam Jurnal Alhurriyah, Vo 1, No 1, 2016.
Shobron, Sudarno, “Strategi Politik Hukum Islam Di Indonesia Masa Depan”, dalam Jurnal Suhuf, Vol. 21, No. 1, 2009.
Sirregar, Mudzakkir Khotib, “Legislasi dan Kodifikasi Hukum Islam”, dalam
Jurnal el Qonuny, Vol. 2, No. 1, 2016.
Syarif, Amiroeddin, Perundang-Undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Jakarta: Bina Aksara, 1987.