• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK HUKUM PROGRAM LEGISLASI UNDANG U

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK HUKUM PROGRAM LEGISLASI UNDANG U"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK HUKUM PROGRAM LEGISLASI

UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Politik Hukum

Dosen :

Prof. Dr. H Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.

Dr. Hernadi Affandi, S.H., L.L.M

Disusun Oleh :

Silvia Handriyanti 110620170045

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJAJARAN BANDUNG

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian.. ... 3

B.Identifikasi Masalah ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan ... 7

B. Perkembangan Perkawinan di Indonesia ... 9

C. Politik Hukum di Indonesia ... 13

BAB III PEMBAHASAN

A. Pengaruh Politik Hukum Dalam Program legislasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 16 Penyelesaian Masalah Berdasarkan Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangg ... 21

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 24

B. Saran ... 24

(3)

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang memiliki akal budi yang merupakan

subjek hukum. manusia dikatakan subjek hukum karena pada dasarnya, subjek

hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk

melakukan perbuatan hukum atau sesuatu yang mempunyai hak dan cakap serta

mampu bertanggung jawab untuk bertindak dalam hukum.1 Dalam hal ini hak

yang dimiliki setiap manusia harus diimbangi dengan kewajibannya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia:

“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu

merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan

dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”2

Hak asasi yang dimiliki manusia dimulai dari hak untuk hidup yang layak,

hak untuk memilih agamanya masing-masing, hak untuk memilih keyakinan

politiknya, hak atas rasa aman sampai hak untuk memperoleh rumah tangga

atau biasa disebut juga keluarga. Suatu keluaga diperoleh dari adanya

perkawinan di indonesia. Definisi dari keluarga di kemukakan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menyatakan bawa

keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajad

tertentu atau hubungan perkawinan.3

1R.Soeroso, PengantarIlmuHukum, Jakarta, SinarGrafika, 2008, hlm 227-228. 2Pasal 1 angka 1 Undang-UndangNomor 39 Tahun 1999 tentangHakAsasiManusia.

(4)

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha

Esa. Dari pengertian tersebut maka, tujuan dari dibentuknya sebuah perkawinan

adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu

saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.4

Di indonesia mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Seperti layaknya sebuah perjanjian, maka

dalam suatu perkawinan juga menimbulkan hak dan kewajiban yang harus

dipenuhi oleh para pihaknya. Dalam garis besar masing-masing suami dan istri

berkewajiban untuk saling menghormati dan saling memberi bantuan lahir

batin. Selain itu kewajiban suami itu sendi adalah melindungi dan memberikan

segala keperluan hidup kepada istri sesuai dengan kemampuannya.5 Sedangkan

istri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga.6

Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dibentuk untuk memberi perlindungan yang selayaknya pada keselamatan

perkawinan, karena tujuan dari perkawinan adalah untuk memnentuk keluarga

yang bahagia dan kekal maka dalam undang-undang ini mengganut prinsip

mempersukar tejadinya percraian.

Perkawinan identik dengan keluarga, Aristoteles mengemukakan bahwa

posisi keluarga atas rumah tangga sangat central, yakni sebagai pembinaan

negara. Dalam keluarga, seseorang dalam hal ini diharapkan mendapatkan

kesempatan menghayati penemuan-penemuan dengan sesama manusia

Pidana.

4Soerjono Soekanto, Intissari Hukum Keluarga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992, Hlm 5. 5Pasal 32 Ayat (1) Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan.

(5)

termasuk dalam memperoleh perlindungan pertama. 7 Tetapi pada

kenyataanya, dalam sebuah keluarga kerap terjadi kekerasan-kekerasan ringan

yang kadang dianggaap sebagai hal yang biasa karena hal tersebut dianggap

sebuah pembinaan dalam rumah tangga.

Dengan adanya anggapan maka setiap orang yang mengalami hal tersebut

menjadi terabaikan, hingga akhirnya dalam kekerasan kecil dapat menimbulkan

kekerasan yang menyangkut nyawa seseorang. Jika ditinjau lebih jauh, jumlah

kekerasan yang dialami korban meliputi kekerasan emosional, kekerasan

ekonomi, kekerasan fisik dan kekerasan seksual.8Sama dengan halnya tindakan

pidana, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga juga dapat menimpa siapa

sajabaik laki-laki maupun perempuan, baik anak-anak maupun orang dewasa.

Pada kehidupan nyata biasanya kekerasan rumah tangga lebih banyak terjadi

pada perempuan dan anak-anak karena wanita dan anak-anak cukup lemah.

Tindakan kekerasan dalam masyarakat sebenarnya sering dilakukan

bersamaan dengan tindakan pidana sebagaimana diatur dalam kitab

undang-undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya penganiayaan. Dan kekerasan pada

umumnya dapat menimpa siapa saja tanpa direncanakan terlebih dahulu.

Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan pun pada dasarnya tidak cukup melindungi adanya kekerasan yang

terjadi dalam rumah tangga karena sistem hukum sosial yang ada tidak

memberikan perlindungan dan pelayanan yang cukup bagi para korban

kekerasan dalam rumah tangga.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya

hanya mengatur mengenai berkehidupan dalam rumah tangga seperti

pewarisan, kematian, kewajiban suami dan istri, harta benda dalam perkawinan

7Moerti Hadiati Soeroso, kekerasan Dalam Rumah Tangga dala m Prespektif Yuridis-Viktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm vii.

8Pipih Sopiah, Mengapa Ada Kekerasan Dala m Rumah Tangga?, Bandung: CV. Indah Mustika,

(6)

dan tidak mengatur mengenai perlindungan hukum dalam pelaksanaan

perkawinan. Sehingga terkesan bahwa sistem hukum di indonesia belum

menjamin kepastian hukum terhadap para korban. Dengan banyaknya korban

kekerasan dalam rumah tangga ini maka dibentuknya Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dari masalah tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji tentang topik tersebut mengenai “Politik Hukum Program Legislasi Undang Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaima pengaruh politik hukum terhadap pembentukan Undang

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga?

2. Apakah Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sudah dapat menyelesaikan

masalah dalam masyarakat indonesia?

BAB II

(7)

A. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan

Keluarga dibentuk dalam sebuah perkawinan yang sah menurut hukum.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha

Esa. Dan perkawinan yang sah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu”

Sedangkan beradasakan pasal 26 Kitab Undang-undnag Hukum Perdata: “suatu perkawinan dalam hubungan perdatanya masing-masing.”

Dari pengertian-pengertian tersebut maka definisi dari perkawinan sendiri

itu beraneka ragam. Dalam Undang-Undang Perkawinan sebuah perkawinan

dikatakan sah apabila dilangsungkan dengan agamanya masing-masing,

sedangkan menurut Kitab Undnag-undangn Hukum Perdata, suatu perkawinan

merupakan suatu perikatan atau perjanjian.

Dalam perjanjian biasa, para pihak bebas menentukan isi dari perjanjian

yang dibuat oleh mereka yang bersangkutan sendiri dengan catatan tidak

bertentangan dengan perundang- undangan, kesusilaan baik dan ketertiban

umum, hal demikian berlaku terhdap setiap perjanjian yang dibuat oleh mereka

yang bersangkutan dan perjanjian tersebuit berfungsi sebagai undang-undang

yang mengikat bagi mereka yang membuatnya. Tetapi berbeda dengan

perjanjian perkawinan, dalam perjanjian perkawinan para pihak tidak bisa

menyimpang dari ketentuan dan akibat-akibat yang timbul dari suatu

(8)

peraturan-oeraturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban

masing-masing para pihak. 9

Perkawinan dapat menimbulkan sebuah akibat hukum, salah satu akibat

dari perkawinan antara lain berpengaruh terhadap keadaan hukum wanita

sebagai akibat dari apa yang disebut kekuasaan marital suami (Maritale

match)10. Maksud dari kekuasaan marital suami yaitu, wanira yang telah

menikah tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri sebab suami selaku

kepala perhubungan suami istri.

Dalam pelaksanaanya perkawinan di indonesia menganut sistem monogami

yaitu suatu asas yang mengizinkan seseorang boleh beristri lebih dari seorang

dengan syarat-syarat tertentu salah satunya adalah dikehendaki oleh para pihak

yang bersangkutan. Menurut Soedaryo alasan seorang suami melakukan

pernikahan lagi karena;

1. Bahwa istri tidak dapat menjalankan keawajibannya sebagai istri;

2. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

3. Bahwa istri tidak dapat memberikan keturunan.11

Dalam sebuah perkawinan menimbulkan sebuah kewajiban yang harus di

penuhi suami dan istri serta hak yang harus diperloleh suami dan istri. Dalam

hal ini suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya, jika istrinya

mempunyai hasil yang cukup karena bekerja atau karena atau karena suatu hal

yang sah maka istri diwajibkan untuk menanggung biaya/ pengeluaran rumah

tangga bersama. Apabila suami tidak memberikan segala apa yang diperlukan

oleh istrinya maka dapat digugat di muka pengadilan. Kewajiban seorang istri

adalah tidak meninggalkan suaminya tanpa alasan yang sah. Sedangkan

(9)

kewajiban suami dan istri satu sama lain adalah memberikan pemeliharaan dan

penididikan anak, saling menghormati dan memberi bantuan lahir dan batin.

B. Perkembangan Perkawinan di Indonesia

Dari pengertian perekawinan berdasarkan undang-undang perkawainan,

tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah membentuk keluarga yang bahagia

dan yang kekal dan hal ini juga berarti dalam perkawinan diaharapkan menjadi

tempat yang dapat memberikan rsa aman bagi anggotanya karena keluarga

dibangun oleh suami dan istri atas dasar ikatan lahir batin antara keduanya.12

Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan:

“antara suami istri mempunyai kewajiban untuk saling dinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.”

Bahkan, suami dan istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang

dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup di dalam masyarakat

serta berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 13

Tetapi pada perkembangannya dalam perkawinan seringkali di temukan

kekerasan, pelecehan seksual, penganiayaan dan kekerasan lainnya yang

bertentangan dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri. Kekerasan dalam

rumah tangga berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:

“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

(10)

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”

Pengertian kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri

memiliki unsur:

1. Perihal (yang bersifat, berciri) Keras;

2. Perbuatan seseorang atau kelompok ornag yang menyebabkan cedera

atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang

orang lain;

3. Paksaan.

Berdasarkan data dari Rifka Annisa Women’s Crisis Centerepada tahun

1994-2003, kekerasan rumah tangga hampir mancapa 1511 kasus yang hampir

setiap tahun mengalami peningkatan.14Kekerasan yang ada dalam rumah

tangga biasanya dimulai dari penganiyayaan hingga menyebabkan hilangnya

nyawa seseorang. Penganiyayan adalahh suatu kesengajaan yang menimbulkan

rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Untuk menyebut

seseorang telah melakukan penganiayayan terhadap orang lain, maka orang

tersebut harus mempunya opzetatau suatu kesengajaan untuk:

1. Menimbulkan sakit pada orang lain,

2. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain,

3. Merugikan kesehatan orang lain. Dengan kata lain, orang itu harus

mempunyai opzet yang ditunjukan pada perbuatan untuk menimbulkan rasa

sakit pada orang lain untuk menimbulkan luka pada tubuh orang lain ataupun

untuk metugikan kesehatan orang lain. 15

Penganiyaan merupakan slaah satu tindak pidana yang diatur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP penganiayaan

dibagi atas:

14Ibid

15Lamintang dan theo Laminang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan

(11)

1. Tindak Pidana Penganiayaan ringan

Berdasarkan Pasal 356 KUHP penganiayaan yang tidak menyebabkan

sakit atau hambatan dalam pelaksanaan tugaws-tugas jabatan atau

kegiatan-kegiatan pekerjaan. Tindak pidana penganiayaan ringan dalam hal ini harus

memenuhi syarat-syarat:

a. Bukan merupakan tindak pidana penganiyaan dengan direncanakan

lebih dahulu

b. Bukan merupakan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan:

1) terhadap ayah ibunya yang sah, suami, istri atau terhadap anaknya

sendiri.

2) Atau terhadap seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan

tugas dan jabatannya secara sah.

3) Dan bukan merupakan tindakan yang memberikan bahan-bahan

yang sifatnya berbahaya untuk nyawa dan kesehatan manusia

c. Tidak menyebabkan orang yang dianiaya menjadi sakit atau terhalang

dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya dalam melakanakan

kegiatan-kegiatan pekerjaannya.16

2. Tindak pidana penganiayaan berat

Tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja menyebabkan orang lain

mendapat luka berat pada tubuhnya dan menyebabkan meninggalnya

seseorang. Dalam hal ini seseorang dikatakan melakukan tindakan pidan

penganiayaan berat apabila dilakukan dengan sengaja, menimbulkan luka

berat pada orang lain.

Penganiayaan baik yang ringan maupun yang berat dapat menimbulkan

akibat. Dampak tindakan kekerasan terebut ditinjau dari beberapa

prespektif adalah:

1. Tinjauan psikologis, dapat menimbulkan:

(12)

a. Perasaan tidak berdaya

b.Selalu menyalahkan diri sendiri

c.Memiliki harga diri rendah

d.Tidak realistis dan memiliki sikap pasrah

2. Tinjauan medis, menurut Departemen Keshatan Republik Indonesiia,

dampak kekerasan pada korban akan berakibat antara lain:

a. Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan dan bunuh diri;

b. Trauma fisik berat, yaitu memar, patah tulang, hingga cacat;

c. Trauma fisik kehamilan yang beresiko pada ibu dan janin (abortus,

infeksi, anemia dan lain-lain.

d. Kehamilan yang tidak diinginkan, akibat pemerkosaan dan kelahiran

prematur;

e. Luka pada anak sebagai korban kejadian kekerasan;

f. Meningkatnya risiko terhadap kesakitan seperti gangguan pencernaan.

g. Gangguan mental seperti depresi, steres, ketakutan, rendah diri,

kelelahan kronis, putus asa, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual,

gangguan makan, kecanduan alkohol, mengisolasi dan menarik diri dari

lingkungan.

h. Pengaruh psikologis yang dialami oleh anak akibat seing melihat

tindakan kekeraasan yang sering dialami ibunya.

3. Tinjauan waktu, secara umum kasus kekerasan terhadap perempuan,

korban akan mengalami akibat yang berdampak jangka pendek dan

panjang:

a. Dampak jangka pendek, biasanya sesaat hingga beberapa hari setelah

kejadian. Pada umumnya berupa cedera fisik dan luka. Dari segi

psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkelm merasa

bersalah, malu dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan

(13)

b. Dampak jangka panjang, dapat terjadi apabila korban kekerasan tidak

mendapat penanganan dan bantuan yang memadai. Dampak tersebut

dapat berupa sikap ayai presepsi yang negatif terhadap laki-laki, serta

pula dapat mengakibatkan stres pascatrauma yang biasanya ditandi

dengan gejala-gejala khas seperti mimpi buruk, atau ingatan-ingatan

kejadian yang muncul secara tiba-tiba yang berkepanjangan.

C. Politik Hukum di Indonesia

Secara epistemologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa

indonesia dari istilah hukum Belanda yaitu rechtspolitiek, yang merupakan

bentukan dari 2 kata recht dan politiek.17Dalam bahasa indonesia kata recht

diartikan sebagaihukum dan Politiek diartikan sebagai kebijakan. Menurut

Lamire, politik hukum termasuk kajian hukum yang terkait ilmu pengetahuan

hukum positif yang merupakan bagian dari kebijakan legislatif. Politik hukum

mengkaji bagaimana penetapan hukum yang seharusnya. Kajian hukum positid

selalu menimbulkan pertanyaan tentang hukum yang seharusnya, atau hukum

yang diharapkan. 18 Politik hukum pada hakikatnya senantiasa berusaha

membuat kaidah-kaidah yang menentukan bagaimana manusia itu bertindak,

Politik Hukum berusaha untuk menyelidiki perubahan-perubahan apa yang

harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku sesuai dengan kenyataan

sosial.19

Menurut pandangan beberapa ahli hukum, rumusan mengenai politik

hukum didefinisikan sebagai:

1. Menurut Surojo Wignyodiputra, Politik hukum mennyelidiki

perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum sekarang supaya menjadi

lebih sesuai degnan perasaan hukum yang ada pada masyarakat.20

17Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012, Hlm 18.

18Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm 7. 19Abdul Latif dan Hasbi, Op. Cit, Hlm 20.

(14)

2. Soerjono Didjosisworo, masyarakat yang teratur senantiasa memiliki tujuan

untuk mensejahterakan warganya sebagai misal, politik hakikatnya adalah

sarana untuk mencapai tujuan tersebut untuk itu dilalui proses pemilihan

tujuan. Karenanya politik adalah juga aktivitas memilih tujuan tertentu.

Dalam hukum dijumpai keadaan yang sama. Hukum yang berusaha

memilih tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut adalah termasuk bidang

politik hukum adalah disiplin hukum yang mengkhususkan di

cita-citakannya oleh masyarakat tertentu. 21

3. Padmo Wahjono, Kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun

isi dari hukum yang dibentuk.22

Politik hukum pada dasarnya menyelidiki perubahan-perubahan apa yang

harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai

dengan kenyataan sosial. Akan tetapi, kadang juga: untuk menjauhkan

tatahukum dari kenyataan sosial yaitu dalam hal politik hukum menjadi alat

dalam tangan suatu rulling class yang hendak menjajah tanpe memperhatikan

kenyataan sosial itu. 23

Secara substansial, politik hukum diarahkan pada hukum yang seharusnya

berlaku (Ius Constituendum). Beberapa pertanyaan mendasar yang

dipersoalkan dalam studi politik hukum dalah:

1. Tujuan yang hendak dicapai dalam sistem hukum yang ada;

2. Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik untuk bisa dipakai

mencapai tujuan tersebut;

3. Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui carcara

bagaimanakahperubahan itu sebaiknya dilakukan;

21Soedjono Didjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali, 1984, Hlm 48.

22PadmoWahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum. Cet II. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, Hlm 160.

(15)

4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan yang bisa memutuskan

proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan;24

Dari hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa objek dari politik hukum itu

sendiri salah satunya adalah peraturan perundang-undangan. Peraturan

perundang-undangan pada dasarnya akan mencerminkan berbagai pemikiran

dan kebijaksanaan politik yang paling berpengaruh, biasanya bersumber pada

ideologi tertentu. Politik perundang-undangan merupakan subsistem hukum.

Oleh karena itu, politik perundang-undangn tidak dapat dipisahkan dari politik

hukum. Seperti yang diuraikan diatas politik hukum merupakan kebijakan yang

dibuat untuk membentuk arah dari hukum itu sendiri. Politik hukum pada

perundang-undangan berfungsi untuk menyelenggarakan kebijakan pemerintah

dibidang hukum itu sendiri. Secara internal ruang lingkup politik hukum dibagi

atas:

1. Politik pembentukan hukum

dalam politik pembentukan hukum berisikan mengenai tatacara maupun

isi dari perundang-undangan. Hal ini merupakan kebijaksanaan yang terkait

dengan penciptaan, pembaharuan dan pengembangan hukum yang

mencangkup:

a. Kebijaksaan (pembentukan) perundang-undangan;

b. Kebijaksanaan (Pembentukan) hukum yurisprudensi;

c. Kebijaksanaan terhadap yurisprudensi.

2. Politik penerapan dan penegakan hukum

Merupakan kebijaksanaan yang bersangkut paut dengan:

a. Kebijaksanaan di bidang peradilan dan cara-cara penyelesaiian hukum

diluar proses peradilan (arbitrase, negosiai dan rekonsiliasi);

b. Kebijaksanaan di bidang

(16)

BAB III

Pembahasan

A. Pengaruh Politik Hukum Dalam Program legislasi Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pada dasarnya segala hal yang berkaitan dengan perkawinan di

indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan. Sebenarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

(selanjutnya disebut UUP) tentang Perkawinan merupakan salah satu

unsaha unifikasi hukum di bidang hukum keluarga karena dalam

undang-udang ini tidak hanya diatur mengenai pekawinan saja, melainkan juga

tentang hukum keluarga meskipun pengaturannya secara garis besar saja

yaitu anatara lain pengaturan mengenai kedudukan anak, hak dan kewajiban

antara orang tua dan anak,perwalian yang kesemuanya ini merupakan

bagian dari hukum keluarga.25 Pada awalnya UUP dibentuk dan merupakan

hasil legislatif pertama pertama yang memberikan gambaran mengenai

kebenaran adanya bhineka tunggal ika. Dalam UUP ini diharapkan dapat

menlengkapi dan mengatur apa yang belum diatur dalam agama atau

kepercayaan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

peraturan pelaksanaannya tidak hanya mengatur hukum subtantif dari

perkawinan, akan tetapi mencangkup hukum ajektifya. Dalam hukum

ajektifnya tersebut dapat dikonsentrasikan betapa besarnya peran yang

(17)

diharapkan badan-badan peradilan. Pembentukan undang-undang terutama

mengharapkan peranan badan-badan peradilan untuk menangani

masalah-masalah seperti dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan

perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami dan istri,

putusnya perkawinan berserta akibatnya, kedudukan anak, hak dan

kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian dan juga mengenai

perkawinan campur.26

Tetapi, pada praktiknya tidak setiap perkawinan berjalan tanpa diikuti

adanya masalah. Masalah-masalah yang timbul dalam rumah tangga dalam

hal ini pada umumnya terjadi karena ulah dari para anggota keluarga itu

sendiri, hal ini menyebabkan kemungkinan timbulnya sebuah kekerasan

dalam rumah tangga. Beberapa faktor yang mendorong tejadinya tindak

kekerasan dalam rumah tangga adalah;

1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki, dalam hal ini laki-laki

mengaggap dirinya mampu mengatur dan mengenadlikan wanita.

2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi, pembatasan

kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan

ketergantungan terhadap suami, jadi ketika suami kehilangan

pekerjaannya maka istri dapat menjadi sasaran kekerasan.

3. Beban pengasuhan anak, kewajiban istri dalam hal ini adalah

mengurus anaknya sehingga apabila istri lalai dalam menjalankan

kewajibannya maka, suami akan menyalahkan istri dan terjadi

kekerasan.

4. Wanita sebagai anak-anak, dalam hal ini laki-laki merasa punya hak

untuk mengendalikan segala hak dan kewajiban dari wanita. Sama

halnya seperti melakukan kekerasan terhadap anak untuk

mendidiknya.

(18)

Sebelum adanya undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam hal ini korban dari

tindak kekerasan tidak banyak melakukan pelaporan kepada pihak polisi

disebabkan oleh faktor psikologis yaitu karena korban merasa tidak

mendapat dukungan dari masyarakat akan masalah yang dihadapi, merasa

yakin bahwa pelaku kekerasan dalam rumah tangga akan berubah, korban

merasa khawatir tidak mampu mengurus keluarganya sendiri, korban

khawatir bahwa proses hukum yang tidak berpihak pada korban, ketidak

tahuan korban akan perilaku kekerasan rumah tangga yang dialaminya.

Dapat disebabkan juga oleh faktor ekonomi karena korban bergantung/

menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada pelaku kekerasan dalam

rumah tangga,

Selain faktor psikologis dan faktor ekonomi, keengganan korban untuk

melaporkan perilaku kekerasan dalam rumah tangga karena korban

menerima kekerasan rumah tangga tersebut sebagai bentuk dari

pelanggaran hukum hingga peyelesaiaan masalahnya seringkali di tutup dan

/ atau ditunda. Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sering

dialami juga tidak di dukung oleh para penegak hukum itu sendiri,

maksudnya para penegak hukum dalam hal ini seringkali mengemukakan

alasan yang lazim yaitu karena adanya legitimasi hukum bagi pelaku untuk

melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni

keluarga. hal ini lah yang menjadikan pelaku kekerasan dalam rumah

tangga berlaku semakin seenaknya pada korban. Dalam UUP tidak

mengatur mengenai masalah yang terjadi dalam perkawinan.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang paling

banyak masuk ke LBH APIK Jakarta, yakni berjumlah 325 kasus27.

27Mohammad Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan

(19)

Sebelumnya, mengenai kekerasan dalam rumah tangga dibahas dalam

seminar yang diselenggarakan oleh pusat pelayanan dan pengabdian hukum

Universita Indonesia 1991. Dalam seminar ini dibahas mengenai ususlan

dalam menanggulangi tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang sudah

banyak terjadi. Dengan usulan tersebut maka terjadi pro dan kontra terhadap

usulan tersebut. Adanya yang setuju untuk dibentuknya undang-undang

khusus dengan alasan walaupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana telah dibahas mengenai tindakan kekerasan, tetapi belum dibahas

secara khusus mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Adan

juga yang menyatakan bahwa undang-undang pidana sudah cukup

mengatur menenai hal tersebut.

Tetapi, perjuangan dari kaum perempuan dan sebagian kaum pria mulai

menunjukan perjuangannnya untuk mendorong pembentukan

undang-undang tersebut, sampai akhirnya sejak tahun 1998-2004 banyak pihak dari

berbagai wilayah indonnesia ikut telibat untuk mendukung pembentukan

undang-undang ini. Kemudian sejumlah LSM/Ormas perempuan

mempelopori lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tanggadan LBH-APIK Jakarta

sebagai penggagas dan pembuat draft sejak tahun 1997. Gagasan mengenai

pentingnya sebuah undang-undang KDRT ini didasarkan oleh pengalaman

para perempuan korban KDRT yang terjadi di ranah domestik. 28

Hubungannya dengan politik hukum adalah dalam hal ini politik hukum

dikatakan sebagai kebijaksanaan. Karena peraturan perundang-undangan

merupakan salah satu aspek dari hukum, maka pengkajian peraturan

perundang-udnangan merupakan bagian dari subsistem dari kajian politik

hukum. Dengan adanya Program Legislasi Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(20)

merupakan salah satu bentuk penegakan Hak Asasi Manusia khususnya

bagi perempuan dan anak-anak.

Intervensi dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat ini memberikan

hasil yang baik yaitu terbentuknya Undang-Undnag Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Hal tersebut

ditujukan utnuk memberikan keadilan bagi korban kekerasan dalam rumah

tanggaserta memberikan perlindungan dan pelayanan yang cukup pada

korban.

Adapun pelaksanaan dari dibentuknya Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

tercantum dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa penghapusan KDRT

disebabkan :

a. Untuk menghormati hak asasi setiap manusia

b. Untuk keadilan dan kesetaraan gender

c. Nondiskriminasi

d. Perlindungan korban.

Dari hal tersebut dikatakan bahwa UUP dalam hal ini belum menjamin

adanya perlindungan hukum bagi para korban KDRT. Terkait pembentukan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga disini peran dari politik hukum itu sendiri adalah

berusaha untuk melakukan perubahan-perubahan yang harus diadakan

dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai dengan

kenyataan sosial. Karena dalam kenyataanya korban KDRT membutuhkan

perlindungan hukum dan hal tersebut belum begitu terlihat dalam sistem

hukum di indonesia. Sehingga lembaga legislatif dalam hal ini mengkaji

bagaimana penetapan hukum yang seharusnya agar menjadi hukum yang

(21)

Dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengarahkan kepada

produk hukum yang dibutuhkan pemerintah untuk mendukung tugas-tugas

pemerintahan dan pembangunan nasional, karena dengan perlindungan dari

pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat atau pihak lainnya yang

didapat para koban. Dan juga terhindarnya korban dari tindakan kekerasan

atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan

derajat martabat kemanusiaan. Dalam hal ini dapat mendukung

pembangunan nasional yang di harapkan oleh negara yaitu meningkatkan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata tanpa adanya

diskriminasi.

Karena setiap orang behak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari

segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah pancasila dan UUD 1945

dalam hal ini program legislasi mengenai Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

merupakan program yang juga ditujukan untuk menunjang pembangunan

nasional yang mencakup peraturan di bidang kesejahteraan umum. Program

Legislasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga disusun secara sistematis mengingat

banyaknya kekerasan dalam rumah tangga. Program ini dibuat oleh yang

berwenang dengan tujuan untuk memenuhi hak-hak dari para korban

KDRT. Karena penyebab lahirnya Program legislasi nasional dalam hal ini

salah satunya karena peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh

pemerintahan pada masa lalu yidak mencerminkan aspirasi masyarakat dan

kebutuhan pembangunan yang bersendikan hukum agama dan hukum

adat.29

29 Hernadi Affandi, dkk, Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional,

(22)

B. Penyelesaian Masalah Berdasarkan Undang Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Tujuan dari dibentuknya Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003

tentang Penghapusan Kekerasan adalah untuk menjamin perlindungan hukum

terhadap korban KDRT dan untuk menunjukan bahwa setiap orang memiliki

hak asasi yang harus dihormati, sehingga Undang-undang ini ditujukan untuk

mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban

kekerasan dalam rumah tanngga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah

tangga dan memelihara keutuhan rumah tagga yang harmonis dan sejahtera hal

ini tercantum dalam Pasal 4 .

Undang-undang ini dengan tegas melarang setiap orang untuk melakukan

kekerasan mengingat banyaknya korban kekerasan rumah tangga yang

membuat korban cacat fisik, mental maupun meninggal dunia.

Dalam udang-undang ini tercantum mengenai hak-hak untuk para korban

yaitu:

1. untuk mendapat perindungan hukum,jaminnan perlindungan sangat penting

untuk memastikan bahwa korban tersebut diperlakukan dengan simpatik

dan hati-hati oleh penegak hukum, keselamatan dirinya dijamin, sehingga

kesaksian yang diberikan dipastikan akan diperoleh untuk menghukum

pelaku KDRT.

2. Mendapat pelayanan kesehatan ditujukan agar korban mendapat pemulihan

medis, yaitu pemulihan luka fisik uanag diderita korabn dengan

memberikan rujukan ke rumah sakit uang menyediakan pelayanan terpadu

bagi korban KDRT psikis, hukum dan sosial, terutama untuk

mengembalikan kepercayaan dirinya, serta untuk mengembalikan

kecpercayaan dirinya.

3. Penanganan khusus terhadap kerahasiaan korban, hak korban untuk

(23)

pemerintahan sebagai organisasi yang berkewaiaban memberi,

perlindungan pada dirinya maupun pada pelaku KDRT.

4. Pelayanan bimbingan rohani, penguatan iman dan taqwa sesua dengan

agama yang dianutnya masing-masing.

Hak-hak terhadap korban tersebut dibentuk untuk merehabilitasi jiwa ,

pikiran, perasan dan mental terhadap korban KDRT. Dengan dibentuknya

undang-undang ini memungkinkan adanya perlindungan terhadap perempuan

dan anak-anak terhadap tindakan KDRT. Tetapi pada penerapannya seteleh 2

tahun diberlakukannya Undang-undang ini, dan dibukanya layanan khusus bagi

perempuan korban sepanjang tahun 2006 LBH-APIK Jakarta telah menerima

pengaduan sebanyak 867 Kasus. Jumlah ini merupakan penurunan sebesar 20%

dari tahun-tahun sebelumnya.

Dari data tersebut maka penerapan undang-undang ini sebenarnya bisa

menjadi indikator yang digunakan untuk menyikapi kekersasan-kekerasan

dalam rumah tangga, walaupun masih ada sekitar 867 kasus mengenai KDRT

tetapi ada penurunan yang membuktikan bahwa program legalisasi

undang-undang kekerasan dalam rumah tangga ini cukup berhasil diterapkan, karena

keberhasilan sebuah undnag-undang di tentukan dari penerapannya dalam

(24)

BAB IV

Penutup

A. Kesimpulan

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga merupakan salah satu bentuk kebijakan

pemerintahyang bertujuan untuk penegakan Hak Asasi Manusia khususnya

bagi perempuan dan anak-anakKarena setiap orang behak untuk

mendapatkan rasa aman. Undang-undang ini merupakan salah satu produk

politik hukum yang timbul dari intervensi-intervensi kelompok

lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat yang menginginkan perlindungan bagi kaum

wanita dan anak-anak. Program legalisasi Undang-undnag ini walaupun

pada dasarnya di buat karena intervensi, tetapi dibutuhkan oleh pemerintah

untuk mendukung tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan nasional

yang menciptakan masyarakat yang makmur dan sejahtera secara adil dan

merata mengingat banyaknya diskriminasi terhadap pihak wanita dan

anak-anak.

2. Program legislasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sejauh ini bekerja dengan

baik meskipun belum banyak membantu dalam praktikanya tetapi sudah

membuat penurunan korban-korban kekerasan dalam rumah tangga.

B. Saran

1. Undnag-undang merupakan suatu hal yang dapat mengatur masyarakatnya

sehingga untuk menciptakan masyarakat yang makmur dan sejahtera

diperlukan undang-undang yang dapat mengakomodir kebutuhan

(25)

penyusun undang-undang seharunya melihat kebutuhan masyarakatnya

dalam menyusun undang-undang sehingga penyusunan undang-undang

tidak terbentuk karena intervensi dari pihak manapun.

2. Seharusnya dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tanggamasyarakat dapat

ikut berkontribusi sehingga mengurangi tingkat kekerasan dalam rumah

tangga lebih banyak untuk membantu pemerintah dalam pembangunan

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:

Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Djuaendah Hasan, Hukum Keluarga, Bandung: Armico, 1988

Hernadi Affandi, dkk, Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Bandung: Mujahid Press, 2017

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012

Jazim Hamini, Teori dan Politik Hukum Tata Negar a, Yogyakarta: Total Media, 2009

Lamintang dan theo Laminang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nya wa, Tubuh dan Kesehatan, Jakarta; Sinar Grafika, 2010

Moerti Hadiati Soeroso, kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Prespektif Yuridis-Viktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Mohammad Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014

Pipih Sopiah, Mengapa Ada Kekerasan Dalam Rumah Tangga?, Bandung: CV. Indah Mustika, 2012

PadmoWahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum. Cet II. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986

R.Soeroso, PengantarIlmuHukum, Jakarta, SinarGrafika, 2008.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991

Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 1992

(27)

Soerjono Soekanto, Intissari Hukum Keluarga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992

Surojo Wignyodiputro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:Gunung Agung, 1982

Vollmar, Hukum Keluarga Menurut KUH Perdata, Bandung: Taristo, 1990

Undang-Undang:

Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan

Referensi

Dokumen terkait

Aturan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Korban KDRT pada Proses

Definisi kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah

Kekerasan dalam rumah tangga menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Kesimpulan penyuluhan hukum ini adalah sebagai berikut : efektivitas pelaksanaan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka diambil suatu pemahaman bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka diambil suatu pemahaman bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Respon Masyarakat Terhadap Sosialisasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Sebuah Pendekatan Partisipatoris Pada