ANALISIS SEBAB DAN AKIBAT INTERPRETASI NINE- DASHED LINE DI LAUT CINA SELATAN TERHADAP LANDAS KONTINGEN PULAU NATUNA YANG
MERUGIKAN SECARA TERITORIAL NEGARA INDONESIA DAN UPAYA DIPLOMATIK PENYELESAIAN KONFLIK TERSEBUT BERDASARKAN UNCLOS
1982
Disusun Oleh : Nama : Azizah Imamatun Nisa NIM : E0014058
Kelas : D
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126
Telp. (0271) 646994 Fax. (0271) 646655 2016
PENDAHULUAN
Indonesia bukan pihak yang menuntut dalam sengketa ini, namun negara Indonesia akan terkena imbas jika terjadi konflik di Laut Cina Selatan karena interpretasi dari “nine-dash line” atau sembilan garis terputus di peta Cina, yang mengklaim sekitar 90% dari perairan yang luasnya 3,5 juta kilometer persegi (atau 1,35 juta mil persegi). Karena kepentingan strategis dan ekonomis dari perairan tersebut, maka isu ini telah menjadi permasalahan internasional. Oleh karena itu, Indonesia merasa terganggu karena Cina telah memasukkan sebagian dari Kepulauan Natuna dalam sembilan garis terputus tersebut, yang berarti menyatakan sebagian dari provinsi Kepulauan Riau masuk ke wilayahnya. Garis terputus tersebut terlihat di paspor warga negara Cina yang baru diterbitkan. Kepulauan yang termasuk di sini terletak di pesisir barat laut Kalimantan, yaitu Pulau Natuna.
Kepulauan Natuna merupakan wilayah Indonesia yang paling utara di Selat Karimata. Kepulauan Natuna terdiri dari pulau-pulau kecil yang berbatasan langsung dengan wilayah maritim tiga negara, yaitu Malaysia, Singapura dan Vietnam. Kepulauan Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik bahkan di Dunia. Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 14.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680 barel. Kawasan laut Natuna juga merupakan salah satu jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan menjadi lintasan laut Internasional bagi kapal-kapal yang datang dari Samudera Hindia memasuki negara-negara industri di sekitar laut tersebut dan juga menuju Samudera Pasifik. Dalam hal wilayah, Cina mengklaim 90% wilayah perairan Laut Cina Selatan seluas 3,6 juta kilometer persegi.
Persengketaan Cina di wilayah ini mencakup dua persoalan utama yaitu kedaulatan teritorial dan kedaulatan maritim. Kedaulatan teritorial membahas tentang kepemilikan wilayah daratan yang ada di daerah ini sementara persengketaan kedaulatan maritim berhubungan dengan penetapan batas yang diijinkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS III) 1982. UNCLOS menetapkan bahwa kedaulatan teritorial laut adalah 12 mil dari tepi pantai dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil. Meskipun Indonesia bukan negara pengklaim di wilayah sengketa itu, akan tetapi Indonesia memiliki pula kepentingan di perairan tersebut. Selain kepentingan politik yang terkait dengan stabilitas kawasan, Indonesia mempunyai pula kepentingan ekonomi di Laut Cina Selatan, khususnya pada zona ekonomi eksklusif (ZEE).
wilayah klaimnya sendiri di Laut Cina Selatan. Situasi ini akan terus menciptakan ketidakpastian keamanan di kawasan dan meningkatkan kemungkinan akan terjadinya konflik terbuka di kawasan tersebut.
Bagi Cina, tindakannya di Laut Cina Selatan akan menegaskan persepsi umum akan intensinya sebagai kekuatan yang sedang tumbuh. Kebijakan non-perang yang diadopsi Beijing akan membuat negara-negara tetangganya merasa yakin bahwa Beijing menginginkan perkembangan yang damai. Negara Cina yang terlalu asertif, yang merubah status quo lewat parade kekuatan militernya, akan memberi dampak sebaliknya. Negara-negara Asia Tenggara tidak akan menyambut baik munculnya lingkup kekuasaan di kawasan berdasarkan kebangkitan militer dan aspirasi kepemimpinan satu negara. Pemerintah Cina mengakui wiilayah perairan Natuna milik Indonesia.
Pengakuan itu muncul setelah Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia Retno LP Marsudi memprotes keras tindakan kapal nelayan Cina yang masuk Natuna untuk mencuri ikan. Semula, Kedutaan Besar Cina di Jakarta, memprotes penangkapan kapal dan delapan anak buah kapal (ABK) Cina oleh aparat keamanan. Kedubes Cina bahkan mengklaim penangkapan itu terjadi di perairan milik Cina. Padahal, Indonesia berulang menegaskan, perairan Natuna, sepenuhnya milik Indonesia. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, akhirnya memberi penegasan soal kepemilikan Indonesia atas perairan Natuna. Menlu Retno telah memanggil dan menemui Kuasa Usaha Kedutaan Besar Cina di Jakarta, Sun Wei Dei. Pemanggilan ini untuk memprotes keras pelanggaran kapal Cina di wilayah Natuna, Indonesia. Dalam pertemuan itu untuk menyatakan protes keras atas penetepan yang dilakukan oleh Cina yang mengganggu kedaulatan teritorial Indonesia. Peampaian nota yang berisi sebagai berikut, pertama terdapat pelanggaran coast guard Cina terhadap hak berdaulat dan yuridiksi Indonesia di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif dan landas kontingen. Protes kedua adalah pelanggaran coast guard Tiongkok (Cina) terhadap penegakan hukum yang dilakukan terhadap aparat Indonesia pada Zona Ekonomi Ekslusif dan landas kontingen. Pelanggaran juga dilakukan coast guard Tiongkok pada kedaulatan laut teritorial Indonesia. Indonesia telah minta klarifikasi pada Pemerintah Tiongkok atas kejadiaan ini. Dalam pertemuan itu menekankan kepada pihak Cina bahwa dalam hubungan bernegara yang baik, prinsip hukum internasional termasuk UN Clos 1982 harus dihormati. Indonesia bukan claim state Laut Cina Selatan
PEMBAHASAN
dinasti Qin dan dinasti Han. Kemudian dari tahun 960 sampai 1368, orang-orang Cina memperluas aktivitasnya ke perairan pulau Zhongsha dan Nansha. Kawasan perairan Natuna juga memiliki kekayaan sumber daya alam yaitu gas dan minyak yang sangat diperlukan oleh Cina. Selain itu, Cina sangat bergantung pada perairan Natuna karena perairan ini merupakan pintu masuk dari jalur Laut Cina Selatan menuju ke samudera hindia, di mana hal tersebut sangat penting bagi ekspor barang-barang Cina. Kawasan Laut Cina Selatan yang berada di kawasan perairan Natuna sangat vital bagi Cina karena kawasan itu merupakan alur pelayaran penting sebagai penghubung komunikasi Utara-Selatan, dan Timur-Barat. Lalu, pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Asia, membuat negara Cina sangat berkeinginan menguasai kontrol dan pengaruh atas wilayah Laut Cina Selatan yang dinilai sangat strategis dan membawa manfaat ekonomis yang sangat besar bagi suatu negara. Aktivitas-aktivitas Cina berlanjut terus sampai tahun 1911, di mana wilayah kegiatannya sudah mencakup semua pulau di Laut Cina Selatan. Pemerintah Cina di masa Perdana Menteri Zhou Enlai pada Tahun 1949 juga menegaskan klaimnya dalam bentuk kebijakan yang dikenal dengan U-Shaped Line atau Nine-Dashed Line). Batas ini merupakan garis demarkasi yang digunakan oleh pemerintah Cina yang mencakup fitur-fitur utama Laut Cina Selatan. Wilayah di dalam batas garis tersebut dianggap oleh pemerintah Cina sebagai wilayah kedaulatan Cina. Salah satu masalah penting adalah garis demarkasi. Garis tersebut tidak kontinyu dan tidak ada peta yang bisa menunjukkan seperti apa bentuknya apabila dibuat menyambung. Karena tidak pernah ada penjelasan dari pihak Cina, maka tidak ada yang tahu arti dan tujuan sebenarnya pembuatan garis tersebut dalam konteks strategi. Nine-Dashed Line ini tidak bisa disahkan sebagai perbatasan teritorial karena tidak sesuai dengan Hukum Internasional yang mengatakan bahwa perbatasan teritorial harus stabil dan terdefinisi dengan baik. Garis tersebut tidak stabil karena dengan mudah bisa berubah dari sebelas menjadi sembilan garis tanpa alasan jelas dan tidak terdefinisi dengan baik karena tidak memiliki koordinat geografis spesifik dan tidak menjelaskan bentuknya apabila semua garis dihubungkan.
Menurut Hukum Internasional, peraitan dapat disahkan sebagai perairan historis apabila memenuhi paling tidak dua
persyaratan di berikut :
1. Di dalam daerah yang bersangkutan, negara harus benar-benar menerapkan kedaulatannya secara terus menerus, secara damai dan dalam jangka panjang.
Ternyata sangatlah sulit bagi Cina untuk memenuhi persyaratan pertama. Sebabnya adalah semua dokumen resmi yang tercetak sebelum tahun 1909 menyatakan bahwa ujung paling selatan dari Cina adalah distrik Nihai di Pulau Hainan. Ditambah lagi, peta Cina yang digambar pada abad ke 17 oleh East India Company menyatakan bahwa daerah Cina paling ujung mulai di pulau Hainan di lintang 180. Orang-orang Cina juga baru menginjakkan kaki di Kepulauan Paracel pada tahun 1909 ketika kepulauan ini di bawah kekuasaan Vietnam dan bukan lahan yang tidak berpenghuni. Orang Cina juga baru tiba di kepulauan Spratly pada tahun 1932. Menyangkut persyaratan ke dua, pihak Cina menyatakan bahwa garis U ini sudah ada sejak lama dan selama itu tidak ada negara yang keberatan. Namun, menurut Hukum Internasional, klaim teritorial harus dideklarasikan secara terbuka dan dipertahankan paling tidak untuk jangka waktu yang cukup untuk memungkinkan adanya protes resmi dari negara lain yang berkeberatan. Dan, aktivitas pertahanan kedaulatan harus dilakukan secara terus terang sehingga aktivitas rahasia tidak dapat diberlakukan sebagai dasar untuk hak historis.
ladang gas Natuna berada dalam territorialnya, walaupun terletak lebih dari 1.000 mil sebelah selatan Cina. Setelah penjabaran di atas dapat kita ketahui bahwa kepentingan-kepentingan kelangsungan hidup Indonesia akan terganggu dan dirugikan jika Pulau Natuna menurut Cina termasuk dalam peta sembilan garis terputusnya itu. Karena keseluruhan manfaat dari pulau itu akan dimiliki oleh Cina.
Dari beberapa poin diatas, upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah dengan melakukan upaya ke arah pengembangan mekanisme penyelesaian konflik Laut Cina Selatan dengan damai. Upaya yang lebih kongkrit dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan dengan mengupayakan suatu jalan bagi pembentukan “Code of Conduct of the Parties in South Cina Sea”. Indonesia berkepentingan untuk mengendalikan eskalasi konflik agar tidak menjadi lebih buruk lagi. Sengketa Laut Cina Selatan yang berubah menjadi konflik akan menyerap sumberdaya nasional Indonesia yang tidak sedikit guna mengamankan kepentingan nasionalnya, termasuk menyangkut stabilitas kawasan pada aspek diplomatik. Namun Indonesia tetap melakukan upaya diplomatik dengan Cina agar sengketa wilayah Laut Cina Selatan tidak meluas ke wilayah kedaulatan Indonesia di Natuna. Harus menyelesaikan konflik dengan mengedepankan diplomasi dalam menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan. Mengimplementasikan secara penuh dan efektif dari Declaration on the Conduct of Parties in the South Cina Sea (DOC), yaitu membangun rasa saling percaya, meningkatkan kerjasama, memelihara perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan. Dalam menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan pemerintah Indonesia telah memiliki instrumen penyelesaian konflik yang memadai. Inisiatif Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang mengusulkan draf awal kode etik atau zero draftcode of conduct Laut Cina Selatan bisa dijadikan senjata bagi diplomasi Indonesia. Ada tiga poin penting yang menjadi tujuan zero draft code of conduct yang diusulkan oleh Marty, yakni untuk menciptakan rasa saling percaya, mencegah insiden, dan mengelola insiden jika insiden itu terjadi. Pada tiga tahap ini juga dipaparkan langkah-langkah konkrit yang mengatur kapal-kapal perang untuk menciptakan rasa saling percaya, mencegah insiden dan mengelola insiden.
menggunakan kekuatan militer. Melakukan diplomasi preventif diharapkan dapat menekan potensi konflik antara Indonesia dan Cina. Diplomasi preventif dilakukan sebagai upaya pencegahan agar perselisihan tidak semakin memanas dan menjadi konflik terbuka antar negara. Hal ini dengan cara mengadakan berbagai kerjasama antara Indonesia dan Cina baik dalam bidang ekonomi, militer maupun teknologi. Usaha-usaha ini diharapkan mampu menekan konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan demi menjaga keamanan dan kepentingan Negara Indonesia. Dan yang perlu ditekankan sekali lagi bahwa kepemilikan Indonesia atas Pulau Natuna sudah sangat jelas. Pulau-pulau terluar pada Gugusan Natuna yang dijadikan titik dasar terluar wilayah Indonesia telah ditetapkan dalam Deklarasi Djuanda pada tahun 1957. Sesuai dengan UNCLOS 1982, titik dasar ini telah didaftarkan di PBB tahun 2009.
PENUTUP
Kesimpulan
Upaya diplomatik yang dilakukan Indonesia dan Cina dalam mengatasi potensi konflik landas kontinen di Kepulauan Natuna belum dapat dilakukan secara maksimal karena konflik territorial di Laut Cina Selatan sendiri begitu kompleks antara Cina dan beberapa negara ASEAN dan masih belum mencapai jalan keluar yang mapan. Penulis menyarankan agar Indonesia terus berpartisipasi serta mendorong Cina dan negara-negara yang bersengketa agar konflik territorial di kawasan Laut Cina Selatan dapat menemukan jalan keluar demi keamanan di kawasan Laut Cina Selatan terutama keamanan bagi Indonesia di perairan Kepulauan Natuna.
DAFTAR PUSTAKA
Sefriani. 2014. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Kusumaatmadja, Mochtar. 1986. Hukum Laut Internasional. Bandung: Bina Cipta.
http://newsinfo.inquirer.net/inquirerheadlines/nation/view/20110415-331204/PHruns-to-UN-to-protest-Chinas-9-dash-line-Spratlys-claim
Judiono. “Mencermati Sengketa Teritorial Laut Cina Selatan”. http://judiono.wordpress.com, diakses pada tanggal 6 April 2016 pada Pukul 18.59 WIB.
Nainggolan, P. P. 2013. Konflik Laut Cina Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan. Jakarta: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia.
Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna. “Potensi dan Peluang Investasi”, http://www.natunakab.go.id/investasi.html, diakses pada tanggal 5 April 2016 pada Puku; 16.15 WIB.
KASUS ILLEGAL FISHING DI PULAU BENJINA
Sebelum Kepolisian Daerah (Polda) Maluku di bawah komando Brigadir Jenderal Polisi Mudji Waluyo gencar melaksanakan operasi illegal fishing, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Dumar-Kota Tual memiliki kurang lebih 300 kapal penangkap ikan, dengan volume ekspor per tahunnya sekitar 151.000,- ton. Namun sejak tahun 2008, aktivitas ekspor baik itu, ikan, udang, cumi dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual hanya mencapai 120.000,- ton pertahun. Sedangkan penyebab menurunnya ekspor dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Dumar-Kota Tual tidak diketahui secara pasti kenapa sampai demikian, namun diprediksikan bahwa dengan ketatnya operasi pemberantasan illegal fishing oleh Polda Maluku tahun 2008, membuat para mafia perikanan takut menyinggahi pelabuhan tersebut.
Benjina ke pelabuhan Tual Maluku untuk diperiksa lebih lanjut dan dipulangkan kembali ke asalnya.
Hal yang sama juga di PT. Pusaka Benjina Resources (PBR), yang terletak di Pulau Maikoor, Kecamatan Benjina Kabupaten Kepulauan Aru dengan luas areal + 70 hektar yang dibeli dari PT. Djayanti Group ini merupakan perusahaan milik pengusaha Tex Suryajaya, yang bekerjasama dengan pengusaha Thailand. Ketika sampai diareal PT. Pusaka Benjina Resources, FP4N langsung menemui Site Manager PT. Pusaka Benjina Resources, Herman Martino. Dalam pertemuan tersebut, dirinya mengatakan, Perusahaan ini (PT. Pusaka Benjina Resources) diresmikan pada Juni 2007, oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, yang dilakukan melalui teleconference dari Ambon (sehari sebelum pembukaan Harganas di Ambon). Sebelum membuka usahanya di Benjina, PT. Pusaka Benjina Resources telah memiliki usaha penangkapan ikan di Tual, Merauke dan Ambon. Tetapi sejak adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 tahun 2006, maka PT. Pusaka Benjina Resources dengan dibantu Departeman Kelautan dan Perikanan (Sekarang Kementrian Kelautan dan Perikanan-red), memilih Benjina sebagai home based. Dengan + 70 kapal, PT. Pusaka Benjina Resources (PBR) memulai aktivitasnya di areal bekas PT. DJayanti Group tersebut. Tetapi baru berjalan beberapa saat, kapal-kapal yang diakui milik PT. Pusaka Benjina Resources, terjaring razia oleh Polda Maluku, yang sangat giat memberantas illegal fishing. Lebih lanjut Herman Martino menambahkan, Kapal-kapal milik PT. Pusaka Benjina Resources yang lolos dari penangkapan tersebut dikarenakan ada yang melarikan diri ke Merauke, ada pula yang malah kembali ke Thailand. Terjaringnya kapal-kapal "milik" PT. PBR tersebut oleh Polda Maluku, karena perusahan ini kedapatan mempekerjakan Anak Buah Kapal (ABK) berkebangsaan Thailand yang saat itu berjumlah sekitar 2684 orang, tanpa izin kerja sebagaimana yang diatur undang-undang ketenagakerjaan RI. Bahkan yang lebih miris lagi, mereka juga melakukan transshipment di tengah laut (dekat perbatasan). Sebelum melakukan transshipment, para ABK Indonesia malah disuruh pindah ke kapal lain, dengan cara melompat dari kapal tersebut, kemudian berenang ke kapal yang lain. Sedangkan para ABK asal Thailand tetap berada di kapal.
kapal melakukan bongkar muat di pelabuhan PT. Pusaka Benjina Resources. Bahkan setiap bulannya PT. Pusaka Benjina Resources mengekspor ikan beku ke Thailand + 6000-7000 ton. Di mana ekspor ikan tersebut Ekspor tersebut menggunakan kapal pengangkut bernama Silver Sea Line yang merupakan milik perusahaan Thailand.
SUMBER :
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150409074057-92-45299/satgas-illegal-fishing-usut-kasus-benjina-hingga-thailand/, diakses pada tanggal 24 Maret 2016 pukul 22.10 WIB.
http://www.antaranews.com/berita/518659/menteri-susi-kasus-benjina-sudah-sampai-kejaksaan, diakses pada tanggal 25 Maret 2016 pukul 10.02 WIB.