Perbandingan Antara Aliran-aliran Pelaku Dosa Besar
PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN PELAKU DOSA BESAR 1. Aliran khawarij
Khawarij merupakan aliran dalam islam yang pertama kali muncul, mereka selalu menyatakan “La hukma illalah” (tiada hukum yang benar kecuali disisi Allah).
Aliran yang muncul akibat tidak setuju dengan tahkim yang di adakan pada perang Siffin antara Saidina Ali Bin Abi Thalib dengan Saidina Muawiyah. Mereka memfatwakan bahwa sekalian dosa adalah besar, tidak ada namanya dosa kecil atau dosa besar. Sekalian pendurhakaan kepada Tuhan adalah besar tidak ada yang kecil menurut aliran khawarij.[1]
Aliran khawarij menurut Al-Bagdadi terpecah menjadi 20 sekte. Diantaranya adalah Al-Muhakimah fatwanya adalah Orang yang melakukan dosa besar adalah kafir, telah keluar dari islam dan kekal di dalam neraka. Orang-orang yang menyetujui tahkim, berzina, membunuh tanpa sebab, dll. Adalah orang yang berbuat salah dan menjadi kafir keluar dari islam.[2]
Al-Najdat pendapatnya yaitu orang yang berdosa besar adalah kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sefaham dengan golonganya, adapun pengikutnya jika melakukan dosa besar betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian masuk surga.
Al-Sufriah pemimpin golongan ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar, mereka berpendapat bahwa orang yangn melakukan dosa besar adalah musyrik, ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan. Yang pertama yaitu dosa yang ada sangsinya di dunia seperti membunuh dan berzina, dosa yang tidak ada sangsinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa.
Orang yang berbuat dosa besar golongan pertama tidak di pandang kafir, yang menjadi kafir hanyalah orang yang melakukan dosa besar golongan ke dua. Al-Ibadah pemimpinnya adalah ‘Abdullah Ibn Ibad merupakan golongan paling moderat diantara golongan khawarij yang lain. Paham mereka tentang dosa besar adalah Orang yang melakukan dosa besar Muwahhid tetapi bukan mukmin dan kalaupun kafir hanya merupakan kafir ni mah bukan kafir al-millah. Dengan kata lain mengerjakan dosa besar tidak membuat seseorang keluar dari agama islam.[3]
Kaum murji’ah yang “gullah” (yang radikal) sampai ada yang beri’tikad, bahwa asal kita sudah mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rasul-rasul-Nya maka kita sudah mukmin walaupun melahirkan dengan lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghina Nabi, Al-Qur’an dll.
Persoalan dosa besar yang di timbulkan kaum khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian pula bagi mereka, kalau khawarij menjatuhkan hukum kafir kepada orang yang melakukan dosa besar, jika murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.[4]
Adapun dosa besar yang mereka lakukan itu di tunda penyelenggaraanya di hari perhitungan kelak. Karena mereka mengatakan bahwa orang mu’min yang mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rosul-rosul-Nya ia mu’min walaupun melakukan dosa besar, Dosa bagi kaum murji’ah tidak apa-apa asal sudah ada iman dalam hati.[5]
3. Mu’tazilah
mu’tazilah (mengasingkan diri) mereka memfatwakan orang yang melakukan dosa besar tidak akan di ampuni dosanya sebelum ia bertaubat, dan akan terus menerus di dalam neraka tidak akan keluar lagi. Akan tetapi kalau orang mu’min yang berbuat dosa besar/dosa kecil ia akan di hukum dalam neraka di suatu tempat, lain dari tempat orang kafir. Nerakanya agak dingin mereka tinggal di antara dua tempat, yakni antara surga dan neraka.[6]
Prinsip ini sangat penting yang karenya Washil Bin ‘Atha pendiri mu’tazilah memisahkan diri dari gurunya Hasan Al-Basri, ia memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik tidak mu’min tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir, dan tingkatan orang fasik dibawah orang mu’min di atas orang kafir. Jalan tengah ini di ambilnya dari :
1. Fikiran-fikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan adalah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
2. Plato yang mengatakan bahwa ada sesuatu tempat di antara baik dan buruk. Golongan mu’tazilah memperdalam jalan tengah tersebut sehingga di jadikanya suatu prinsip “Rationalitas-ethis Philosopis”.[7]
Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar adalah tetap mukmin, karena masih ada imannya, tetapi karena dosa besar yang telah di lakukannya ia menjadi fasiq, jadi ia bukan teman juga bukan musuh.[8]
Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka orang itu tetap mu’min, dimandikan, dikuburkan, sebagai orang mu’min. Karena pada hakikatnya ia mu’min yang durhaka kepada Tuhan.
Orang semacam itu di akhirat nanti menurut keyakinan Asy’ariyah akan mendapat beberapa kemungkinan :
1. Boleh jadi dosanya di ampuni oleh Tuhan.
2. Boleh jadi ia mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW sehingga di bebaskan dan tidak mendapat hukuman dan langsung masuk surga.
3. Ia di hukum di dalam neraka buat seketika, dan akhirnya di keluarkan dan di masukan kedalam surga.
Pendapat ini berdasarkan pada ayat Qur’an :
ﺎﻣﻴﺿﻋﺎﻤﺛﺍﻯﺮﺗﻔﺪﻘﻔﷲﺎﺒﻚﺮﺸﻳﻦﻣﻮﺄﺸﯿﻦﻤﻠﻚﻠﺬﻦﻮﺪﺎﻣﺮﻔﻐﯿﻮﻪﺑﻚﺮﺸﻳﻦﺍﺮﻔﻐﻳﻻﷲﻦﺍ
Artinya :
“Bahwasanya Tuhan (Allah) tidak mengampuni dosa seseorang kalau ia memepersekutukan-Nya, tetapi di ampuni-Nya selain dari pada itu bagi siapa yang di kehendakiNya. Siapa yang mempersekutukan Allah sesungguhnya ia telah membuat dosa yang sangat besar”.(Qs. An-nisa’:48).[9]
Jadi orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat, maka orang itu tetap mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula mendapat syafa’at Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt maka orang itu dimasukkan ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke surga.
5. maturidiyah
Al-Maturidi menolak ajaran Mu’tazilah mengenai masalah soal dosa besar tetapi aliran ini sefaham dengan aliran Asy’ariyah yaitu : bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mu’min, dan soal dosa besarnya nnanti akan di tentukan Tuhan kelak di akhirat.[10]
Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman, maka timbulah aliran-aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman dan siapa yang kafir. Adapun aliran-aliran tersebut adalah Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.
1. Mu’tazilah
Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.[11]
Menurut kaum Mu’tazilah Iman bukanlah Tasdiq dan iman dalam arti mengetahuipun belumlah cukup. Menurut ‘Abd al-jabar, orang yang mengetahui Tuhan tetapi melawan-Nya bukanlah orang yang beriman (mukmin).
Dengan demikian iman bukan Tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi ‘amal yang timbul sebagai akibat mengetahui Tuhan, tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksana perintah-perintah Tuhan.[12]
Menurut Abu Huzail yang di maksud dengan perintah Tuhan adalah bukan hanya yang wajib saja, tetapi juga yang sunnat. Sedang menurut Al-Jubba’i yang di maksud dengan itu hanyalah perintah-perintah yang bersifat wajib.
2. Ahlus sunah
Menurut aliran ini Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.
Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena mengingkari rukun iman yang enam, misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan, menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.
3. Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.
Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiqsebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
Kaum Maturidiyah dari golongan Bukhara berpendapat sama dalam hal ini dengan Asy’ariah yaitu bahwa akal manusia tidak sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal, batasan yang di berikan oleh Al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya.[13]
4. Khawarij
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekeuasaan adalah bagian dari keimanan (amal juz’un al-iman). Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka orang itu kafir. Begitu juga dengan orang yang tidak sefaham dengan kaumnya ia kafir dan telah keluar dari agama islam.
5. Asy’ariyah
merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah.
Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah). Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka berdasarkan pada surat al-nahl, ayat 106.
هببلق و هرببكأ نببأملا هنابميأ دببعب نببأم هللابب ربفك نبأم
ناميلاب نئمطأم
Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’iman.Kaum Asy’ariah dengan keyakinan bahwa akal manusia tidak sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal, manusia dapat mengetahui hal itu hanya dengan wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerima kebenaran berita ini.
Oleh karena itu iman bagi kaum Asy’ariah adalah Tasdiq, dan batasan iman seperti yang di berikan oleh Asy’ari adalah Tasdiq bi Allah yaitu menerima sebagai kebenaran adanya Tuhan. Al-bagdadi menyebut batasan yang lebih panjang. Iman adalah Tasdiq tentang adanya Tuhan, Rasul-rasul, dan kabar berita yang mereka bawa. Tasdiq tidak sempurna jika tidak di sertai dengan pengetahuan.
Bagaimanapun iman hanyalah Tasdiq dan pengetahuan tidak akan timbul kecuali setelah datangnya kabar yang di bawa oleh wahyu yang bersangkutan. [14]
6.Murji’ah
Al-Karramiyah. Sementara itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).[15]
Namun kedua belas kelompok tersebut masing-masing memiliki pendapat mengenai Iman dan kufur. Dan aliran Mur’jiah ini kemudian berbeda anggapan tentang batasan kufur yang terpecah dalam tujuh kelompok.
a.Kelompok pertama ini beranggapan: kufur itu merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah swt. Adapun mereka yang beranggapan seperti ini ialah para pengikut kelompok Jahamiyyah.
b.Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal (Jahl) terhadap Allah swt, membenci dan sombong atas-Nya, mendustakan Allah dan rasul-Nya, menyepelekan Allah dan rasul-Nya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun iman.
Mereka pun beranggapan bahwa sesorang yang membunuh ataupun hanya menyakiti nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti itu semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Begitupun seseorang yang meninggalkan kewajiban agama seperti halnya salah dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya karena meninggalkan salat itu semata, niscaya dia pun tidaklah disebut kufur.
Tetapi mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun disebut kufur. Begitupun kalau seseorang beritikad dengan itikad yang menurut kesepakatan segenap orang muslim merupakan suatu kekufuran, atau berbuat dengan perbuatan yang merupakan suatu kekufuran. Niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir.
e.Kelompok kelima ini ialah para pengikut Abu Syamr, dimana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini telah di kemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang tauhid dan qadar.
f.Kelompok keenam ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang iman.
Adapun kebanyakan pengikut aliran Murji’ah tidak mengkufurkan seseorang yang mentakwilkan al-Quran, bahkan tidak pula mengkufurkan siapa pun selain yang kekufurannya itu telah disepakati orang-orang muslim.
C. PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN SIFAT-SIFAT TUHAN
1. Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah menafsirkan Tuhan itu Esa, Tidak ada yang menyamainya, bukan jism, bukan syakhs, bukan Jauhar, bukan pula ardl, tidak berlaku pada-Nya, tidak bisa di sifati dengan sifat-sifat yang yang ada pada mahluk yang menunjukan ketidak azalian-Nya.[16]
Kaum mu’tazilah menyelesaikan perasalahan tentang sifat Tuhan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya.[17]
Tuhan tetap mengetahui, berkuasa dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya, arti dari kata Tuhan mengetahui menurut Abu Huzail, adalah “Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”.[18]
2. Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah menyampaikan penyelesaian yang bertentangan dengan kaum mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Asy’ari sendiri, tidak di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatanya. Disamping menyatakan jika Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya juga menyatakan Ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
tidak mengakui sifat-sifat Tuhan dan menjauhkan Tuhan dari sifat-sifatNya dan meletakannya pada bentuk yang tidak dapat di terima oleh akal.[19]
Dan menurut Al-Bagdadi terdapat konsensus dikalangan kaum asy’ariyah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah kekal.[20]
3. Maturidiyah
Kaum Maturidiyah golongan Bukhara mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal mereka menyelesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri. Juga mengatakan Tuhan serta sifat-sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
Kaum Maturidiyah golongan Samarkand dalam hal ini kelihatanya tidak sefaham dengan mu’tazilah karena Al-Maturidy mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan .[21]
BAB III KESIMPULAN
Perbedaan aliran antara pelaku dosa besar, iman dan kufur, serta sifat-sifat Tuhan yaitu :
1. Khawarij memberi hukum kafir pada pelaku dosa besar, dan orang yang melakukan dosa besar telah keluar dari islam.
2. Mu’tazilah yang berpendapat adanya tempat diantara surga dan neraka bagi seorang mu’min yang melakukan dosa besar Manzilah Baina Manzilataini. Iman itu tidak tasdiq ataupun ma’rifat melainkan ‘amal, dan Allah tidak memiliki sifat. 3. Murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mu’min dan dosa besar
yang mereka lakukan itu di tunda penyelenggaraanya di hari perhitungan kelak. 4. Asy’ariyah berfatwa bahwa seorang mu’min yang melakukan dosa besar tetap
mu’min, untuk hukuman di akhirat itu adalah kuasa Tuhan. Iman itu Tasdiq, dan mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
6. Ahlus Sunah berpendapat iman adalah diikrarkan dengan lisan, diyakini dalam hati dan di realisasikan dengan perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution. Harun, Theology Islam, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972.
Hanafi. Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta : Bulan Bintang, 1974.
Ritter. Hilmut, Maqalat al-islamiyah wa ikhtilaf al-musallin, Constantinopel: Matba’ah al-da’wah, 1930.
Abbas. Siradjudin,” I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah”, Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2010.
Yusran. Asmuni, Ilmu Kalam, Jakarta : PT. G rafindo, 1998.
Nata. Abuddin, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf ( Dirosah Islamiyah IV),Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.
http://perbandingankonsepimandankufur.said.com
[1] Siradjudin Abbas,” I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah”, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2010), hlm. 186
[2] Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf ( Dirosah Islamiyah IV),(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.31
[3] Harun Nasution, Theology Islam, (Jakarta: Yayasan Penerbit Iniversitas Indonesia, 1972).hlm.20
[4] Ibid.,hlm.23
[5] Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf ( Dirosah Islamiyah IV),(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.186
[6] Ibid.,hlm.200
[7] Ahmad Hanafi, “Theology Islam (Ilmu Kalam)”,( Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm.44 [8] Harun Nasution, Theology Islam, (Jakarta: Yayasan Penerbit Iniversitas Indonesia, 1972).hlm.71
[9] Siradjudin Abbas,” I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah”, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2010), hlm.217
[10] Harun Nasution, Theology Islam, (Jakarta: Yayasan Penerbit Iniversitas Indonesia, 1972).hlm.77
[11] Yusran Asmuni, Ilmu Kalam, (Jakarta : PT. G rafindo, 1998).hlm.157. [12] Ibid. Theology Islam, hlm.147
[13] Ibid.,hlm.148 [14] Op.Cit.,hlm.149
[15] http://perbandingankonsepimandankufur.said.com
[18] Ibid.,hlm.135
[19] Ahmad Hanafi, “Theology Islam (Ilmu Kalam)”.hlm.61 [20] Ibid.,hlm.136
PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN
“PELAKU DOSA BESAR,IMAN DAN KUFUR”
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah : Tauhid
Dosen Pengampu : Bapak Drs. H. Masdi M.Ag
Disusun oleh :
Happy Putri Nofa (1430110034)
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGAM STUDI USHULUDDIN/ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IQT)
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr . Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah,taufik
dan inayahnya kepada kita semua. Sehingga saya bisa menjalani
kehidupan ini sesuai dengan ridhonya. Syukur Alhamdulilah saya bisa
menyelesaikan makalah ini sesuai dengan rencana. Makalah ini saya beri
judul “pelaku dosa besar,iman dan kufur” dengan tujuan untuk mengetahui
bagaimanakah sebenarnya pelaku dosa besar,iman dan kufur menurut
pandangan umat islam dalam berbagai aliran. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad
SAW. Karena beliau adalah salah satu figur umat yang mampu
memberikan syafa’at di hari kiamat. Selanjutnya saya mengucapakan
banyak terima kasih kepada bapak Masdi selaku dosen pembimbing mata
kuliah Tauhid. Saya mohon maaf sebesar-besarnya apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya. Saya
harapkan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat untuk penulis dan khususnya
untuk pembaca. Amin Ya Robbal’Alamin.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Judul………
..
Kata
Pengantar………
……….
Daftar
Isi………
……..
BAB I : PENDAHULUAN
Latar
Belakang………
…….
Rumusan
Masalah………..
Tujuan………
………..
BAB II : PEMBAHASAN
Pelaku Dosa Besar
1. Menurut Aliran Khawarij………..
2. Menurut Aliran Murji’ah………
3. Menurut Aliran Mu’tazilah………
4. Menurut Aliran Asy-ariyah………
5. Menurut Aliran Maturidiyah……….
6. Menurut Aliran Syi’ah Zadiyah………..
Iman dan Kufur
1. Aliran Khawarij……….
2. Aliran Murji’ah………..
3. Aliran Mu’tazilah………..
4. Aliran Asy-ariyah………
5. Aliran Maturidiyah………..
BAB III : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ilmu kalam sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari
suatu agama. Di dalam ilmu kalam itu terdapat sub bahasan tentang
perbandingan antara aliran serta ajaran-ajaranya. Dari perbandingan antar
aliran ini, kita dapat mengetahui,menela’ah dan membandingkan antar
paham aliran satu dengan aliran lain. Sehingga kita memahami maksud
dari segala polemik yang ada.
Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang
kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam artian siapa yang telah keluar dari
islam dan siapa yang masih tetap islam. Persoalan ini kemudian menjadi
perbincangan aliran-aliran kalam dengan konotasi yang lebih umum, yakni
stattus pelaku dosa besar besar. Kerangka pola pikir yang di gunakan
tiap-tiap aliran ternyata mewarnai pandangan mereka tentang stattus pelaku
dosa besar.
Selain itu persoalan yang juga timbul dalam teologi islam adalah masalah
iman dan kufur. Persoalan itu muncul pertama kali oleh kaum khawarij
tatkala mencap kafir sejumlah tokoh nabi SAW yang di pandnag telah
membuat dosa besar, antara lain Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin abi
sufyan, Abu Musah Al-Asy’aria, Amr bin al Ash, thalhah bin ubaidila, Zubair
Bin Awwam dan Aisyah istri Rasulullah SAW. Pernyataan teologis itu
selanjutnya bergulir menjadi bahan perbincangan dalam setiap diskursus
aliran-aliran islam yang tumbuh kemudian, termasuk aliran Murji’ah. Aliran
lainya. Seperti mu’tazilah asy’ariyah,dan maturiyah turut ambil bagian
dalam polemik tersebut. Malah tak jarang di dalam tiap-tiap aliaran tersebut
terdapat perbedaan pandangan di antara sesama pengikutnya.
2. Rumusan Masalah
1) Aliran-aliran apa saja yang membahas yang tentang pelaku dosa besar,
iman dan kufur?
2) Bagaimana isi dari perbandingan-perbandingan antar aliran?
3) Apa pandangan dan kerangka berpikir yang digunakan tiap-tiap aliran
tentang status pelaku dosa besar,iman dan kufur?
3. Tujuan
1) Mengetahui aliran apa saja yang membahas tentang pelaku dosa
besar,iman dan kufur
2) Mengetahui isi perbandingan-perbandingan antar aliran
aliran tentang setatus pelaku dosa besar,iman dan kufur
BAB II
PEMBAHASAN
A. PELAKU DOSA BESAR
1) Menurut Aliran Khawarij
Pada umumnya,ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak
ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran
kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang setatus pelaku
dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa
Al-Asy’ari adalah kafir.
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua subsekte
Khawarij, kecuali Najdah adalah kafir dan akan disiksa di neraka
selamanya .
Pandangan pelaku dosa besar oleh subsekte Khawarij.
1. Azariqah, merupakan subsekte Khawarij yang sangat ekstrim, mereka
menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu Musyrik.
Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung
dengan barisan mereka atau yang tak sepaham dengan mereka. Adapun
pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih satatus
keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari
islam mereka kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainya
2. Najdah, subsekte ini hampir sama dengan Azariqah mereka
menganggap musyrik kepada siapapun yang secara countinue
mengerjakan dosa kecil. Seperti halnya dengan dosa besar jika tidak
dilakukan secara terus menerus maka pelakunya tidak di pandang musyrik
tetapi hanya kafir.
3. An Najdat, juga berpendapat bahwasnya orang yang berdosa besar
menjadi kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang islam yang tidak
sefaham dengan golonganya. Adapun pengikutnya,jika mengerjakan dosa
besar tetap mendapat siksaan di neraka. Tetapi pada akhirnya akan masuk
surga.
4. Al-Muhakimat, subsekte ini Ali,Mu’awiyah, kedua pengantarnya (Amr bin
Al-Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui
arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir inipun mereka
luaskan artinya sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar,
berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa sebab dan dosa-dosa
besar lainya menyebabkan pelakunya keluar dari islam .
a. Dosa yang ada sanksinya di dunia seperti membunuh dan berzina. Pada
kategori ini pelakunya tidak di pandang kafir.
b. Dosa yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan
puasa. Dan pada kategori ini pelakunya dipandang kafir.
2) MENURUT ALIRAN MURJI’AH
Sacara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan subsekte Khawarij,
Murji’ah dapat dapat di kategorikan dalm dua kategori: ekstrim dan
moderat. Murji’ah ekstrim berpandangan bahwasanya pelaku dosa besar
tidak akan disiksa di neraka. Adapun Murji’ah Moderat ialah merekayang
berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun
disiksa dineraka, ia tidak kekal dineraka. Tergantung pada ukuran dosa
yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa tuhan akan
mengampuni dosanya sehingga ia akan terbebas dari neraka.
3) MENURUT ALIRAN MU’TAZILAH
Di antara kedua aliran diatas mengenai setatus pelaku dosa besar,
perbedaanya, bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah
memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan
setatus dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar,apakah ia tetap
mukmin atau kafir,kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal,yaitu
Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain. Setiap pelaku dosa besar,menurut
Mu’tazilah, berada di posisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika
pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan
dimasukkan neraka selama-lamanya. Walaupun demikian siksaan yang
diterimanya lebih ringan dari daripada siksaan orang-orang kafir, dalam
perkembangannya,beberapa tokoh Mu’tazilah seperti washil bin Atha’ dan
Amr bin Ubaid memperjelas ebutan tengah itu dengan fasik yang bukan
mukmin atau kafir
4) ALIRAN ASY’ARIYAH
Terhadap pelaku dosa besar,agaknya Al-Asy’ari,sebagai bahanwakil
Ahl-Sunnah. Tidak mengafirkan orang-orang yang bersujud ke baitulloh (Ahl-Al
Qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri.
Menurutnya mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan
keimanan yang mana mereka miliki. Sekalipun berbuat dosa besar. Akan
tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini di
bolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah
kafir.
posisi yang dengan Murji’ah, khususnya pertanyaan yang tidak
mengafirkan para pelaku dosa besar.
5) ALIRAN MATURIDIYAH
Aliran maturidiyah,baik samarkand maupun bukhara sepakat menyatakan
bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan
dalam dirinya . Adapun balasan yang diperolehnya kelak bergantung pada
apa yang dilakukanya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih
dahulu, keputusanya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah
SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar di ampuni ia akan
memasukkan ke nearaka, tapi tidak kekal didalamnya.
Al Maturidi sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat
bahwa orang berdosa besar yaitu tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Karena tuhan telah
menjanjikanakan memeberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang
berbuat syirik. Karenanya, perbutan dosa besar (selain syirik) tidaklah
menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurutnya, iman itu cukup
dengan tashiq dan iqrar, sedangkan amalan adalah penyempurnaan iman.
6) ALIRAN SYI’AH ZAIDIYAH
Penganut syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa
besar akan kekal didalam neraka , jika ia belum taubat dengan taubat yang
sesungguhnya. Dalam hal ini syi’ah zaidiyah memang dekat dengan
Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Washil bin Atha’,
mempunyai hubungan dengan zaid.
B. IMAN DAN KUFUR
1) ALIRAN KHAWARIJ
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya,yaitu dosa besar
agar dengan demikian orang islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya
dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya dengan dalih mereka
berdosa dan yang setiap berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Ustman,
orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan orang-orang yang rela
terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan
wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng . Dalam pandangan
khawarij. Iman tidak semata-mata peercaya kepada Allah. Mengerjakan
segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan.
Dengan demikian siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada
Allah dan mengakui Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak
iman dalam arti mnengetahui pun belumlah cukup. Menurut Abd.Aljabbar,
orang yang tau tuhan tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang yang
mukmin,dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tashiq,bukan pula
ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui tuhan
tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah tuhan.
2) ALIRAN MURJI’AH
Menurut subsekte murji’ah yang ekstrim,mereka berpendapat bahwa
keimanan terletak didalam kalbu. Oleh karena itu,segala ucapan dan
perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti
menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih
sempurna dalam pandangan tuhan. Sementara yang dimaksud murji’ah
moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar
tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka,ia tidak kekal didalamnya
bergantung pada dosa yang dilakunnya. Ciri khas mereka lainnya adalah
dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman,di samping tashdiq
(ma’rifah) .
3) ALIRAN MU’TAZILAH
Seluruh pemikir mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan
salah satu unsur terpenting dalam konsep iman. Aspek penting lainya
dalam konsep Mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka
identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akal). Ma’rifah menjadi
unsur penting dari iman karena pandangn Mu’tazilah yang bercorak
Rasional. Di sini terlihat bahwa Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya
pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan. Haru Nasution
menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat
diperoleh dengan erantaan akal dan segala kewajiban dapat diketahui
dengan pemikiran yang mendalam . Pandangan Mu’tazilah seperti ini,
menurut Toshihiko Izutsu pakar teologi islam asal jepang menyatakan
pendapatnya bahwa hal sarat dengan konsekuensi yang cukup fatal. Hal
ini hanya karena mutakallim (teolog) saja yang benar-benar dapat menjadi
orang yang beriman, sedangkan masyarakat awam yang mencapai jumlah
mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar beriman
(mukmin) . Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan di
buktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan
manusia dan iman,karena itu,keimanan seseorang di tentukan pula oleh
amal perbuatannya. Konsep ini di anut pula oleh khawarij .
4) ALIRAN ASY’ARIYAH
adalah tashdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qawl
dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan)
hanya merupkan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapaun
yang membenarkan KE-esaan Allah dengan kalbunya dan juga
membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa
dari-Nya. Iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak
akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut. Jadi
Asy-Syahrastani menempatkan ketiga unsur iman yaitu tashdiq,qawl dan
amal pada posisinya masing-masing .
5) MATURIDIYAH
Dalam masalah iman, aliran maturidiyah samarkan berpendapat bahwa
iman adalah Tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan .
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda Al-Bazdawi
menegaskan hal tersebut dengan memebuat analogi dengan
ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika
bayangan itu hilang,esensi yang di gambarkan oleh bayangan itu tidak
akan berkurang. Sebaliknya dengan kehadiran bayang-bayang (ibadah) itu,
iman justru menjadi bertambah. Iman dan tashdiq dalam hati dan diikrarkan
dengan lidah,dengan kata lain,seseorang bisa disebut beriman jika ia
mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan mengikrarkan
kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan
iman dengan amal perbuatan manusia. Yang penting tashdiq dan ikrar.
BAB III
KESIMPULAN
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam
memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini
memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Kaum
asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan Mu’tazilah
mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Kaum Mu’tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui
oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas
seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik
dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur
kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.
Menurut aliran Asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa Tuhan
mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di samping
terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan
seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser
atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam
pandangan Tuhan. Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah
samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti
bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat
serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia.
pendapat ini lebih dekat dengan Mu’tazilah.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam,Pustaka Setia
Bandung: 2006.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan
UI Press, Jakarta: 1986
Nasir, Sahilun A. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta:
1996:
Asmuni, Yusran . Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.
PELAKU DOSA BESAR, IMAN DAN KUFUR
(Perbandingan Antar Aliran Theologis)
1. PELAKU DOSA BESAR
1) Menurut Aliran Khawarij
Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua subsekte Khawarij, kecuali Najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya.[1]
Pandangan pelaku dosa besar oleh subsekte khawarij,
1) Azariqah, merupakan subsekte Khawarij yang sangat ekstrim, mereka menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka atau yang tak sepaham dengan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya.[2] 2) Najdah, subsekte ini hampir sama dengan Azariqah. Mereka menganggap musyrik kepada siapapun
yang secara continue mengerjakan dosa kecil. Seperti halnya dengan dosa besar jika tidak dilakukan secara terus menerus maka pelakunya tidak dipandang musyrik,[3] tetapi hanya kafir.
3) An Najdat, juga berpendapat bahwasanya orang yang berdosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk surga juga.
4) Al-Muhakimat, menurut subsekte ini Ali, Muawiyah, kedua pengantarnya (amr bin Al-Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir inipun mereka luaskan artinya sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar, berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainnya menyebabkan pelakunya telah keluar dari Islam.[4]
5) As-Sufriah, subsekte ini membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu
I. Dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina. Pada kategori ini, pelakunya tidak dipandang kafir.
II. Dosa yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa. Dan pada kategori ini pelakunya dipandang kafir.[5]
2) Menurut aliran Murji’ah
Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan subsekte Khawarij, Murji’ah dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Murji’ah ekstrim berpandangan bahwasanya pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Adapun Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraka.[6]
Diantara kedua aliran diatas mengenai status pelaku dosa besar, perbedaannya, bila Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu'tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu'tazilah, seperti Wasil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.[7]
4) Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl Al-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka
miliki, sekalipun berbuat dosa besar.[8] Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
5) Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya.[9] Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraka, tetapi tidak kekal didalamnya.
Al-Maturidi sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karenanya, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurutnya, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.
6) Aliran Syi’ah Zaidiyah
memang dekat dengan Mu'tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Washil bin Atha’, mempunyai hubungan
dengan Zaid.[10]
2. IMAN DAN KUFUR
1) Aliran Khawarij
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar agar dengan demikian orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Utsman, orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal dan orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.[11]
Dalam pandangan Khawarij, iman tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan mengakui Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh Khawarij.[12]
Iman menurut Kwaharij bukanlah tashdiq. Dan iman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang yang mukmin, dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tashdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan. [13]
2) Aliran Murji’ah
Menurut subsekte Murji’ah yang ekstrim, mereka berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya. Ciri khas mereka lainnya adalah dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman, di samping tashdiq (ma’rifah).[14]
3) Aliran Mu'tazilah
Harun Nasution menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan segala kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. [16]
Pandangan Mu’tazilah seperti ini, menurut Toshihiko Izutsu, pakar teologi Islam asal Jepang, menyatakan pendapatnya bahwa hal ini sarat dengan konsekuensi yang cukup fatal. Hal ini karena hanya para mutakallim (teolog) saja yang benar-benar dapat menjadi orang yang beriman, sedangkan masyarakat awam yang mencapai jumlah mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar beriman (mukmin).[17]
Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula oleh Khawarij.[18]
4) Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh Asy-Syahrastani, iman secara esensial adalah tashdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qawl dengan lesan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut. Jadi Asy-Syahrastani menempatkan ketiga unsur iman yaitu tashdiq, qawl, dan amal pada posisinya masing-masing.[19]
5) Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah Tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.[20]
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al–Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al–Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran bayang-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.[21]
Iman adalah tashdiq dalam hati dan diikrarkan dengan lidah, dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini
juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. yang penting tashdiq dan ikrar.
3. KESIMPULAN
Kaum Mu'tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.