• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA - BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA - BAB II"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Berpikir Kritis Matematis

a. Deskripsi Kemampuan Berpikir Kritis Matematik

Pada dasarnya berpikir kritis adalah berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikr kritis seharusnya dimiliki oleh setiap siswa untuk mempersiapkan diri dalam menghadapai permasalahan kehidupan, karena berpikir kritis ini merupakan dasar seseorang untuk mengambil keputusan.

(2)

menggunakan bahasa dalam berargumen, menyadari dan mengendalikan egosentris dan emosi, dan responsif terhadap pandangan yang berbeda.

Kemampuan berpikir kritis merupakan proses kognitif untuk memperoleh pengetahuan. Kemampuan berpikir kritis juga merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis ini mengaktifkan kemampuan melakukan analisis dan evaluasi bukti, identifikasi pertanyaan, kesimpulan logis, memahami implikasi argumen. Lebih lanjut McMurarry et al dalam Fahroyin (2009) menyampaikan bahwa berpikir kritis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu merealisasikan pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa. Schaferman dalam Hartono (2007) menyatakan bahwa perencanaan pembelajaran MIPA oleh guru untuk pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa adalah keharusan.. Dinyatakan oleh Presseisen dalam Fahroyin (2009) bahwa agar siswa memiliki keterampilan intelektual tingkat tinggi harus dilatih keterampilan kritis, kreatif, pemecahan masalah, dan membuat keputusan. Selanjutnya, disampaikan pula oleh Ennis dalam Fahroyin (2009) bahwa evaluasi terhadap kemampuan berpikir kritis antara lain bertujuan untuk mendiagnosis tingkat kemampuan siswa, memberi umpan balik keberanian berpikir siswa, dan memberi motivasi agar siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya.

(3)

2) cenderung ke arah yang kompleks, sehingga keseluruhan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang, 3) seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian dibandingkan hanya dengan solusi tunggal, 4) melibatkan pertimbangan dan interpretasi, 5) melibatkan pengaturan diri tentang proses berpikir, 6) merupakan sebuah kerja keras, ada pergerakan mental yang besar saat melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan. Pendapat lain mengatakan bahwa berpikir kritis adalah: 1) sebuah keinginan untuk mendapatkan informasi, 2) sebuah kecenderungan untuk mencari bukti, 3) keinginan untuk mengetahui kedua sisi dari seluruh permasalahan, 4) sikap dari keterbukaan pikiran, 5) kecenderungan untuk tidak mengeluarkan pendapat (menyatakan penilaian), 7) menghargai pendapat orang lain, 8) toleran terhadap keambiguan. Disampaikan oleh Lewis dan Smith dalam Bullen (1997) bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikit tingkat tinggi, setidaknya ada tiga makna berpikir kritis, yaitu: 1) berpikir kritis sebagai suatu pemecahan masalah, 2) berpikir sebagai evaluasi dan pertimbangan, dan 3) berpikir kritis sebagai kombinasi pemecahan masalah, evaluasi dan pertimbangan.

(4)

dihasilkan konsep solusi yang matang dan akurat dalam pembelajaran matematika.

b. Fase-Fase Kemampuan Berpikir Kritis

Kata “berpikir” secara terpisah dapat diasumsikan sebagai proses kognisi dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Berpikir merupakan kapabilitas atau kemampuan yang dapat dipelajari. Fisher (dalam Launch Pad, 2001) mendeskripsikan bahwa paling sedikit tiga aspek penting keterampilan berpikir, yaitu berpikir kritis, berpikir kreatif, dan problem solving. Ketiga aspek tersebut saling berkomplementer tetapi saling berhubungan. Problem solving perlu dalam penemuan masalah dan pertanyaan-pertanyaan untuk menyelidiki (berpikir kreatif) dan mengevaluasi solusi yang diusulkan (berpikir kritis). Bepikir kritis perlu mengorganisasi keterampilan berpikir seseorang ke dalam suatu kombinasi sebagai alat kerja (berpikir kreatif). Pada akhirnya berpikir kreatif perlu berpikir kritis. Problem solving mungkin berupa penyelidikan kreatif, yaitu berhubungan dengan penyelidikan untuk menemukan solusi masalah-masalah open-ended, menggunakan berpikir divergen dalam menyelesaikan masalah, dan lain-lain.

(5)

yang mengakibatkan terjadinya konflik kognisi internal, (2) Apprasial (penaksiran), yaitu menilai situasi dan mulai bekerja secara teliti, menghadapi peristiwa tak terduga dengan berbagai cara, mengklarifikasi dan mengidentifikasi perhatian orang lain dalam menghadapi situasi serupa. (3) Exploration (eksplorasi), yaitu mencari makna ke resolusi, atau cara dalam

menjelaskan pertentangan untuk mengurangi konflik kognisi, mendorong seseorang untuk mencari maksud/arti, menyelidiki cara pikir dan bertindak, (4) Development alternative perspective (mengembangkan alternatif perspektif), yaitu mengembangkan cara pikir baru yang membantu seseorang menyesuaikan kepada peristiwa yang tidak diharapkan. Transisi ini melibatkan suatu usaha untuk mengurangi ketidaksesuaian dalam hidup seseorang, dan (5) Integration (integrasi), yaitu menegosiasikan perspektif baru untuk menfasilitasi integrasi perubahan hidup seseorang, melibatkan pengintegrasian konflik kognisi secara internal atau eksternal untuk mencapai suatu resolusi.

(6)

membuat dan memutuskan kesimpulan secara induktif dan deduktif, (4) Advanced clarification (klarifikasi tingkat tinggi), yaitu membentuk dan

mendefinisikan terminologi, memutuskan dan mengevaluasi definisi, menentukan konteks definisi berdasarkan alas an yang tepat, dan (5) Strategi and tactics (strategi dan cara-cara), yaitu berinteraksi dengan orang lain untuk

memutuskan tindakan yang sesuai; mendefinisikan masalah, menaksir kemungkinan solusi dan mengkonstruksi alternative solusi; monitoring keseluruhan proses pengambilan keputusan.

Bullen (1997) mengidentifikasi empat fase berpikir kritis, yaitu: (1) Clarification (klarifikasi), yaitu menilai/memahami sifat alami pada

poin-poin pandangan yang berbeda pada isu, dilema, atau masalah. (2) Assessing evidence (menilai fakta), yaitu memutuskan kredibilitas sumber, menaksir

bukti untuk mendukung kesimpulan; menetapkan dasar menarik kesimpulan. (3) Making and judging inference (membuat dan menarik kesimpulan), yaitu menduga secara induktif dan deduktif, dan menilai keputusan; pengambilan keputusan dengan pertimbangan bukti yang cukup untuk mendukung argumentasi, dan (4) Using appropriate strategies and tactics (menggunakan strategi dan cara-cara yang tepat), yaitu menggunakan heuristik atau strategi untuk mengarahkan pikiran dalam proses pencapai kesimpulan, membuat suatu keputusan, atau pemecahan suatu masalah secara efektif.

(7)

mengidentifikasi atau mengenali suatu isu, masalah, dilemma dari pengalaman seseorang, yang diucapkan instruktur, atau pelajar lain, (2) Exploration (eksplorasi), memikirkan ide personal dan sosial dalam rangka

membuat persiapan keputusan, (3) Integration (integrasi), yaitu mengkonstruksi maksud/arti dari gagasan, dan mengintegrasikan informasi relevan yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya, dan (4) Resolution (mengulangi penyelesaian), yaitu mengusulkan solusi secara hipotetis, atau menerapkan solusi secara langsung kepada isu, dilema, atau masalah serta menguji gagasan dan hipotesis.

(8)

telah dikonstruksi pada fase sebelumnya. Dalam menerapkan rencana, tidak cukup dengan menemukan solusi tetapi pengembangan solusi lebih mendalam seperti fase keempat mengembangkan alternative perspektif (Broofield) dan klarifikasi tingkat tinggi (Norris dan Ennis). Selanjutnya fase kelima intergrasi (Brookfield), strategi dan cara-cara (Norris dan Ennis; Bullen), dan resolusi (Garrison, Anderson, Archer) memiliki arti yang sama, yaitu memeriksa kembali solusi yang telah dikerjakan, termasuk mengembangkan strategi alternatif solusi lainnya.

Meskipun para ahli memberikan pengertian tentang berpikir kritis berbeda secara redaksional, tetapi pada prinsipnya semua pendapat sejalan yaitu mengarah pada berpikir reflektif dalam memutuskan suatu keputusan atau pemecahan masalah. Sehubungan dengan pembelajaran di kelas, khususnya di sekolah menengah pertama, maka penulis tertarik dengan pendapat Ennis (Innabi, 2003) yang merekomendasikan bahwa berpikir kritis ada kaitannya dengan materi pelajaran meliputi aspek mengidentifikasi dan menjustifikasi konsep, menggeneralisasi, menganalisis algoritma, serta memecahkan masalah.

2. Self Efficacy Siswa Terhadap Matematika

(9)

terhadap fungsi diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya. Self Efficacy juga merupakan sebagai pertimbangan seseorang tentang kemampuan dirinya untuk mencapai tingkat kinerja (performansi) yang diyakinkan atau ditentukan, yang akhirnya akan mempengaruhi tindakan selanjutnya. Perlu diketahui bahwa Self Efficacy merupakan salah satu komponen dari Self Regulated (kemandirian).

Dalam bukunya “Self Efficacy: The Exercise Of Control”, Bandura (1997) menjelaskan bahwa Self Efficacy akan mempengaruhi tindakan, upaya, ketekunan, fleksibilitas dalam perbedaan, dan realisasi dari tujuan dari individu ini, sehingga Self Efficacy yang terkait dengan kemampuan seseorang seringkali menentukan

outcome sebelum tindakan terjadi. Menurut Bandura, Self Efficacy merupakan

konstruksi sentral dalam teori kognitif sosial yang dimiliki seseorang akan: (a) mempengaruhi pengambilan keputusannya dan mempengaruhi tindakan yang akan dilakukannya, seseorang akan cenderung menjalankan sesuatu apabila ia merasa kompoten dan percaya diri, dan akan menghindarinya apabila tidak; (b) membantu seberapa jauh upaya ia bertindak dalam suatu aktivitas, berapa lama ia bertahan apabila mendapat masalah dan seberapa fleksibel dalam suatu situasi yang kurang menguntungkan baginya, dalam hal ini makin besar Self Efficacy seseorang maka makin besar upaya ketekunan dan fleksibilitasnya;

(c) mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosionalnya. Seseorang dengan Self Efficacy yang rendah mudah menyerah dalam menghadapi masalah, cenderung

(10)

akan membantu seseorang dalam menciptakan suatu perasaan tenang dalam menghadapi masalah atau aktivitas yang sukar.

Persepsi self Efficacy dapat dibentuk dengan menginterprestasi informasi dari empat sumber (Hall, 2002): (1) Pengalaman autentik (authentic mastery experiences), yang merupakan sumber paling berpengaruh, karena kegagalan atau

keberhasilan pengalaman yang lalu akan menurunkan atau meningkatkan Self Efficacy seseorang untuk pengalaman yang serupa kelak. Khususnya kegagalan

yang terjadi pada awal tindakan tidak dapat dikaitkan dengan kurangnya upaya atau pengaruh lingkungan aksternal; (b) Pengalaman orang lain (vicarious experience), dengan memperhatikan keberhasialan atau kegagalan orang lain,

(11)

kemampuan seseorang. Emosi yang tinggi seperti kecemasan akan matematika akan merubah kepercayaan diri seseorang tentang kemampuannya.

Tinggi rendahnya Self Efficacy berkombinasi dengan lingkungan yang responsif dan tidak responsif untuk menghasilkan emapat variabel yang paling bisa diprediksi, yaitu sebagai berikut: (a) bila Self Efficacy tinggi dan lingkungan responsif, hasil yang paling bisa diperkirakan adalah kesuksesan; (b) bila Self Efficacy rendah dan linkungan responsif, manusia dapat menjadi depresi saat

mereka mengamati orang lain berhasil menyelesaikan tugas-tugas yang menurut mereka sulit; (c) bila Self Efficacy tinggi bertemu dengan situasi lingkungan yang tidak responsif, manusia biasanya akan berusaha mengubah lingkungan misalnya melakukan protes, aktivisme sosial; (d) bila Self Efficacy rendah berkombinasi dengan lingkungan yang tidak responsif, manusia akan melakukan apati, cenderung menyerah dan merasa tidak berdaya (Bandura, dalam Feist, 2008:415-416).

3. Pendekatan Matematika Realistik

Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal di Belanda mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan Realistic Mathematics Education (RME). RME menggabungkan pandangan

(12)

of ready-made mathematics). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa

kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak masalah di sekitar siswa yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang terkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik

ketingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah kepada level berpikir matematik yang lebih tinggi (Hadi, 2005).

Pendekatan realistik didasarkan pada pandangan Freudenthal terhadap pendidikan matematika, yaitu: (1) matematika merupakan aktivitas manusia, dan (2) matematika harus dipelajari secara bermakna. Kalau matematika dapat dipandang sebagai bahasa, maka makna bahasa berada di luar bahasa itu sendiri. Jika demikian halnya, maka makna matematika harus dilihat diluar matematika itu sendiri, yaitu dalam aspek aplikasinya, antara lain dalam kegunaannya di dalam kehidupan sehari-hari, dalam pelajaran lain, dalam pemecahan masalah.

(13)

tanpa memperhatikan bagaimana dulu konsep-konsep itu ditemukan. Menurut Freudenthal, pembelajaran itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga siswa seolah-olah menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep itu. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembelajarannya harus mengikuti prinsip-prinsip dalam PMR. 1. Prinsip-prinsip Dasar PMR

Menurut Gravemeijer (1994) terdapat tiga prinsip utama dalam pendidikan matematika realistik, yaitu: penemuan secara terbimbing dan bermatematika secara progresif (guided reinvention and progressive matematization), Fenomena pembelajaran (didactical phenomenology), dan

model pengembangan mandiri (self developed model).

(14)

Penemuan model, konsep, dan prosedur matematika dimulai dalam proses bermatematika dimana siswa memformulasikan struktur soal ke bentuk matematika formal maupun informal. Langkah ini ditempuh siswa dengan mempresentasikan konsep dan prosedur matematika yang telah diketahuinya untuk menyelesaikan soal. Soal yang diberikan adalah soal kontekstual (contextual problem) dimaksudkan untuk menopang terlaksananya proses penemuan kembali (reinvention) yang memberi peluang bagi siswa untuk secara formal memahami matematika Gravemeijer (dalam Sabandar, 2001). Proses penemuannya sendiri melibatkan penemuan-penemuan dan penerapan model-model formal dan informal matematika.

Bermatematika secara progresif dapat dibagi dalam dua komponen yaitu bermatematika secara horizontal dan vertikal (Treffers and Goffree dalam Armanto, 2001). Dalam bermatematika secara horizontal, siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami lebih lanjut. Melalui penskemaan, perumusan, dan visualisasi, siswa mencoba menemukan kesamaan dan hubungan soal dan mentransfernya ke dalam bentuk model matematika yang telah diketahui. Model matematika tersebut dapat berupa model matematika formal dan tidak formal ( Treffers, 1991). Peran guru adalah membantu siswa menemukan model-model tersebut dengan memberikan gambaran model-model yang cocok untuk mempresentasikan soal tersebut (De Lange, 1996).

(15)

konsep, operasi, dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa. Aturan, rumusan dan kondisi yang berlaku dalam matematika harus diterapkan secara benar untuk mendapatkan hasil atau jawaban yang benar pula. Dalam hal inilah peran guru sangat dominan. Pada akhirnya siswa merumuskan dan menggeneralisasikan soal dengan membandingkan jawaban dengan konteks, kondisi soal. Dengan bantuan guru siswa menunjukkan hubungan dari rumus yang digunakan, membuktikan aturan matematika yang berlaku, membandingkan model, serta merumuskan konsep matematika dan menggeneralisasika (De Lange dalam Armanto, 2001).

b. Fenomena Pembelajaran

(16)

sumber aplikasi); (4) latihan (untuk melatih kemampuan khusus siswa dalam situasi nyata) (Treffers dan Goffree dalam Armanto, 2001).

Di dalam pendidikan matematika realistik, siswa belajar mandiri atau berkelompok untuk menentukan langkah dan strategi penyelesaian masalah kontekstual. Strategi ini dikembangkan dan diciptakan sendiri oleh siswa (free production) dalam bentuk matematika informal (diagram, gambar, kode, symbol,

dan lainnya) dan juga matematika formal (konsep dan algoritma) yang telah mereka pelajari sebelumnya. Guru hanya mengantarkan dan membantu mereka memfasilitasi sekaligus menjadi jembatan mengantarkan bentuk matematika informal yang diperoleh menjadi matematika formal yang standar. Aktifitas belajar terjadi secara progresif dan kental dengan diskusi dengan interaksi yang interaktif antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Pengembangan prinsip fenomena pembelajaran di atas dijelaskan oleh Streefland (1990) dalam teori pengajaran lima kali lima (the five tenets of the instructional theory of RME) seperti berikut:

1) Belajar merupakan aktivitas konstruktif yang distimulasikan dengan kekonkritan (concreteness); dan mengajar melibatkan penggunaan soal yang dapat direalisasikan sendiri oleh siswa.

(17)

3) Belajar difasilitasi oleh refleksi terhadap pola pikir mandiri dan pola pikir orang lain; dan mengajar meliputi pendorongan siswa untuk melihat kembali dan merefleksikannya dalam proses belajar.

4) Belajar selalu melibatkan konteks sosial-budaya; jadi mengajar meliputi pemberian kesempatan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dalam kelompok kecil atau dalam diskusi kelas.

5) Belajar merupakan pengkonstruksian pengetahuan dan keterampilan menuju bentuk yang terstruktur; dan mengajar melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan”.

c. Pengembangan Model Mandiri

(18)

2. Karakteristik PMR

Sesuai dengan ketiga prinsip di atas, pendekatan matematika realistik memiliki lima karakteristik (Gravemeijer, 1994) yaitu:

a. Menggunakan masalah kontekstual. Masalah kontekstual dipandang sebagai titik awal pembelajaran dan peluang bagi aplikasi sehingga suatu konsep matematika yang diinginkan dapat muncul. Dunia nyata adalah segala sesuatu di luar matematika, seperti pelajaran lain selain matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita.

b. Menggunakan model. Model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Model sebagai representasi dari suatu masalah untuk mempermudah penyelesaian masalah. Untuk itu siswa diarahkan pada pengenalan model, skema, dan simbolisasi dari pada mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung.

c. Menggunakan kontribusi siswa. Kontribusi yang besar pada proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa sendiri melalui kegiatan konstruksi, refleksi, antisipasi, maupun integrasi dalam pembelajaran sehingga dapat menemukan konsep-konsep maupun algoritma.

(19)

e. Menggunakan berbagai teori belajar yang relevan, saling terkait, dan terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus diwujudkan dalam pemecahan masalah.

Agar penerapan pendekatan matematika realistik optimal maka proses pembelajaran harus memunculkan prinsip dan karakteristik matematika realistik itu sendiri. Berdasarkan atas prinsip dan karakteristik tersebut dan kajian ilmiah (Suharta, 2001; Khabibah, 2001), maka dapat diajukan sintak (sintaksis) yang menunjukkan penerapan pendekatan matematika realistik, seperti diuraikan pada tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1

Sintak Implementasi Pendekatan Matematika Realistik dalam Kelas

Ativitas Guru Aktivitas siswa

1.Siswa memahami masalah yang diajukan guru, dan mencoba

(20)

4. Membimbing siswa menemukan

5. Mencoba menyelesaikan masalah yang diajukan guru dengan cara-cara yang mereka anggap benar atau dengan konsep atau prinsip yang telah dipelajari sebelumnya.

Matematika Vertikal 6. Membimbing dan memfasilitasi

siswa dalam memahami konsep yang

1. Hubungan Antara Kemampuan Berpikir Kritis dan PMR

(21)

2. Hubungan Antara Self Efficacy dan PMR

Dengan memperhatikan empat sumber Self-Efficacy dan tiga prinsip serta lima karakteristik PMRI, sangat dimungkinkan bahwa pelajaran matematika melalui pendekatan PMRI dapat membangun Self-Efficacy siswa. Hal itu dapat dilihat dari strategi belajar mengajar PMRI. Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah guru dalam pelaksanaan pembelajaran haruslah mempersiapkan HLT (Hypothetical Learning Trajectori) (Gravemeijer, 2000). Dalam proses pembelajaran seorang guru harus mempersiapkan tujuan pembelajaran, konteks dan model dan aktivitas siswa dalam belajar. Dari HLT tersebut setiap siswa atau kelompok siswa akan mengembangkan sendiri aktivitas dan model of (bentuk informal) sampai menghasilkan model for (bentuk formal). Selama kegiatan pembelajaran guru akan berfungsi sebagai fasilitator dan moderator.

(22)

3. Hubungan Antara Kemampuan Berpikir Kritis dan Self Efficacy

Pada dasarnya Self fficacy berperan dalam tingkatan pencapaian yang akan diperoleh, segingga Bandura (Pajares, 2002) berpendapat bahwa Self Efficacy menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia, apakah berpikir secara produktif, secara pesimis atau optimis, bagaimana mereka memotivasi diri, kerawanan akan stress dan depresi, dan keputusan yang akan dipilih. Self Efficacy juga merupakan faktor dari kemampuan berpikir kritis.

B. Penelitian Yang Relevan

Somakim (2010) meneliti peningkatan kemampuan berpikir kritis dan Self Efficacy matematika siswa SMP berdasarkan level sekolah. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP di kota Palembang, dengan sampel siswa SMP dari level sekolah tinggi, sedang dan rendah dengan jumlah subyek penelitian sebanyak 299 orang siswa. Hasil penelitian menunjukan bahwa proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR secara signifikan meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa pada semua level sekolah. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis dipicu oleh pendekatan PMR. Melalui prinsip PMR, pembelajaran difokuskan pada kemampuan siswa dan penemuan kembali konsep-konsep matematika dengan perantara masalah kontekstual.

(23)

Kota Medan yang diambil secara acak dari sekolah peringkat tinggi, sedang dan rendah berdasarkan perolehan hasil Ujian Nasional Tahun 2008 yang dikeluarkan Diknas. Hasil penelitian menunjukan bahwa sekolah peringkat tinggi memiliki peningkatan kemampuan berpikir kritis yang lebih baik melalui pembelajaran PMR dibandingkan dengan sekolah peringkat sedang dan rendah.

Bety wiliyati (2012) melakukan penelitian tentang peningkatan kemampuan berpikir kritis dan Self Efficacy melalui pendekatan investigasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan pendekatan investigasi lebih baik dari pada berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Namun dari segi Self Efficacy tidak terdapat perbedaan, hal ini disebabkan karena aspek psikologis anak yang memilki kecemasan terhadap matematika sehingga merubah kepercayaan dirinya terhadap matematika.

C. Kerangka Berpikir

(24)

kemampuan berpikir kritis dapat dimunculkan dalam hal menghadapi tantangan, hal-hal yang baru, non rutin, misal masalah kontekstual matematika. Kondisi-kondisi ini dapat diperoleh melalui pendekatan pembelajaran matematika realistik. Hal ini dapat dilihat pada karateristik dari PMR, yaitu pada tahap menggunakan kontribusi siswa. Kontribusi yang besar pada proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa sendiri melalui kegiatan konstruksi, refleksi, antisipasi, maupun integrasi dalam pembelajaran sehingga dapat menemukan konsep-konsep maupun algoritma.

Selain faktor kognitif dalam hal ini kemampuan berpikir kritis matematis, faktor non-kognitif juga sangat berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan matematika siswa. Salah satunya adalah kepercayaan diri (Self Efficacy) siswa terhadap matematika. Self Efficacy siswa sangat erat kaitannya dengan PMR. Hal ini dapat dilihat pada salah satu tahap dalam PMR, yaitu pada tahap penggunaan model of. Pada tahap ini siswa diberikan kesempatan untuk menjelaskan pikiran dan pengertian atas hasil karyanya. Setiap bentuk atau hasil karya atau produk siswa, guru harus memberikan penguatan berupa verbal atau non verbal. Guru memberikan penguatan kepada siswa inilah wujud dari munculnya Self-Efficacy siswa.

(25)

BERPIKIR KRITIS

SELF EFFICACY

HASIL BELAJAR

barang jadi atau barang siap pakai, tetapi diberikan melalui kegiatan matematisasi, yaitu proses perkembangan dari dunia nyata ke-dunia matematika, dan proses perkembangan dari dunia matematika ke-dunia matematika juga. Model yang demikian ini didasarkan pada prinsip bahwa belajar matematika, untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap terhadap matematika harus melalui pengalaman konkrit, refleksi, konseptualisasi abstrak, dan eksperimentasi

Uraian di atas memberi gambaran tentang kemampuan berpikir kritis dan Self Efficacy. Untuk peningkatannya dapat dilakukan dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan matematika realistik. Dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan berpikir kritis dan Self Efficacy tersebut, diharapkan dapat berimplikasi terhadap peningkatan hasil belajar matematika siswa. Berikut ini disajikan kerangka pemikiran keterkaitan kemampuan berpikir kreatif, dan pemecahan masalah matematik dengan pendekatan matematika realistik.

(26)

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan kajian teoritis maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

a. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan pembelajaran PMR lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

b. Peningkatan Self Efficacy siswa yang mendapatkan pembelajaran PMR lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

Gambar

Tabel  2.1Sintak Implementasi Pendekatan Matematika Realistik dalam Kelas

Referensi

Dokumen terkait

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Kandungan klorofil TBM-2 kelapa sawit menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap perlakuan pemupukan unsur Ca pada 15– 26 BST, hal ini sesuai dengan

Dengan demikian, motivasi berprestasi siswa perlu diperhatikan dalam pembelajaran IPA mengingat pembelajaran IPA banyak melibatkan predisposisi untuk merespon

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Berdasar pada Lampiran III, dari Permendagri Nomor 54 Tahun 2010, telah dinyatakan bahwa dalam penyusunanRancangan Awal RPJMD Kabupaten Wonogiri Tahun 2016-2021, telah

Regulasi • Belum adanya national policy yang terintegrasi di sektor logistik, regulasi dan kebijakan masih bersifat parsial dan sektoral dan law enforcement lemah.. Kelembagaan

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian