• Tidak ada hasil yang ditemukan

837326 6 e book etika bisnis islam by Azhari Akmal Tarigan.compressed

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "837326 6 e book etika bisnis islam by Azhari Akmal Tarigan.compressed"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

Dasar-Dasar Etika

Bisnis Islam

Azhari Akmal Tarigan

Penerbit FEBI Pers

(2)

BAB I

DINUL ISLAM

DAN DASAR-DASARNYA

A. Defenisi Agama Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama yang di dalam bahasa Arab disebut al-din dijelaskan sebagai sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan ajaran itu.1 Menterjemahkan kata din dengan agama seperti yang telah disebut di muka tidaklah salah. Tinggal lagi terjemahan di atas tidak cukup memadai untuk mengungkap substansi yang dikandung kata din.

Satu hal yang menarik untuk dicermati, dalam bahasa Arab setiap kata yang terdiri dari huruf d-y-n, mengandung pengertian hubungan dua pihak. Seperti kata dain yang berarti hutang menunjukkan adanya pihak yang berhutang (debitor) dan pihak yang memberi hutang (kreditor).

Demikian juga halnya dengan kata dana atau yadinu yang artinya menghukum juga menggambarkan adanya interaksi dua pihak, hakim dan terdakwa.

Adapun kata din sendiri mengandung arti hubungan antara dua pihak di mana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang kedua. Dengan kata lain, agama adalah hubungan antara makhluk dengan khaliknya.2 Dalam hal ini keberadaan khalik (pencipta) tentu lebih tinggi dari makhluk (yang diciptakan).

Jika arti kata din tersebut menunjukkan adanya interaksi dua pihak, maka ada tiga bentuk relasi yang terjadi. Pertama, hubungan manusia dengan Allah yang sering disebut dengan

1Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1995), h.10

(3)

hablum min Allah. Hubungan ini diterjemahkan dengan ibadah

kepada Allah SWT. Contoh sederhananya adalah sholat dan do’a.

kedua bentuk ibadah ini sesungguhnya adalah cermin pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Kedua, hubungan manusia dengan manusia yang disebut dengan hablu min al-nas. Pola ini

diterjemahkan dengan apa yang disebut mu’amalat, baik dalam

konteks transaksi bisnis ataupun dalam bentuk munakahat (perkawinan). Ketiga, hubungan manusia dengan alam biasanya diterjemahkan dalam konteks pemeliharaan atau penjagaan terhadap hukum keseimbangan yang berlaku di alam. Artinya, manusia senantiasa harus menjaga keharmonisan alam. Hubungan manusia dengan alam tidak boleh dalam bentuk hubungan yang eksploitatif.

Jelas bahwa kata din itu mengandung relasi dua pihak. Bukan sekedar dalam makna kepercayaan. Tentu saja kata din berbeda dengan Religion yang sering diartikan sebagai tata keimanan atau tata keyakinan atas adanya sesuatu yang mutlak. Jadi pengertian agama yang dikandung kata Relegion sangat sempit dan berkonotasi individual (pribadi). 3

Selanjutnya kata Islam yang terambil dari kata salm bermakna kedamaian atau ketentraman. Kata Islam juga dapat diterjemahkan dengan keselamatan. Siapapun yang memilih Islam sebagai agamanya, pastilah ia akan selamat hidup baik di dunia ataupun di akhirat. Islam juga diterjemahkan sebagai sikap pasrah dan tunduk (al-inqiyad wa al-khudhu’) kepada Allah. Inilah makna etimologis dari kata Islam tersebut. Sedangkan dalam pengertian terminologisnya, Islam adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam, Akidah dan Syari’ah mendefenisikan agama Islam sebagai agama Allah yang diperintahkan kepada nabi Muhammad untuk mengajarkan tentang pokok-pokok serta peraturan-peraturan-Nya dan menugaskannya untuk menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dan mengajak mereka untuk memeluknya.4

(4)

Definisi lain tentang Islam disebutkan oleh…….

B. Lingkup Islam.

Sebagai sebuah agama, Islam mengandung ajaran-ajaran yang disimpulkan dengan trilogi ajaran ilahi yang terdiri dari iman, islam, dan ihsan. Pokok-pokok ajaran tersebut disarikan dari sebuah hadis Rasul yang diriwayatkan dari Bukhori Muslim, yang memuat rukun islam, rukun iman dan ihsan (akhlak). Dari hadis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa garis besar agama Islam terdiri dari akidah, syari’ah dan akhlak.

Akidah yang berarti ikatan, kepercayaan, dan keyakinan telah disistematisasikan ke dalam apa yang disebut dengan rukun iman (arkan al iman), yang memuat kepercayaan (keimanan): iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada Kitab-kitab, iman kepada Rasul, iman kepada hari Qiamat dan iman kepada Qadar

Syari’ah yang semula berarti jalan, memuat satu sistem

norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Pada garis besarnya aturan-aturan tersebut dikelompokkan pada dua

bahagian yaitu Ibadah dan Mua’malah. Ibadah yang dimaksud di

sini adalah tata aturan Ilahi yang mengatur hubungan ritual langsung antara hamba (makhluk) dengan Tuhannya, yang tata caranya telah ditentukan secara rinci sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadis. Ibadah dalam pengertian ini tersimpul dalam rukun Islam (arkan al-Islam) yaitu, Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji.

Adapun mu’amalah memuat aturan-aturan dalam konteks

hubungan sesama manusia dalam maknanya yang luas. Aspek

mu’amalah ini dalam Al-Qur’an dan Hadis, tidak diatur secara

rinci, melainkan diungkap dengan menyebut garis-garis besarnya saja. Bahkan dalam Al-Qur’an aspek mua’malah ini dijelaskan tidak lebih dari 500 ayat atau 5, 8 % dari keseluruhan ayat

Al-Qur’an. Jika menggunakan penelitian Abdul Wahab Khallaf, yang

(5)

termasuk dalam bagian mu’amalah adalah,5 1.Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga (al-ahwal al- syakhshiah) yang terdiri dari 70 ayat.2.Hukum Perdata terdiri dari 70 ayat (ahkam Madniyah), 3.Hukum Pidana terdiri dari 30 ayat (ahkam Jinayah), 4. Hukum Acara terdiri dari 13 ayat (ahkam

al-Murafa’at), 5. Hukum Peradilan terdiri dari 10 ayat (ahkam al-Dustyah), 6. Hukum Tata Negara terdiri dari 25 ayat (ahkam Dauliyah), 7. Hukum Ekonomi terdiri dari 10 ayat (ahkam al-Iqtisadiyah wa al-Maliyah)

Berangkat dari jumlah ayat-ayat mu’amalah yang relatif sedikit di atas, terkesan bahwa Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam tidak merinci dan terkesan tidak tuntas membicarakannya. Padahal, masalah hubungan antar sesama manusia merupakan persoalan yang cukup penting. Berbeda dengan aspek ibadah, dimana Al-Qur’an dan Hadis membicarakannya secara rinci, tentu saja dengan jumlah ayat dan hadis yang banyak. Sekali lagi pertanyaannya adalah, mengapa demikian? Tentu saja ada pesan, hikmah dan rahasia di dalamnya. Tugas kita adalah menggali hikmahnya.

C. Perbedaan Ibadah dan Mu`amalah

Perbedaan yang mendasar antara ibadah dan mu’amalah

terletak pada bahasa atau ungkapan yang digunakan Al-Qur’an. Untuk yang pertama, Al-Qur’an menggunakan bahasa yang rinci (tafsili) dan tegas, sehingga ruang untuk terjadinya perbedaan penafsiran sangat kecil. Kalaupun ada perbedaan tidaklah perinsipil. Hal ini menunjukkan dalam dimensi ibadah menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, tidak ada peluang untuk menambah atau mengurangi hal-hal yang telah diatur oleh

Al-Qur’an dan hadis. Tegasnya di dalam ibadah tidak diperlukan

inovasi dan kreatifitas.

Ulama telah membuat satu kaedah pokok dalam ibadah yang

artinya, “Pada prinsipnya dalam persoalan ibadah segala sesuatu

terlarang (haram) dilakukan, kecuali ada dalil yang

memerintahkannya”.

(6)

Kaedah ini menjelaskan bahwa dalam masalah ibadah, kreasi dan inovasi manusia tidak diperlukan karena semuanya telah diatur secara rinci oleh Allah SWT. Manusia hanya dituntut untuk melaksanakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Kebalikannya segala inovasi yang di buat di dalam ibadah disebut

dengan bid’ah. Bid’ah di dalam ibadah sesungguhnya sangat

terlarang.

Berbeda dengan aspek Mu’amalah, kaedah yang berlaku

adalah, “Pada prinsipnya dalam bidang mu’amalah segala sesuatu

adalah dibolehkan (ibahah) kecuali ada dalil yang melarang”.

Prinsip ini tentu saja memiliki implikasi yang cukup luas, dimana manusia dapat mengembangkan aturan-aturan global Al-Qur’an agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Sampai di sini kreativitas manusia sangat dibutuhkan untuk dapat menerjemahkan pesan-pesan Al-Qur’an agar lebih aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.

Inilah hikmah terpenting, mengapa ayat-ayat mu’amalah relatif sangat sedikit dan dijelaskan dengan bahasa yang global (mujmal). Kita dapat berandai-andai, sekiranya dalam aspek

mu’amalah, Al-Qur’an mengungkapkannya dengan bahasa yang

rinci, niscaya manusia akan mengalami kesulitan untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Alasannya adalah, realitas masyarakat ketika ayat-ayat tersebut diturunkan tentu berbeda dengan realitas masyarakat saat ini. Tidak itu saja, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sangat cepat sedikit banyaknya pastilah akan berpengaruh ke dalam kehidupan manusia. Pada saat yang sama, Al-Qur’an dan Hadisn Nabi telah terhenti. Jadi sangat tidak mungkin kitab suci akan memberikan responnya. Adapun yang paling mungkin kita lakukan adalah menterjemahkan pesan-pesan atau nilai-nilai Al-Qur’an agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.

(7)

sistem ekonomi Islam sehingga dapat bersaing dengan sistem ekonomi lainnya.6

Salah satu ayat tentang ekonomi yang artinya: Dan sebagian mereka orang-orang yang berjalan (yadribuna) di muka bumi

mencari sebahagian Karunia Allah”. (al-Muzammil ; 20)

Adapun contoh hadis tentang ekonomi yang artinya “Dari Shalih Bin Suhaib R.A, Rasulullah Bersabda, ada tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan jual beli secara tangguh, muqaradah (Mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.(H.R. Ibnu Majah No : 2280, kitab at-Tijarat)

Al-Qur’an hanya menyebut kata yadribuna yang asal katanya

adalah daraba dan merupakan akar kata dari Mudharabah. Demikian juga hadis nabi, hanya menyebut Muqaradhah tanpa ada penjelasaan yang rinci tentang apa yang dimaksud dengan Muqaradhah tersebut.

Dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, Mudharabah (bagi hasil) dikenal sebagai salah satu institusi ekonomi Islam, yang dalam prakteknya Sahibul Mal atau orang yang memiliki harta dapat menjalin kerja sama dengan orang yang memiliki skill (keahlian) dengan ketentuan hasil dari usaha akan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.

Pada masa lalu sahibul mal adalah individu-individu yang memiliki kelebihan harta., namun saat ini, sejalan dengan perkembangan zaman, Bank sebagai lembaga keuangan dapat berfungsi sebagai pemilik modal (sahibul mal).7 Jika pada masa lalu hubungan sahib al-mal dengan mudharib itu sangat sederhana dan konvensional, sekarang hubungan tersebut terjalin secara modern yaitu antara bank sebagai lembaga dan nasabah sebagai

6 Sebenarnya ayat-ayat Ekonomi itu cukup banyak. Seiring dengan perkembangan ilmu ekonomi Islam, maka penggalian terhadap ayat-ayat ekonomi atau ayat-ayat yang bernuansa ekonomi menjadi sebuah keniscayaan. Beberapa buku tafsir ayat ekonomi yang terbit belakanga ini telah menjelaskan bahwa ayat ekonomi itu lebih dari apa yang pernah dibayangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf . Lihat, Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, Bandung: Citapustaka Media, 2013.

(8)

pengguna modal. Lebih lanjut masalah ini akan dibicarakan pada Bab Etika Kerjasama Dalam Islam.

Adapun ihsan merupakan ajaran Islam tentang akhlak atau moralitas. Nabi Muhammad dalam hadisnya menjelaskan ihsan dengan kalimat, “Engkau mnyembah Allah seolah-olah engkau melihatnya dan jika engkau tidak melihatnya pasti ia

melihatmu”. Ihsan sendiri bermakna berbuat baik, orangnya

disebut muhsin. Dengan demikian ihsan sangat berkaitan erat dengan akhlak, moral atau etika. Dalam sebuah hadis nabi Muhammad menyatakan yang artinya, “yang paling utama

dikalangan orang beriman adalah yang paling baik akhlaknya”.. Perintah ihsan adalah perintah untuk berbuat baik, berakhlak mulia tidak saja kepada sesama manusia, melainkan juga sesama makhluk lainnya.

D.Tujuan Syari’at Islam

Fungsi Al-Qur’an diturunkan kepada manusia, sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan. Fungsi tersebut dapat diwujudkan bila kandungan Al-Qur’an dapat dipahami, dihayati dan tentu saja diamalkan. Dalam rangka memahami Al-Qur’an diperlukan penafsiran-penafsiran terhadap teks-teks yang didalamnya sarat dengan nilai-nilai universal.

Penafsiran Al-Qur’an, seperti yang telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu, tentu sangat beragam karena masing-masing dipengaruhi oleh lingkungan sosio kultur yang mengitarinya. Biasanya, penafsiran yang mereka berikan adalah dalam rangka menjawab persoalan yang muncul dan berkembang saat itu dan tidak dimaksud untuk berlaku sepanjang zaman. Artinya agar Al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Upaya penafsiran Al-Qur’an secara terus menerus, kini dan akan datang merupakan satu keniscayaan. Hanya dengan cara ini, persoalan-persoalan kontemporer terutama yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan etika bisnis dapat dijelaskan dan dijawab oleh Al-Qur’an.

(9)

demikian, bukan berarti penafsiran itu bisa dilakukan serampangan. Disamping harus sesuai dengan kaedah penafsiran yang berlaku, hasilnya juga harus menjamin terciptanya kemaslahatan dalam kehidupan manusia.

Kemaslahatan itu penting, karena merupakan tujuan dari

syari’at itu sendiri. Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi seorang pakar

Ushul Fiqh menyatakan “Tujuan Syari’at Allah adalah Maslahat,

dan dimana saja terdapat Maslahat maka disanalah syari’at

Allah".8 Maslahat itu sendiri adalah satu kondisi dimana masing-masing individu dapat memenuhi kebutuhan dharurinya (Agama, jiwa, keturunan, harta dan aqal) serta adanya jaminan terpeliharanya kebutuhan tersebut.

Sebagai contoh konkrit, larangan Islam terhadap aktivitas ekonomi yang dapat merusak akal manusia, seperti memproduksi dan mengkosumsi minuman keras, adalah satu bentuk rekayasa Islam dalam menciptakan kemaslahatan kehidupan manusia, khususnya yang berkenaan dengan pemeliharaan akal (hifz al-`aql). Demikian juga larangan Islam terhadap praktek riba juga dalam rangka melindungi harta manusia dari eksploitasi pemilik modal.

E. Rangkuman

1. Islam adalah agama wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk selanjutnya disampaikan kepada seluruh umat manusia agar mereka memperoleh kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.

2. Lingkup agama Islam terdiri dari Aqidah, syari`ah dan akhlak. Aqidah berbicara tentang keyakinan terhadap Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan tersebut, syari`ah berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun min Allah) yang terangkum dalam ajaran Ibadah dan hubungan manusia dengan manusia (hablun min al-nas) yang terangkum dalam ajaran mu`amalah. Adapun ihsan berbicara tentang

(10)

akhlak baik kepada Allah SWT, manusia dan makhluk-makhluk lainnya.

3. Prinsip dalam ibadah adalah segala sesuatu itu diharamkan, kecuali ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan dalam mu`amalah prinsip yang berlaku adalah segala sesuatu dibolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

4. Tujuan dari syari`at Islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia dan menolak segala bentuk kemudaratan atau kerusakan.

F.Pertanyaan:

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan, Islam, Iman dan Ihsan dan berikan contohnya ?

2. Apa implikasi perbedaan prinsip yang berlaku dalam bidang ibadah dan prinsif yang berlaku dalam bidang mu`amalah ?

3. Jumlah ayat ekonomi dalam Al-Qur’an menurut Abdul Wahab Khallaf hanya terdiri dari 10 ayat, jumlah yang sangat sedikit. Apakah dengan kondisi ini ekonomi Islam dapat berkembang ?.

(11)

BAB II

SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM

Kata-kata sumber merupakan terjemahan dari kata Masdar (

) jamaknya masadir ( ). Sumber berarti tempat asal

digalinya sesuatu. Jika disebut sumber air, maksudnya adalah

tempat asal air mengalir atau mata air. Maka ungkapan mashadir

al-ahkam ( ) bermakna sumber-sumber

hukum islam yang merupakan tempat asal hukum itu digali.1

Sebenarnya kata mashadir al-ahkam tidak ditemukan dalam

literatur ushul fiqih klasik. Para Ushuliyyun (ahli ushul al-Fiqh) menyebutnya dengan al-Adillah al- Syar‟iyyah, ( ), yang berarti dalil-dalil syari‟at. Sebahagian ahli hukum menyamakan kedua pengertian ini karena yang ditunjuk oleh kedua kata ini sama yaitu, Al-Qur‟an, Hadis, Ijma‟ dan Qiyas.

Ahli hukum kontemporer membedakan kedua kata ini. Jika

disebut kata masdar al-syari‟ah maksudnya adalah wadah atau

tempat asal digalinya norma-norma hukum dan ini bisa dilekatkan hanya pada Al-Qur‟an dan Hadis. Sedangkan yang lainnya, ijma‟ dan qiyas tidak dapat disebut sumber, karena keduanya bukan

tempat asal, malah ijma' dan qiyas harus menyandarkan diri pada

(12)

Al-Qur‟an dan hadis. Sesuactu yang tidak dapat berdiri sendiri, tidaklah mungkin disebut dengan sumber.2

Sedangkan kata dalil yang berarti petunjuk, yang membawa

kita menemukan sesuatu hukum tertentu dapat mencakup Al-Qur‟an, Hadis, Ijmak, Qiyas, Istislah, Istihsan, „Uruf, Istishab dan lainnya. Kalaupun dibedakan, hanyalah pada persoalan disepakati

atau tidak. Biasanya empat dalil hukum yang disebut pertama

dinamai dengan adillah al-muttafaq (dalil-dalil yang disepakati).

Sedangkan selebihnya disebut adillah al-mukhtalaf (dalil-dalil

yang diperselisihkan) oleh ulama.

A. Sumber Ajaran Islam Yang Disepakati 1). Al-Qur’an

Secara etimologis, Al-Qur‟an bermakna “bacaan” dan “apa yang tertulis”. Sedang makna terminologisnya Al-Qur‟an didefenisikan sebagai “Kalam Allah yang diturunkan kepada

Rasulullah SAW dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada

generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan

ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan

ditutup dengan surat al-Nas.3

Dari defenisi di atas, ciri-ciri khas Al-Qur‟an adalah :

1. Al-Qur‟an merupakan Kalam Allah yang diturunkan kepada

Muhammad SAW.

(13)

2. Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab. Hal ini ditunjukkan dalam surah : al-syu‟ara / 26 - 192 - 195, Yusuf : 12 ; 2, al-Zumar 39 ; 28, Ibrahim : 14 ; 4 dll. Dengan demikian, terjemahan dan penafsiran Al-Qur‟an tidak dapat disebut Al-Qur‟an. Tentu saja membaca terjemahan dan tafsirnya tidak bernilai ibadah.

3. Al-Qur‟an itu dinukilkan kepada beberapa generasi

sesudahnya secara mutawatir (diturunkan oleh orang

banyak kepada sejumlah orang yang dari segi jumlah sangat

tidak memungkinkan mereka sepakat untuk berdusta). Atas dasar itu pulalah, kemurnian Al-Qur‟an tetap terjaga dan terjamin sampai hari kiamat. Pernyataan ini dapat dilihat dalam Al-Qur‟an surah al-hijr / 15 ; 9.

4. Membaca Al-Qur‟an dipandang ibadah dan mendapat

pahala dari Allah SWT.

5. Ciri terakhir dari Al-Qur‟an yang dianggap sebagai suatu

kehati-hatian bagi para ulama untuk membedakan dengan kitab-kitab lain adalah bahwa Al-Qur‟an dimulai dari surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat al-nas. Susunan surat

ini tidak boleh diubah letaknya dan sebagai akibatnya, do‟a-do‟a yang terdapat diakhir Al-Qur‟an tidak dapat disebut Al-Qur‟an.

Keberadaan Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran/sumber hukum mengandung pengertian bahwa Al-Qur‟an memuat nilai-nilai

(14)

Ilahiyah yang dapat dijadikan sebagai sumber motivasi, arahan

dan penuntun dalam menjalani kehidupan di dunia. Nilai-nilai

inilah yang perlu diterjemahkan agar dapat dipraktekkan dalam

kehidupan sehari-hari.

Jadi pernyataan bahwa Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran/sumber hukum bukanlah dalam pengertian Al-Qur‟an memuat segala persoalan yang ada bahkan yang akan muncul

seperti pemahaman yang berkembang selama ini di masyarakat. Lebih keliru lagi, kalau dikatakan Al-Qur‟an itu memuat aturan-aturan teknis yang langsung dapat diaplikasikan dalam relitas

kehidupan manusia.

Apabila disebut Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran dalam ekonomi Islam, maksudnya bukan Al-Qur‟an memuat ajaran secara lengkap tentang sistem ekonomi Islam seperti, barang dan jasa

apakah yang akan diproduksi, bagaimana memproduksinya serta

kepada siapa barang tersebut didistribusikan sehingga ia memiliki

manfaat dalam masyarakat. Akan tetapi maksudnya adalah Al-Qur‟an memuat nilai-nilai universal tentang bagaimana sebenarnya ekonomi Islam itu harus diformulasikan.4

Sebagai contoh, Al-Qur‟an menyebut bahwa riba merupakan aktivitas ekonomi yang menimbulkan kesengsaraan masyarakat.

Untuk itu praktek riba harus dihindari (QS. Ar-Rum ; 39, An-Nisa ;

160-161, Ali Imran : 130, Al-Baqarah ; 278-279). Dampak

ekonominya adalah meningginya harga barang. Semangkin tinggi

4

(15)

suku bunga, semangkin tinggi pula harga yang akan ditetapkan

pada suatu barang. Salah satu elemen penentuan harga adalah

suku bunga. Sedangkan dampak sosialnya, para pelaku riba

(rentenir) akan mengeksploitasi korbannya dengan bunga yang

tinggi sampai pada suatu saat ia tidak mampu lagi membayar

bunga apalagi melunasi hutang. Pada akhirnya semua yang

dimilikinya akan disita oleh pelaku riba sampai si korban tidak lagi

memiliki apa-apa. Bisa diduga, ia akan menjadi beban sosial baru

di masyarakat.

Sedangkan persoalan etikanya adalah, riba sebagai sebuah

sistem ternyata menimbulkan kezaliman dan kesengsaraan bagi orang yang terlibat didalamnya. Nilai pentingnya adalah Al-Qur‟an mencela sistem bunga yang melahirkan kezaliman ekonomi. Sebagai gantinya Al-Qur‟an menawarkan sistem mudharabah yang mengandung nilai tolong-menolong, kemaslahatan dan keadilan.

Nilai-nilai ini yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam

produk-produk perbankan Islam seperti tabungan mudharabah,

musyarakah dan lain-lain.

2) Sunnah.

(16)

Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun

ketetapan.5

Dari defenisi di atas, sunnah dapat dibagi kepada tiga

macam :

a. Sunnah Qauliyah (Perkataan)

Yaitu perkataan-perkataan Rasul yang disampaikan dan

didengar oleh sahabat untuk selanjutnya ditransmisikan kepada

generasi-generasi berikutnya,

Misalnya hadis yang artinya, “Bahwasanya Nabi berkata “riba itu

mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah dosanya

sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”.

(Hadis diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Ibnu Mas‟ud)

b. Sunnah Fi’liyah (Perbuatan)

Yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi, yang dilihat para

sahabat untuk selanjutnya dipraktekkan dan disampaikan kepada

generasi berikutnya. Contohnya, prilaku bisnis Rasul yang tidak

pernah mengurangi timbangan.

c. Sunnah Taqririyah (ketetapan/persetujuan)

Yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di

hadapan Nabi atau dilaporkan kepadanya, tetapi Nabi hanya diam

saja dan tidak mencegahnya. Sikap Nabi ini dipandang sebagai

(17)

isyarat persetujuannya terhadap perbuatan atau perkataan

sahabat tersebut.

c. Fungsi Sunnah Terhadap Al-Qur’an

Pada pembahasan Al-Qur‟an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat Al-Qur‟an diungkap dengan bahasa yang global (ijmali) yang membutuhkan penjelasan dan penafsiran. Sebagai

Rasul Allah, Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling

memiliki otoritas untuk melakukannya melalui

sunnah-sunnah-Nya. Dengan demikian dapat dikatakan, fungsi sunnah terhadap Al-Qur‟an adalah :6

1). Bayanu Tafsili (merinci)

Maksudnya adalah merinci hukum global yang ada dalam Qur‟an. Sebagai contoh, Allah memperintahkan sholat dalam Al-Qur‟an tanpa ada penjelasan tentang raka‟at dan tata caranya sunnah Nabi yang menjelaskannya mulai dari jumlah raka‟at, tata cara serta bacaan-bacaannya.

2).Bayanu Tafsir (menafsirkan)

Maksudnya adalah sunnah yang memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ungkapan Al-Qur‟an yang global. Sebagai contoh, Al-Qur‟an melarang peraktek riba. Namun apa ang dimaksud riba tidak dijelaskan. Untuk itulah sunnah Rasul

(18)

Artinya: Barang siapa memberi tambahan atau meminta

tambahan, sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan riba.

Penerima dan pemberi sama-sama bersalah. (H. R. Muslim). 3). Bayanu Ta‟kid (meguatkan)

Maksudnya adalah sunnah menguatkan hukum yang telah diungkap Al-Qur‟an. Contohnya, hadis-hadis tentang riba yang berisi kecaman Rasul terhadap praktek riba. Hadis-hadis ini menguatkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang berbicara tentang riba.

4). Bayanu Tasyri‟ (membuat Syari`at)

Maksudnya adalah sunnah membuat hukum-hukum baru yang tidak disinggung Al-Qur‟an. Sebagai contoh, larangan Rasul mengawini wanita sekaligus dengan bibinya (dalam satu masa).

(H.R. Bukhari Muslim).

Begiitu pentingnya keberadaan Sunnah Rasul, para ulama

menempatkannya sebagai sumber dan dalil hukum setelah Al-Qur‟an. Ini juga diisyaratkan oleh Firman Allah Q.S. Al-Hasyr 59;7 yang artinya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, ambillah dan

apa yang dilarangnya jauhilah .

3. Ijma’

Secara etimologis, ijma‟ berarti kesepakatan atau konsensus. Sedang menurut pengertian terminologinya ijma‟ adalah kesepakatan seluruh Mujtahid pada suatu masa, setelah

(19)

wafatnya Rasul, terhadap sebuah persoalan baru.7 Adapun

syaratnya adalah :

a. Yang melakukan ijma‟ adalah mujtahid yang berada pada suatu masa tertentu.

b. Kesepakatan yang terjadi, harus diawali dengan

mengemukakan argumentasi oleh masing-masing mujtahid. c. Hukum yang disepakati adalah hukum syara‟ yang tidak ada penjelasannya secara rinci dalam Al-Qur‟an dan hadis. d. Sandaran hukum ijma‟ haruslah Al-Qur‟an dan hadis. Contohnya, ijma‟ ulama tentang haramnya riba nasi‟ah yaitu riba akibat penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang

yang mengakibatkan adanya perbedaan, perubahan atau

tambahan antara yang diserahkan pada awal transaksi dengan

yang diserahkan kemudian.

4. Qiyas.

Secara etimologis qiyas berarti ukuran. Adapun menurut

pengertian terminologisnya, qiyas adalah menghubungkan sesuatu

yang tidak disebutkan nashnya dengan sesuatu yang disebutkan

hukumnya dalam nash disebabkan kesamaan illat (ratio legis)

pada keduanya. 8

Adapun rukun qiyas adalah :

7 Wahbah al-Zuhaily, op.cit., h.490

(20)

1. Asal ( ) yaitu objek yang telah ditetapkan hukumnya

oleh nas.

2. Far‟u( ) yaitu objek baru yang akan ditentukan hukumnya.

3. Illat ( ) yaitu sifat yang menjadi motif dalam

menentukan hukum

4. Hukum asal ( ) adalah hukum syara‟ yang telah ditentukan oleh nas atau ijma‟.

ontoh :

Asal Far’u Illat

Hukum

asal

Khamar

-

memabukkan

haram

-

wisky

memabukkan

haram

Khamar adalah minuman yang diharamkan dalam Al-Qur‟an (Q.S. Al-Maidah: 59) karena sifatnya yang memabukkan.

Sedangkan wisky atau jenis minuman yang memabukkan lainnya tidak disebutkan oleh Al-Qur‟an. Masalahnya apakah hukum minum wisky. Untuk menemukan jawaban hukumnya ditempuhlah

jalan qiyas. Setelah diteliti, ternyata minum wisky juga dapat

memabukkan seperti halnya khamar, karena illatnya sama, maka

hukumnya juga sama yaitu haram.

(21)

1. Maslahat

Maslahat al-mursalah didefenisikan sebagai satu bentuk kemaslahatan yang tidak didukung syara‟ dan tidak pula ditolak/dibatalkan syara‟ melalui dalil yang rinci.

Maslahat itu sendiri bermakna meraih manfaat dan

menolak mafsadat (kerusakan). Dan ini merupakan tujuan syariat Islam (maqasid al-syari‟ah). Pentingnya maslahat, sampai-sampai muhammad Ma‟ruf al-Dawalibi seorang ahli hukum Islam menyatakan, “Dimana saja terdapat “kemaslahatan” disanalah syari‟at Allah”.

Masalahat atau al-istislah merupakan dalil hukum yang

diperselisihkan. Kendati demikian keberadaannya tetap penting

untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Dalam

menetapkan hukum terhadap satu persoalan yang muncul, ukuran

yang digunakan adalah seberapa jauh persoalan tersebut

menimbulkan maslahat dan menghindarkan mudharat yang timbul

di masyarakat. Tentu saja analisa itu digunakan dengan

menggunakan pemikiran yang rasional dan jernih. Apabila

ditemukan bahwa dampak yang ditimbulkannya adalah

kemaslahatan, maka hal itu boleh dilakukan. Sebaliknya, jika yang

muncul adalah kemudharatan, maka harus ditolak.

Contohnya, di dalam Al-Qur‟an dan hadis tidak ditemukan satu ayat baik yang eksplisit ataupun implisit tentang perintah

mendirikan Bank Islam. Tidak juga ditemukan, dalil-dalil yang

(22)

Islam merupakan satu kemestian untuk pemberdayaan ekonomi

umat Islam serta menghindarkan umat dari jeratan Bank

Konvensional yang menggunakan sistem bunga yang eksploitatif.

Karena dampaknya adalah kemaslahatan, maka pendirian Bank

Islam dibolehkan bahkan menjadi satu kemestian.

2. „Uruf

Secara etimologis `uruf adalah sesuatu yang telah

diketahui. `Uruf sama dengan adat yang bermakna tradisis,

kebiasaan atau praktek. Secara terminologis `uruf merupakan

praktek yang dilakukan berulang-ulang yang dapat diterima oleh

seseorang atau masyarakat yang memiliki akal sehat.9

Biasanya `uruf dibagi dua, „Uruf Sahih yakni kebiasaan yang dilakukan dan tidak bertentangan dengan syara‟. Kedua, „Uruf Fasid, kebiasaan yang tidak dapat diterima oleh seseorang atau masyarakat yang memiliki akal sehat.

„Uruf yang dapat berfungsi sebagai dalil hukum adalah „Uruf yang Sahih. Adapun kaedah yang digunakan adalah al-„adatu muhakkamah (adat itu dapat dijadikan dasar untuk menetapkan

sesuatu).

(23)

Indonesia, hal ini tidak begitu lazim dilakukan. Peraktek jual beli

masyarakat sejak dahulu tidak melalui ijab dan kabul dan

ternyata tidak ada keburukan yang ditimbulkannya. Karena sudah

merupakan tradisi, maka jual beli tanpa ijab kabul tetap

dipandang sah.

D. Ijtihad, Pengertian Dan Syaratnya.

Bagaimanapun pentingnya kedudukan Al-Qur‟an dan hadis, namun keduanya memiliki “keterbatasan”, maksudnya segala permasalahan baru yang muncul dalam kehidupan umat yang

dipicu oleh perkembangan IPTEK, tidak dapat langsung dicarikan

jawabannya dari kedua sumber tersebut, walaupun mungkin pesan dasarnya tercantum dalam Al-Qur‟an dan hadis. Pesan-pesan inilah yang akan digali dengan metode tertentu sehingga

menghasilkan hukum. Upaya menggali pesan-pesan tersebut

dinamai dengan Ijtihad.

Ijtihad terambil dari kata al-juhd yang berarti upaya

sungguh-sungguh. Secara etimologis, ijtihad adalah mengerahkan

kemampuan intelektual secara maksimal untuk menemukan hukum syara‟. Orang yang melakukannya disebut dengan Mujtahid.

Ijtihad bukanlah satu pekerjaan mudah, untuk dapat

melakukannya diperlukan beberapa syarat ,Mengetahui bahasa

(24)

al-arab dengan seluk beluknya.,mengetahui Al-Qur‟an dengan segala ilmu-ilmu yang terkait dengannya,mengetahui Sunnah rasul

dengan segala ilmu yang berhubungan dengannya,memahami qiyas, ijma‟ dan metode lainnya

Karena permasalahan yang berkembang semangkin konpleks

dan berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

tekhnologi, maka seorang Mujtahid harus juga memahami dengan

baik masalah yang sedang dihadapi.

Mengingat beratnya persyaratan ijtihad, sangat kecil

kemungkinan syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi seseorang.

Itulah sebabnya ijtihad fardiyah tidak mungkin lagi dilakukan

sekarang. Yang paling mungkin adalah ijtihad jama‟i (ijtihad

kolektif) dimana masing-masing ahli duduk bersama-sama

memecahkan satu persoalan dan mencari jawaban hukumnya.

Ijtihad semangkin penting untuk saat ini disebabkan satu

kenyataan bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan.

Perubahan masyarakat itu dapat berupa perubahan tatanan sosial,

budaya, sosial politik, ekonomi dan lain-lain.

Dalam bidang kedokteran, muncul masalah-masalah baru

seperti genetika. Dalam bidang ekonomi muncul lembaga-lembaga

perbankan yang menawarkan berbagai macam produk, lembaga

asuransi dengan segala permasalahan, yang harus segera

dicarikan jawaban hukumnya.

(25)

Tentulah hal-hal di atas tidak dapat dijawab oleh seorang

ulama yang hanya menguasai ilmu-ilmu islam saja. Untuk

memecahkan persoalan yang berkaitan dengan kedokteran,

diperlukan ahli di bidang kedokteran yang dapat menjelaskan

rekayasa genetika. Untuk menjawab persoalan ekonomi,

diperlukan pakar ekonomi dsb. Inilah yang disebut dengan ijtihad

kolektif.

Dalam kerangka menjawab persoalan kontemporer dapat

dilakukan dengan dua bentuk ijtihad, yaitu : ijtihad Intiqo‟i

(ijtihad tarjihi) dan ijtihad Insya‟i. Ijtihad Intiqo‟i adalah

ijtihad yang dilakukan sekelompok orang untuk memilih pendapat

para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu.

Asumsinya, mungkin masalah yng muncul hari ini memiliki

kemiripan dengan masalah yang muncul pada masa lalu. Tugas

para Mujtahid hanyalah memilih diantara pendapat-pendapat ahli

fiqih sehingga ditemukan pendapat yang lebih rajih (kuat) dan

relevan dengan masalah yang ada. Sebagai contoh dalam masalah

hukum bunga bank ?. Menyikapi masalah ini para ulama dapat

merujuk pendapat ulama masa lalu yang berbicara tentang riba.

Jika ditemukan persamaan ilat (ratio legis) maka dapat ditempuh

dengan metode Qiyas. Jadilah hukum bunga bank sama dengan

riba.

Sedangkan ijtihad insya‟i adalah usaha untuk menetapkan

kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa baru yang

(26)

dapat dilihat hukum tentang reksadana Syari`ah. Masalah

reksadana syari`ah adalah masalah baru yang tidak ada

rujukannya dalam kitab-kitab fikih.untuk menjawabnya

digunakanlah Ijtihad baru. Disinilah diperlukan pemahaman yang

utuh terhadap kasus baru dengan meminta penjelasan dari ahlinya

dan ketepatan dalam menggunakan metode Ijtihad. Selanjutnya

barulah ditetapkan hukumnya.

E.. Rangkuman :

1. Yang dimaksud dengan sumber ajaran Islam adalah,

tempat asal digali dan ditemukannya ajaran Islam baik dari Al-Qur‟an maupun al-Hadis.

2. Sumber ajaran Islam yang disepakati adalah, Al-Qur‟an,

Hadis, Ijma` dan Qiyas. Sedangkan yang diperselisihkan

adalah maslahat, istihsan, `uruf dan lain-lain.

3. Ijtihad sebagai sebuah upaya pengerahan kemampuan

intelektual mujtahid dalam rangka mengeluarkan

hukum-hukum dari sumbernya, sangat diperlukan untuk

menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul akibat

perkembangan IPTEK.

F. Pertanyaan:

1. Apakah yang dimaksud dengan sumber ajaran Islam ?

(27)
(28)

BAB III

ETIKA DAN MORAL

Hampir setiap hari kita mendengar istilah etika, etis, dan

moral baik di ruang kuliah, maupun di tempat-tempat umum.

Sering kali istilah etika dan moral dipertukarkan dan digunakan

secara serampangan. Agaknya di awal diskusi ini kedua istilah

tersebut etika dan moral dan bentukannya seperti etiket, amoral,

immoral perlu dijernihkan kembali.

A.Pengertian Etika dan Moral

Etika berasal dari Bahasa Yunani Kuno ethos. Dalam bentuk

tunggal kata tersebut mempunyai banyak arti, kebiasaan, adat,

akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk

jamak (ta etha ) artinya adalah adat kebiasaan. Arti terakhir

inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah “Etika”

yang oleh filosof besar Yunani Aristoteles (384-322 SM ) sudah

dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.1

Dalam kamus bahasa Inggris, etika (ethic) mengandung

empat pengertian. Pertama, etika adalah prinsip tingkah laku

yang benar atau baik atau kumpulan dari prinsip-prinsip itu.

Kedua, etika, merupakan sistem prinsip-prinsip atau nilai-nilai

moral. Ketiga, dalam kata-kata “ethics” (yaitu “ethic” dengan

1

(29)

tambahan “s” tapi dalam penggunaan mufrad (singular), diartikan sebagai kajian tentang hakikat umum moral dan

pilihan-pilihan khusus moral. Kempat, ethics” (yaitu “ethic” dengan

tambahan “s” dalam penggunaan mufrad (tunggal) dan jamak (plural), ialah ketentuan-ketentuan atau ukuran-ukuran yang

mengatur tingkah laku para anggota suatu profesi2

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan

dengan membedakan tiga arti : 1). Ilmu tentang apa yang baik

dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral

(akhlak). 2). Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan

akhlak. 3). Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu

golongan atau masyarakat.3

K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika, memilih arti

yang ketiga sebagai pengertian etika yang paling substansial.

Menurutnya etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang

menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam

mengatur tingkah lakunya. Jika disebut “etika suku indian”, Etika

Protestan (ingat bukunya Max Weber, The Protestant Ethic and

The Spirit Of Capitalism), Etika Islam, maka maksudnya bukan

ilmu, melainkan dalam pengertian yang telah disebut yaitu

sebagai nilai mengenai benar salah yang dianut oleh suatu

golongan atau masyarakat.4 Sampai disini etika dapat juga disebut

2

Ibid., h.11 3

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1995),h.271

4

(30)

sebagai sistem nilai yang dapat berfungsi dalam hidup manusia

perorangan maupun sosial.

Disamping itu etika dapat diartikan sebagai kode etik yang

merupakan kumpulan asas atau nilai moral. Seperti, kode etik

dokter, kode etik pers dan lain-lain. Bisa juga etika sebagai ilmu

tentang baik dan buruk, etika disini sama artinya dengan filsafat

moral.

Adapun moral yang berasal dari bahasa latin mos (jamaknya

mores) secara etimologis bermakna adat kebiasaan. Jika

didefinisikan, moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang

menjadi pegangan bagi seseorang atau satu kelompok dalam

mengatur tingkah lakunya. Dalam batasan ini pengertian moral

sama dengan etika dalam pengertian ketiga.5

Adalagi ungkapan amoral. Kamus Concise Oxford Dictionary

menerangkan kata amoral sebagai, “tidak berhubungan dengan konteks moral” atau “di luar suasana moral (non moral)”.

Sedangkan immoral bertentangan dengan moralitas yang baik atau

“secara moral buruk”6

Kata yang sering dipertukarkan dengan etika adalah etiket.

Etiket secara sederhana berarti sopan santun, atau menyangkut

cara suatu perbuatan dilakukan dalam suatu pergaulan. Jadi

etiket lebih menyangkut perbuatan lahiriah. Sebagai contoh,

ketika makan bersama, etiket melarang makan dengan tangan kiri

5

Ibid., h.4-7 6

(31)

atau ribut. Namun apabila makan sendiri ketika tidak ada orang

yang menyaksikan maka dalam suasana tersebut etiket tidak

berlaku.

Di muka telah dijelaskan, ada persamaan antara etika dan

moral. Namun keduanya dapat di bedakan. Amin Abdullah yang

menulis desertasi, The idea of universality of ethical Norms In

Ghazali and Kant, menyebut moral adalah aturan-aturan normatif

(dalam Islam disebut dengan akhlak) yang berlaku dalam suatu

masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu.

Penerapan tata nilai moral dalam kehidupan sehari-hari dalam

masyarakat tertentu menjadi kajian antropologi sedangkan etika

adalah bidang garap filsafat. Realitas moral dalam kehidupan

masyarakat yang terjernihkan lewat studi kritis ( critical studies)

adalah wilayah yang dibidangi etika. Jadi studi kritis terhadap

moralitas menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah

objek material dari etika.7

Dalam pengertian sederhana moral adalah seperangkat tata

nilai yang sudah jadi dan siap pakai sedangkan etika

mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan baik-buruk yang

telah mengkristal dalam kehidupan sosial, untuk selanjutnya

dirumuskan kembali. Tegasnya, jika moral lebih condong kepada

pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, maka etika merupakan ilmu yang mempelajari

(32)

teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau `ilm al-akhlaq)

dan moral (akhlak) adalah praktiknya.8 Etika tidak berbicara

bagaimana seharusnya, namun apa yang harus dilakukan, tentu

saja dalam bingkai baik buruk.

B. Aliran-Aliran Etika

Diskursus tentang baik-buruk telah berlangsung cukup lama,

semasa dengan sejarah peradaban umat manusia. Generasi setiap

masa mencoba untuk merumuskan apa yang disebut dengan baik,

buruk dan bahagia. Perbedaan cara pandang telah membuat

rumusan yang berbeda-beda dan pada perkembangan berikutnya

menjadi aliran-aliran etika dan sistem etika.

1. Hedonisme

Pertanyaan yang muncul dalam membicarakan persoalan

baik adalah, “apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia ?.

Para hedonis menjawab, kesenangan. Sesuatu itu baik apabila

dapat memuaskan keinginan kita atau apa yang dapat

meningkatkan kreativitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri

kita.

Pemikiran ini telah muncul sejak zaman Aristoteles (433-355

S.M), dan dilanjutkan oleh muridnya Sokrates. menurutnya sejak

kecil manusia selalu mencari kesenangan dan selalu menghindar

7

(33)

dari segala sesuatu yang tidak menyenangkan. Baginya

kesenangan tersebut bersifat badani. Namun ia memberi catatan,

kesenangan yang diperoleh tidak boleh menjadikan manusia larut.

Kesenangan tersebut harus tetap berada dalam kendali dirinya.

Kesenangan harus dipergunakan sebaik-baiknya.9

Epikorus (341-270 S.M) melanjutkan pemikiran ini.

menurutnya kesenangan tersebut tidak hanya terbatas pasda

badani saja, tetapi juga melingkupi kesenangan rohani. Ia

berkata, “bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuan, kami tidak bermaksud bahwa kesenangan tersebut hanya

bersifat inderawi saja, tetapi mencakup kebebasan dari nyeri

dalam tubuh dan kebebasan dari keresahan jiwa.10

Penting untuk dicatat, bagi aliran ini, kebebasan bukan

dalam makna seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya. Epikorus

membedakan tiga macam keinginan. Keinginan alamiah yang tidak

perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu

(seperti makanan yang enak) dan keinginan yang sia-sia (seperti

kekayaan). Hanya keinginan pertama harus dipuaskan dan

pemuasnya secara terbatas menghasilkan kesenangan paling

besar.

8 Haidar Bagir, “Etika “Barat”, Etika Islam”, Pengantar dalam buku, Amin Abdullah,

Filsafat Etika Islam Antara Al_Ghazali dan kant, (Bandung : Mizan, 2002). h. 15

9

K.Bertens, op.cit.,h.235-240

(34)

Epikorus menganjurkan kesederhanaan atau pola hidup

sederhana. Karena menurutnya hanya dengan inilah manusia

dapat mencapai ataraxia, atau ketenangan jiwa.

2. Utilitarianisme

Biasanya perbuatan itu baik atau buruk dilihat pada

perbuatannya sendiri. menolong orang dari kesusahan itu

perbuatan baik, dan berbohong itu buruk. Akan tetapi menurut

aliran Utilitarianisme, nilai moral perbuatan manusia ditentukan

oleh tujuannya. Inilah makna dari utilitarianisme (utilis-bahasa

latin) yang berati manfaat.

Prinsip aliran ini adalah, “suatu tindakan dapat dibenarkan

secara moral apabila akibat-akibatnya menunjang kebahagiaan

semua yang bersangkutan.11. Perbuatan yang mengakibatkan

banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang

terbaik. Mengapa melestarikan lingkungan hidup dipandang baik

dan merupakan tanggungjawab moral manusia ?. Kaum

utilitarianisme menjawab, karena hal itu membawa manfaat

paling besar bagi umat manusia secara keseluruhan bahkan bagi

generasi yang akan datang.12

Filosof pertama yang mengutarakan konsep ini adalah Jeremi

Bentham (1748-1832) dari Inggris. Ungkapannya yang terkenal

adalah “the greatest happiness of the greatest number”

11

(35)

(kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Baginya

kualitas kesenangan sebenarnya sama, yang membedakannya

hanyalah kuantitasnya. Jika sebuah perbuatan menimbulkan

banyak manfaat, paling banyak menimbulkan kemakmuran dan

kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu

dipandang baik. Sebaliknya jika perbuatan itu lebih banyak

membawa keburukan dan kerugian bagi masyarakat ketimbang

manfaatnya, maka perbuatan itu dipandang buruk.

Bagi aliran ini sebenarnya kesenangan dapat diukur. Untuk

itu ia mengembangkan the hedonistic calculus. Oleh sebab itu

banyak ahli yang menyatakan bahwa teori ini cocok sekali dengan

pemikiran ekonomi dan cukup dekat dengan teori cost benefit

analysis. Manfaat yang dimaksudkan oleh aliran ini bisa dihitung

sama seperti menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet

dalam konteks bisnis.

Sebagai contoh dapat dilihat di bawah ini dalam kasus

meminum-minuman keras :

Ketidak senangan (debet) Kesenangan (kredit)

Lamanya : singkat

Akibatnya : - Kemiskinan - Nama buruk -Tidak sanggup

bekerja.

Kemurnian : dapat diragukan

Intensitas : membawa banyak

kesenangan

Kepastian: kesenangan pasti terjadi

Jauh / dekat : Kesenangan dapat timbul

12

(36)

(dalam keadaan

mabuk sering

tercampur unsur ketidak

senangan).

cepat

Sebenarnya mabuk itu membawa banyak kesenangan dan

untuk menjadi senang tidak perlu menunggu waktu yang lama.

Tetapi karena keseluruhan saldo negatif, malah sangat negatif,

maka mabuk harus dinilai sebagai perbuatan yang buruk.

Pemikiran ini dikembangkan dan diperkukuh oleh filsuf

Inggris lainnya, John Stuart Mill (1806-1873). Ia menegaskan dua

hal penting, pertama, nikmat jangan dibatasi nikmat jasmani

saja, nikmat rohani lebih luhur daripada nikmat jasmani. Kedua,

utilitarianisme tidak ada kaitan dengan egoisme. Kriteria

moralitas utilitarianisme, prinsip kebahagiaan terbesar, mencakup

semua orang yang terkena dampak tindakan kita. Berbeda dengan

hedonisme Epikorus, utilitarianisme tidak menciptakan

kebahagiaan bagi diri sendiri saja, melainkan kebahagiaan semua

orang.13

3. Deontologi

Aliran ini dipelopori oleh filosof Jerman, Immanuel Kant

(1724-1804). Menurutnya, baik dan buruk tidak dapat diukur

(37)

berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan

maksud sipelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Kant

sampai pada kesimpulan, yang bisa disebut baik dalam arti yang

sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Kehendak menjadi baik,

jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan

dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak dapat

disebut baik, betapapun luhurnya motif tersebut.14 Tegasnya ,

sesuatu perbuatan itu baik dilakukan karena kewajiban atau

berdasarkan “imperatif katagoris”. Imperatif katagoris akan

mewajibkan orang untuk melakukan suatu perbuatan tanpa ada

persyaratan-persyaratan tertentu.

Istilah deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang

berarti kewajiban. Jika ditanyakan mengapa perbuatan ini adalah

baik dan perbuatan tersebut adalah buruk, deontologi menjawab,

perbuatan pertama menjadi kewajiban manusia dan perbuatan

kedua di larang. Yang menjadi dasar baik buruknya suatu

perbuatan hanyalah kewajiban. Konsekuensi perbuatan tidak

boleh menjadi pertimbangan.

Sebagai contoh apabila kita menolong orang lain dengan

memberinya sedekah karena prihatin melihat keadaannya yang

menyedihkan maka perbuatan ini tidak dapat disebut dengan

baik. Perbuatan tersebut dikatakan baik, jika didasarkan pada

14

(38)

dorongan moral dan semata-mata karena perbuatan menolong itu

suatu kewajiban.

Menurut Bertens, sadar atau tidak orang beragama

berpegang pada pendirian deontologi. Mengapa satu perbuatan

baik atau buruk ?, orang beragama akan menjawab karena

perbuatan tersebut diperintahkan atau dilarang oleh Tuhan.

Dalam Islam dikenal perintah yang wajib dikerjakan dan larangan

yang harus ditinggalkan. Dalam Kristen ada yang disebut dengan

The Ten Commandements (sepuluh perintah Allah) yang berisi

larangan berdusta, berzina, membunuh dan lain-lain.15

Dari tiga bentuk aliran etika di atas, dalam bentuknya yang

lain Rafiq Issa Beekun merumuskan enam sistem etika

kontemporer yang berlaku dalam dunia bisnis ringkasannya dapat

dilihat dibawah ini.16

T a b e l - 1

IKHTISAR ENAM SISTEM ETIKA KONTEMPORER UTAMA

Sistem Etika

Kontemporer

Relativisme

Kreteria Pembuat Keputusan

Keputusan etis dibuat berdasar pada kebutuhan

15K.Bertens, Pengantar…

op.cit, h.69-70

16

Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethics ,(USA:The International Institute of Islamic Thought, 1996),h.10 . Lihat juga, Choirul Fuad Yusuf, “Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan

(39)

(kehendak diri)

Utilitarianisme

(kalkulasi

Untung Rugi)

Universalisme

(Kewajiban)

Hak (Pemberian

Hak Individu)

Keadilan

Distributif

(Kejujuran Dan

Keadilan

Hukum Abadi

(kitab Suci)

dan kehendak diri sendiri

Keputusan etis dibuat beradsarkan hasil

)out-comes) akibat keputusan tersebut. Suatu

tindakan dinilai etis jika tindakan itu

mengakibatkan (menghasilkan manfaat/

keuntungan sebesar-besarnya bagi sebagian

besar orang.

Keputusan etis didasarkan pada maksud tujuan

tindakan. Keputusan yang sama harus dibuayt

oleh seseorang pada situasi yang sama.

Keputusan etis menitikberatkan pada nilai

tunggal kebebasan, dan didasarkan pada

hak-hak individu yang menjamin kebebasan

memilih.

Keputusan etis menitikberatkan pada nilai

tunggal: keadilan, dan menjamin pemerataan

distribusi kekayaan dan keuntungan.

Keputusan etis dibuat berdasarkan hukum

abadi (eternal law) yang terdapat dalam kitab

(40)

C. Etika Islam

Dalam Islam tidak ada main stream pemikiran tentang

akhlak, seperti aliran lainnya. Islam juga mengenal sistem akhlak

yang pernah berkembang dalam sejarah Islam. masalahnya

menyangkut apakah ukuran baik dan buruk dalam Islam. Ada yang

menyebut, baik dan buruk ditentukan oleh al-Qur‟an (Wahyu). Ada yang menyebut, akal harus diutamakan dari pada wahyu.

Sebahagian lagi menyebut, akal harus dilengkapi dengan wahyu

dalam merumuskan perbuatan baik dan buruk..

Seperti yang dikatakan M. Quraish Shihab, tolak ukur

perbuatan baik dan buruk mestilah merujuk pada ketentuan Allah

seperti yang terdapat dalam al-Qur‟an.17 Namun untuk

memahaminya peran akal tidak dapat diabaikan. Dengan kata

lain, akal memiliki peran yang sangat penting dalam merumuskan

perbuatan baik dan buruk dengan tetap mengacu pada petunjuk

al-Qur‟an seperti keadilan, persamaan, kebahagiaan dunia akhirat, jasmani, rohani dan kemaslahatan.

Paling tidak menurut Haidar Bagir ciri-ciri etika Islam

tersebut adalah,

Pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang

bersifat fitri. Artinya, semua manusia pada hakikatnya-baik itu

muslim maupun non muslim- memiliki pengetahuan fitri tentang

baik dan buruk.

17

(41)

Kedua, Moralitas dalam Islam didasarkan pada keadilan,

yakni menempatkan sesuatu pada porsinya.

Ketiga, Tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada

puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.

Keempat, Tindakan etis itu bersifat rasional.18

Berangkat dari prinsip etika Islam tersebut dapatlah

dijelaskan aksioma etik Islam seperti yang dirumuskan oleh Rafiq

Issa pada tabel di bawah ini.19

Tabel – 2

AKSIOMA ETIKA ISLAM

Aksioma Unitas

Equilibrium

a

Kehendak

Bebas

Berkaitan dengan konsep tauhid. Bentuk

keseluruhan homogen dari segenap aspek

kehidupan manusia: sosial , politik, ekonomi,

agama, dsb. Kesatuan ini bersifat konsisten dan

terpadu dengan alam semesta.

Berkaitan dengan konsep adil. Merupakan

suasana keseimbangan di antara pelbagai aspek

kehidupan manusia (sosial, politik, ekonomi,

agama, dsb), Yang membentuk tatanan sosial

yang harmonis.

18

Haidar Bagir, op.cit.,h.19-20 19

(42)

Tanggungjawab

Ihsan

Kemampuan manusia untuk bertindak tanpa

paksaan dari luar sesuai dengan parameter

ciptaan Allah SWT serta posisinya sebagai

khalifatullah di muka bumi.

Kebutuhan manusia untuk bertanggungjawab

atau mempertanggungjawabkan atas tindakan

yang dilakukannya.

Ihsan (benevolence) merupakan suatu tindakan

yang menguntungkan oranmg lain.

D. Norma , Konflik Norma Dan Dekadensi Moral.

Norma adalah tata aturan yang kalau diikuti akan membuat

seseorang atau sekelompok orang menjadi “normal”. Sebaliknya yang melanggarnya dianggap “abnormal”. Setiap orang cenderung untuk mengikuti norma yang ingin terlihat normal. Norma yang

terdapat dalam suatu masyarakat itu juga ada bermacam-macam

sesuai dengan struktur masyarakatnya. Secara horizontal, norma

suku Batak dapat dibedakan dalam banyak hal dari norma suku

Melayu. Secara vertikal, misalnya, kalangan elit memiliki norma

berbeda dari masyarakat awam. Hal ini kentara sekali pada

(43)

masyarakat yang terbuka, norma yang mengatur masyarakat lebih

banyak yang berlaku umum.

Dalam kehidupan sosial dapat dibedakan empat jenis norma.

Yang paling umum adalah norma adat-tradisi yang timbul dari

kebiasaan yang turun temurun. Yang paling kuat sanksi

keberlakuannya karena „dipaksakan‟ oleh negara adalah norma

hukum, yang dalam negara kita yang mengikuti civil law system

tertuang dalam perundang-undangan (legal statuates). Yang

paling mendalam nilainya, karena terkait dengan sakral, adalah

norma agama. Meskipun tidak memiliki sanksi langsung, tetapi

norma susila – apa yang dianggap baik oleh hati nurani pribadi perorangan- juga sangat menentukan pilihan banyak orang dalam

bertingkah laku dan dalam menilai tingkah laku orang lain. Yang

terakhir inilah yang juga dikenal dengan budi pekerti.

Meskipun biasanya dipilih untuk kepentingan analisis dan

diagnosa, tetapi pada kenyataan kehidupan sehari-hari, keempat

jenis norma ini saling tumpang tindih, berjalin berkelindan, dan

bahkan sering menimbulkan mutasi, integrasi maupun asimilasi.

Contohnya, banyak norma adat atau agama, yang kemudian

diresmikan sebagai norma hukum suatu negara atau peraturan

suatu daerah (perda). Norma hukum harus pakai helm

dikecualikan, secara aformal maupun informal, bagi mereka orang

muslim berpeci ketika pergi jum‟atan, atau orang India yang

(44)

Jika keempat jenis norma di atas sama dan sejajar, maka

bertambah kuatlah keberlakuan dan ketaatan masyarakat untuk

mengikutinya atau memberikan sanksi kepada mereka yang

melanggarnya. Jika madat dilarang oleh norma hukum,

diharamkan oleh norma agama, dibenci oleh norma susila serta

dinistakan oleh norma adat, maka bertambah kuatlah pengakuan

dan kepatuhan masyarakat untuk menjauhi madat tersebut.

Dalam konteks bisnis, konflik norma ini juga kerap terjadi. Di

satu sisi agama melarang praktek bisnis curang, namun tradisi

yang berkembang menuntut kelihaian seseorang untuk melihat

peluang yang ada, terlepas apakah merugikan orang lain. Ini

pulalah yang dikeluhkan oleh Rosita Nor yang menulis buku

Menggugah Etika Bisnis Orde Baru. Rosita Noer menggambarkan

dengan sangat gamblang bagaimana PT.Indofood Sukses makmur

(ISM), salah satu anak perusahan grup Salim yang memproduksi

mie instan bermerek Sarimi menghambat dan membatasi gerak

Sanmaru dan Supermi Indonesia dengan jalan mengganggu

pasokan bahan baku utama, tepung terigu dan produksi pabrik

gandum yang nota bene juga dimiliki oleh kelompok Salim.20

Contoh lain menyangkut konflik yang terjadi antara norma

adat, agama dan tradisi bisnis yang berkembang terjadi pada

kasus perkayuan. Baik norma adat dan norma agama mengajarkan

bahwa hutan dengan segala isinya diperuntukkan untuk

kesejahteraan manusia namun pengelolaan dan pemanfaatannya

20

(45)

haruslah mengindahkan keselamatan makhluk-makhluk yang ada

disekitarnya. Mengabaikan kelestarian alam tidak saja akan

merusak alam itu sendiri tetapi dapat mengakibatkan kehancuran

manusia, seperti banjir, tanah longsor dan sebagainya. Inilah

makna penting kedudukan manusia sebagai khalifah yang memiliki

tugas untuk memakmurkan bumi.

Namun seringkali ini tidak disadari oleh pelaku bisnis. Diakui

kekayaan hutan memang menjanjikan keuntungan yang tidak bisa

dikatakan kecil bagi pengusaha. Apalagi permintaan pasar kayu,

baik nasional maupun dunia semakin lama semakin meningkat.

Pilihan-pilihan antara memelihara kelestarian hutan dan

rangsangan keuntungan yang cukup besar menjadi konflik

tersendiri bagi pelaku bisnis. Sayangnya pilihan dijatuhkan untuk

meraih keuntungan yang besar walaupun resiko kerugian yang

dihadapi –seringkali yang merasakan akibatnya bukan pelaku tetapi rakyat kecil- jauh lebih besar.

Konflik norma membuat tingkah laku pelaku bisnis menjadi

bertentangan dari yang diharapkan. Tidaklah mengherankan jika

berkembang satu ungkapan, menjunjung etika dalam kegiatan

bisnis akan menghambat tujuan kegiatan bisnis itu sendiri.21

Dalam kondisi yang seperti itu, pelaku bisnis bisa memilih salah

satu dari norma-norma yang bertentangan itu. Ini berarti

mematuhi yang satu dan melanggar yang lain. Atau tidak

mematuhi kedua-duanya sama sekali dan beralih kenorma lain.

(46)

Dalam memilih mana yang dipatuhi dan mana yang akan

dilanggar, banyak faktor yang menentukan.Faktor sanksi salah

satu yang paling berpengaruh.

Meskipun seseorang mungkin saja telah mengetahui dan

mengakui norma yang benar dan berlaku, tetapi mengapa ia masih

saja melanggarnya ? Para pakar telah banyak mengkajinya.

Jawabannya sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa, jahat

itu masalah tabi‟at yang terdapat dalam kepribadian manusia.

Lebih umum adalah pendapat yang mengatakan bahwa pada

dasarnya setiap manusia ingin mematuhi norma, ingin hidup

„normal‟, jika tidak maka ia pasti dijangkiti „pathos’ atau penyakit. Penyakit yang meluas, disebut pathologi sosial. Namun

disebabkan faktor-faktor tertentu, manusia tersebut berani

melanggar norma-norma tersebut.

Konflik norma lebih dipersulit dengan adanya kenyataaan

bahwa sebenarnya kehidupan manusia, baik secara individual

maupun sosial, tidak ada yang statis. Normapun terus mengalami

perubahan. Biasanya lamban, tetapi terkadang cepat. Masyarakat

akan mengalami transisi, yang bisa membuat warga bingung atau

ekstrim, ketika norma lama sudah goyah dan tak menarik,

sedangkan norma baru belum kokoh dan dikenal. Jika keadaaan

makin memburuk, malah bisa menimbulkan situasi anomie. Ketika

tidak ada norma-norma yang jelas mengatur dan dipatuhi oleh

masyarakat, maka setiap orang akan semaunya bertindak.

21

(47)

Akhirnya masyarakat menjadi chaos dan hukum rimbalah yang

berkuasa.

Menurut Rosita Noer, pelaku bisnis sering kali mengalami

cultural shock .Mereka melihat dan merasakan pergeseran

kehidupan bisnis yang sudah tidak lagi menempatkan etika dalam

posisi yang semestinya.Pada sisi lain mereka juga sedang

mencari-cari sistem nilai yang “pas” (tanpa kehilangan rasa kepantasan

hati nurani mereka dalam beraktivitas).Akhirnya muncullah sikap

ambivalen. Disatu sisi pelaku bisnis bahkan beberapa organisasi

bisnis ingin menegaskan dirinya sebagai pembawa peradaban

bisnis (bussines civilization initiator), tetapi pada sisi lain mereka

cenderung untuk melakukan pembenaran terhadap cara-cara

bisnis yang melanggar etika.22

Pada situasi seperti inilah dibutuhkan satu norma yang jelas,

tegas, meyakinkan, sekaligus menyejukkan. Inilah yang

ditawarkan oleh agama. Hidayah, Tuhan dan panduan agama

memberikan wawasan, arah, makna dan malah kaedah tingkah

laku dalam situasi konflik dan kondisi anomi tersebut. Mereka

yang tidak beragama, atau tidak memperdulikan nilai-nilai

relegius, biasanya lebih mudah mengalami stress, bingung,

frustasi atau malah melakukan tindakan konfensatif atau memilih

alternatif yang salah dan membahayakan, bukan saja bagi orang

lain, tetapi bahkan terhadap dirinya sendiri.

(48)

Meskipun peran dan fungsi agama bagi kehidupan manusia

sangat bervariasi, dari satu zaman kezaman berikutnya, secara

umum semua agama berperan sebagai pemberi makna mendalam

(sublime values) dan pembentuk identitas penganutnya. Di

samping itu agama berfungsi, dalam kadar yang berbeda, sebagai

pembentuk solidaritas, pengarah keyakinan dan pengatur tingkah

laku penganutnya.

Berbagai hasil penelitian telah mengkonfirmasikan bahwa

berbagai upaya penanggulangan problema sosial lebih berhasil

jika didukung oleh semua perangkat norma, terutama norma

agama. Pentingnya norma agama ini terlebih lagi bagi masyarakat

yang relegius, seperti halnya Indonesia. Meskipun begitu

diberbagai masyarakat modern, peran agama banyak, diambil-alih

oleh perangkat sumber nilai dan acuan lain, terutama iptek.

Paling tidak peranan agama dikucilkan pada masalah-masalah

yang bersifat spritual dan hubungan vertikal kepada Tuhan

semata. Sikap ambivalensi dan mendua terhadap norma agama

juga sangat mewarnai masyarakat modern. Disatu sisi mereka

ingin mendapat berkah Tuhan, tetapi disisi lain tidak mau tunduk

pada petunjuk Tuhan, atau setidak-tidaknya ia memilah-milah

Hidayah Tuhan, ada yang diikuti dan lebih banyak ditinggalkan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan

formulasi norma-norma tersebut dan memberikan tekanan yang

lebih pada norma agama, karena ia memiliki sumber yang absolut

Gambar

Tabel – 2

Referensi

Dokumen terkait