• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Distribusi Tanah dalam Pembanguna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sistem Distribusi Tanah dalam Pembanguna"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Sistem Distribusi Tanah dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia

(Studi Analisis Konsep Ihya-u al-Mawat sebagai Sistem Distribusi Tanah) Yuke Rahmawati1

Abstract:

The principle of equitable socio-economic welfare of the community is part of the maqasid al-Shari'ah of Islam, in order to achieve Ridla God and the world-happiness hereafter. Embodiment of this principle is one of them is through a system of equitable distribution (distributive justice). Distribution principle applies in all economic activities in Islam. Not only in post-production activities, but also on all natural resources for human beings by Allah. One is the ground. Rule in Indonesia's economy is highly dependent on how many people can control the rights to the land as one economic sector support needs. So it can not be denied, that the ownership of the land in human life is the essence of something.

Keywords: distributive justice, ihya-u al-mawat, soil, dharury

Abstrak:

Prinsip pemerataan kesejahteraan sosial-ekonomi bagi masyarakat merupakan bagian dari maqashid al-syari’ah Islam, dalam rangka mencapai ridla Allah dan kebahagiaan dunia -akhirat. Pengejawantahan prinsip ini salah satunya adalah melalui sistem distribusi yang berkeadilan (distributive justice). Prinsip distribusi ini berlaku dalam seluruh kegiatan perekonomian secara Islam. Tidak hanya pada kegiatan pasca produksi, tetapi juga pada seluruh sumber daya alam yang Allah karuniakan bagi manusia. Salah satunya adalah tanah. Aturan perekonomian di Indonesia sangat tergantung pada seberapa banyak masyarakat dapat menguasai hak atas tanah sebagai salah satu sektor ekonomi penunjang kebutuhan hidupnya. Sehingga tak dapat dipungkiri, bahwa kepemilikan akan tanah dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang esensi.

Kata kunci: distribusi berkeadilan, ihya-u al-mawat, tanah, dharury

Pendahuluan

Kajian bidang ekonomi pada prinsipnya membicarakan tingkah laku manusia sebagai konsumen, distributor dan produsen. Sementara obyek pembicaraan utama dalam bidang ekonomi ialah tingkah laku manusia, maka untuk memahami tingkah laku manusia langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri melalui filsafat dan sikap hidup yang dianut oleh manusia. Perjalanan panjang ekonomi konvensional ternyata hanya mengantarkan manusia pada keadaan

(2)

yang sangat resah bukan pada keadaan yang dapat mengantarkan manusia mencapai keadilan dan kemakmuran di dunia maupun di akhirat. Keadaan itu diakibatkan oleh karena sistem ekonomi Barat mengabdi kepada kepentingan pribadi, bukan mengabdi kepada Allah SWT.

Keresahan akibat ketidakadilan tersebut mendorong manusia hidup dalam keadaan konflik dan cenderung bersaing untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Sementara, ekonomi yang di dasarkan oleh ajaran Islam menganjurkan manusia mengabdi kepada Allah SWT. (QS. 18:29) dengan memakai landasan iman dan takwa, sehingga menjadikan manusia tenang dan harmonis. Dari sini kemudian target pembangunan ekonomi Islam adalah an-nafs al-muthmainnah atau calmness terhadap akhlak (QS. 89:27-30).

Islam merupakan suatu ajaran tentang sistem kehidupan yang meliputi hubungan antara Pencipta (al-Khaliq) dengan seluruh ciptaan-Nya (makhluk) dan antar ciptaan itu sendiri, baik manusia dengan manusia lainnya, maupun manusia dengan alam. Ajaran Islam bersifat proporsional dan dinamis yang dapat diterapkan pada seluruh tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis, seimbang, adil dan sejahtera. Proporsional, dengan segala aspek yang terkait pada aturan sunnatullah. Bahwa segala konsekwensi yang diterima berdasar pada apa yang dilaksanakan dengan seluruh kemampuan dan kesanggupannya. Sedangkan, sifat dinamis lebih menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat luas hingga seluruh daya dapat menyentuhnya, dan luwes hingga seluruh daya dapat merasakannya. Kedinamisannya dapat ditunjukkan dengan konsep-konsepnya yang aplicable diseluruh ruang dan waktu.

Pengertian pembangunan ekonomi sering didefinisikan sebagai ―proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan‖.2 Pengertian ini memberi pemahaman bahwa peningkatan pendapatan per kapita adalah sebagai ukuran tingkat pertambahan GNP/GDP suatu negara pada satu tahun tertentu. Yang tentunya dapat dikatakan bersifat positif bila GNP tersebut melebihi tingkat pertambahan penduduknya. Namun ternyata peningkatan GNP per kapita yang cepat saja tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup masyarakat keseluruhan. Hal ini disebabkan karena proses aliran manfaat dari pertumbuhan ekonomi tidak terjadi. Dan inilah yang disebut ketidakmerataan distribusi pendapatan.

2 Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan, UGM Yogya: Bag. Penerbitan STIE YKPN, 2004, edisi-4,

(3)

Berbicara mengenai hasil pembangunan, pembangunan ekonomi dalam hal ini mempunyai beberapa indikator menuju keberhasilannya, yakni indikator moneter dan indikator non-moneter3. Indikator pembangunan ekonomi dari segi moneter yang pertama biasanya diwakili dengan besaran pendapatan per kapita masyarakat. Selain untuk membedakan tingkat kemajuan ekonomi suatu bangsa (GNP riil), pendapatan per kapita juga memberikan gambaran tentang laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakatnya. Indikator ini juga menunjuk faktor penting lainnya, yaitu distribusi pendapatan, dimana bila tiap masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang intens, maka di pastikan akan mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya, meski tingkat kesejahteraan pada tiap-tiap masyarakatnya akan berbeda. Namun, kondisi ini juga kadang menimbulkan ketidakseimbangan, karena prioritas usaha-usaha pembangunan ekonomi untuk memperoleh pendapatan diatas hanya menguntungkan sebagian kecil anggota masyarakat saja. Hal tersebut memberi arti, bahwa tujuan pembangunan ekonomi belum seluruhnya tercapai. Indikator moneter kedua, adalah kesejahteraan ekonomi bersih atau Net Economic Welfare (NEW). Indikator ini hanya bentuk koreksi dari kegiatan ekonomi yang bersifat materi penuh pada kegiatan ekonomi yang lebih bersifat bathiniah (kepuasan hati), yang menunjukkan bertambahnya tingkat kesejahteraan, meski tingkat GNP-nya turun.

Selanjutnya, indikator pembangunan ekonomi yang bersifat non moneter, lebih menitik beratkan pada aspek sosial dan indeks kualitas hidup manusia. Pada aspek sosial misalnya, pembangunan ekonomi dapat dilihat dari perbandingan tingkat pendapatan antara beberapa wilayah atau negara, perbandingan tingkat harga yang berlaku serta perbandingan tingkat kesejahteraan yang berdasarkan pada data jumlah kendaraan bermotor, jumlah penduduk yang bersekolah, jumlah konsumsi minyak dan lain sebagainya. Sedangkan menurut indeks kualitas hidup, dapat dibagi pada tiga hal, yaitu; tingakat harapan hidup (angka kematian), tingkat melek huruf, dan tingkat pendapatan riil per kapita berdasarkan daya beli (purchasing power parity) bukan kurs pasar.

Selain itu berdasarkan aspek filosofis prinsip-prinsip pembangunan ekonomi menurut Islam yakni ; bersifat komprehensif dan mengandung unsur spiritual, moral dan material. Serta merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan dan nilai. Dimana aspek material, moral, ekonomi dan sosial spiritual tidak dapat dipisahkan. Kebahagian yang ingin dicapai tidak hanya

3 Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan, UGM Yogya: Bag. Penerbitan STIE YKPN, 2004, edisi-4,

(4)

kebahagian dan kesejahteraan material di dunia, tetapi juga di akhirat. Segala aktivitas multidimensional tersebut seluruhnya terkait dan harus diserahkan pada keseimbangan berbagai faktor dan tidak menimbulkan ketimpangan. Termasuk pemanfaatan sumberdaya yang telah diberikan Allah kepada ummat manusia dan lingkungannya semaksimal mungkin melalui pembagian secara merata berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran.

Terkait dengan hal itu semua, maka prinsip pemerataan kesejahteraan sosial-ekonomi bagi masyarakat merupakan bagian dari maqashid al-syari’ah Islam, dalam rangka mencapai ridla Allah dan kebahagiaan dunia-akhirat. Pengejawantahan prinsip ini salah satunya adalah melalui sistem distribusi yang berkeadilan (distributive justice). Prinsip distribusi ini berlaku dalam seluruh kegiatan perekonomian secara Islam. Tidak hanya pada kegiatan pasca produksi, tetapi juga pada seluruh sumber daya alam yang Allah karuniakan bagi manusia. Salah satunya adalah tanah.

Dalam kehidupan manusia, kebutuhan akan tanah adalah bagian dharury (asasi) untuk kelangsungan hidup. Hak asasi ini merupakan hukum Allah (sunnatullah) pada seluruh manusia sebagai bagian dari nalurinya. Mengenai sumber kajian dalam hal ini, isyarat Allah telah sangat jelas diuraikan dalam hukum-hukum yang diturunkannya, baik melalui Kalamullah maupun melalui ucapan para nabi utusannya.

Sistem perekonomian yang berlaku saat ini tidak terlepas dari pemikiran ideologi yang menguasainya. Di Indonesia, sistem ekonominya banyak dipengaruhi oleh pemikiran ideologi yang masuk ke semua wilayah teritorialnya, baik melalui mekanisme persuasif seperti hubungan dagang, dan mekanisme jajahan (kolonial) seperti yang telah dialami bangsa ini selama ratusan tahun. Oleh karenanya, tidak hanya sistem perekonomiannya saja yang berideologi sama tetapi juga hukum serta aturan perekonomiannya pun punya akibat yang sama.

Tak terlepas dari asumsi diatas, aturan perekonomian di Indonesia sangat tergantung pada seberapa banyak masyarakat dapat menguasai hak atas tanah sebagai salah satu sektor ekonomi penunjang kebutuhan hidupnya. Sehingga tak dapat dipungkiri, bahwa kepemilikan akan tanah dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang esensi.

(5)

baik dalam bentuk maupun sistemnya. Namun bila kita spesifikasi di Indonesia, maka penguasaan tanah menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan bentuk penguasaan tanah menurut hukum Islam.4

Bentuk penguasaan tanah pada satu negara mengikuti ideologi ekonomi yang dianut negara tersebut. Kita mengenal setidaknya lima ideologi sistem ekonomi, yaitu kapitalisme, sosialisme, komunisme, fasisme, dan ekonomi Islam.5 Secara umum, hak kepemilikan (property rights) yang berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis adalah kepemilikan yang tanpa batas. Bentuk kepemilikan tanpa batas ini berlaku untuk benda apa saja termasuk tanah. Si pemilik (owner) dapat menggunakan dan menguasai miliknya sebagaimana ia sukai. Konsep dasar sistem ekonomi kapitalis adalah kebebasan tanpa batas untuk menciptakan pendapatan pribadi dan membelanjakannya sesuai dengan kemauannya (personal propensities).6 Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, yang pada akhirnya melahirkan ekonomi kapitalis. Lebih dari itu dalam konteks ini, menurut Wiradi7, pemilikan tanah yang disamakan dengan sumber daya ekonomi lain sehingga

tanah menjadi ‖komoditas‖, merupakan akar terjadinya berbagai krisis ekonomi di tingkat dunia selama ini. Misalnya saja yang baru-baru ini terjadi yaitu subprime property di Amerika, yang menggambarkan tingkat ketidak mampuan masyarakat Amerika untuk membayar rumah (tempat tinggal) mereka, akibat penentuan harga yang tak terkendali di negara tersebut. Sehingga berdampak massiv terhadap aspek primer masyarakatnya yakni hilangnya hak mendapatkan tanah untuk tempat tinggal mereka. Secara tidak langsung, ternyata idealisme kapitalisme telah menggilas hak-hak manusia terutama hak atas tanah.

Sisi ekstrim yang lain adalah kepemilikan tanah di negara sosialis, dimana pemilikan pribadi hampir seluruhnya telah dicabut dan dialihkan ke negara, dimana pemerintah bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat. Pada akhirnya, sosialisme melibatkan pemilikan semua alat-alat produksi, termasuk di dalamnya tanah-tanah pertanian oleh negara dan menghilangkan milik swasta. Dalam masyarakat sosialis, hal yang menonjol adalah kolektivisme atau rasa kebersamaan, di mana alokasi produksi dan cara pendistribusian semua

4 Syahyuti, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.24 no. 1, 2006.

5 Eldine Achyar, Prinsip-prinsip ekonomi Islam, (http//.www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm), 2005. 6 Robert L Heilbroner,Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, UI Press, 1986.

7

(6)

sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara.8 Selanjutnya, komunisme lebih bersifat gerakan ideologis yang juga mencoba mendobrak sistem kapitalisme. Komunisme adalah bentuk paling ekstrem dari sosialisme. Sementara dalam fasisme, asosiasi-asosiasi yang mencakup seluruh industri atau sindikat-sindikat pekerja mengoperasikan kegiatan produksi, pemerintah melakukan pengendalian dalam bidang produksi, sedangkan kekayaan dimiliki oleh pihak swasta.

Dalam ekonomi Islam, manusia tidaklah berada dalam kedudukan mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya sendiri. Ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab suci Al-Qur`an dan Sunnah. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, dimana tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk. Dalam konteks ini manusia tidak hanya sebagai makhluk sosial tetapi juga sebagai makhluk religius.

Pembahasan

A. Hukum Tanah di Indonesia

Hukum tanah di Indonesia memiliki fungsi sosial. Unsur sosial tersebut berupaya agar tidak terjadi akumulasi dan monopli tanah oleh segelintir orang. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, seperti dalam peratutan land reform UU No.56 tahun 1960 bahwa orang tidak boleh memiliki tanah lebih dari lima hektar (jawa).

Namun sistem hukum tanah di Indonesia tampak berada ditengah dua ekstrim, yaitu hukum adat dan Islam disatu sisi dan hukum barat (kapitalis) di sisi ekstrim lainnya. Ini bersumber dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang disusun berdasarkan Code Civil Perancis, yang dasar filosofisnya menganut individualistik-liberal.9

Prinsip ―Tanah untuk Rakyat‖—yang sering didengungkan oleh pemerintah Indonesia dari masa ke masa—seakan-akan hanya sebuah kalimat tanpa makna. Karena pada kenyataannya akses masyarakat –miskin terutama— terhadap tanah sangat kecil, bahkan hilang akibat pengaturan pemerintah dalam sektor ini tidak mendukung grass root. Sementara itu, dipihak lain

–para pengembang—mendapat dukungan yang lebih dari cukup yang justru untuk keperluan spekulasi dan komersil.

(7)

Rupanya sistem demand & supply tanah yang ada, berlaku seperti halnya prinsip perekonomian yang berjalan saat ini. Sistem konvensional yang berprinsip mekanisme pasar (market mecanism) membawa dampak para spekulan tanah meraih keuntungan yang sangat besar. Dan disinilah gap pembangunan sosial dan ekonomi terjadi.

Di Indonesia, seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah RI sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional.

Dalam aplikasinya penguasaan hak akan tanah pada masyarakat harus melalui legalisasi hukum pertanahan, karena terkait dengan undang-undang yang menyatakan bahwa seluruh sumber daya alam beserta kandungannya adalah milik negara dengan merujuk Undang-undang Dasar 1945. Yang dengan landasan inilah kemudian, negara menentukan bagaimana dan siapa saja yang dapat memiliki dan menguasai tanah yang tersebar diseluruh wilayah negeri ini melalui mekanisme dan aturan yang berlaku.

Mekanisme itu tertuang dalam perundang-undangan hukum agraria Indonesia. Yang tentu saja didalamnya terdapat hasil elaborasi dan kolaborasi hukum adat, hukum agama serta hukum yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah yang berkuasa saat itu. Sehingga produk hukum dan peraturan yang dikeluarkan atau dilaksanakan pun –hingga saat ini-- memuat tiga komponen tersebut.

Namun, sejatinya mekanisme ini digunakan dengan tujuan supaya seluruh rakyat/masyarakat mendapatkan kesejahteraan hidup jangka panjang dan dapat menikmati kehidupan sehari-harinya dengan laik. Sehingga dapat tercipta pemerataan kekayaan sekaligus pendapatan dengan adanya pemilikan hak atas tanah tersebut.

Disisi lain, pada kenyataannya tidak seluruh rakyat/masyarakat mendapatkan hak itu dengan selaiknya, bahkan mungkin lebih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan hak tersebut. Hal ini terjadi akibat mekanisme perundang-undangan dan peraturan yang diberlakukan tidak condong dan tidak mendukung akan tujuan utama tadi. Sehingga, pada realitasnya menyebabkan terjadinya gap kepemilikan atau penguasaan hak atas tanah. Bahwa sebagian kecil masyarakat dapat menguasai sebagian besar hak atas tanah, tapi sebagian besar masyarakat justru hanya menguasai sebagian kecilnya saja atau bahkan tidak.

(8)

Milik atas Tanah dan rancangan UU tentang Pengambilalihan Lahan untuk Kepentingan Umum. Yang kemudian lahir Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Menurut sebagian pemerhati, hal ini justru memberi peluang untuk terjadinya penguasaan tanah oleh kelompok-kelompok tertentu, yang tentu saja manfaatnya hanya dirasakan oleh kelompok tersebut. Sedangkan, tujuan utama dirombaknya UUPA lama untuk di reformasi kearah yang lebih baik, justru menjadi beban hidup bagi masyarakat yang notabene kepemilikan tanahnya tak seberapa -jauh dari mencukupi kebutuhan dasar mereka—harus dialihkan kepemilikannya kepada negara atas nama kepentingan umum dan pembangunan, yang justru didominasi untuk kepentingan industri skala besar.

Kondisi-kondisi inilah yang mengharuskan lahirnya mekanisme atau aturan mengenai penguasaan/pemilikan hak atas tanah yang condong dan mendukung pada pemerataan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini konsep Ihya-u al-Mawat menurut ekonomi Islam menjadi pilihan alternatif dalam memecahkan persoalan ekonomi masyarakat.

Karena kenyataan kondisi dan situasi saat ini adalah penguasaan hak tanah ada pada negara –baik yang sudah dikelola atau pun belum selama bertahun-tahun, hingga seseorang mau dan mampu membeli tanah tersebut, apakah untuk dikelola dan dimanfaatkan atau dibiarkan sekalipun.

Sehingga, pengejawantahan ide-ide yang ada dalam Undang-Undang Dasar ‘45 belum terealisir sebagai upaya pencapaian tujuan yang dimaksud, yaitu pemerataan pendapatan dan kesejahteraan hidup masyarakat. Dalam hal inilah kita seharusnya mau menganalisa bagaimana praktik penguasaan atau pemilikan hak atas tanah yang dilaksanakan di Indonesia dengan konsep Ihya-u al-Mawat menurut ekonomi Islam, yang memungkinkan kedua hal tersebut mengarahkan kondisi perekonomian masyarakat miskin Indonesia khususnya, mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup.

B. Pengertian Ihya-u al-Mawat

(9)

Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkannya ialah mengolahnya dengan menanaminya, baik dengan tanaman maupun pepohonan atau dengan mendirikan bangunan di atasnya10.

Dalam perspektif Islam, konsep ini akan membawa pada pemahaman bahwa pemilikan/penguasaan hak atas tanah tidak serta merta menjadi milik seseorang tanpa ada usaha untuk menghidupkan atau mengelola tanah tersebut, sehingga hal ini menjadi unsur/syarat hak tanah itu jatuh ke tangan sesesorang. Syara‘ telah menjadikan tanah tersebut sebagai miliknya,

didasarkan pada hadist Rasulullah riwayat Bukhari dari ‗Aisyah, “Siapa saja yang telah

mengelola sebidang tanah yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak.” Menghidupkan tanah mati (ihya-u al-mawat) itu berbeda faktanya dengan pemberian cuma-cuma (iqtha’). Perbedaannya adalah, bahwa ihya-u al-mawat merupakan tanah mati, yang belum dipagari, kemudian dihidupkan dengan sesuatu yang menunjukkan tanah tersebut dikelola.

Sedangkan iqtha‘ adalah memberikan tanah yang sudah dikelola dan siap digarap/ditanami atau

tanah yang pernah dimiliki seseorang.11

Dalam beberapa Hadis dinyatakan bahwa, siapa saja orang yang mengolah tanah yang tidak ada pemiliknya, maka ia otomatis memilikinya (Hadis riwayat Bukhori, dari Urwah, dari Aisyah) atau Hadis yang menyatakan siapa saja orang yang menghidupkan tanah mati, maka itu menjadi miliknya (Hadis riwayat ‗Tsalatsah‘, dari Said bin Zaid) atau bahkan bahasan tentang al-Hima (tanah dibawah perlindungan) di mana Rasulullah menyatakan bahwa al-Hima adalah milik Allah dan Rasul-Nya (Hadis riwayat Bukhori, dari Ibnu Abbas).12 Dari Hadis-hadis di atas jelas menyiratkan bahwa konsep tanah menurut Islam, haruslah bersifat distributif, tidak menekankan aspek penguasaan, namun lebih pada aspek pengelolaan. Selain itu, Islam memang memegang prinsip yang didasarkan pada Hadis yang menyatakan bahwa, ―manusia berserikat

pada 3 hal yakni; air, tanah dan api‖, artinya tingkat keberhakkan seseorang dalam penguasaan akan tanah lebih rendah dibanding kebutuhan masyarakat akan hal itu.

Ihya-u al-Mawat pada dasarnya merupakan konsep yang berkenaan dengan aspek sosio-ekonomi suatu masyarakat, dimana kehidupan mereka pada dasarnya sangat tergantung pada ketersediaan akan tanah. Tanpa tanah niscaya mereka akan mengalami kesulitan dalam

10

Taqyuddin an-Nabhani, Membangun sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya:Risalah Gusti, 1999, cet-IV, hal. 74.

11

Taqyuddin an-Nabhani, Membangun sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya:Risalah

Gusti, 1999, cet-IV, hal.135-136

(10)

pemenuhan ekonomi hidupnya. Keberhakkan masyarakat pada pemilikan akan tanah sejatinya

menjadi bagian ―kewajiban‖ negara untuk pemenuhannya. Dalam Islam, adanya tanah dalam kehidupan ekonomi manusia merupakan bagian dharury (primer) bagi kelangsungan hidup.

Konsep ―menghidupkan tanah mati‖ menjadi salah satu ciri sistem distribusi tanah dalam Islam

yang paling efektif dan efisien dalam pembangunan ekonomi masyarakat.

Menurut Malikiyah dan Hanabilah cara Ihya-u al-Mawat dalam Islam, yakni dengan mengarapnya sebagi lahan pertanian. Untuk itu perlu dibersihkan pepohonan yang ada di dalamnya, mencakul lahannya untuk pertanian, membuat saluran irigrasi, baik dengan menggali sumur maupun mencari sumber air lainya, memnanaminya dengan pepohonan atau tanaman yang menghasilkan, serta memagarnya. Begitu pula beberapa persyaratan yang terkait dengan penerapan Ihya-u al-Mawat ini, sebagai berikut: 13

a. Syarat – syarat yang terkait dengan orang yang mengaraf untuk orang yang mengaraf,

menurut ulama syafi‘iyah, haruslah seorang muslim, karena kaum dzimi tidak berhak

mengaraf lahan umat islam sekali pun di ijinkan oleh pihak penguasa.

b. Syarat yang terkait dengan lahan yang akan di garap. menurut ulam fiqih, disayaratkan sebagai berikut:

1. Bukan lahan yang di milik olh seorang, baik mislim mapun dzimi 2. Bukan hanya di jadikan sarana sebagi sesuatu.

3. Menurut ulama syafi‘iyah lahan itu berada di wilayah Islam

c. Syarat yang terkait dengan pengarap lahan, ialah harus mendapat izin dari pemerintah (menurut imam Abu Hanifah), lahan itu sudah harus di garap dalam waktu 3 tahun (menurut ulama Hanafiyah). Pembatasan waktu tiga tahun ini di dasarkan kepada pendapat umar Ibn al-Khaththab yang menyatakan : orang yang hanya sekedar memagar

lahan, setelah 3 tahun tidak berhak lagi atas lahan itu ― (HR. Al-Nasa‘i).

Tujuan utama dari konsep ini adalah agar kepemilikan tanah jelas berdasarkan pengelola dan agar tidak terkonsentrasinya kepemilikan tanah ini pada segelintir orang atau kelompok saja. Sehingga perilaku pemilikan yang tidak sah dan tidak jujur yang mengakibatkan tanah tidak terdistribusi secara merata dan keadaaan menjadi tidak adil, perlu adanya batasan untuk maksimal kepemilikan tanah dan mendistribusikan sisanya secara

(11)

merata.14 Yang kemudian diisyaratkan dengan istilah land reforms. Karena land reform dipandang sebagai kunci utama program ekonomi masyarakat. Kepentingannya adalah untuk menciptakan iklim egaliterian dan demokrasi (men. Islam) Distribusi tanah merupakan determinan utama bagi distribusi pendapatan dan minimnya kemiskinan. Reduksi dalam kesenjangan pendapatan dan kekayaan melalui konsep ini menjadi lebih signifikan.

Pada dasarnya , konsep penguasaan tanah dalam Islam berakar dari konsep bumi (earth), dimana bumi dipandang sebagai salah satu sumber daya yang paling bernilai untuk menuju kesejahteraan hidup. Kata ―milik‖ menunjukkan bahwa ada relasi antara benda dengan seseorang, sebagai dasar sehingga ia punya hak untuk menggunakannya (right to use it), menguasainya untuk menggunakannya (to keep it for his use), untuk menjualnya (to sell it) atau meminjamkannya (to lend it) kepada orang lain dan menerima sewa.

Menurut ketentuan Islam, baik negara maupun masyarakat tidak dapat mengklaim sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati batas waktu 3 tahun. Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuannya untuk menguasia tanah tersebut tetapi atas dasar pemanfaatannya. Adapun kaitannya dengan aspek ekonomis, golongan masyarakat yang menguasai tanahlah yang dianggap produktif karena ia menghasilkan sesuatu. Berbeda dengan pedagang yang disebut kelompok ‗steril‘. Namun penguasaan tanah tanpa digarap atau tanah kosong dalam Islam dibebankan membayar zakat. Ini menjadi motivator pemiliknya agar tanah tersebut tidak diterlantarkan. Sebagaimana dalam hadist diungkapkan :

―Hendaklah menanami (tanah) atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa yang tidak melakukan salah satu atau keduanya, maka tahanlah tanahnya‖.

Penerapan Ihya-u al-Mawat di masa Islam sangat terkait beberapa aspek legalnya, di antaranya:

a. Para ulama fiqih menyatakan bahwa jika seorang mengarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya maka akibat hukumnya adalah :

1. Menjadi pemilik lahan itu. Sebagaimana sabda Rasulullah S.A.W:

Siapa yang mengarap lahan kosong maka lahan itu menjdi miliknya ( HR.Ahmad Ibn Hambal dan At-tirmidzi dari Jabir Ibn Abdillah ).

2. Terdapat hubungan hukum antara pemerintah dengan pemilik lahan itu. Yakni, apabila si penggarap lahan itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut

14

(12)

pajak sebesar 10% dari hasil garapannya itu. Namun ada juga yang berpendapat pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari lahan itu jika yang menggarapnya seorang muslim.

3. Apabila seseorang telah menggarap sebidang lahan, maka ia berhak memanfaatkan lahan itu untuk menunjang lahan yang ia olah, seperti memanfaatkan lahan di sebelahnya untuk keperluan irigasi. Akan tetapi para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa sebelum ia menggarap lahan itu, hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum boleh, sekalipun pada jarak tertentu, namun pada akhirnya yang memutuskan itu, menurut mereka adalah adat istiadat atau pemerintah.

C. Sejarah Ihya-u al-Mawat

Dalam sejarah peradaban Islam, konsep Ihya-u al-Mawat sesungguhnya telah teraplikasi pada zaman Rasulullah berhijrah ke Madinah, di mana Rasulullah memerintahkan kapada kaum Anshar (tuan rumah) untuk rela berbagi tanah dengan kaum Muhajirin (pendatang) sebagai tanda persaudaraan dan bantuan secara ekonomi pada mereka. Sebenarnya Nabi memerintahkan pembagian ini dengan beberapa cara, tergantung kepada tingkat kebutuhannya saat itu. Pembagian tanah secara cuma-cuma kepada kaum Muhajirin lebih karena mereka yang datang adalah orang-orang yang ditinggalkan keluarganya–karena masuk Islam (mu’allaf)- bahkan meninggalkan kekayaannya, sehingga kebutuhan kaum Muhajirin terhadap tanah tersebut merupakan kebutuhan esensial. Dengan memiliki tanah, kaum Muhajirin akan mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup mereka. Ada pula pembagian tanah ini dengan konsep kerjasama, di mana penerima tanah memberikan kompensasi yang adil kepada si pemberi tanah sesuai kesepakatan.

Pada masa Khalifah Abu Bakar pun konsep ini pernah dilakukan dalam bentuk pemberian tanah hasil rampasan perang (kaum kafir harbi) dan kafir dzimmi kepada negara untuk kemudian dibagikan kepada kaum muslimin.

(13)

untuk dikelola sebagai lahan pertanian yang dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat sendiri sekaligus pemasukan untuk kas negara.

Pada masa Umar ini bahkan pernah dilakukan konsolidasi tanah, yakni penataan kembali penguasaan dan pemilikan tanah, dari yang semula bentuknya tidak teratur menjadi bentuk yang teratur, rapi, efisien, dan optimal. Obyek konsolidasi tanah ada dua macam, yaitu tanah pertanian dan tanah pemukiman perkotaan. Salah satunya adalah politik tanah hima yang diputuskan Umar,15 adalah sebagai berikut :

 Tanah hima adalah tanah Allah, maka harus dilindungi untuk keperluan jihad fisabilillah.

 Tanah di suatu negara yang diperebutkan oleh penduduknya di masa jahiliyah lalu mereka masuk Islam, maka perlindungan tidak dianggap perlu jika hanya untuk pengembalaan binatang ternak orang-orang yang memilikinya.

 Umar mewasiatkan kepada para pekerjanya untuk memperhatikan nasib para pemilik hewan ternak yang sedikit, sebab mereka harus lebih diutamakan dibanding mereka yang mempunyai harta banyak dan juga karena tanah itu milik mereka.

Mekanisme distribusi tanah sejatinya dapat dilakukan dengan berbagai cara yang sesuai dengan kaidah-kaidah transaksi, yang terpenting adalah masyarakat dapat mengakses kebutuhan mereka atas tanah untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Tanah-tanah yang menganggur atau didiamkan oleh pemiliknya tanpa ada produktifitas di dalamnya, atau bahkan orang lain tidak bisa memanfaatkan tanah-tanah tersebut untuk hidupnya, maka kondisi itu niscaya membawa dampak secara massiv pada masyarakat atau negara yang bersangkutan. Terutama pada pembangunan ekonomi, sosial dan keamanan negara tersebut.

Ada berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan menggali pengalaman dari sisi hukum adat, di mana paling sedikit harus ada tiga hal yang dijadikan pemikiran untuk kriteria penentuan tanah terlantar, yakni:16

1. Dari segi obyeknya, dalam hal ini misalnya keadaan fisik tanah dan penggunaannya (tanah pertanian atau tanah bangunan).

2. Dari segi subyeknya, dalam hal ini misalnya, apakah ada unsur kesengajaan atau keterpaksaan.

15 Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab, Pustaka Azzam, 2002, hal. 96.

16 Maria S.W. Sumardjono, Reformasi Hukum Pertanahan, makalah disampaikan pada Pertemuan

Ilmiah Pembangunan Desa dan Masalah Pertanahan , diselenggarakan oleh PAU Studi sosial UGM, pada

(14)

3. Dari segi jangka waktunya, misalnya, berapa batas waktu untuk menyatakan suatu bidang tanah terlantar dilihat dari usaha yang seharusnya sudah dilakukan yang bersangkutan. Dapat ditarik kesimpulan, bahwa tanah yang terdistribusi dengan merata diantara masyarakat akan memiliki tingkat produktifitas yang lebih tinggi dibanding penguasaan tanah hanya oleh segelintir orang saja. Kondisi ini akan mampu memicu pembangunan ekonomi masyarakat dalam sebuah negara. Konsep tanah terdistribusi ini juga sangat sesuai dengan konsep ihyaul mawat dalam Islam, karena dengan sendirinya konsep ini memiliki efek ekonomis baik bagi masyarakat yang mengelolanya, maupun negara sebagai otoritas hukum yang menaunginya.

D. Prinsip Pembangunan Ekonomi dalam Distribusi Tanah

Ilmu Ekonomi Pembangunan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, yang berbeda dengan pengertian ilmu ekonomi biasa. Selain mengupas cara-cara alokasi sumber daya produktif langka seefisien mungkin, juga memberikan perhatian pada mekanisme-mekanisme ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan, baik di sektor swasta maupun yang ada di sektor publik.

Menurut ukuran ekonomi tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional ---yang bersifat statis dalam kurun waktu lama---- untuk:

1. Menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas GDP atau GNP suatu negara. 2. Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita atau GNP per kapita masyarakat suatu

negara.

3. Tingkat dan laju pertumbuhan GNP Riil.

4. Kemajuan struktur produksi dan penyerapan sumber daya manusia (employment)

Kondisi-kondisi inilah yang mendorong pengabaian pada aspek utama, yakni soal kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan.

Paling tidak terdapat beberapa hal dalam prinsip ekonomi pembangunan ini yang menjunjung tinggi harkat dan penghidupan manusia secara utuh. Hal ini tercermin pada inti pembangunan ekonomi yakni;

 Kecukupan (Sustenance) : Kemampuan untuk memenuhi Kebutuhan-Kebutuhan Dasar

 Jati Diri (Self-esteem) : Menjadi Manusia Seutuhnya

(15)

1. Pembangunan ekonomi mengarah pada peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok, seperti ; pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan perlindungan keamanan.

2. Peningkatan Standar hidup yang tidak hanya peningkatan berupa pendapatan, penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan untuk menumbuhkan jati diri bangsa yang bersangkutan.

3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

Prinsip-prinsip diatas memberi pemaknaan bahwa masyarakat baik secara individu maupun kolektif mempunyai hak utama untuk mendapat kemakmuran dan kesejahteraan secara

ekonomi dalam kehidupannya. Dukungan negara menjadi ―wajib kifayah‖ dalam mengupayakan

serta merealisasikan tujuan dari prinsip-prinsip tersebut.

Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan langkah negara sudah menetapkan acuan

bagaimana seharusnya negara ‗memperlakukan‘ kemakmuran untuk rakyatnya. Dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 3, disebutkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menjadi persoalan dan tanda tanya besar selanjutnya adalah, sejauh mana rakyat makmur atas pengelolaan sumber daya alam oleh Negara?. Rakyat bernama petani contohnya, dari masa ke masa jauh dari kata makmur. Ekstrimnya, negara yang diamanatkan memakmurkan rakyat dipandang telah gagal membawa petani kearah kemakmuran yang diinginkan konstitusi. Bahkan negara semakin menghibahkan keterpurukan bagi kaum petani dengan semakin hilangnya kepemilikan atas tanah bagi petani.

(16)

konsentrasi ‗pembangunan‘. Lahan-lahan pertanian tergerus habis mengikuti sistem tersebut. Padahal saat ini konsumerisme merupakan efek domino industrialisasi, telah merebak dan menempati posisi sentral dalam kehidupan ekonomi. Sehingga tergeserlah para petani yang masih memiliki etos kerja dan mentalitas yang baik.

Di Indonesia saat ini UUPA masih menjadi peraturan perundangan tentang pertanahan. Dalam hal kepemilikan tanah, UUPA lebih banyak menekankan pada aspek kepemilikan tanah individual. Hal ini penting untuk menjadikan status penguasaan tanah jelas ketika terjadi pemindahan hak atas tanah. Pembebasan tanah misalnya dalam konteks pembangunan infrastruktur yang akan dibangun oleh pemerintah dan ditujukan bagi kepentingan umum sering dikonotasikan dengan pengambilalihan tanah. Konotasi ini yang kemudian cenderung ke arah konotasi yang negatif. Penyebabnya adalah asal dari kata pengambilalihan tersebut, yaitu dari kata ambil. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata tersebut antara lain memiliki atau merebut. Dengan begitu jelas memberikan gambaran bahwa frase pengambilalihan tanah dapat saja diartikan upaya (dalam hal ini pemerintah) untuk merebut tanah milik masyarakat atau tanah yang sudah ada pemilik atau pemegang haknya.17

Tanah merupakan sumber yang sangat vital dan sebuah potensi besar bagi kelangsungan hidup petani dan keberlanjutan pangan dinegeri ini. Karena tanah bagi mereka menjadi alat produksi dan sandaran penghidupan. Dengan pertanian, mereka dapat menghasilkan bahan makanan, bahan perdagangan dan kebutuhan lainnya, maka bisa dibayangkan signifikansi tanah bagi masyarakat yang sebagian besar masih bersifat agraris. Tapi dalam sejarah Indonesia, petani selalu banyak dicekam rasa cemas akan ketidakjelasan dan semakin diperparah oleh rasa ketidakmenentuan. Kehidupan petani dari hari kehari semakin terpuruk, jauh dari membaik. Justru semakin tertekan dan terperosok dalam jurang kemiskinan.

Tanah merupakan faktor produksi yang penting, sering disebut sebagai faktor produksi asal atau asli (original factor of production). Tanah merupakan asal muasal dari segala kegiatan produksi. Tanah juga merupakan faktor produksi unik, sebab ia tidak diciptakan oleh manusia melainkan manusia tinggal memanfaatkannya. Keunikan tanah yang lain karena ketersediaannya yang sangat terbatas, dalam arti ia telah tersedia dalam jumlah yang tetap dan tidak diciptakan

17 Abdul Haris, Pengaruh Penatagunaan Tanah Terhadap Keberhasilan Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi,

(17)

lagi. Karena penting dan uniknya karakteristik dari tanah ini maka baik kapitalisme maupun sosialisme memberikan perhatian yang sangat besar terhadapnya.Dalam pandangan ekonomi konvensional, tanah merupakan faktor produksi yang bersifat tetap (fixed) dalam penawaran. Total penawaran ditentukan oleh kekuatan-kekuatan non-ekonomi dan umumnya tanah tidak dapat diperluas meskipun harga lebih tinggi atau dipersempit meskipun harga rendah. Para

ekonom klasik menyebut tanah sebagai ―hadiah alam yang orisinil dan tidak ada habis

-habisnya‖, yang menurut definisi penawaran totalnya tetap atau tidak elastis sempurna.18

Di Indonesia, permasalahan tanah (sumber agraria) sudah menjadi persoalan yang sangat pelik sekaligus rawan. Hal itu tercermin dari timpangnya struktur pemilikan dan penguasaan tanah, serta maraknya sengketa/konflik tanah yang terus terjadi di berbagai daerah. Diletakan dalam konteks pembangunan, hal ini menimbulkan permasalahan tentang bagaimana mencari solusi dari kondisi yang tidak menguntungkan itu, serta bagaimana mengupayakan agar pembangunan bisa terus dilaksanakan di tengah-tengah kompleksitas permasalahan tanah yang hingga kini belum menemukan muara pemecahannya.

Mengutip sepenggal dari sekian banyak pemikiran Bung Hatta, Tanah yang dipandang sebagai faktor produksi utama itu, di luar tanah kediaman, hanya boleh dipandang sebagai faktor produksi saja, dan mestinya tidak lagi menjadi objek perniagaan yang diperjualbelikan, semata-mata untuk mencari keuntungan. Sebagai pendiri Republik ini, Bung Hatta sudah menegaskan sejak dulu jika pemerintah sudah seharusnya mengeluarkan kebijakan pro rakyat yang tidak lagi mengulang catatan pahit praktik-praktik kolonialisme. Dalam banyak catatan sejarah, telah diungkapkan bagaimana eksploitasi yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap tanah dan tenaga kerja rakyat Indonesia. Dimulai dengan penerapan sistem sewa tanah, cultuurstelsel, hingga diterapkannya Undang-Undang Agraria 1870, rakyat Indonesia telah kehilangan hak atas tanah yang telah lama dikuasai oleh nenek moyangnya.19

Bahkan pemerintah kolonial memandang tanah sebagai alat pemikat bagi penanaman modal asing perkebunan. Tanah telah dipandang sebagai komoditas strategis dalam upaya menarik modal asing. Kenyataan pahit inilah yang melatarbelakangi pemikiran Bung Hatta

18 Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Makroekonomi (terj.), edisi ke-14, Jakarta: Erlangga, 1999, hlm. 312.

19

(18)

bahwa perlu segera diupayakan suatu kebijakan yang dapat mengembalikan hak-hak rakyat Indonesia atas tanah.

Pokok-pokok pemikiran Bung Hatta itu kemudian terakomodasikan dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yang dikeluarkan dua belas tahun kemudian yaitu tahun 1960. Baik Bung Hatta maupun UUPA sangat tidak setuju atau berupaya menghindari tanah dijadikan objek pemerasan atau kekuasaan dan dianggap komoditas. Namun ironis, praktek-praktek kolonialisme yang dibenci Bung Hatta itu, masih kerap terjadi hingga kini.

Memaksimalkan lahan pertanian sangat berpengaruh terhadap laju perekonomian secara nasional. Mengutip seorang Ekonom terkemuka dari Bangladesh, Rahman Sobhan mengatakan bahwa bila kita benar-benar ingin mewujudkan penghapusan kemiskinan di pedesaan serta mengakselerasikan segala pembangunan ekonomi, maka tidak ada alternatif lain selain melakukan pembaruan agraria yang radikal, yang akan mendistribusikan kembali tanah-tanah secara merata bagi sebagian besar rakyat yang tak bertanah dan yang kekurangan tanah, dan yang dengan sendirinya dapat menghapuskan secara total penghapusan tanah yang dominan.

E. Implementasi Konsep Ihya-u al-Mawat atau Lands Reform

Sering terdengar akhir-akhir ini terjadi krisis pangan hampir di separuh belahan dunia, tak terkecuali dirasakan negeri kita yang sudah masuk dalam daftar negara krisis pangan. Padahal, dulu Indonesia dikenal dengan negara agraris yang luas lahan pertaniannya melimpah dan belum tentu dimiliki negara lain. Terdapat beberapa daerah yang menjadi andalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan terutama daerah ibukota. Yang membentuk sawah membentang luas hingga beratus-ratus kilo meter yang dikenal dengan istilah lumbung padi.

(19)

di dalam ketentuan pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan the supreme law of the land”.

Pada umumnya, pengolahan tanah dapat mengambil dua bentuk dasar, yaitu: pertama, pemilik tanah mengolah sendiri tanah miliknya, dan kedua, pemilik tanah menyerahkan kepada pihak lain untuk mengolahnya.

Bentuk pengolahan yang pertama relatif tidak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mengolah sendiri di sini tidak berarti seluruh kegiatan pengolahan harus dilakukan sendiri secara teknis dan fisik oleh pemilik tanah, tetapi ia dapat membayar para pekerja untuk mengolah tanah ini. Sementara, bentuk pengolahan yang kedua, yaitu menyerahkan kepada pihak lain, dapat dibagi lagi menjadi dua macam penyerahan, yaitu: pertama, penyerahan secara cuma-cuma atau gratis dan kedua, penyerahan dengan imbalan. Menyerahkan tanah kepada pihak lain secara cuma-cuma untuk menggarapnya merupakan sikap mulia yang mencerminkan rasa persaudaraan dan kemurahan hati. Pada macam penyerahan yang kedua, yaitu penyerahan dengan pengenaan sewa, telah menimbulkan perbedaan pendapat. Perbedaan pandangan atas sewa tanah ini muncul terutama disebabkan karena adanya perbedaan dalam memahami makna hadits-hadits yang relevan.

Dalam hal sewa tanah untuk pemanfaatan di luar pertanian, misalnya untuk industri, perumahan atau perdagangan, maka jumhur ulama berpandangan boleh (mubah). Tetapi, sewa tanah untuk pemanfaatan pertanian telah menimbulkan perbedaan pendapat. Pada dasarnya perbedaan pendapat ini dapat dibagi dua, yaitu: (1) yang membolehkan sewa tanah, dan (2) yang tidak membolehkan sewa tanah. Pandangan yang membolehkan sewa tanah dapat dipecah lagi menjadi:

1. Pandangan pertama, yaitu sewa tanah lebih baik didasarkan atas sistem bagi hasil, bukan sistem sewa tetap.

2. Pandangan kedua, yaitu sewa tanah lebih baik dilakukan dengan sewa tetap, sebab pada dasarnya tanah dapat dianalogikan (qiyas) seperti kekayaan lainnya.

(20)

maka harus diserahkan kepada orang lain (yang dapat menggarapnya) dengan tanpa perjanjian imbalan apapun, baik dengan imbalan bagi hasil maupun sewa tetap.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, penguasaan tanah tanpa digarap atau tanah kosong dalam Islam dibebankan membayar zakat. Ini menjadi motivator pemiliknya agar tanah tersebut tidak diterlantarkan. Sebagaimana dalam diungkapkan dalam al-Hadis: ―Hendaklah menanami (tanah) atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa yang tidak melakukan salah satu atau keduanya, maka tahanlah tanahnya‖.

Terdapat beberapa akad dalam upaya memproduktifkan tanah menurut pandangan Islam, tujuannya agar tanah tidak diam (unproduktif), di antaranya adalah;

1. Akad Muzara’ah ialah 'Anda menyerahkan sebidang tanah kepada orang lain untuk ditanami tanaman, dengan perjanjian: hasil tanamannya dibagi antara Anda berdua dalam persentase yang disepakati'. (Raudhatuth Thalibin oleh An-Nawawi, 5:168; Al-Mughnioleh Ibnu Qudamah, 7:555; Mughni Al-Muhtaj oleh As-Sarbini, 2:323)

2. Akad Musaaqah ialah 'Anda menyerahkan perkebunan milik Anda kepada seseorang untuk ia rawat, dengan perjanjian: hasil panen kebun tersebut dibagi antara Anda berdua dalam persentase yang disepakati'. (Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 7:527;Raudhatuth Thalibin, 5:150)

Rasulullah SAW pernah melakukan akad musaqah dengan penduduk Khaibar sebagaimana dijelaskan dalam al-Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, yang artinya: “Dari

Ibnu Umar RA, “sesungguhnya Rasulullah SAW mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh dari hasil (lahan) yang diperoleh berupa buah-buahan atau tanaman”. (HR. Muslim).

Syafi‘iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwasaanya akad musaaqah ini di perbolehkan dikarenakan Rasulullah SAW pernah melakukan akad musaaqah dengan penduduk Khaibar sebagaimana dijelaskan dalam al-Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar: Artinya: “Dari Ibnu Umar RA, “sesungguhnya Rasulullah SAW mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh dari hasil (lahan) yang diperoleh berupa buah-buahan atau

tanaman”. (HR. Muslim).

(21)

atas tanah pertanian disebut muzara’ah dan apabila dilakukan atas perkebunan disebut musaaqah.

Kebanyakan ulama yang mendukung sistem sewa tanah dengan bagi hasil, misalnya madzhab Hanafi, Abu Yusuf, dan lain-lain, berpendapat bahwa sistem ini lebih dekat kepada keadilan dibandingkan dengan sistem sewa tetap. Kerjasama muzara’ah atau musaaqah dipandang lebih adil, mencerminkan sikap tolong menolong, dan lebih sehat bagi kegiatan ekonomi karena antara pemilik dan penyewa tanah akan bersama-sama menikmati hasil dan menanggung kerugian secara proporsional.

Akan tetapi juga banyak ulama yang tidak sependapat dengan sistem bagi hasil dalam

pengolahan tanah ini, termasuk Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa: pertama, Rasulullah SAW. dengan tegas melarang mukhabira, yang dalam bahasa daerah di Medinah dianggap memiliki makna yang sama dengan muzara’ah, yaitu memadukan penggarapannya antara pemilik tanah dan penggarap yang menyepakati bahwa apapun yang dihasilkan tanah tersebut keduanya akan mendapat bagian tertentu. Kedua, membuat perjanjian pengolahan dengan menyewa tenaga kerja terlarang itu, jadi dengan sendirinya perjanjian tersebut menjadi terlarang pula. Ketiga, kadar sewanya tergantung jika tanah itu berproduksi berarti ada hasil yang diperoleh tetapi jika rusak maka tidak ada hasil yang diperoleh, jadi sewanya tidak tetap. Oleh karena itu, sistem ini menjadi terlarang.20

Islam mengarahkan konsep pemberdayaan tanah mati (Ihya-u al-Mawat) ini sebagai upaya meminimalisir atau mereduksi terkonsentrasinya kepemilikan tanah hanya pada beberapa orang atau kelompok saja, sehingga lebih banyak masyarakat__terutama yang miskin (grass root)__tidak mempunyai kemampuan untuk mengakses kepemilikan tanah.

Penutup

Dapat ditarik kesimpulan, bahwa tanah yang terdistribusi dengan merata diantara masyarakat akan memiliki tingkat produktifitas yang lebih tinggi dibanding penguasaan tanah hanya oleh segelintir orang saja. Kondisi ini akan mampu memicu pembangunan ekonomi dalam sebuah negara. Konsep tanah terdistribusi ini juga sangat sesuai dengan konsep ihyaul mawat

20 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam (terj.), jilid 1-4, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995,

(22)

dalam Islam, karena dengan sendirinya konsep ini memiliki efek ekonomis baik bagi masyarakat yang mengelolanya, maupun negara sebagai otoritas hukum yang menaunginya.

Tanah merupakan faktor produksi yang sering disebut sebagai faktor produksi asal atau asli. Tanah juga merupakan faktor produksi yang relatif unik, sebab tidak diciptakan oleh manusia melainkan manusia tinggal memanfaatkannya. Keunikan tanah yang lain karena ketersediaannya yang relatif sangat terbatas. Keunikan ini membawa kerumitan dalam penentuan harga dari tanah sebagai faktor produksi di mana nilai dan metode dalam penentuan nilainya tidak bisa disamakan dengan faktor produksi lain, seperti tenaga kerja dan modal.

Secara umum, dalam pandangan Islam prinsip dasar kepemilikan tanah adalah karena pemanfaatan tanah itu sendiri. Artinya, kepemilikan terhadap tanah menimbulkan konsekuensi pemanfaatannya dan sebaliknya aktivitas pemanfaatan dapat menimbulkan konsekuensi pemilikan. Cara-cara yang sah untuk memiliki tanah adalah melalui pewarisan, akad pemindahan hak milik yang sah, dan kerja.

(23)

Daftar Pustaka

Achyar, Eldine, Prinsip-prinsip ekonomi Islam, (http//.www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm), 2005. Al-Nabhani, Taqyuddin, Membangun sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,

Surabaya:Risalah Gusti, 1999, cet1

Al-Astqalany, Ibnu Hajar, Subulussalam, Jilid II, Bandung.

Arsyad, Lincolin, Ekonomi Pembangunan, UGM Yogya: Bag. Penerbitan STIE YKPN, 2004, edisi-4, cet-II,

Bahari, Syaiful, Negara dan Hak Rakyat Atas Tanah, Kompas, 2005.

Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Tazkia Institute, 2000, hal. 262. Heilbroner, Robert L,Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, UI Press, 1986.

Hutagalung, Arie S. 2003. Tinjauan Kritis Hukum Dalam Praktek Pengambilalihan Tanah. Makalah disampaikan pada Semiloka Kajian dan Evaluasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan di Era Desentralisasi, Fokus Kebijakan Mengenai Pengambilalihan Tanah, BAPPENAS, Desember 2003.

Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab, Pustaka Azzam, 2002, hal. 96.

Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam (terj.), jilid 1-4, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 272 – 278.

Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus, Makroekonomi (terj.), edisi ke-14, Jakarta: Erlangga, 1999, hlm. 312.

Syahyuti, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.24 no. 1, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Pelaku Usaha/Bisnis dalam hal ini Emiten atau Perusahaan Publik diharapkan dapat mematuhi seluruh ketentuan yang telah diatur dalam UUPM khususnya dalam rangka

Daun tembelekan dapat digunakan sediaan krim wajah alami karena dari pengujian sediaan meliputi uji homogenitas, uji pH pada penelitian ini telah menunjukkan

Dalam bidang fisika ia menemukan Hukum Pascal yang menyatakan bahwa tekanan yang diberikan pada fluida dalam ruang tertutup akan diteruskan ke segala arah dengan sama besar..

Tetapi apa yang dirasakan guru Penjas di SMP Negeri 1 Rengel justru sebaliknya jika dalam suatu proses belajar mengajar diterapkan unsur permainan yang

Jelaskan adanya perubahan kestabilan ekstrem yang dapat terjadi jika gugus yang besar (seperti fenil).. Perhitungan optimisasi geometri menggunakan algoritma

Tujuan dari penelitian ini untuk menghasilkan solusi database High Availability, flexibility, dan scalability sehingga dapat meminimalkan dampak gangguan pada database.Metode yang

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang menggunakan suatu alat uji sistem AC dengan penambahan tabung water heater dengan metode pengumpulan data yang bertujuan

1) Mengisi formulir pemutakhiran yang telah disediakan oleh UPPKH Kabupaten/Kota dengan menyertakan bukti yang terkait dengan perubahan. 2) Melaporkannya ke UPPKH