• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF KAWIN KONTRAK DALAM HUKUM ISL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERSPEKTIF KAWIN KONTRAK DALAM HUKUM ISL"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF KAWIN KONTRAK DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM NASIONAL BERSERTA AKIBAT HUKUM YANG

DITIMBULKANNYA

Tugas Hukum Islam

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam

Dosen Pengampuh Emi Zulaika S.H., M.H.

Kelas H

Oleh

YUSRIL FACHRIZAL (160710101031)

(2)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

BAB I Pendahulian 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 1

1.3 Tujuan Masalah ... 2

Bab II Tinjauan Pustaka... 3

2.1 Pengertian dan Asas Perkawinan Menurut Hukum Perdata... 3

2.2 Perkawinan Dalam Komplikasi Hukum Islam... 6

BAB III Pembahasan... 11

3.1 Definisi Nikah Mut’ah atau Kawin Kontrak... 11

3.2 Syarat Kawin Kontrak dan Ciri Kontrak Dalam Kawin Kontrak... 12

BAB IV Penutup... 19

4.1 Kesimpulan... 19

4.2 Saran... 19

(3)

Kata Pengantar

Setinggi puji sedalam syukur kehadirat Allah, karena semata atas berkat dan karunia nya lah akhirnya salah satu tugas mata kuliah Hukum Islam telah selesai.

(4)

(5)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Menjalin hidup bersama antara seorang pria dan wanita mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama tersebut.Dengan demikian sejak dulu kala hubungan pria dan wanita dalam perkawinan telah dikenal, walaupun dalam sistem yang beraneka ragam, mulai dari yang bersifat sederhana sampai kepada masyarakat yang berbudaya tinggi, baik yang pengaturannya melalui lembaga-lembaga masyarakat adat maupun dengan peraturan perundangan yang dibentuk melalui lembaga kenegaraan serta ketentuan-ketentuan yang digariskan agama.

Allah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya atau seperti tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantara angin. Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturannya,yaitu dengan syari’at yang terdapat dalam Kitab-Nya dan Hadist Rasul-Kitab-Nya dengan hukum-hukum perkawinan. Namun kenyataannya dalam perkembangan masyarakat sekarang ini ada yang menyalahgunakan perkawinan dengan melakukan nikah mut’ah/kawin kontrak. Istilah Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, walaupun kawin kontrak tidak diatur secara khusus karena kawin kontrak merupakan fenomena baru dalam masyarakat.

(6)

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan nikah mut’ah atau kawin kontrak?

2. Bagaimana syarat kawin kontrak dan ciri kontrak dalam kawin kontrak? 3. Bagaimana perspektif kawin kontrak dalam hukum islam dan hukum

nasional/hukum perdata?

4. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan dari kawin kontrak? 1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan (definisi) nikah mut’ah atau kawin kontrak.

2. Untuk mengetahui syarat dan ciri kontrak dalam kawin kontrak.

3. Untuk mengetahui perspektif (sudut pandang) kawin kontrak dalam hukum islam dan hukum Indonesia/hukum perdata.

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Asas-Asas Perkawinan Menurut Hukum Perdata

KUHPerdata tidak memberikan pengertian mengenai perkawinan. Perkawinan dalam hukum perdata adalah perkawinan perdata, maksudnya adalah perkawinan hanya merupakan ikatan lahiriah antara pria dan wanita, unsur agama tidak dilihat. Tujuan perkawinan tidak untuk memperoleh keturunan oleh karena itu dimungkinkan perkawinan in ektrimis.Sebaliknya, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan hanya ikatan lahiriah saja, tapi juga ada ikatan batiniah, dimana ikatan ini didasarkan pada kepercayaan calon suami isteri. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

A. Asas-asas perkawinan menurut KUHPerdata

1. Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar. 2. Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan

pegawai catatan sipil.

3. Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di bidang hukum keluarga.

7. Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu. B. Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1. Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu

harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.

(8)

boleh memiliki satu suami, namun ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5. 3. Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.

4. Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).

5. Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.

6. Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut.

7. Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut. Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.

A. Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri

1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).

2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum (ayat 2). 4. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

5. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.

6. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia. 7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai

dengan kemampuannya.

8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. B. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan

1. Timbul harta bawaan dan harta bersama.

2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.

3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).

(9)

 Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)

 Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.

2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak

 Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).

 Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.

 Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).

3. Kekuasaan orang tua

 Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua.

 Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.

 Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.

 Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin

4. Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila:  Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak

 Ia berkelakuan buruk sekali

5. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah: Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Isi kekuasaan orang tua adalah:

(10)

 Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hokum di

2.2 Perkawinan Dalam Komplikasi Hukum Islam

Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

1. Dalam Kompilasi Hukum Islam, dasar-dasar perkawinan tertulis dalam Bab II, yaitu:

 Pasal 2 :

Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah

 Pasal 3 :

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

 Pasal 4

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

 Pasal 5

1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

(11)

 Pasal 6

1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

 Pasal 7

1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

o Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;

o Hilangnya Akta Nikah;

o Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;

o Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;

o Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974; 4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri,

anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu

 Pasal 8

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.

 Pasal 9

1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. 2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh,

(12)

 Pasal 10

Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Syarat Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) s terdiri dari:

 Pasal 14

Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24) tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.

 Syarat Khusus

(13)

Harus ada wali nikah. Menurut Mazhab Syafi’i berdasarkan hadist Rasul SAW yang diriwayatkanBukhari da n Muslim dari Siti Aisyah, Rasul SAW pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali berpandangan walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya tetap sah.

4. Larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Didalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam Pasal 39. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:

1) Karena pertalian nasab

o Dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya

o Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu

o Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 2) Karena pertalian kerabat semenda:

o Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya;

o Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya;

o Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al dukhul

o Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.

3) Karena pertalian sesusuan :

o Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas

o Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;

o Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;

o Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;

o Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

(14)

1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya 2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah

ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.  Pasal 42 tertera larangan sebagai berikut,

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

 Pasal 43 juga menyebutkan bahwa:

1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:

o dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.

o dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili`an.

2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

 Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda agama.

(15)

BAB III Pembahasan 3.1 Definisi Nikah Mut’ah atau Kawin kontrak

Nikah/ kawin di Indonesia adalah akad yang menjadikan halal pergaulan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya sedangkan nikah mut’ah berasal dari kata tammatu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan jumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu. Nikah mut’ah dalam istilah hukum biasa disebut “perkawinan untuk masa tertentu” , dalam arti pada waktu akad dinyatakan ikatan berlaku perkawinan sampai masa tertentu yang bisa masa itu telah datang, perkawinan itu terputus dengan sendirinya tanpa melalui proses penceraian. Nikah mut’ah biasa disebut kawin kontrak.

Adapun nikah mut’ah/kawin kontrak di kalangan para ahli fikih (fuqaha’) disebut juga nikah muaqqat (kawin sementara waktu) atau nikah inqitha’ (kawin terputus). Oleh karena laki-laki yang mengawini wanita itu untuk jangka tertentu: sehari, seminggu, atau sebulan sesuai dengan perjanjian. Disebut nikah mut’ah, karena laki-laki bermaksud untuk bersenang-senang dengan wanita untuk sementara waktu sampai batas yang ditentukan.

(16)

Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya, wanita itu mengucapkan, ”Engkau kukawinkan,” atau ”Engkau kunikahkan,”atau ”Engkau kumut’ahkan atas diriku, dengan mas kawin sekian , selama sekian hari (bulan atau tahun atau selama masa tertentu yang harus disebutkan dengan pasti),”. Kemudian orang laki-laki tersebut harus segera berkata tanpa diselingi ucapan apapun, ”Aku terima.”

3.2 Syarat Kawin Kontrak dan Ciri Kontrak Dalam Kawin Kontrak 3.2.1 Syarat Kawin Kontrak

 Mahar : Mahar dalam kawin kontrak ini berupa harta benda yang akan diberikan pada pihak perempuan dan hanya sebatas dalam isi perjanjian kawin mut’ah tersebut

 Waktu : Dalam kawin kontrak tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh saja kawin kontrak dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.

 Perjanjian pernikahan : Perjanjian dalam kawin kontrak ini sangat diperlukan karena dalam pernikahan kontrak ada kesepakatan tentang jangka waktu tertentu dalam pernikahan tersebut, selain itu juga kesepakatan tentang jumlah mahar yang harus diberikan kepada pihak perempuan.

3.2.2 Ciri Kontrak Dalam Kawin Kontrak

(17)

 Jangka waktu : Dalam kawin kontrak tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh kawin kontrak dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.

 Berkali-kali tanpa batas : Diperbolehkan kawin kontrak dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama.

 Wanita mut'ah diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati :Wanita yang dikawin kontrak mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya

3.3 Perspektif Kawin Kontrak Dalam Hukum Islam dan Hukum Nasional 3.3.1 Perspektif Kawin Kontrak Dalam Hukum Islam

Dikalangan umat islam, sudah sejak lama dikenal kawin kontrak yaitu dengan istilah nikah mut’ah. Diawal era islam kawin kontrak telah ada, adanya kawin kontrak karena banyak orang-orang tidak berada dinegerinya atau ditempat tinggalnya karena sedang dalam peperangan ditempat yang jauh dan dalam perjalanan yang panjang. Pada saat itu masih banyak orang-orang yang meninggalkan masa jahiliyah dan kekafiran, sehingga untuk menghentikan mereka dari perbuatan keji dilakukan dengan cara bertahap. Dalam prinsip-prinsip sebuah pernikahan, Nikah Mut'ah, sangat tidak sesuai dengan nikah yang telah Allah swt syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, kawin kontrak dibatasi oleh waktu, dengan demikian, kawin kontrak berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan dalam syari'at, pernikahan berakhir dengan talak atau meninggal dunia, dengan kata lain tidak dibatasi oleh waktu.

(18)

dan pemberian nafkah setelah selesainya waktu yang telah disepakati. Kecuali sebelumnya telah terjadi kesepakatan atau apabila si perempuan itu hamil.

Bila ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), kawin kontrak merupakan bentuk pelecehan terhadap kaum wanita, merusak keharmonisan keluarga, menelantarkan generasi yang dihasilkan dari pernikahan tersebut, menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin, meresahkan masyarakat, dan karena tidak diwajibkan adanya wali dan saksi, bisa jadi seseorang mengumpulkan antara dua bersaudara atau antara anak dan ibunya atau bibinya dan tidak menutup kemungkinan, ia menikahi anaknya sendiri dari hasil perkawinan kontrak yang dilakukan sebelumnya, bahkan bisa jadi ia mengumpulkannya dengan ibunya karena ketidak tahuannya dan tidak adanya orang yang mengetahuinya. Dengan demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab diharamkannya kawin kontrak, selain tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah SAW dan syari'at yang dibawanya, kawin kontrak juga memiliki banyak mudhorat (dampak negatif), yang berdampak pada Agama, masyarakat maupun akhlak, oleh karena itu, Rasulullah SAW mengharamkannya, karena didalamnya terdapat berbagai macam kerusakan. Sedangkan di Indonesia sendiri untuk mencegah terjadinya nikah mut’ah, Majelis Ulama Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan fatwa No. Kep-B-679/MUI/XI/1997. Fatwa itu memutuskan bahwa kawin kontrak haram hukumnya dan pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

A. Dalil al-Quran

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki[1512], Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela.Barangsiapa mencari yang di balik itu[1513], Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” QS.al Maarij : 29-31

(19)

Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya. [1513] Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya.

Dari ayat diatas diketahui bahwa sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. Dengan itu, sangat jelas bahwa hubungan kelamin hanya diperbolehkan dengan istri atau budak, sedangkan istri dari perkawinan kontrak tidak berfungsi sebagai istri karena:

1. Tidak saling mewarisi, sedangkan akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan

2. Idah nikah mut’ah tidak seperti nikah biasa

3. Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungannya dengan beristri empat sedangkan tidak demikian halnya dengan mut’ah 4. Dengan melakukan mut’ah seseorang itu tidak dianggap menjadi muhsin

karena wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri, sebab mut’ah itu tidak menjadikan wanita berstatus istri dan tidak pula berstatus budak, maka termasuklah orang yang melakukan mut’ah itu di dalam firman Allah.

B. Dalil As-Sunnah

Pada awalnya, Nabi SAW memperbolehkan kawin kontrak pada tahun penaklukan Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau melarangnya.

Wahai sahabat sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan kamu melakukan mut’ah dan ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barang siapa yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan mut’ah, hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (HR. Muslim).

(20)

C. Ijma’ Seluruh Umat Islam

Seluruh umat Islam telah sampai pada posisi ijma' tentang pengharamannya. Semua sepakat menyatakan bahwa dalil yang pernah menghalalkan kawin kontrak itu telah dimansukhkan sendiri oleh Rasulullah SAW. Tak ada satu pun kalangan ulama ahli sunnah yang menghalalkannya.

3.3.2 Perspektif Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional

Dalam hal ini setidak-tidaknya dapat dikutip empat aturan perundang-undangan yang berlaku secara legal (positif) di Indonesia sebagai berikut:

1. Pancasila, terutama sila I, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila II, ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”

2. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, bab 31 tentang agama, Pasal 29 ayat (1) dan (2)

3. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

4. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan, ”Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Juga Pasal 3 yang menegaskan, ”Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.

(21)

pemerintah seharusnya mengambil langkah tegas terhadap para pelaku nikah mut’ah dan oknum-oknum dari instansi pemerintah atau di luar instansi pemerintah yang terlibat atas terjadinya nikah mut’ah dan yang sejenisnya. 3.4 Akibat Hukum yang Ditimbulkan Dari Kawin Kontrak

Kawin kontrak mungkin merupakan hal yang tidak asing bagi realita kehidupan saat ini maupun masa lampau, dalam prakteknya kawin kontrak memang telah diharamkan, karena disisi lain telah memberikan efek ketidakadilan bagi pihak perempuan (umumnya) karna bisa juga terdapat nikah dari pihak wanita terhadap seorang laki-laki. Kawin semacam ini sering kali dipandang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan dan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap orang yang di nikah mut’ah dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah ataupun hak waris. Di Indonesia sendiri perkawinan yang sah yaitu secara administratif telah dicatatkan, dan pencatatan perkawinan pun dilangsungkan dihadapan PPN (pegawai pencatat nikah) baru dikatakan perkawinan yang sah kalau di negara kita. Maka dari itu, guna kemudharatan, peserta ijtima' ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang.

(22)
(23)

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Kawin kontrak ini sangat merugikan dan sebagai sarana penyebaran penyakit, seperti yang terjadi di negri kita sendiri, yaitu kejadian yang telah di alami oleh wanita yang mengaku kadang-kadang mengikuti pengajian dalam hasil pemeriksaan laboratorium ternyata menyidap penyakit kelamin yang di akibatkan oleh nikah mut'ah. Kawin kontrak adalah batal/tidak sah dan hubungan (suami-istri) yang dilakukan atas dasar akad kontrak dihukumi haram oleh mayoritas ulama/jumhur.

Kawin kontrak boleh dan dianggap sah oleh Syi'ah Imamiah dan relasi/hubungan (suami-istri) yang dilakukan atas dasar akad mut’ah/kontrak adalah halal. Bagi mereka yang mengikuti aliran agama islam di Indonesia seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul kawin kontrak merupakan suatu yang haram, akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya kawin kontrak diantaranya adalah tidak ada kepastian hukum yang kuat, anak hasil kawin kontrak bisa saja tidak dapat pengakuan dari pihak ayah, karena tidak adanya bukti sebagai penguat dari pernikahan itu sendiri, kemudian dalam hal nafkah dan warisan juga tidak akan ada, jadi kawin kontrak banyak memberikan efek negatif bagi pihak yang di mut’ah dari pada efek positifnya, jadi tidak akan ada pertanggung jawaban dari kawin kontrak ini.

4.2 Saran

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Artikel, PBNU Nyatakan Kawin Kontrak Haram.

( http://www.gatra.com/artikel.php? id=97080)

Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Begawan, Kawin Kontrak. (http://forum.wgaul-com/archive/thread/t-20899-kawin-kontrak,html)

Dzarrin al-Hamidy. 2008. Nikah Mut’ah dalam Sorotan Hukum Islam dan Hukum Positif. Al-Qanun, Vol. 11, No. 1

Fakhriah, Efa Laela. Kawin Kontrak Tidak Sesuai Aturan Agama Maupun Negara.

ama Islam.

Hilman Hadikusuma.1990 Hukum Perkawinan Indonesia,.Bandung: Mandar Maju.

Mitrawacana, Asal-Usul Kawin Kontrak & Bagaimana Model Kawin Kontrak Saat IniDilakukan.(http://mitrawacanawrc.com/mod.php? mod=publisher&op=viewarticle&cid=3&artid=1493)

M. Yahya Harahap.1975. Hukum Perkawinan Nasional.Medan: Zahir Trading Co Ramulyo, Mohd. Idris. 2002. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta:Bumi Aksara. R.Subekti dan Tjitrosudibio.1992. Kitab Undang-undang Hukum Perdata =

Burgerlijk Wetboek.Jakarta: Pradnya Paramita.

(25)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Skripsi adalah studi akhir yang merupakan salah satu tugas akhir yang diwajibkan pada mahasiswa Program Studi Fakultas Teknologi Industri Universitas Atma Jaya Yogyakarta

perancangan perangkat lunak yang akan dibuat, serta. desain sistem yang

(SKPL-CRMH–A-03) yang mencakup: Fungsi Tampil Produk(SKPL-CRMH–A-03-01) yang digunakan oleh administrator untuk dapat menambahkan diskusi baru ntuk. menamilkan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh motivasi, persepsi, dan sikap konsumen terhadap keputusan pembelian sepeda motor merek “Yamaha” di kawasan

Untuk pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan kajian untuk menambah pengetahuan mengenai pengaruh motivasi, persepsi dan sikap konsumen

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Yang dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan,

Ketuntasan belajar klasikal melalui model kooperatif tipe GI dengan media CD pembelajaran pada siswa kelas V SD Negeri Pengawu telah sesuai dengan target yang