• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERAPI MULTIMODAL UNTUK KORBAN PEMERKOSAAN DENGAN GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TERAPI MULTIMODAL UNTUK KORBAN PEMERKOSAAN DENGAN GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TERAPI MULTIMODAL UNTUK KORBAN PEMERKOSAAN

DENGAN GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

disusun untuk take home exam Ujian Tengah Semester mata kuliah Pengantar Psikoterapi

disusun oleh: UTAMI PURBORINI

15010110120062

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Dewasa ini, banyak sekali kasus-kasus pelecehan seksual yang dialami oleh wanita. Pelecehan-pelecehan tersebut tidak hanya dialami oleh wanita dewasa, tetapi remaja putri dan anak-anak ikut menjadi korban. Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti: rasa malu, tersinggung,terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi & Sadarjoen, 2006). Bentuk-bentuk pelecehan seksual sangat beragam, mulai dari menatap secara tidak wajar, bersiul,hingga kontak fisik seperti mencubit,mencolek, dan yang paling parah adalah pemerkosaan. Data menurut catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, kasus perkosaan dari tahun 1998-2010 terdapat sebanyak 4.845 kasus perkosaan, jenis kekerasan seksual mendominasi kasus seksual.

(3)

BAB II TEORI

Permerkosaan

pengertian pemerkosaan:

“…hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak bersama, dipaksakan satu pihak pada pihak lainnya. Korban dapat berada dibawah ancaman fisik dan/atau psikologis,kekerasan, dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya, berada di bawah umur atau mengalami keterbelakangan mental dan kondisi kecacatan lain sehingga tidak dapat bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya. (Poerwandari dalam Luhulima,2000)

“…an individual who forces another person to submit to or commit a sexual act against that person’s will thought intimidation, threat, or physical forces without person’s consent” (Groth dalam Fausiah,2002)

Brownmiller (1975), mengatakan bahwa”.. rape is a tool of a patriarchal system that serves to perpetuate gender inequality and the devaluation of

women.”

Menurut Warshaw (1994) yang mengatakan bahwa pelaku dan korban dapat saja saling kenal melalui aktivitas yang sama, teman lama, tetangga, teman sekelas, teman kerja, kencan buta, ataupun teman seperjalanan. Namun, ada juga anggapan bahwa perkosaan hanya dilakukan oleh orang asing atau orang yang tidak dikenal oleh korban (Tridiatno, dalam Hayati dkk., 2000).

Pengertian Post Traumatic Stres Disorder (PTSD)

(4)

dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, 1997). Sedangkan menurut National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang (Anonim,2005d)

Tiga tipe gajala yang sering terjadi pada PTSD adalah, pertama, pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan. Kedua, penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga, sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu (Anonim, 2005a; Anonim, 2005b).

Menurut DSM-IV, ciri diagnostik pada gangguan PTSD yaitu,

Kriteria diagnosis PTSD menurut Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder IV Text Revision (DSM IV TR) yaitu:

A. Kejadian traumatik

(5)

2. Tanggapan individu terhadap pengalaman tersebut dengan ketakutan, kengerian, tau ketidakberdayaan yang sangat kuat.

B. Mengalami kembali satu atau lebih gejala di bawah ini:

1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya dan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi)

2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya (yang mencemaskan).

3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang dialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi, haluinasinya)

4. Kecemasan psikologis dan fisik bersamaan dengan hal yang mengingatkan terhadap kejadian trauma (kenangan akan peristiwa trauma)

C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan mematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma masih berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:

1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma.

2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.

3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang dialaminya

4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang

5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya

6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta) 7. Perasaan bahwa masa depannya suram

D. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di bawah ini:

(6)

3. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya 4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan) 5. Reaksi kaget yang berlebihan

E. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan F. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya

Selain itu, secara spesifikasi diagnosis PTSD dapat diidentifikasi sebagai: 1) akut, bila gejala berlangsung satu sampai tiga bulan

2) kronis, bila gejala berlangsung lebih dari tiga buan

3) Awal gejala / onset yang tertunda bila gejala dimulai sedikitnya enam bulan setelah kejadian traumatik/stressor.

Pengertian Multimodal Therapy

(7)

Behavior (perilaku). Yang dimaksud dengan modalitas ini adalah

perilaku yang terbuka, termasuk, perbuatan, kebiasaan, dan reaksi yang bisa diamati dan diukur.

Emotion(afeksi). Modalitas ini mengandung arti emosi, suasana

hati, dan perasaan yang kuat.

Sensation(sensasi). Modalitas ini mengacu pada lima indera dasar,

yaitu sentuhan, citra rasa, bau, penglihatan dan pendengaran.  Imagery (khayalan). Modalitas ini ada hubungannya dengan

bagaimana kita melihat diri kita sendiri, dan mencakup memori dan mimpi.

Cognition (kognisi). Modalitas ini berarti pemahaman,falsafah,

gagasan dan perkiraan yang membentuk nilai, sikap, serta keyakinan fundamental.

Interpersonal (hubungan interpersonal). Modalitas ini berarti

interaksi dengan orang lain.

Drugs/biology (obat/biologi).Modalitas ini tidak hanya seputar

(8)
(9)

BAB III PEMBAHASAN

Pada korban pemerkosaan, ada dua terapi yang bisa dilakukan, yaitu melalui farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi anti depresiva pada gangguan stres pasca traumatik ini masih kontroversial. Sedangkan dengan psikoterapi, banyak terapi yang bisa digunakan dalam menangani korban pemerkosaan yang mengalami PTSD, yaitu dengan terapi multimodal. terapi multimodal ini didesain untuk menangani PTSD dengan :

 menyediakan edukasi mengenai PTSD dan gejala-gejala yang ditimbulkan  Untuk memudahkan menceritakan kembali klien acara melalui teknik berbasis

eksposure

 Untuk menantang keyakinan maladaptif klien tentang perannya dalam acara

tersebut melalui restrukturisasi kognitif

 Untuk meningkatkan keterampilan mengatasi melalui teknik manajemen

kecemasan

Langkah pertama : psikoedukasi

(10)

Langkah kedua : Terapi Terbuka (exposure therapy)

Tujuan dari fase ini adalah untuk membantu korban dalam bekerja melalui kenangan menyakitkan dengan menghadapi situasi tertentu, emosi, dan pikiran yang terkait dengan perkosaan dan yang saat ini menimbulkan kecemasan intens dan ketakutan. Korban menceritakan pikiran, perasaan, dan kenangan seputar pemerkosaan, yang sangat formal, pendekatan terstruktur diperlukan untuk membantu mereka menghadapi materi ini secara emosional (Johnson & Lubin, 2000).

Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan untuk menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi (Anonim, 2005b).

Langkah ketiga : Terapi Kognitif

Dalam terapi kognitif, klien diajarkan untuk mengidentifikasi pikiran atau keyakinan yang mereka alami selama emosi negatif. Konselor dan klien kemudian bersama-sama mengevaluasi validitas dan tantangan menolong ide-ide dan kemudian mengganti keyakinan irasional dengan rasional atau pikiran menguntungkan (Meadows & Foa).

Berikut ini adalah teknik terapi kognitif dari Aaron Beck:

(11)

emosional menjadi dapat dipahami, jika ia mengumpulkan kembali pikirannya yang timbul selama gap tersebut.

2. Distancing dan Decentering: Proses yang mengarahkan pikiran secara obyektif disebut distancing (menempatkan jarak). Seorang dapat memeriksa pikiran otomatisnya sebagai fenomena psikologi ketimbang identik terhadap realita, berarti ia berkapasitas atas distancing. Misalnya, saja seorang pasien karena tak ada alasan yang dapat dibenarkan, mempunyai pikiran bahwa ”orang itu musuhku” Jika ia secara otomatis menyamakan pikiran tersebut dengan realita, distancignya jelek. Kalau ia bisa menganggap ide tersebut sebagai hipotesa dari pada menerimanya sebagai fakta, maka distancingnya baik. Kemampuan membedakan hal demikian sangat penting dalam sector tersebut dari reaksi pasien yang terkena distorsi. Tekni membuka dengan paksa guna mengendurkan pola dari anggapan dirinya sebagai titik vocal dari semua peristiwa, disebut decentering.

3. Pembuktian kesimpulan: Setelah pasien mampu memperjelas pembedaan antara proses mental intern dengan dunia luar yang merangsangnya, masih penting untuk mendidik sehubungan dengan prosedur guna memperoleh pengatuhan yang akurat. Teknik yang dapat dilakukan adalah dengan penjelajahan kesimpulan dan mengetes terhadap realita. Ahli terapi bekerja dengan pasien guna menerapkan peraturan dari bukti terhadap kesimpulannya. Ini terdiri dari pengecekan observasi, lalu rute menuju kepada kesimpulan.

4. Perubahan peraturan: Kita tahu bahwa orang menerapkan peraturan (rumusan, persamaan, dasar pikiran) dalam mengatur kehidupannya sendiri dan dalam mencoba mengubah tingkah laku orang lain. Mereka menamakan, menafsirkan dan mengevaluasi menurut peraturan mereka sendiri. Peraturan perlu di ubah bentuknya, sehingga menjadi lebih singkat dan akurat, kurang egosentris serta lebih elastis. Jika peraturan salah maka ahli dan pasien bekerja sama untuk mengganti dengan peraturan yang lebih realities dan adaptif.

(12)

membawa kepada ketidakmampuan atau kesukaran, dan membantu pasien mengadakan perubahan peraturan yang menghasilkan sinyal kesalahan sendiri. Ahli terapi harus menggunakan strategi secara keseluruhan agar tidak mengalami proses yang tidak menentu.

Langkah keempat : Manajemen Kecemasan (anxiety management)

(13)

BAB IV PENUTUP KESIMPULAN

Pemerkosaan adalah hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak bersama, dipaksakan satu pihak pada pihak lainnya. Korban dapat berada dibawah ancaman fisik dan/atau psikologis,kekerasan, dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya, berada di bawah umur atau mengalami keterbelakangan mental dan kondisi kecacatan lain sehingga tidak dapat bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya. (Poerwandari dalam Luhulima,2000). Pemerkosaan tidak hanya dilakukan oleh orang asing atau orang yang tidak dikenal, namun bisa dilakukan pula oleh orang-orang terdekat korban.

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, 1997). tipe gangguan ini adalah selalu adanya pengulangan peristiwa yang dialami, baik dengan flashback ataupun nightmares. kemudian adanya penghindaran untuk bersosialisasi atau berinteraksi dengan orang sekitar yang berhubungan dengan trauma. Lalu sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu.

(14)

kognitif yang menjamin bahwa setiap aspek kepribadian mendapatkan perhatian yang eksplisit dan sistematis (Lazarus,1989c). BASIC ID yaitu

Behaviour ,Affect (emotions) ,Sensation (touch, smell, sight, hearing, taste), Imagery (thinking in pictures, self-image) ,Cognition (thinking in words, beliefs, attitudes, opinions, thinking styles) ,Interpersonal (how we relate to others) ,Drugs & biology (medications, substances, diet, exercise, general health, sleep).

Langkah-langkah terapi multimodal yang dapat dilakukan untuk korban perkosaan yang mengalami PTSD adalah dengan psikoedukasi, exposure therapy, terapi kognitif dan anxiety management.

 SARAN

Kita tidak bisa memungkiri adanya banyak kasus perkosaan yang sangat merugikan korban, terutama pada aspek psikologisnya. hal ini akan menghambat korban untuk bertumbuh dan menyesuaikan diri. Program terapi multimodal ini cukup potensial untuk dilakukan, sehingga diharapkan mampu memberikan perubahan agar korban bisa sembuh dari trauma, dan bisa kembali berkontribusi ke dalam lingkungannya.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Gerald Corey. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. 1995. IKIP Semarang Press: Semarang.

Laura G. Hensley. Treatment for survivors of rape: issues and interventions.2002. : Journal of Mental Health Counseling. Volume: 24. Issue: 4.

Yurika Fauzia Wardhani & Weny Lestari.

Gangguan Stres Pasca Trauma pada Korban

Pelecehan Seksual dan Perkosaan.2006.

Ekandari,Mustaqfirin,Faturochman. Perkosaan, Dampak, dan Alternatif

Penyembuhannya.2001. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada no.1 hal. 1-18

http://www.tribunnews.com/2012/03/04/komnas-4.845-kasus-perkosaan-terjadi-di-indonesia

Referensi

Dokumen terkait