• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Stress Pasca Trauma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gangguan Stress Pasca Trauma"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH DISKUSI TOPIK

GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA

Disusun oleh:

NUR RAHMAT WIBOWO I11106029

KELOMPOK: VIII

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS TANJUNGPURA

(2)

RUMAH SAKIT KHUSUS PROVINSI PONTIANAK

2010

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan Anda memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya dan mengerikan.

Gejala-gejala umum tersebut antara lain kenangan yang muncul kembali dalam ingatan dan berulang-ulang, sangat mendalam dan mengganggu akibat peristiwa tersebut, berusaha menghindari keadaan-keadaan yang mengingatkan Anda pada peristiwa tersebut, menjadi mati rasa secara emosional dan suka menyendiri, Sulit tidur dan konsentrasi, ketakutan atas keselamatan pribadi.

. Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Apa sebabnya beberapa orang dari mereka akan berkembang menjadi gangguan stres pasca trauma setelah mengalami peristiwa yang sama adalah tidak jelas. Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana Anda terlibat di dalamnya, dan seberapa hebatnya Anda bereaksi. Sementara itu penyebab sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Anda beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma jika Anda mempunyai riwayat keluarga yang mengalami depresi. Kemungkinan lain adalah dilepascannya hormon-hormon tertentu oleh otak ( misalnya kortisol ) dan zat-zat kimia lainnya sebagai respons terhadap rasa takut. Hormon-hormon dan zat-zat kimia ini juga akan membangkitkan kenangan-kenangan tersebut. Orang-orang dengan

(3)

ketidakseimbangan zat kimia tertentu dalam otaknya mungkin resiko terjadinya gangguan stres pasca trauma akan meningkat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gangguan stress pasca trauma adalah reaksi kuat,memanjang dan tertunda terhadap suatu peristiwa yang luar biasa sehingga seseorang menderita stress atau kehilangan yang berat (Hibbert,godwin & Dear,2009). 2.2 Epidemiologi

Insidensi Post Trauma Stress Disorder (PTSD) diperkirakan 9 sampai 15 persen. Sedangkan prevalensinya di populasi umum adalah 8 persen. Pada populasi yang mengalami resiko besar menghadapi pengalaman traumatis prevalensinya dapat mencapai 75%. Wanita lebih sering mengalami PTSD dibanding pria. PTSD bisa timbul pada usia kapan saja namun lebih sering pada usia dewasa muda. Pada umumnya, trauma pada pria berhubungan dengan peperangan sedangkan pada wanita sering disebabkan oleh tindakan pemerkosaan.

Gangguan ini lebih sering terjadi pada oreng yang masih lajang, telah bercerai, orang yang menarikdiri secara sosial atau oramg dengan kelas sosioekonomi yang rendah. Pasien PTSD umumnya memiliki tingkat komorbiditas yang tinggi. Sekitar 2/3 pasien memiliki paling tidak 2 gangguan lainnya bersamaan.

2.3 Etiologi

(4)

Stressor adalah penyebab utama terjadinya Gangguan Stress Pasca Trauma. Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang, dipenjara Namun tidak semua orang yang mengalami stressor yang berat mengalami PTSD. Trauma sendiri tidak cukup untuk menyebabkan PTSD. Respon pasien terhadap trauma haruslah takut yang sangat kuat bahkan horor. Dokter harus menilai faktor biologis dan psikososial yang ada pada orang yang telah mengalami trauma (Kaplan,Sadock,& Grebb,2007).

Faktor resiko o Biologis

 Kerentanan genetik.

 Kepribadian “borderline”, paranoid, dependent atau antisosial.

 Perempuan o Psikososial

 Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-anak).

 Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi.

 Sistem pendukung yang tidak adekuat (Dukungan keluarga atau kelompok yang kurang).

 Konsumsi alkohol yang berlebihan.

2.4 Manifestasi Klinis

Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respon maladaptif terhadap stress berat atau stress berkelanjutan dimana mekanisme penyesuaian tidak berhasil mengatasi sehingga menimbulkan masalah dalam

(5)

fungsi sosialnya.Gangguan ini terjadi berminggu-minggu/berbulan-bulan setelah kejadian,awitan biasanya dalam 6 bulan.

3 kelompok utama gejala (tidak ada sebelum pajanan): 1. Hyperarousal (rangsangan yang berlebihan)

a. Ansietas yang menetap

b. Kewaspadaan yang berlebihan c. Konsentrasi buruk

d. Insomnia

2. Intrusions( pengacauan) a. Kilasan balik b. Mimpi buruk c. Ingatan yang hidup 3. Avoidance (penghindaran)

a. Menghindari hal-hal yang mengingatkan

b. Ketidakmampuan mengingat beberapa bagian dari kejadian c. Minat yang rendah terhadap kehidupan sehari-hari

2.5 Diagnosis

Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan pabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan nonset melebihi waktu lebih dari 6 bulan, asalkan minifestasi klinisnya khas dan tidak diapatkan alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan ini. Sebagai tambahan, bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai

(6)

peristiwa tersebut secara berulang-ulang. Seringkali terjadi penarikan diri secara emosional, penumpulan persaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin akan mengingatkan kembali akan traumanya, akan tetapihal ini tidak esensial untuk diagnosis. Gangguan otonomik, gangguan suasan aperasaan dan kelainan perilaku semuanya ,mempengaruhi diagnosis tapi bukan merupakan hal yang terlalu penting.

Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:

1. Diagnosis baru ditegakkan bilaman gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatic berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jangan sampai melampaui 6 bulan).

Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak terdapat alternative kategori gangguan lainnya.

2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus dibedakan baying-bayng atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatic tersebut secara berulang-ulang krmbali (flashbacks)

3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

4. Suatu “sequelae” manahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stress Pascatraumatik (Tabel dari DSM-IV,Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder,ed 4):

A. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic di mana kedua dari berikut ini terdapat:

(7)

kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.

2. respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat,rasa tidak berdaya atau horror.

B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut:

1. rekoleksi yang menderitakan,rekuren,dan mengganggu tentang kejadian,termasuk bayangan,pikiran,atau persepsi.

2. mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.

3. berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali.

4. penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

5. reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma),seperti yang ditunjukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini:

1. usaha untuk menghindari pikiran,perasaan,atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.

2. usaha untuk menghindari aktivitas,tempat,atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma.

(8)

4. hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.

5. perasaan terlepas atau asing dari orang lain. 6. rentang aspek yang terbatas.

7. perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.

D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma),seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:

1. kesulitan untuk tertidur atau tetap tertidur. 2. iritabilitas atau ledakan kemarahan. 3. sulit berkonsentrasi.

4. kewaspadaan berlebihan. 5. respon kejut yang berlebihan.

E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria B,C,D ) lebih dari satu bulan.

F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan,atau fungsi penting lain.

(Kaplan,Sadock,& Grebb,2007) 2.6 Diagnosis banding

Gejala PTSD dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik dan Gangguan Cemas Menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. .Kunci untuk membedakan PTSD adalah relasi wktu antara kejadian traumatik dan gejala, dan terngiang-ngiang akan trauma yang tidak terjadi pada dua kelainan lainnya. Depresi mayor juga sering terjadi bersamaan dengan PTSD. Hal ini perlu dicatat karena akan mempengaruhi terapi PTSD.

(9)

2.7 Prognosis

Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna,40% terus menderita gejala ringan,20% terus menderita gejala sedang,dan 10% tidak berubah atau memburuk.Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih mengalami kesulitan.

Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi PTSD muncul dalam waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan sosial yang baik dan tidak adanya kondisi komorbid atau penyalahgunaan zat.

2. 8 Penatalaksanaan

− Skrining gangguan psikiatrik yang timbul bersamaan dan lakukan penilaian resiko (bunuh diri/pengabaian diri).

− Rujukan kepada kelompok-kelompok pendukung misalnya yayasan medis untuk korban penyiksaan.

− Psikoterapi

` Ada dua tipe psikoterapi utama yang dapat digunakan. Yang pertama adalah terapi paparan.Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai desensitisasi. Yang kedua manajemen stress.Tipe yang kedua ini adalah mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. Data menunjukkan bahwa manajemen stress lebih cepat mengatasi PTSD namun hasil dari terapi paparan berlangsung lebih lama. Dalam beberapa kasus, katarsis dapat berguna, namun hal ini dapat menjadi sangat tidaknyaman bagi pasien.

Selain terapi individu, terapi kelompok dan terapi keluarga juga efektif pada kasus PTSD. Terapi kelompok sangat baik untuk pasien sehingga mereka dapat membagi pengalaman mereka satu sama lain.Terapi keluarga penting terutama untuk mempertahankan pernikahan saat gejala sedang timbul. Bila gejala menjadi sangat parah dapat pula dipertimbangkan untuk melakukan rawat inap (Tomb,2004).

(10)

− Farmakoterapi

Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), seperti sertralin dan paroxetin merupakan terapi garis pertama untuk PTSD. Karena obat ini cukup efektif, tolerable dan aman. SSRIs mengurangi semua gejala pada PTSD tidak hanya gejala yang menyerupai kecemasan atau depresi. Buspirone juga dapat digunakan, Beberapa penelitian juga telah menunjukkan bahwa imipramin dan amitriptilin dapat bermanfaat. Dosis yang digunakan sama seperti pada pasien depresi.

Obat-obatan lain yang berguna untuk PTSD adalah monoamine oxidase inhibitors (MAOIs), trazodone dan anticonvulsant.Haloperidol dapat digunakan pada kondisi agitasi atau psikotik akut (Kaplan,Sadock,& Grebb,2007).

BAB III

KESIMPULAN

Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan Anda

(11)

memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya dan mengerikan.

Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Stressor adalah penyebab utama terjadinya Gangguan Stress Pasca Trauma. Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara.

Penatalaksaan gangguan stress pasca trauma dapat dilakukan dengan psikoterapi dengan dilakukannya terapi individu maupun terapi kolompok. Dapat juga ditambah dengan menggunakan farmakoterapi.

DAFTAR PUSTAKA

Hibbert A,Godwin A & Dear F.2009.Rujukan Cepat Psikiatri.Alih Bahasa:Rini Cendika.EGC:Jakarta

(12)

Kaplan H,Sadock B & Grebb J.2007.Sinopsis Psikiatri,Jilid 2.Alih Bahasa:Widjaja Kusuma.Binarupa Aksara:Tanggerang

Mansjoer, Arif, dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius : Jakarta

Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri edisi 6. EGC : Jakarta PPDGJ III

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Pengaruh Model

Salah satu tujuan penting dari aktivitas-aktivitas perusahaan pada akhirnya adalah pencapaian laba yang diinginkan, laba yang memadai sesuai dengan jumlah investasi

- Bahwa, oleh karena beras Pengadaan Dalam Negeri (ADA DN) Tahun 2013 sudah mulai masuk ke dalam Gudang Bulog Baru (GBB) Singakerta II dan Gudang mulai penuh, tanpa pernah

Dalam analisis yang dilakukan pada penelitian ini akan digunakan beberapa nilai yang biasa digunakan sebagai parameter dalam menentukan kriteria penerimaan terhadap suatu

Revenue Pendapatan dalam operasional dan pemeliharaan Stasiun Palmerah yang diperoleh badan usaha atas pengusahaan bisnis non core bersumber dari pendapatan retail mix dan pendapatan

Mengingat latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian asam lemak trans 5% dan 10% terhadap jumlah sel darah merah tikus

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa di Desa Sabangmawang, Kabupaten Natuna terdapat potensi energi listrik dari arus laut dengan estimasi