TINJAUAN PUSTAKA
Mahoni (Swietenia mahagoni Jack)
Tanaman mahoni (Swietenia mahagoni Jack) merupakan salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri).
Mahoni dalam klasifikasinya termasuk famili Meliaceae. Ada dua spesies yang cukup dikenal yaitu: S. macrophyla (mahoni daun lebar) dan S. mahagoni
(mahoni daun sempit) (Khaeruddin, 1999).
Menurut Khaeruddin (1999), tanaman mahoni tersusun dalam sistematika
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotiledone
Ordo : Rotales
Genus : Swietenia
Spesies : Swietenia mahagoni
Swietenia mahagoni yangberasal dari benua Amerika yang beriklim tropis sudah lama dibudidayakan di Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis
di Indonesia. Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany.
Tanaman mahoni banyak ditanam di pinggir jalan atau di lingkungan rumah dan
halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Tanaman ini tumbuh secara liar
di hutan-hutan atau di antara semak-semak belukar. Tanaman mahoni yang
Gambar 1. Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun
Gambar 2. Batang Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun
Buah tanaman mahoni terlihat muncul diujung-ujung ranting berwarna
coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi sekitar 10-30 m, percabangannya
banyak, daun majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar. Helaian anak daun
bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun runcing panjangnya
sekitar 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang berwarna coklat
panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat tumbuh dengan baik di
tempat yang terbuka dan terkena cahaya matahari secara langsung, baik di dataran
rendah maupun dataran tinggi, yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan
Ekstraktif Kayu (Kulit, Daun, Buah) Mahoni
a. Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan
atau cairan dengan bantuan pelarut. Campuran bahan padat maupun cair (biasanya
bahan alami) sering kali tidak dapat atau sulit dipisahkan dengan metode pemisah
mekanik, misalnya karena komponennya bercampur secara homogen. Campuran
bahan yang tidak dapat atau sukar dipisahkan dengan metode pemisahan mekanik
adalah dengan metode ekstraksi (Achmadi, 1990).
Menurut Sjöström (1995) komponen kayu beranekaragam, meskipun
biasanya merupakan bagian kecil, larut dalam pelarut-pelarut organik netral atau
air, yang disebut ekstraktif. Ekstraktf terdiri atas jumlah yang sangat besar dari
senyawa-senyawa tunggal tipe lipofil maupun hidrofil. Ekstraktif dapat dipandang
sebagai konstituen kayu yang tidak struktural, hampir seluruhnya terbentuk dari
senyawa-senyawa ekstraseluler dan berat molekul randah. Tipe konstituen yang
mirip disebut eksudat, yang dibentuk oleh pohon melalui metabolisme sekunder
setelah kerusakan mekanik atau penyerangan oleh serangga atau fungi. Meskipun
ada kesamaan terdapatnya ekstraktif kayu di dalam famili, ada
perbedaan-perbedaan yang jelas dalam komposisi bahkan di antara spesies-spesies kayu yang
sangat dekat.
b. Peran Zat Ekstraktif
Syafii (2000) meyatakan bahwa zat-zat ekstraktif yang dikenal
menghambat pelapukan adalah senyawa–senyawa fenolik, dengan keefektifan
yang ditentukan oleh macam dan jumlah zat ekstraktif yang ada. Zat ekstrsktif
ini dibuktikan bahwa ekstrak dari kayu teras lebih bersifat racun daripada bagian
kayu gubal pada pohon yang sama dan ketahanan terhadap pelapukan kayu teras
akan berkurang jika diekstraksi dengan air panas atau dengan pelarut organik.
Sejumlah senyawa aktif telah diidentifikasi dari sejumlah tanaman keras
sebagai anti rayap dan anti fungi. Senyawa tersebut berupa zat ekstraktif yaitu
senyawa suatu senyawa yang mengisi rongga sel kayu. Zat ekstraktif ini berperan
dalam keawetan alami kayu terhadap serangan biologis yaitu berupa senyawa
polipenol, terpenoid dan tanin (Findlay, 1987 dalam Sari, dkk, 2004). Zat ekstraktif tidak hanya terdapat dalam bagian kayu tetapi juga terdapat pada kulit,
daun, buah, dan biji. Findlay (1987 dalam Sari, dkk, 2004) menjelaskan bahwa beberapa kayu dari hutan tropika mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun.
Lebih lanjut dikatakan bahwa senyawa fenolik yang terdapat pada kayu teras,
kulit dan xylem, bersifat racun atau anti fungi yang dapat melindungi pohon dari
gangguan perusak kayu.
Diperkirakan masih banyak tumbuhan berkhasiat obat yang belum
diketahui kandungan senyawa aktifnya, sehingga diperlukan penelitian khusus.
Agar pengobatan secara tradisional dapat dipertanggungjawabkan maka
diperlukan penelitian ilmiah seperti penelitian di bidang farmakologi, toksikologi,
identifikasi dan isolasi zat kimia aktif yang terdapat dalam tumbuhan. Tumbuhan
dapat digunakan sebagai obato-obatan karena tumbuhan tersebut menghasilkan
suatu senyawa yang memperlihatkan aktifitas biologis tertentu. Senyawa aktif
biologis itu merupakan senyawa metabolit sekunder yang meliputi alkaloid,
c. Penggolongan Zat Ekstraktif
Ekstraktif terdiri atas komposisi bahan kimia yang bervariasi, seperti
getah, lemak, polisakarida, minyak, pati, senyawa alkaloid, dan tannin. Istilah ini
berasal dari ekstraksi (sebagian kecil) dari kayu dengan air panas atau air dingin
atau dengan pelarut organik netral, seperti alkohol, benzene, aseton atau eter.
Proporsi zat ekstraktif bervariasi mulai kurang dari 1% (jenis kayu popral) hingga
lebih dari 10% (jenis kayu red wood) dari berat kering kayu. Zat ekstraktif
beberapa spesies pohon tropis berkisar antara 20%. Variasi ini tidak hanya
disebabkan oleh perbedaan spesies, tetapi juga perbedaan pada bagian satu pohon
yang sama, misalnya antara kayu gubal dan kayu teras (Sjöström, 1995).
Achmadi (1990) mengelompokkan zat ekstraktif menjadi fraksi lipofilik
dan hidrofilik, walaupun batasnya kurang jelas. Yang termasuk fraksi lipofilik
adalah: lemak, waxes, terpene, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi. Cara pemisahannya dapat dilakukan dengan pelarut non polar, seperti etil eter atau
diklorometana. Sedangkan fraksi hidrofilik meliputi senyawa fenolik (tanin dan lignin), karbohidrat terlarut, protein,vitamin dan garam anorganik. Bahan jenis
kayu yang mempunyai kadar resin tinggi, misalnya resin (damar) yang banyak
terdapat pada famili Dipterocarpaceae. Resin ini berfungsi patologis (melindungi terhadap kerusakan, terdapat pada saluran resin) dan fungsi fisiologis (cadangan
energi, terdapat dalam sel-sel jari-jari) yang sering ditemukan pada daun.
Fungi
Fungi adalah organisme tidak berklorofil, berbentuk hifa/sel tunggal
eukariotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, berproduksi secara seksual dan
makanannya berbeda dari organisme eukariotik lainnya, yaitu melalui absorbsi.
Fungi berkembangbiak secara seksual melalui peleburan dua inti sel dengan
urutan terjadinya plasmogami, kariogami, dan miosis dan secara aseksual dengan
membentuk karpus yang di dalamnya mengandung hifa-hifa fertil yang
menghasilkan spora atau konidia. Sebagian besar tubuh fungi terdiri atas
benang-benang yang disebut hifa, jalinan hifa yang semacam jala disebut miselium.
Menurut Gandjar et al (2006) hifa dapat dibedakan atas dua tipe hifa yang fungsinya berbeda, yaitu yang menyerap unsur hara dari substrat dan yang
menyangga alat-alat reproduksi.
Menurut Hendayana (1994) kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhan
fungi pembusuk kayu ada empat macam, yaitu : (a) sumber-sumber energi dan
bahan makanan yang cocok; (b) kadar air kayu di atas titik jenuh serat kayu ; (c)
persediaan oksigen yang cukup; dan (d) suhu yang cocok. Kekurangan dalam
salah satu persyaratan ini, akan menghalangi pertumbuhan suatu fungi, meskipun
fungi tersebut telah berada di dalam kayu.
Menurut Gandjar et al (2006) secara umum pertumbuhan fungi
dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan
senyawa-senyawa kimia di lingkungannya.
1. Substrat, merupakan sumber unsur hara utama bagi fungi yang baru dapat
dimanfatkan oleh fungi setelah fungi mengekskresikan enzim-enzim
ekstraseluler yang dapat menguraikan senyawa-senyawa menjadi bentuk yang
lebih sederhana.
2. Kelembaban, faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Fungi dapat
3. Suhu, kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan fungi dapat
dikelompokkan menjadi : (a) fungi psiklorofil (suhu minimum di bawah 0˚C,
dan suhu optimum berkisar 0˚C - 17˚C, (b) fungi mesofil (suhu minimum di
atas 0˚C dan suhu optimum 15˚- 40˚C), dan (c) fungi termofil (suhu minimum
di atas 20˚C dan optimum berkisar 35˚C atau lebih).
4. Derajat keasaman lingkungan, pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan
fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan suatu substrat
sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi dapat hidup
pada pH di bawah 7.
5. Bahan kimia, banyak bahan kimia yang terbukti dapat mencegah pertumbuhan
fungi sehingga banyak digunakan oleh manusia sebagai bahan pengendali
fungi.
Botryosphaeria dothidea
Botryosphaeria merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan
yang menyerang Eucalyptus spp. di Afrika Selatan. Penyakit ini disebabkan oleh patogen Botryosphaeria dothidea. Penyakit ini dikenal di berbagai belahan dunia dan umumnya terkenal dengan gejala kanker dan mati pucuk pada tanaman
berkayu. Fungi ini dikenal sebagai patogen yang sangat kuat yang mampu
beradaptasi dan memanipulasi tubuhnya sendiri untuk bertahan pada kondisi stress
lingkungan seperti di Afrika Selatan yang meliputi kekeringan, suhu dingin
bahkan bersalju, badai panas dan dingin, musim gugur dan serangan serangga
Menurut Slippers (2004 ) klasifikasi Botryosphaeria dothidea sebagai
berikut:
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Species : Botryosphaeria dothidea.
Berbagai macam gejala dikaitkan dengan B. dothidea yang menyerang ekaliptus. Suatu penelitian menunjukkan bahwa penyerangan dari fungi ini
menyebakan matinya pohon yang dimulai dari pucuk. Fungi ini menyebabkan
terjadinya infeksi pada kayu teras dan kayu gubal berupa peruban warna kayu dan
akan terus menjalar bahkan hingga keseluruh bagian batang. Gejala ini sering
dijumpai pada E. grandis atau pada jenis ekaliptus lain dan sering berkembang pada waktu kondisi suhu lingkungan yang panas atau pada data kemarau.
Sebagian kecil gejala ditemukan pada E. nitens pada umur 1-2 tahun yang menyebabkan pohon tersebut telah rusak akibat suhu yang terlalu dingin
(Carnegie, 2000).
Satu dari banyaknya gejala yang cukup parah yang diakibatkan oleh
infeksi B. dothidea adalah kanker batang. Kanker ini paling umum ditemukan
pada pohon yang stress akibat kekeringan dan ditandai dengan membengkaknya
batang, kulit pecah atau retak dan adanya eksudat dalam jumlah yang berlebihan
berupa cairan kino berwarna hitam. Bahkan dalam kondisi yang parah, beberapa
gejala ditemukan pada cabang dan batang lateral sebagai tempat tumbuhnya
Pohon dalam keadaan stress dan menunjukkan tanda-tanda kanker
Botryosphaeria juga sering terinfeksi oleh patogen Endothia gyrosa. Gejala khas serangan E. gyrosa adalah kulit retak khususnya pada dasar pohon. Gejala ini akan jelas terlihat pada kondisi suhu yang rendah dimana terlihat bahwa retak
yang terjadi, memiliki warna oranye atau kuning dan terus naik melalui pemukaan
sebagai akibat dari stuktur tubuh buah fungi yang semakin berkembang. Retaknya
kulit yang diakibatkan oleh fungi E. gyrosa, dalam beberapa kasus terkadang dapat menginfeksi bahkan menembus kambium dan hasilnya adalah terdapat
eksudat kino. Retakan inilah yang menjadi jelah untuk masuknya infeksi oleh B.
dothidea (Carnegie, 2000).
Penanggulangan kerugian akibat dari Botryosphaeria dothidea semakin
sulit dilakukan akibat dari fakta yang menyatakan bahwa patogen ini mampu
memanipulasi dirinya sendiri ketika dihadapkan dengan banyak faktor lingkungan
yang ekstrim. Sulitnya penanganan masalah akibat dari serangan fungi ini
diperkuat dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa serangan yang timbul
pada daun yang sehat dan jaringan batang tanpa diawali dengan gejala-gejala
apapun dan akan terlihat ketika jaringan menjadi stress. Kanker Botryosphaeria
pada beberapa jenis pohon ekaliptus berkembang pada daerah mata kayu. Dalam
kasus ini, pohon gagal atau tidak mampu untuk menyembuhkan dirinya sendiri,
kemudian adanya kantong-kantong cairan kino yang masih halus terus
berkembang dan terus menginfeksi seluruh bagian batang (Slippers, dkk, 2004).
Dalam beberapa kasus serangga perusak selalu memiliki kaitan erat
ini adalah diakibatkan oleh kumbang Ambrosia. Dalam situasi ini, serangga
tersebut masuk kedalam kayu dengan cara melobangi kayu sehingga lobang yang
terbentuk tadi menjadi luka yang menjadi jalan masuk untuk B. dithidea.
Kemudian dengan berkembangnya jamur di dalam kayu akan menyebabkan
perubahan warna menjadi lebih gelap dan kantung-kantung kino terus
berkembang (Slippers, dkk, 2004).
Pemberantasan Hama dan Penyakit Tanaman Secara Umum
a. Secara Fisik Mekanik
Pembasmian hama dan penyakit secara fisik dapat dilakukan melalui:
1. Pemangkasan lokal ; bagian tanaman yang terserang dipotong atau dipangkas,
hasil pangkasan kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terbuka dan
aman, lalu dilakukan pembakaran.
2. Dicabut ; jika tanaman yang diserang dalam ukuran kecil (umur < 5 tahun atau
bibit di persemaian) dan hampir semua bagian tanaman terserang maka
tanaman tersebut di cabut sampai ke akarnya kemudian dikumpulkan di suatu
tempat yang terbuka dan aman lalu di bakar.
3. Ditebang ; jika intensitas serangan tinggi (hampir semua bagian tanaman
diserang/>70 % bagian tanaman diserang) atau sudah sangat parah dan
tanaman berumur lebih dari 5 tahun, maka dilakukan tebangan D2 penyakit.
Prosedur penebangan mengikuti prosedur tebangan yang sudah ada.
4. Penghalang isolasi adalah daya upaya yang dijalankan untuk mencegah
penyebaran hama dan penyakit tanaman berdasarkan peraturan
perundang-undangan
1. Pengambilan menggunakan tangan. Dapat dilakukan pada jenis hama ulat dan
belalang, dengan intensitas serangan hama dalam skala kecil.
2. Penangkapan bersama-sama oleh banyak orang (gropyokan-Jawa) pada hama belalang.
3. Pemasangan perangkap antara lain ;
- Penggunaan lampu perangkap (light trap) untuk hama penggerek batang
pada fase kupu-kupu. Lampu perangkap ini dipasang pada saat malam hari,
peralatan yang diperlukan berupa : kain putih 2 x 1,5 m, lampu
bohlam/neon, dan nampan penampung air. Kupu/ngengat yang diperoleh
kemudian dimusnahkan.
- Penggunaan perangkap kertas warna (colour trapping) untuk hama lalat
putih. Warna kertas yang digunakan bisa berwarna kuning atau lainnya
yang cerah. Kertas terlebih dahulu diberi lem perekat atau racun tikus atau
ter agar hama terperangkap pada kertas tersebut.
b. Penggunaan Pestisida
1. Biopestisida/ Pestisida organik
Penggunaan pestisida organik dapat berupa bakterisida atau insektisida yang
disesuaikan dengan jenis hama dan penyakit dan sesuai dengan dosis yang
dianjurkan (sesuai buku petunjuk pengendalian hama dan penyakit). Beberapa
contoh tanaman yang bisa digunakan sebagai pestisida misalnya daun mimba,
mahoni, gadung, tembakau, daun sirsak dan sebagainya. Atau jika dalam
keadaan yang sangat memaksa bisa menggunakan pestisida kimia dengan
catatan penggunaannya harus mengacu pada prosedur kerja Pengelolaan
2. Pestisida kimia
Penggunaan pestisida kimia harus diminimalisir. Jika atas pertimbangan
ekologi dan sosial terpaksa harus menggunakan pestisida kimia, maka
pemilihan jenis pestisidanya harus yang tidak dilarang oleh FSC, WHO
maupun peraturan perundangan yang lainnya serta menggunakan prosedur
keamanan dan keselamatan sesuai dengan Lembar data keselamatan bahan
masing-masing. Penggunaan pestisida dalam pemberantasan hama dan
penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara :
- Dioleskan/bacok oles; cara ini digunakan untuk jenis pestisida sistemik,
contoh untuk pemberantasan hama penggerek batang atau penggerek
pucuk. Aplikasinya dengan membuat lubang pada batang dengan paku
kemudian cairan insektisida dimasukkan ke lubang atau melukai kulit
batang sampai dengan bagian luar kayu gubal (jaringan sebelah dalam
jaringan kambium), kemudian insektisida dioleskan dengan kuas atau
disemprotkan ke bekas bacokan. Selanjutnya insektisida akan diangkut
melalui jaringan gubal ke bagian batang atas.
- Ditabur pada tanah atau di campur dengan media tanam atau media semai.
Cara ini digunakan untuk jenis pestisida berwujud granular (kode G dalam
kemasan).
- Disemprot langsung pada target hama/penyakit. Cara ini digunakan untuk
jenis pestisida racun kontak atau racun lambung yang memiliki kode SC,
WP, EC.
- Fumigasi; cara ini digunakan untuk jenis-jenis pestisida fumigan.
dengan memasukan insektisida fumigan pada lubang gerek kemudian
lubang ditutup malam.
Cara penggunaan bergantung jenis hama yang menyerang dan kondisi
tanaman yang diserang.
c. Musuh Alami
Penggunaan musuh alami dengan pengendalian biologis yaitu penggunaan
serangga atau bakteri dalam pengendalian hama secara innundative (pelepasan musuh alami secara berulang dengan jenis lokal) dan klasikal (pelepasan musuh alami secara tidak berulang dengan jenis eksotik). Musuh alami kita pilih musuh
alami yang paling dekat dengan target hama, dipilih dalam jumlah yang
terbatas/lebih sedikit sehingga tidak akan menyerang di luar target. Penggunaan
musuh alami harus mengacu pada aturan penggunaan kontrol biologi.
Penciptaan musuh alami juga dibarengi dengan penciptaan habitat hidup
bagi predator alami tersebut misalnya penanaman pohon atau tegakan sebagai
tempat bersarang atau penghasil biji makanan predator. Secara umum prinsip
penggunaan musuh alami tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem yang ada
(Rahayu, 1999).
Pengawetan Kayu
Keberhasilan dalam mencegah organisme perusak kayu selain ditentukan
oleh sifat efikasi bahan yang digunakan juga ada hubungannya dengan retensi,
penetrasi dan distribusi bahan pengawet tersebut di dalam kayu. Namun demikian,
sebagai sarana produksi, pengawetan harus dilakukan secara efisien dan tepat,
Bahan pengawet kayu adalah pestisida yang bersifat racun sistemik, yaitu
masuk ke dalam jaringan kayu kemudian bersentuhan atau dimakan oleh hama
(sistemik) atau sebagai racun kontak, yaitu langsung dapat menyerap melalui kulit
pada saat pemberian sehingga beracun bagi hama. Penerapannya dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara mulai dari cara sederhana, seperti pelaburan,
penyemprotan, pencelupan, perendaman, dan atau diikuti proses difusi sampai
dengan cara vakum-tekan. Secara singkat metode pengawetan dibagi ke dalam
dua golongan, yaitu cara tanpa tekanan (non pressure process) dan cara tekanan (pressure process). Proses tanpa tekanan atau disebut proses sederhana, seperti:
pelaburan, penyemprotan, pencelupan, perendaman panas, dingin dan proses
difusi mudah dalam penerapannya sehingga bisa dilakukan oleh semua orang.
Proses tekanan relative lebih sulit karena memerlukan peralatan yang mahal dan
keahlian khusus dalam mengoperasikannya. Proses tekanan memiliki banyak
variasi, tetapi secara teknis dapat dibagi atas dua golongan besar yaitu proses sel
penuh (full cell process) seperti proses Bethel dan proses sel kosong (empty cell process) seperti proses Rueping. Kedua proses itu prinsip kerjanya sama yang
berbeda pada pelaksanaan awal (Tarumingkeng, 2007).
Retensi Bahan Pengawet
Meskipun penilaian keberhasilan suatu pengawetan akhirnya ditentukan
oleh umur pakai kayu yang bersangkutan, namun ada kriteria langsung dari
perlakuan yang harus diketahui, yaitu jumlah bahan pengawet yang mampu
diabsorsi dan tinggal dalam kayu. Menurut Tambunan (1974), retensi adalah
bayaknya bahan pengawet (kering) yang masuk dan mampu tinggal dalam kayu
berbeda-beda pada setiap proses pengawetan dan tergantung pada spesies kayu, arah
peresapan, macam-macam bahan pengawet serta proses pengawetan yang
dilakukan (Hunt dan Garratt, 1986).
Efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya
saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam
kayu. Besarnya retensi dan penetrasi yang bias dicapai ditentukan oleh
stukturanatomi kayu, persiapan kayu sebelum diawetkan, metode pengawetan
serta jenis dan konsentrasi bahan pengawet (Tambunan, 1974).
Cara pengawetan dengan tekanan hasilnya biasanya lebih baik daripada
tanpa tekanan, akan tetapi biaya dan peralatan yang digunakan jauh lebih mahal.
Cara ini cocok dilakukan untuk mengawetkan kayu yang dalam pemakaiannya
memiliki resiko kerusakan tinggi seperti bantalan kereta api, kayu dermaga, tiang
listrik, menara pendingin, pemakaian lain yang berhubungan langsung dengan
tanah, serta untuk mengawetkan kayu yang sulit ditembus bahan pengawet
terutama bahan pengawet yang tidak mudah luntur. Cara pengawetan tanpa
tekanan pada umumnya hasilnya kurang begitu baik dibandingkan dengan cara
tekanan karena penembusannya lebih rendah namun masih dapat memenuhi syerat
yang baik retensi maupun penembusan tergantung tujuan pemakaian (Hunt dan