• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Mahoni (Swietenia mahagoni Jack)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Mahoni (Swietenia mahagoni Jack)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Mahoni (Swietenia mahagoni Jack)

Tanaman mahoni (Swietenia mahagoni Jack) merupakan salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri).

Mahoni dalam klasifikasinya termasuk famili Meliaceae. Ada dua spesies yang cukup dikenal yaitu: S. macrophyla (mahoni daun lebar) dan S. mahagoni

(mahoni daun sempit) (Khaeruddin, 1999).

Menurut Khaeruddin (1999), tanaman mahoni tersusun dalam sistematika

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Dicotiledone

Ordo : Rotales

Genus : Swietenia

Spesies : Swietenia mahagoni

Swietenia mahagoni yangberasal dari benua Amerika yang beriklim tropis sudah lama dibudidayakan di Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis

di Indonesia. Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany.

Tanaman mahoni banyak ditanam di pinggir jalan atau di lingkungan rumah dan

halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Tanaman ini tumbuh secara liar

di hutan-hutan atau di antara semak-semak belukar. Tanaman mahoni yang

(2)

Gambar 1. Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun

Gambar 2. Batang Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun

Buah tanaman mahoni terlihat muncul diujung-ujung ranting berwarna

coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi sekitar 10-30 m, percabangannya

banyak, daun majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar. Helaian anak daun

bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun runcing panjangnya

sekitar 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang berwarna coklat

panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat tumbuh dengan baik di

tempat yang terbuka dan terkena cahaya matahari secara langsung, baik di dataran

rendah maupun dataran tinggi, yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan

(3)

Ekstraktif Kayu (Kulit, Daun, Buah) Mahoni

a. Pengertian Ekstraksi

Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan

atau cairan dengan bantuan pelarut. Campuran bahan padat maupun cair (biasanya

bahan alami) sering kali tidak dapat atau sulit dipisahkan dengan metode pemisah

mekanik, misalnya karena komponennya bercampur secara homogen. Campuran

bahan yang tidak dapat atau sukar dipisahkan dengan metode pemisahan mekanik

adalah dengan metode ekstraksi (Achmadi, 1990).

Menurut Sjöström (1995) komponen kayu beranekaragam, meskipun

biasanya merupakan bagian kecil, larut dalam pelarut-pelarut organik netral atau

air, yang disebut ekstraktif. Ekstraktf terdiri atas jumlah yang sangat besar dari

senyawa-senyawa tunggal tipe lipofil maupun hidrofil. Ekstraktif dapat dipandang

sebagai konstituen kayu yang tidak struktural, hampir seluruhnya terbentuk dari

senyawa-senyawa ekstraseluler dan berat molekul randah. Tipe konstituen yang

mirip disebut eksudat, yang dibentuk oleh pohon melalui metabolisme sekunder

setelah kerusakan mekanik atau penyerangan oleh serangga atau fungi. Meskipun

ada kesamaan terdapatnya ekstraktif kayu di dalam famili, ada

perbedaan-perbedaan yang jelas dalam komposisi bahkan di antara spesies-spesies kayu yang

sangat dekat.

b. Peran Zat Ekstraktif

Syafii (2000) meyatakan bahwa zat-zat ekstraktif yang dikenal

menghambat pelapukan adalah senyawa–senyawa fenolik, dengan keefektifan

yang ditentukan oleh macam dan jumlah zat ekstraktif yang ada. Zat ekstrsktif

(4)

ini dibuktikan bahwa ekstrak dari kayu teras lebih bersifat racun daripada bagian

kayu gubal pada pohon yang sama dan ketahanan terhadap pelapukan kayu teras

akan berkurang jika diekstraksi dengan air panas atau dengan pelarut organik.

Sejumlah senyawa aktif telah diidentifikasi dari sejumlah tanaman keras

sebagai anti rayap dan anti fungi. Senyawa tersebut berupa zat ekstraktif yaitu

senyawa suatu senyawa yang mengisi rongga sel kayu. Zat ekstraktif ini berperan

dalam keawetan alami kayu terhadap serangan biologis yaitu berupa senyawa

polipenol, terpenoid dan tanin (Findlay, 1987 dalam Sari, dkk, 2004). Zat ekstraktif tidak hanya terdapat dalam bagian kayu tetapi juga terdapat pada kulit,

daun, buah, dan biji. Findlay (1987 dalam Sari, dkk, 2004) menjelaskan bahwa beberapa kayu dari hutan tropika mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun.

Lebih lanjut dikatakan bahwa senyawa fenolik yang terdapat pada kayu teras,

kulit dan xylem, bersifat racun atau anti fungi yang dapat melindungi pohon dari

gangguan perusak kayu.

Diperkirakan masih banyak tumbuhan berkhasiat obat yang belum

diketahui kandungan senyawa aktifnya, sehingga diperlukan penelitian khusus.

Agar pengobatan secara tradisional dapat dipertanggungjawabkan maka

diperlukan penelitian ilmiah seperti penelitian di bidang farmakologi, toksikologi,

identifikasi dan isolasi zat kimia aktif yang terdapat dalam tumbuhan. Tumbuhan

dapat digunakan sebagai obato-obatan karena tumbuhan tersebut menghasilkan

suatu senyawa yang memperlihatkan aktifitas biologis tertentu. Senyawa aktif

biologis itu merupakan senyawa metabolit sekunder yang meliputi alkaloid,

(5)

c. Penggolongan Zat Ekstraktif

Ekstraktif terdiri atas komposisi bahan kimia yang bervariasi, seperti

getah, lemak, polisakarida, minyak, pati, senyawa alkaloid, dan tannin. Istilah ini

berasal dari ekstraksi (sebagian kecil) dari kayu dengan air panas atau air dingin

atau dengan pelarut organik netral, seperti alkohol, benzene, aseton atau eter.

Proporsi zat ekstraktif bervariasi mulai kurang dari 1% (jenis kayu popral) hingga

lebih dari 10% (jenis kayu red wood) dari berat kering kayu. Zat ekstraktif

beberapa spesies pohon tropis berkisar antara 20%. Variasi ini tidak hanya

disebabkan oleh perbedaan spesies, tetapi juga perbedaan pada bagian satu pohon

yang sama, misalnya antara kayu gubal dan kayu teras (Sjöström, 1995).

Achmadi (1990) mengelompokkan zat ekstraktif menjadi fraksi lipofilik

dan hidrofilik, walaupun batasnya kurang jelas. Yang termasuk fraksi lipofilik

adalah: lemak, waxes, terpene, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi. Cara pemisahannya dapat dilakukan dengan pelarut non polar, seperti etil eter atau

diklorometana. Sedangkan fraksi hidrofilik meliputi senyawa fenolik (tanin dan lignin), karbohidrat terlarut, protein,vitamin dan garam anorganik. Bahan jenis

kayu yang mempunyai kadar resin tinggi, misalnya resin (damar) yang banyak

terdapat pada famili Dipterocarpaceae. Resin ini berfungsi patologis (melindungi terhadap kerusakan, terdapat pada saluran resin) dan fungsi fisiologis (cadangan

energi, terdapat dalam sel-sel jari-jari) yang sering ditemukan pada daun.

Fungi

Fungi adalah organisme tidak berklorofil, berbentuk hifa/sel tunggal

eukariotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, berproduksi secara seksual dan

(6)

makanannya berbeda dari organisme eukariotik lainnya, yaitu melalui absorbsi.

Fungi berkembangbiak secara seksual melalui peleburan dua inti sel dengan

urutan terjadinya plasmogami, kariogami, dan miosis dan secara aseksual dengan

membentuk karpus yang di dalamnya mengandung hifa-hifa fertil yang

menghasilkan spora atau konidia. Sebagian besar tubuh fungi terdiri atas

benang-benang yang disebut hifa, jalinan hifa yang semacam jala disebut miselium.

Menurut Gandjar et al (2006) hifa dapat dibedakan atas dua tipe hifa yang fungsinya berbeda, yaitu yang menyerap unsur hara dari substrat dan yang

menyangga alat-alat reproduksi.

Menurut Hendayana (1994) kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhan

fungi pembusuk kayu ada empat macam, yaitu : (a) sumber-sumber energi dan

bahan makanan yang cocok; (b) kadar air kayu di atas titik jenuh serat kayu ; (c)

persediaan oksigen yang cukup; dan (d) suhu yang cocok. Kekurangan dalam

salah satu persyaratan ini, akan menghalangi pertumbuhan suatu fungi, meskipun

fungi tersebut telah berada di dalam kayu.

Menurut Gandjar et al (2006) secara umum pertumbuhan fungi

dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan

senyawa-senyawa kimia di lingkungannya.

1. Substrat, merupakan sumber unsur hara utama bagi fungi yang baru dapat

dimanfatkan oleh fungi setelah fungi mengekskresikan enzim-enzim

ekstraseluler yang dapat menguraikan senyawa-senyawa menjadi bentuk yang

lebih sederhana.

2. Kelembaban, faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Fungi dapat

(7)

3. Suhu, kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan fungi dapat

dikelompokkan menjadi : (a) fungi psiklorofil (suhu minimum di bawah 0˚C,

dan suhu optimum berkisar 0˚C - 17˚C, (b) fungi mesofil (suhu minimum di

atas 0˚C dan suhu optimum 15˚- 40˚C), dan (c) fungi termofil (suhu minimum

di atas 20˚C dan optimum berkisar 35˚C atau lebih).

4. Derajat keasaman lingkungan, pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan

fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan suatu substrat

sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi dapat hidup

pada pH di bawah 7.

5. Bahan kimia, banyak bahan kimia yang terbukti dapat mencegah pertumbuhan

fungi sehingga banyak digunakan oleh manusia sebagai bahan pengendali

fungi.

Botryosphaeria dothidea

Botryosphaeria merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan

yang menyerang Eucalyptus spp. di Afrika Selatan. Penyakit ini disebabkan oleh patogen Botryosphaeria dothidea. Penyakit ini dikenal di berbagai belahan dunia dan umumnya terkenal dengan gejala kanker dan mati pucuk pada tanaman

berkayu. Fungi ini dikenal sebagai patogen yang sangat kuat yang mampu

beradaptasi dan memanipulasi tubuhnya sendiri untuk bertahan pada kondisi stress

lingkungan seperti di Afrika Selatan yang meliputi kekeringan, suhu dingin

bahkan bersalju, badai panas dan dingin, musim gugur dan serangan serangga

(8)

Menurut Slippers (2004 ) klasifikasi Botryosphaeria dothidea sebagai

berikut:

Kelas

Ordo

Famili

Genus

Species : Botryosphaeria dothidea.

Berbagai macam gejala dikaitkan dengan B. dothidea yang menyerang ekaliptus. Suatu penelitian menunjukkan bahwa penyerangan dari fungi ini

menyebakan matinya pohon yang dimulai dari pucuk. Fungi ini menyebabkan

terjadinya infeksi pada kayu teras dan kayu gubal berupa peruban warna kayu dan

akan terus menjalar bahkan hingga keseluruh bagian batang. Gejala ini sering

dijumpai pada E. grandis atau pada jenis ekaliptus lain dan sering berkembang pada waktu kondisi suhu lingkungan yang panas atau pada data kemarau.

Sebagian kecil gejala ditemukan pada E. nitens pada umur 1-2 tahun yang menyebabkan pohon tersebut telah rusak akibat suhu yang terlalu dingin

(Carnegie, 2000).

Satu dari banyaknya gejala yang cukup parah yang diakibatkan oleh

infeksi B. dothidea adalah kanker batang. Kanker ini paling umum ditemukan

pada pohon yang stress akibat kekeringan dan ditandai dengan membengkaknya

batang, kulit pecah atau retak dan adanya eksudat dalam jumlah yang berlebihan

berupa cairan kino berwarna hitam. Bahkan dalam kondisi yang parah, beberapa

gejala ditemukan pada cabang dan batang lateral sebagai tempat tumbuhnya

(9)

Pohon dalam keadaan stress dan menunjukkan tanda-tanda kanker

Botryosphaeria juga sering terinfeksi oleh patogen Endothia gyrosa. Gejala khas serangan E. gyrosa adalah kulit retak khususnya pada dasar pohon. Gejala ini akan jelas terlihat pada kondisi suhu yang rendah dimana terlihat bahwa retak

yang terjadi, memiliki warna oranye atau kuning dan terus naik melalui pemukaan

sebagai akibat dari stuktur tubuh buah fungi yang semakin berkembang. Retaknya

kulit yang diakibatkan oleh fungi E. gyrosa, dalam beberapa kasus terkadang dapat menginfeksi bahkan menembus kambium dan hasilnya adalah terdapat

eksudat kino. Retakan inilah yang menjadi jelah untuk masuknya infeksi oleh B.

dothidea (Carnegie, 2000).

Penanggulangan kerugian akibat dari Botryosphaeria dothidea semakin

sulit dilakukan akibat dari fakta yang menyatakan bahwa patogen ini mampu

memanipulasi dirinya sendiri ketika dihadapkan dengan banyak faktor lingkungan

yang ekstrim. Sulitnya penanganan masalah akibat dari serangan fungi ini

diperkuat dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa serangan yang timbul

pada daun yang sehat dan jaringan batang tanpa diawali dengan gejala-gejala

apapun dan akan terlihat ketika jaringan menjadi stress. Kanker Botryosphaeria

pada beberapa jenis pohon ekaliptus berkembang pada daerah mata kayu. Dalam

kasus ini, pohon gagal atau tidak mampu untuk menyembuhkan dirinya sendiri,

kemudian adanya kantong-kantong cairan kino yang masih halus terus

berkembang dan terus menginfeksi seluruh bagian batang (Slippers, dkk, 2004).

Dalam beberapa kasus serangga perusak selalu memiliki kaitan erat

(10)

ini adalah diakibatkan oleh kumbang Ambrosia. Dalam situasi ini, serangga

tersebut masuk kedalam kayu dengan cara melobangi kayu sehingga lobang yang

terbentuk tadi menjadi luka yang menjadi jalan masuk untuk B. dithidea.

Kemudian dengan berkembangnya jamur di dalam kayu akan menyebabkan

perubahan warna menjadi lebih gelap dan kantung-kantung kino terus

berkembang (Slippers, dkk, 2004).

Pemberantasan Hama dan Penyakit Tanaman Secara Umum

a. Secara Fisik Mekanik

Pembasmian hama dan penyakit secara fisik dapat dilakukan melalui:

1. Pemangkasan lokal ; bagian tanaman yang terserang dipotong atau dipangkas,

hasil pangkasan kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terbuka dan

aman, lalu dilakukan pembakaran.

2. Dicabut ; jika tanaman yang diserang dalam ukuran kecil (umur < 5 tahun atau

bibit di persemaian) dan hampir semua bagian tanaman terserang maka

tanaman tersebut di cabut sampai ke akarnya kemudian dikumpulkan di suatu

tempat yang terbuka dan aman lalu di bakar.

3. Ditebang ; jika intensitas serangan tinggi (hampir semua bagian tanaman

diserang/>70 % bagian tanaman diserang) atau sudah sangat parah dan

tanaman berumur lebih dari 5 tahun, maka dilakukan tebangan D2 penyakit.

Prosedur penebangan mengikuti prosedur tebangan yang sudah ada.

4. Penghalang isolasi adalah daya upaya yang dijalankan untuk mencegah

penyebaran hama dan penyakit tanaman berdasarkan peraturan

perundang-undangan

(11)

1. Pengambilan menggunakan tangan. Dapat dilakukan pada jenis hama ulat dan

belalang, dengan intensitas serangan hama dalam skala kecil.

2. Penangkapan bersama-sama oleh banyak orang (gropyokan-Jawa) pada hama belalang.

3. Pemasangan perangkap antara lain ;

- Penggunaan lampu perangkap (light trap) untuk hama penggerek batang

pada fase kupu-kupu. Lampu perangkap ini dipasang pada saat malam hari,

peralatan yang diperlukan berupa : kain putih 2 x 1,5 m, lampu

bohlam/neon, dan nampan penampung air. Kupu/ngengat yang diperoleh

kemudian dimusnahkan.

- Penggunaan perangkap kertas warna (colour trapping) untuk hama lalat

putih. Warna kertas yang digunakan bisa berwarna kuning atau lainnya

yang cerah. Kertas terlebih dahulu diberi lem perekat atau racun tikus atau

ter agar hama terperangkap pada kertas tersebut.

b. Penggunaan Pestisida

1. Biopestisida/ Pestisida organik

Penggunaan pestisida organik dapat berupa bakterisida atau insektisida yang

disesuaikan dengan jenis hama dan penyakit dan sesuai dengan dosis yang

dianjurkan (sesuai buku petunjuk pengendalian hama dan penyakit). Beberapa

contoh tanaman yang bisa digunakan sebagai pestisida misalnya daun mimba,

mahoni, gadung, tembakau, daun sirsak dan sebagainya. Atau jika dalam

keadaan yang sangat memaksa bisa menggunakan pestisida kimia dengan

catatan penggunaannya harus mengacu pada prosedur kerja Pengelolaan

(12)

2. Pestisida kimia

Penggunaan pestisida kimia harus diminimalisir. Jika atas pertimbangan

ekologi dan sosial terpaksa harus menggunakan pestisida kimia, maka

pemilihan jenis pestisidanya harus yang tidak dilarang oleh FSC, WHO

maupun peraturan perundangan yang lainnya serta menggunakan prosedur

keamanan dan keselamatan sesuai dengan Lembar data keselamatan bahan

masing-masing. Penggunaan pestisida dalam pemberantasan hama dan

penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara :

- Dioleskan/bacok oles; cara ini digunakan untuk jenis pestisida sistemik,

contoh untuk pemberantasan hama penggerek batang atau penggerek

pucuk. Aplikasinya dengan membuat lubang pada batang dengan paku

kemudian cairan insektisida dimasukkan ke lubang atau melukai kulit

batang sampai dengan bagian luar kayu gubal (jaringan sebelah dalam

jaringan kambium), kemudian insektisida dioleskan dengan kuas atau

disemprotkan ke bekas bacokan. Selanjutnya insektisida akan diangkut

melalui jaringan gubal ke bagian batang atas.

- Ditabur pada tanah atau di campur dengan media tanam atau media semai.

Cara ini digunakan untuk jenis pestisida berwujud granular (kode G dalam

kemasan).

- Disemprot langsung pada target hama/penyakit. Cara ini digunakan untuk

jenis pestisida racun kontak atau racun lambung yang memiliki kode SC,

WP, EC.

- Fumigasi; cara ini digunakan untuk jenis-jenis pestisida fumigan.

(13)

dengan memasukan insektisida fumigan pada lubang gerek kemudian

lubang ditutup malam.

Cara penggunaan bergantung jenis hama yang menyerang dan kondisi

tanaman yang diserang.

c. Musuh Alami

Penggunaan musuh alami dengan pengendalian biologis yaitu penggunaan

serangga atau bakteri dalam pengendalian hama secara innundative (pelepasan musuh alami secara berulang dengan jenis lokal) dan klasikal (pelepasan musuh alami secara tidak berulang dengan jenis eksotik). Musuh alami kita pilih musuh

alami yang paling dekat dengan target hama, dipilih dalam jumlah yang

terbatas/lebih sedikit sehingga tidak akan menyerang di luar target. Penggunaan

musuh alami harus mengacu pada aturan penggunaan kontrol biologi.

Penciptaan musuh alami juga dibarengi dengan penciptaan habitat hidup

bagi predator alami tersebut misalnya penanaman pohon atau tegakan sebagai

tempat bersarang atau penghasil biji makanan predator. Secara umum prinsip

penggunaan musuh alami tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem yang ada

(Rahayu, 1999).

Pengawetan Kayu

Keberhasilan dalam mencegah organisme perusak kayu selain ditentukan

oleh sifat efikasi bahan yang digunakan juga ada hubungannya dengan retensi,

penetrasi dan distribusi bahan pengawet tersebut di dalam kayu. Namun demikian,

sebagai sarana produksi, pengawetan harus dilakukan secara efisien dan tepat,

(14)

Bahan pengawet kayu adalah pestisida yang bersifat racun sistemik, yaitu

masuk ke dalam jaringan kayu kemudian bersentuhan atau dimakan oleh hama

(sistemik) atau sebagai racun kontak, yaitu langsung dapat menyerap melalui kulit

pada saat pemberian sehingga beracun bagi hama. Penerapannya dapat dilakukan

dengan berbagai macam cara mulai dari cara sederhana, seperti pelaburan,

penyemprotan, pencelupan, perendaman, dan atau diikuti proses difusi sampai

dengan cara vakum-tekan. Secara singkat metode pengawetan dibagi ke dalam

dua golongan, yaitu cara tanpa tekanan (non pressure process) dan cara tekanan (pressure process). Proses tanpa tekanan atau disebut proses sederhana, seperti:

pelaburan, penyemprotan, pencelupan, perendaman panas, dingin dan proses

difusi mudah dalam penerapannya sehingga bisa dilakukan oleh semua orang.

Proses tekanan relative lebih sulit karena memerlukan peralatan yang mahal dan

keahlian khusus dalam mengoperasikannya. Proses tekanan memiliki banyak

variasi, tetapi secara teknis dapat dibagi atas dua golongan besar yaitu proses sel

penuh (full cell process) seperti proses Bethel dan proses sel kosong (empty cell process) seperti proses Rueping. Kedua proses itu prinsip kerjanya sama yang

berbeda pada pelaksanaan awal (Tarumingkeng, 2007).

Retensi Bahan Pengawet

Meskipun penilaian keberhasilan suatu pengawetan akhirnya ditentukan

oleh umur pakai kayu yang bersangkutan, namun ada kriteria langsung dari

perlakuan yang harus diketahui, yaitu jumlah bahan pengawet yang mampu

diabsorsi dan tinggal dalam kayu. Menurut Tambunan (1974), retensi adalah

bayaknya bahan pengawet (kering) yang masuk dan mampu tinggal dalam kayu

(15)

berbeda-beda pada setiap proses pengawetan dan tergantung pada spesies kayu, arah

peresapan, macam-macam bahan pengawet serta proses pengawetan yang

dilakukan (Hunt dan Garratt, 1986).

Efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya

saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam

kayu. Besarnya retensi dan penetrasi yang bias dicapai ditentukan oleh

stukturanatomi kayu, persiapan kayu sebelum diawetkan, metode pengawetan

serta jenis dan konsentrasi bahan pengawet (Tambunan, 1974).

Cara pengawetan dengan tekanan hasilnya biasanya lebih baik daripada

tanpa tekanan, akan tetapi biaya dan peralatan yang digunakan jauh lebih mahal.

Cara ini cocok dilakukan untuk mengawetkan kayu yang dalam pemakaiannya

memiliki resiko kerusakan tinggi seperti bantalan kereta api, kayu dermaga, tiang

listrik, menara pendingin, pemakaian lain yang berhubungan langsung dengan

tanah, serta untuk mengawetkan kayu yang sulit ditembus bahan pengawet

terutama bahan pengawet yang tidak mudah luntur. Cara pengawetan tanpa

tekanan pada umumnya hasilnya kurang begitu baik dibandingkan dengan cara

tekanan karena penembusannya lebih rendah namun masih dapat memenuhi syerat

yang baik retensi maupun penembusan tergantung tujuan pemakaian (Hunt dan

Gambar

Gambar 1. Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun

Referensi

Dokumen terkait

Bab ini akan membahas hal-hal yang mendasari dibuatnya aplikasi, arsitektur, bahasa pemrograman dan tools yang digunakan dalam pembuatan aplikasi web untuk pelaporan data

Maka dari analisis studi literatur dari sumber yang terdapat di atas diperoleh beberapa asumsi peneliti bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode peer teaching dapat

Jadi, pada kesimpulannya, betapapun alasan yang tertulis dalam kertas formal bahwa perceraian mereka dikarenakan disharmonisasi yang terjadi di dalam keluarga, hal

Pada pemberian dosis teh 15 gram/kgBB menunjukan nilai signifikan terhadap penurunan kadar glukosa darah P = 0,000 &lt; ( α 0,05 ) dan kadar MDA darah P = 0,000 &lt; ( α 0,05

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan bahwa analisis nilai-nilai karakter tanggung jawab dan kerja keras dalam buku tematik kelas

Secara historis pola perekonomian kapitalisme berdiri dan tambah perpengaruh diawali dari peralihan masa feodal ke era modern. Kelahiran kapitalisme dibidani oleh tiga

(kebutuhan akan keteraturan), Need of Succorance (kebutuhan untuk memperoleh simpati, Need Of Intraception (kebutuhan akan merasakan keadaan orang lain), Need Of Endurance