0
Bagikan Lainnya Blog Berikut» warancak82@gmail.com Entri Baru Desain
Rabu, 07 Agustus 2013
'Pulau Koloni' Untuk Mereka Yang Kaya
‘Pulau Koloni’ Untuk Mereka Yang Kaya
(Surat Terbuka Menanggapi Artikel
Gubernur Bali)
Oleh:
Agung Wardana
Kepada Yth. Tuan Gubernur Bali,
Pertama-tama, saya sebagai warga Bali yang
berada di luar negeri berterima kasih atas
perkenan Tuan Gubernur untuk menuliskan
opini melalui artikel sebuah media
online
yang berjudul “Reklamasi Teluk Benoa
untuk Masa Depan Bali”. Artikel yang
merupakan upaya Tuan dalam melakukan
counter -
lebih tepatnya akomodasi
-argumen yang muncul pada Dialog Terbuka,
tertanggal 3 Agustus 2013 di Wisma Sabha
ini telah membantu saya memahami apa
yang kini sebenarnya sedang terjadi di Bali.
Berdasarkan artikel yang Tuan tuliskan dan
sebarkan, saya bermaksud memberikan
tanggapan. Terdapat beberapa hal yang
masih mengganjal dan harus saya ungkapkan
sebagai wujud kepedulian saya terhadap
Bumi
-Tentang Penulis
Lihat profil lengkapku
Kategori Artikel
Aktivisme dan Paradigma (31)
Ekologi Politik (17)
Energi dan Transportasi (6)
Hak Asasi Manusia (7)
Hutan dan Kehayati (3)
In English (3)
Kebijakan dan Governance (38)
Korporasi dan Greenwashing (11)
Masyarakat Adat dan Komunitas Marjinal (8)
Pariwisata dan Pulau Kecil (11)
Perubahan Iklim (15)
Tata Ruang dan Teritorial (14)
Suara Akar Rumput
! 2013 (4)
tanah kelahiran, Bali, dan kontribusi
berdasarkan
swadarma
saya.
Adapun
pendapat saya adalah sebagai berikut:
Pertama, saya harus menolak usaha Tuan
untuk mereduksi megaproyek menjadi
‘reklamasi’. Hal ini telah pula saya
sampaikan pada tulisan saya sebelumnya.
Bahwa mereduksi megaproyek ke dalam
satu bentuk kegiatan saja (reklamasi) akan
berpotensi
untuk
mengaburkan
corak
ekonomi-politik
yang
menjadi
tujuan
megaproyek ini ke dalam suatu kegiatan
teknis belaka. Megaproyek tersebut tidak
hanya terdiri dari kegiatan reklamasi
(pengurugan) tetapi akan dilanjutkan dengan
pembuatan pulau lengkap dengan kompleks
akomodasi
pariwisata
dan
fasilitas
pendukung. Tidak hanya itu, proses produksi
dan
reproduksi
relasi
sosial
untuk
mendukung produksi merupakan bagian
integral dari megaproyek nantinya.
Karena totalitas proses kegiatan hanya
memiliki satu tujuan utama, yakni akumulasi
modal, maka saya lebih suka menyebutnya
sebagai megaproyek ‘pulau koloni’. Ya!
Bersama
ndoro
investor, Tuan sedang
memimpikan sebuah pulau koloni di mana
masyarakat Bali hanya akan menjadi pelayan
bagi orang-orang kaya penghuni koloni.
Sekolah dan rumah sakit pun Tuan sediakan
untuk membuat para pelayan selalu sehat
dan semakin terampil dalam melayani
kepada sang
ndoro
majikan. Nilai ideal
pendidikan - sarana untuk ‘memanusiakan’
manusia – telah Tuan ubah menjadi sarana
mencetak pelayan-pelayan mereka yang
berduit dan berkuasa.
Kedua,
saya
berusaha
memahami
argumentasi Tuan bahwa jika pulau koloni
ini kelak terbentuk maka akan menjadi milik
masyarakat Bali. Daratan dan luasan hutan
Bali juga akan bertambah, menurut Tuan.
Jika memang benar pulau yang Tuan maksud
sebagai milik rakyat Bali, maka rezim yang
seharusnya
mengatur
adalah
‘
common
'Pulau Koloni' Untuk Mereka Yang Kaya
property
’ (aset bersama) yang berhak
dinikmati oleh siapa pun rakyat Bali tanpa
membedakan kelas, etnis dan
gender
.
Namun, melihat masterplan-nya, pulau
koloni itu merupakan semi
publik-private
property
, konon milik publik tetapi dibawah
penguasaan privat (investor). Syarat-syarat
yang Tuan sebutkan dalam SK pun hanya
merupakan formalitas yang umumnya ada
dalam setiap SK untuk para investor.
Sebenarnya, kami yang menolak ajakan
Tuan untuk bermimpi ingin menanyakan hal
yang jauh lebih dalam dari sekedar hitung
angka di atas kertas. Kepada siapa pulau itu
akan dipersembahkan, dan siapa yang
menjamin bahwa kami rakyat Bali yang
miskin akan diberikan hak untuk menikmati
pulau tersebut tanpa harus merasa dicurigai
akan
merusak
kenyamanan
para
penghuninya? Kami telah cukup belajar dari
pengalaman bagaimana kami digeledah,
diperiksa,
dan
dipantau
ketika
ingin
menikmati kawasan pariwisata yang konon
milik kami juga. Sehingga hal ini tidak
sesederhana urusan kepemilikan dan luasan
daratan atau hutan semata namun menyentuh
ranah keadilan
Ketiga, saat awal-awal menjabat sebagai
Gubernur Bali, Tuan begitu semangat untuk
menjadi ‘gubernur air’. Tuan mengetahui
dengan baik bahwa air merupakan elemen
penting bagi keberlangsungan kehidupan di
Bali. Tuan juga paham betul bahwa
konsumen air paling besar di Bali adalah
industri pariwisata. Celakanya, industri
pariwisata menjadikan air sarana untuk
bersenang-senang (
pleasure
) di saat masih
banyak masyarakat Bali yang kesulitan
mengakses air bersih. Tidakkah ini bentuk
penghinaan terhadap masyarakat Bali?
Namun dalam artikel Tuan tidak ada satu
pun yang menyebutkan kata ‘air’ padahal air
masih tetap menjadi faktor penting yang
harus ada di pulau koloni tersebut.
Memprioritaskan air yang kami miliki untuk
Suara Alam
14 Aug 13, 17:57
amboi: A'kum. Dalam
mencari keuntungan unit trust, perkara ini amat perlu. Samai yang tidak tahu.
1 Aug 13, 16:57 GT: blogwalking sat ek...
1 Aug 13, 01:23 kaya: sesi blogwalking bermula / blogwalking session
27 Jul 13, 19:01
Gameers: blog game...jom
singgah
18 Jul 13, 12:39
Anna Aliya: hey hey!
blogwalking ) visit mine too
16 Jul 13, 03:04 Syam: saLam Ramadhan bLoggers
15 Jul 13, 05:37
i pandai: jika anda pandai,
boleh dpt RM100
[Get a Cbox] refresh
name e-mail / url
message Go
help·smilies·cbox
Hembusan Angin
Friends of the Earth International
George Monbiot
Support WORLD SILENT DAY
Taman 65
WALHI Bali
WALHI Nasional
melayani kesenangan para penghuni koloni
berarti Tuan hanya akan memperparah tensi
bahkan konflik perebutan air di Bali.
Mungkin sebaiknya Tuan mulai berpikir
untuk mengubah ‘mimpi’ untuk menjadi
‘gubernur air’ menjadi ‘gubernur pulau
(koloni)’.
Keempat, saya melihat Tuan
blunder
dalam
menghubungkan industri pariwisata dan
konversi lahan dengan membuat pulau
koloni sebagai jawabannya. Namun yang
menarik adalah Tuan mengakui jika konversi
lahan diakibatkan oleh pembangunan. Tentu
pembangunan ini tidak bisa dilepaskan dari
ranah
kebijakan.
Bukankah
kebijakan
pemerintah, termasuk kebijakan Tuan yang
memicu derasnya konversi lahan produktif
dengan mengistimewakan ekspansi dan
perluasan industri pariwisata dan
real estate
di Bali? Jikalaupun pulau koloni tersebut
beroperasi, tidak ada jaminan industri
pariwisata dan
real estate
di Bali akan
menghentikan
ekspansi-nya
dalam
‘mencaplok’ kawasan pertanian. Adalah
salah satu satu hukum dasar kapitalisme
untuk terus bertumbuh dan berkembang.
Kelima, Tuan bermain wacana di ranah
‘bencana’.
Bersama
investor,
Tuan
mengetahui betul bahwa Bali adalah
kawasan rawan bencana karena berada
dalam jejeran
ring of fire
dan masyarakat
pun telah dibombardir pemberitaan tentang
dampak bencana yang mengerikan. Di sini,
Tuan mengeksploitasi ketakutan/kecemasan
masyarakat untuk memberikan justifikasi
terhadap megaproyek yang konon untuk
menangkal
bencana
tsunami.
Betapa
malaikat telah mengubah investor menjadi
seorang filantropis yang sengaja membangun
pulau indah lengkap dengan fasilitasnya
untuk dipersembahkan sebagai penangkal
tsunami. Apakah Tuan beserta investor ini
juga
sedang
merencanakan
untuk
good to be true!
Selanjutnya, saya berterima kasih kepada
Tuan karena telah membawa argumentasi
‘keamanan’
dalam
artikel
Tuan.
Argumentasi ini membuat saya lebih mudah
memahami apa yang sebenarnya Tuan sebut
sebagai ‘terobosan dalam pembangunan
pariwisata’ di Bali. Nampaknya Tuan sedang
merespon kondisi industri pariwisata Bali
yang oleh Claudio Minca dinamakan ‘
Bali
Syndrome
’ (Sindrom Bali). Di tengah
kejenuhan industri pariwisata dibutuhkan
upaya untuk melakukan re-teritorialisasi
kawasan pariwisata yang telah mapan
melalui
kolonisasi
dan
segregasi
(pemisahan) antara turis dari masyarakat
lokal. Tujuannya, untuk menjauhkan para
penghuni koloni dari gangguan keamanan
yang selama ini sering menyasar turis dan
kawasan pariwisata di Bali.
Budaya tetap akan menjadi komoditas,
namun ‘atraksi’-nya akan mengambil tempat
dengan
kawasan
koloni.
Galeri
dan
panggung kesenian akan dibuat sedemikian
rupa di ruang koloni guna mensimulasi serta
meromantisasi Bali demi memuaskan hasrat
penghuni koloni yang dibentuk oleh brosur
pariwisata.
Maksudnya,
mengkonsumsi
atraksi dan artefak budaya tanpa harus
bersentuhan langsung dengan dinamika
masyarakat lokal yang cenderung tidak
mengindahkan lagi doktrin ‘sapta pesona’.
Kawasan pariwisata yang terpisah (koloni)
akan lebih memudahkan kontrol dan
pengawasan negara dan pemilik modal
tentang siapa dan apa yang bisa
keluar-masuk koloni demi menjaga kenyamanan
penghuninya.
APEC, dll. Bahwa menurut saya tidak ada
hubungan logis antara dialog terbuka dengan
demonstrasi penolakan terhadap megaproyek
pulau
koloni.
Berdemonstrasi
atau
menyampaikan pendapat merupakan hak
setiap orang sehingga tidak bisa Tuan larang
hanya karena Bali akan menjadi tuan rumah
even internasional. Justru masyarakat Bali
harus menyebarluaskan pendapat kritisnya
tentang apa manfaat dan dampak even
internasional tersebut terhadap kehidupan
mereka.
Jika sebuah konferensi bertujuan untuk
merundingkan
‘penggusuran’
terhadap
rumah kami, maka kami tidak mungkin
hanya menjadi tuan rumah yang ramah.
Kami harus menjadi tuan rumah yang cerdas
dan kritis karena rumah (tanah Bali) adalah
pertahanan terakhir yang kami miliki. Kami
akan mulai pelajari perdagangan bebas yang
akan menajdi agenda konferensi APEC.
Artikel Tuan pun mengakui dampak negatif
perdagangan bebas terhadap Bali dalam
konteks tenaga kerja, dimana tenaga kerja
lokal nantinya harus bersaing dengan tenaga
kerja asing. Proyek koloni ini sendiri akan
beroperasi dalam lima tahun mendatang
sedangkan pasar bebas ASEAN akan
dimulai dua tahun lagi. Pertanyaannya,
apakah pulau koloni ini dibuat untuk
menampung tenaga kerja lokal atau justru
merupakan
eksperimen
untuk
melihat
bagaimana persaingan tenaga kerja secara
terbuka di era globalisasi? Hanya Tuhan,
Tuan, dan
ndoro
investor yang tahu
jawabannya.
Penulis, Aktivis Lingkungan
Mahasiswa Doctor of Philosophy (PhD)
Murdoch University, Australia
Diposkan oleh Agung Wardana di 05.17
17 komentar:
Anonim mengatakan...
setelah membaca artikel ini, saya langsung setuju, semua nya telah benar-benar persis terangkum di tulisan Bli agung wardana, air misal nya, saya yg warga bali dan tinggal di nusadua sudah menjadi rutinitas utk berbagi air tiap hari berdasarkan jam pemakaian, karena terlalu banyak nya pemakaian air oleh masyarakat perumahan, hotel dll,berbanding
terbalik dengan debit air yg sudah jauh berkurang, ironis nya, villa, city hotel, ruko, mengalahkan jamur
di musim hujan perkembangan nya. tapi yang saya heran ijin2 itu seperti nya sangat gampang untuk di
dapat,tidak peduli jarak, tata ruang, lingkungan sekitar. pohon perindang pun skr sudah sangat sulit
di temukan di kiri kanan jalan krn di babat habis untuk pembangunan trotoar pejalan kaki (yg arti nya
tempat pejalan kaki pun sulit sampe harus membabat pohon perindang yg 1-2 biji itu jumlah
nya)..sedih, dan ironis sekali melihat BALI skr, mreka tidak pernah merasakan menanam mangrove
ber lumpur2 dan dan menyangga nya satu persatu agar pohon itu hidup dan bs menjaga rawa dan
menahan abrasi pantai!,BALIKU- IRONIS!
7 Agustus 2013 06.30
Anonim mengatakan...
pak agung, tiang minta ijin tulisan pak agung tiang muat ring status FB tiang..dados ngih?
7 Agustus 2013 06.59
Anonim mengatakan...
seharusx tidak perlu ada reklamasi, kalo memang investor ingin membangun, knapa hanya harus dbali
selatan, daerah utara dan timur sma skali tidak mndapat prhatian. kalo membangun sarana wisata, dpulau nusa penida juga masih bisa dkembangkan
untuk pemerataan pembangunan. TOLAK REKLAMASI HARGA MATI! !!!!!
7 Agustus 2013 07.30
okA mengatakan...
Ibu saya yang tidak tamat sd saja mengerti mengenai dampak reklamasi itu akan sperti apa..dia
sangat sedih melihat pulau serangan setelah direklamasi..jangankan mereklamasi spt itu dan membabat pohon pohon mangrove.dia melihat saya
anaknya mencabut satu tanaman saja dia bs mengingatnya bertahun tahun ...tp kenapa seorang gubernur yg seharusnya lbh berpendidikan dan lbh paham tdk belajar dr org tua kita yg sangat dekat
dgn alam ..saya pikir ini sekedar project EGO MANUSIA..anda pikir setelah anda menjabat menjadi seorang gubernur anda bisa memakai kekuasaan sesuka hati mu...rKyT bali harus bersatu
7 Agustus 2013 16.23
Nyoman mengatakan...
Jepang yang teknologinya muktahir aja luluh lantah karena Tsunami, ini Fuckstika yang cuman tau bahasa aja bergaya tau cara menangkal Tsunami! wahai Tuan Tukang Caplok....jangan sekali2 Tuan menantang alam, karena kami yakin, ketika bencana
datang, Tuan dan para sengkuni dan juga ndoro investor akan lari tunggang langgang dengan jet dan
helikopter pribadi kalian, ketempat yang lebih enak dan aman..sambil menikmati uang haram!! ingat karma Tuan...tuan menanam kelak tuan lah yang
akan menerima akibatnya!
7 Agustus 2013 17.07
Anonim mengatakan...
benarjuga yang anda sampaikan kawan pemikiran yang sangat logis terhadapa dampak dari
reklamasi
7 Agustus 2013 17.38
Anonim mengatakan...
Tiang sangat setuju apa yang di tulis oleh Pak Agung. Suksema ulasannya sangat mendasar. Apakah boleh tiang shere tulisan ini ke FB.?
7 Agustus 2013 22.18
Agung Wardana mengatakan...
@All: Suksma respon-nya. Bagi yang berkenan untuk share tulisan ini, menggandakan, atau
copy-paste dsb, dipersilakan dengan senang hati.
Damai, Agung Wardana
7 Agustus 2013 23.02
Anonim mengatakan...
Kalimatnya dirangkai indah seperti rangkaian bunga. Pasti paper hasil riset S3nya juga sebagus niki. Daripada bapak menyampaikan sepenggal2
kulit-kulitnya saja, mending di halaman niki bapak tuliskan sedetail mungkin apa dampak negatifnya,
sesuai dengan latar belakang dan pengetahuan yang bapak miliki. Lumayan sebagai tambahan pengetahuan untuk masyarakat :) Kalau si Tuan yang bapak maksud membaca tulisan ini, tentu si
Tuan juga bisa memahami dengan jelas apa maksud bapak.
8 Agustus 2013 12.42
Anonim mengatakan...
sayang nggih? Pikiran bapak yang tertuang dalam tulisan-tulisan bapak sangat negatif dan komentar-komentar bapak terkesan sangat kasar dan arogan.
8 Agustus 2013 14.04
Anonim mengatakan...
Kalaupun komentar pada tulisan ini dirasa negatif, karena memang itulah dampak yang diakibatkan
oleh reklamasi ini. Memang kita kurang kasih sayang oleh Tuan kita. Ia hanya sayang kepada ndoro, sehingga saya tidak menyalahkan jika kita
sedikit terkesan kasar dan arogan
8 Agustus 2013 18.00
Agung Wardana mengatakan...
@All: Sekali lagi terima kasih atas responnya. Mohon maaf saya tidak bisa merespon pendapat
dan masukan bapak/ibu satu persatu karena anonim. Tidak masalah. Karena tidak ada yang
merespon atau membantah argumentasi-argumentasi saya, saya anggap bapak/ibu sepaham dengan saya. Mungkin hanya urusan pemilihan kata
yang saya gunakan terkesan kasar dan arogan. Saya pahami itu sebagai standar yang merupakan
hasil konstruksi sosial jadi maaf jika bagi sebagai masyarakat ini dianggap kasar dan arogan. Kedua,
saya tidak menuliskan dampak negatifnya karena memang saya merespon artikel dari tuan gubernur Bali. Ketiga, kalau urusan kasih sayang justru saya memiliki kasih sayang yang jauh lebih besar dari orang-orang sekitar saya sehingga kasih sayang itu juga membuat saya memberikan kasih sayang saya
pada tanah kelahiran saya Bali.
Damai, Agung Wardana
8 Agustus 2013 18.23
Putu Rustika mengatakan...
Moga Tuan Gubernur dibukakan mata dn hatinya membaca jeritan rakyatnya, salut utk tulisan ini,
andai saja ada banyak Agung Wardana di Bali mungkin perjuangan kita tidaklah berat
8 Agustus 2013 22.54
Anonim mengatakan...
Betul sekali Putu Rustika, perjuangan untuk mengajegkan Bali pasti lancar. Apalagi kalau Agung
Wardana bisa jadi Gubernur Bali. Bali akan tetap asri, perairan Bali akan lestari, udara juga bersih. Akan ada banyak peraturan khususnya untuk pelestarian alam..demi tanah Bali, demi ibu pertiwi.
Misalnya dilarang mengendarai mobil, sebab akan menyebabkan polusi. Penerbangan di stop, Bandara
akan mengotori atmosfir bumi. Bahan bakarnya di dapat dari mana? dengan cara apa? sudah pasti dengan cara merusak alam. Ya kan? Hal-hal seperti
ini akan merusak Bali. Jalan tol yang baru diresmikan juga akan dibongkar. Buat apa? Semua masyarakat harus jalan kaki, demi bumi lestari. Bali harus tetap ajeg, seperti jaman dulu. Bahkan kalau bisa mungkin agung Wardana akan memerintahkan
semua masyarakat untuk tidak memakai baju. Karena bahannya dari apa? dibuat dengan cara bagaimana kalau tidak dengan merusak alam? Oh
ya..satu lagi. Mungkin saat ini Agung Wardana sedang menulis hasil penelitian S3 nya di atas batu.
Kalau kertas, kan dibuat dari penebangan pohon. Bahan-bahannya mungkin saja hasil penebangan liar hutan di Kalimantan. Pake komputer? sepertinya
juga dosa..dari melihat postingannya di blog ini, rasanya Agung Wardana tidak akan menggunakannya. Komputer bahannya dari apa kalau juga bukan dari hasil merusak bumi? Kalau Agung wardana jadi gubernur, tentu semua sekolah
hanya mengajarkan anak-anak tentang menanam pohon. Demi bumi, demi Bali, demi ibu pertiwi. Semua nelayan dilarang menggunakan mesin di perahunya, hanya sampan yang boleh. Biar tidak
merusak ekosistem. Mungkin saat ini Agung Wardana memilih untuk tinggal di hutan Australia bersama kangguru, karena pembangunan gedung
juga mengakibatkan perusakan alam. Terutama kayu yang di tebang, kemudian bahan-bahan
pembangunannya juga dari alam semua.
Salam Bumi.
9 Agustus 2013 02.54
Anonim mengatakan...
Buat anda semua yg sudah ikut2an mengkanbinghitamkan seseorang itu berarti anda
juga termakan hasutan lawan politik seseorang. Jangan mau dihasut utk menyerang seseorang, mari
sama2 kita kritisi kebijakannya. Eksekutif dalam membuat suatu kebijakan pasti ada peran legislatif,
ibarat mengendarai mobil pemerintah injak gas, DPRD harus injak rem shg tdk terjadi tabrakan. Kita harus cerdas menanggapi masalah ini, bila perlu libatkan KPK utk mengetahui apakah beliau
mempunyai maksud negatif dibelakangnya atau memang murni akan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat level bawah yg bisanya kerja juga hanya sebagai pelayan investor "istilah ndoro calon S3 Aussy" beda dengan Ndoro yg bisa jadi GM dsana (tapi sama juga namanya pelayan investor,
bedanya gaji ndoro lebih gede)
Bali tidak bisa pasrah dan stagnan dgn kehendak alam, kita diberikan kekuatan akal adalah utk melakukan sesuatu, klo dgn teknologi kita bisa buat
pulau bali satu lagi kenapa tidak?? Jangan pernah takut dengan kemajuan, seperti yg
negara maju juga ya??) hehehe...di aussy ada reklamasi tdk ndoro?
Semua pilihan ada resikonya, yg memilih kita sendiri. Jika masyarakat merasa sesuatu kebijakan
akan berdampak negatif baginya maka sdh kewajibannya utk bersikap kritis namun tetaplah jangan anarkis, krn kalo kita perhatikan lebih jauh dan lebih dalam lagi, ada juga pihak2 yg saya nilai bermain dalam menentang kebijakan ini. Ujung2nya
mungkin saja yg besuara lantang menunggu dan berharap perhatian investor dgn bahasa org awam "woooiii...Lu orang buat gitu kaga sowan ke gua! klo
masih ga sowan gw tetep ribut neh!" wkwkkwkwkw....
So...be smart be carefull
9 Agustus 2013 08.09
Agung Wardana mengatakan...
Dear Putu Rustika: terima kasih apresiasinya. Saya hanya menuangkan kegelisahan saja, jika kegelisahan ini bersambut maka kita sedang
memiliki masalah bersama.
Dear para anomin selanjutnya, terima kasih juga masukannya. Hal ini sangat berarti bagi saya untuk
melihat sejauh mana publik mampu berdinamika secara kritis tentang hal-hal yang substansial. Tanpa
terpengaruh pada serangan yang bersifat personal, ada beberapa hal yang akan saya respon:
Pertama, kita belum sepakat apa yang dimaksud dengan kata 'kemajuan'. Saya tidak anti-kemajuan
(tentu dalam makna yang berbeda dengan 'kemajuan' yang anda-anda maksud) karena kemajuan yang anda maksud adalah pembangunan
yang bersifat fisik dan bermuara pada kondisi menang-kalah dari para aktor pembangunan. Akan selalu ada yang kalah dalam cara anda memandang
kemajuan, dan dalam pengalaman manusia yang kalah lebih sering pihak yang tidak punya kuasa (power) baik ekonomi dan politik. Sedangkan yang
menang akan selalu yang berada diatas dan berkuasa.
Kedua, hal ini tentu berkaitan dengan poin pertama tadi. Kritik ekonomi-politik saya terhadap kondisi Bali
tidaklah serta merta membawa saya pada posisi yang romantis (atau menginginkan Bali seperti dulu).
Bahwa posisi romantis itu tidak realistis dan kita tidak mungkin kembali ke masa lalu. Mungkin anda
terlalu termakan jargon salah satu media massa konservatif di Bali dengan jargon Ajeg bali sehingga
anda menilai orang yang kritis terhadap pembangunan adalah orang yang pro-Ajeg Bali. Sungguh pandangan yang naif dan sempit karena anda memandang dunia ini secara hitam putih. Jika
saya menolak warna putih, maka saya mendukung warna hitam. Anda lupa bahwa dari warna hitam ke
sangat kaya yang tidak cukup disimplifikasi dalam dikotomi 'hitam/putih'. Saya menolak dikotomi anda
dalam kasus ini. Saya mengambil posisi kritis terhadap pembangunan pulau koloni dan saya juga
skeptis terhadap pendekatan romantis dalam melawannya.
Ketiga, saya tidak disetir oleh pihak manapun juga dalam mengeluarkan tulisan ini. Seperti yang sudah
saya katakan sebelumnya, mau Pastika, Puspayoga, Satria Narada, Cok Rat atau elit lainnya yang jadi Gubernur saya tidak peduli dan saya akan
tetap mengambil posisi kritis terhadap kebijakan mereka jika saya nilai tidak adil.
Semoga bisa menjawab.
Damai,
Agung
10 Agustus 2013 22.14
Anonim mengatakan...
Maaf saya juga ingin menuliskan ekspresi dari kecemasan saya sebagai masyarakat Bali.Saya
sangat setuju apa yg dipaparkan oleh Agung Wardana sudah sangat jelas. Coba bisa di cek di
Seminyak, Canggu dan sekitarnya siapa yang menguasai rumah rumah mewah dan mengelimasi
sawah sawah disana? Mereka begitu mudahnya memberikan ijin untuk membangun sebuah istana yang hanya bisa dinikmati oleh orang orang berduit.
Pemerintah begitu mudah nya dibayar oleh orang orang yg Serakah. Maaf dalam bahasa inggris nya bisa saya katakan The goverment is being fueled n fueled by greed. Kondisi Bali sekarang adalah for Sale. Investor memanfaat kelemahan pemerintah kita yang serakah. Ini mungkin tidak disadari oleh pemerintah kita. Tapi mata Investor tdk tertutup mereka tau betapa haus nya kita terhadap Dolar.
Saya terkadang merasa frustrasi sebagai warga negara melihat betapa sedikitnya peran pemerintah
untuk membantu sekedar untuk melestarikan lingkungan dan memberikan sedikit penyuluhan tentang betapa penting nya lingkungan yang sehat
dan bersih. Betapa tipisnya ikut campur tangan pemerintah sekedar unt mencerdaskan anak bangsa. Kadang saya berpikir kalau pemerintah kita
tidak pernah menginginkan kita menjadi anak yang cerdas, karena akan mempersulit mereka untuk
mengatur dan menguasai kita.
Saya perhatikan belakangan ini betapa sedikit nya lahan hijau yang masih tersisa. Bali menjadi lautan hotel, villa, dan rumah mewah. Orang bali sendiri hanya akan bangga menjadi tukang kebun, security
atau pembersih kamar mandi.
Maaf ini hanya ekspresi kecemasan saya sebagai masyarakat Bali yang perlahan lahan akan punah. »·̶̵ ̌ ̭!̈ ̤ ̊ ̥ "S#ƙsᄨ$" ̲% !̈ ̤ ̊ ̥·̵ ̌ ̭·̵ ̌ ̭«̶ sudah mengijinkan
Posting Lama Poskan Komentar
Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Template by Isnaini Dot Com