Taki - Takining Sewaka Guna Widya
Budaya: Bala Cinta Si Landung Resensi film:
Cinta dan Tahta di Akhir Era Laporan Khusus:
Fakultas Peternakan Terjebak di Tiga Tempat
Opini: Grasi Essay Foto: Siapkah
Bukit Menyatukan Seluruh Mahasiswa?
Jejak:
Eksotisme Pura Gunung Kawi
Kampus Disentralisasi,
Harus Siap Migrasi
DAFTAR ISI
Pelindung: Rektor Universitas Udayana.
Penasihat: Pembantu Rektor III Universitas Udayana.
Ketua Unit/Pemimpin Umum: Jaya Kusuma.
Pemimpin Redaksi: Alit Purwaningsih.
Redaktur Pelaksana: Nila Perina Dewi, Dhar
-ma Yani, Resita Yuana, Indah Kusu-ma.
Editor: Ary Praiwi, Vera Aryanini, Diah Dhar -mapatni.
Tim Redaksi: Sui, Sam, Ari, Ulul, Maya, Riz
-ky, Dea, Sasmita, Dharma, Resita, Sueca, Eka Apsari, Jacklyn, Asykur.
Layouter: Gamaliel Sangga Buana.
Ilustrasi: Sangga, Adit. Diterbitkan oleh: Pers Mahasiswa Akademika
Universitas Udayana.
Izin terbit: SK Rektor Unud 499/SK/PT/07/OM/LA/83. Alamat Sekretariat:
Gedung Student Center Lantai 2, Jalan Dr. R. Goris, Denpasar-Bali. Email: pers_akademika@yahoo.com
Salam Persma!!!
Buletin Edisi II - April 2014 akhirnya terbit. Buletin kali ini membahas mengenai sentralisasi pembelajaran mahasiswa Strata 1 di kampus Bukit Jimbaran. Isu yang masih simpang siur itu, membuat kami tertarik un-tuk mengulas lebih dalam tentang kebenaran-nya. Awalnya, pertanyaan yang ada di pikiran kami adalah seperti apa upaya sentralisasi yang merupakan cita-cita rektor Unud? Mampukah Unud menyentralisasikan kegiatan pembelaja-ran mahasiswa di Kampus Bukit Jimbapembelaja-ran un-tuk mahasiswa S1? Bagaimana pro dan kontra yang ada di dalamnya? Semua jawaban dari pertanyaan di atas akan terjawab saat membaca buletin ini.
Di dalamnya juga mengulas Fakultas Pe-ternakan yang terjebak di tiga tempat. Disisipi pula berita ringan mengenai eksotisme Pura Gung Kawi dan sejarah Barong Landung.
Itulah sekilas isi buletin ini. Lebih leng-kapnya pembaca bisa simak dengan seksama. Kami sangat berharap buletin ini bisa menjadi bacaan alternatif untuk kawan-kawan maha-siswa. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran untuk kemajuan kita bersama.
Ada hal menarik dari rektor
Univer-sitas Udayana (Unud) yang baru menjabat
tahun 2013 lalu. Prof. Suastika
bercita-ci-ta menyentralisasi kegiabercita-ci-tan pembelajaran
Strata 1 (S1) di Kampus Bukit Jimbaran.
Saat blusukan pertama pasca terpilih pun,
Prof. Suastika semakin mantap
menden-gungkan rencana sentralisasi itu.
Alasan Prof. Suastika untuk
melaku-kan sentralisasi sangat jelas. Kondisi
ge-dung kampus terpecah-pecah dan kurang
nyaman untuk mahasiswa. Upaya
sen-tralisasi ini akan memfokuskan kegiatan
pembelajaran mahasiswa program S1 di
Kampus Bukit Jimbaran. Kampus di
Den-pasar pun akan difungsikan untuk
kegia-tan pembelajaran bagi program pasca
sar-jana (S2), vokasi (D3) dan ekstensi.
Kampus Denpasar memiliki tata
ru-ang yru-ang terkesan sesak dan amburadul.
Keadaan Kampus Bukit Jimbaran juga
memiliki tata ruang yang amburadul,
na-mun lahannya masih cukup luas dan ada
gedung-gedung yang tak terpakai.
Sehing-ga, ada baiknya pembelajaran di Kampus
Sudirman difokuskan di Kampus Bukit
Jimbaran saja. Kemudian pertanyaannya,
mampukah Prof. Suastika menggapai
ci-ta-cita untuk menyentralisasikan kegiatan
pembelajaran di Kampus Bukit Jimbaran?
Sebelum menebak jawaban dari
per-tanyaan di atas, ada banyak hal yang patut
diperhitungkan. Hal yang paling
mende-sak saat ini yaitu permasalahan lahan dan
dana. Universitas Udayana di Kampus
Bukit Jimbaran berdiri di atas lahan
selu-as 175 hektar, namun 25 hektarnya adalah
milik masyarakat setempat. Sebagian
be-sar masyarakat setempat menutup telinga
bahkan ngotot tak mau pindah. Padahal,
keberadaan lahan ini sangat
mempen-garuhi tata letak pembangunan gedung
sebagai penunjang sentralisasi di Kampus
Bukit Jimbaran. Selain itu, pengucuran
dana untuk melengkapi sarana dan
prasa-rana di Kampus Bukit Jimbaran tentu tak
semudah membalikkan telapak tangan.
Sebenarnya upaya dalam
sentralisa-si ini akan berdampak baik. Dengan tata
letak yang terpusat, urusan birokrasi dan
interaksi antar mahasiswa menjadi lancar.
Oleh karena itu, hendaknya urusan aset
lahan dan sarana prasarana harus segera
terselesaikan, walaupun akan memakan
waktu lama. Jika cita-cita rektor
terca-pai, maka tak ada lagi perbedaan fasilitas
Kampus Bukit Jimbaran dan Denpasar
LAPUT 1
S
atu-persatu daun telah berguguran meninggalkan tangkainya.Berser-akan dan menyatu dengan tanah.
Pemandangan inilah yang terlihat
sepan-jang kanan jalan menuju rektorat
universi-tas tertua di Bali ini. Luas namun gersang,
layaknya bukit kapur yang tak terurus
memang. Sebaliknya, sekelompok gedung
berdiri megah berdesakan di jantung kota
Denpasar, Jalan P.B Sudirman. Menjelang
siang, area ini berubah bagaikan show room.
Motor dan mobil segala merk berdesakan
memenuhi setiap ruang yang tadinya
lapa-ng. Belum lagi gedung yang bertetangga
dengan Rumah Sakit Sanglah. Sirine
am-bulans, keluarga tersesat dan macet
ada-lah menu biasa bagi mahasiswa.
Tahun ini, mahasiswa salah satu
program studi Fakultas Kedokteran akan
bermigrasi ke Kampus Bukit Jimbaran. Ya,
sentralisasi kegiatan pembelajaran S1 di
kampus Bukit Jimbaran memang bukan
hanya sekadar wacana lagi. Bahkan,
Rek-tor Universitas Udayana pun sudah
‘blu-sukan’ ke masing-masing fakultas demi
mensosialisasikan kebijakan ini. Rencana
‘pemerkosaan’ gedung yang sudah
diung-kapkan oleh Rektor dalam debat Pil-rek
setahun silam itu, secara bertahap akan
mulai direalisasikan akhir tahun 2014
nan-ti. Namun kemudian timbul sebuah
tan-da tanya besar, mampukah Prof. Suastika
mewujudkan sentralisasi ini?
Berani. Itulah kata yang tepat untuk
Kampus Disentralisasi, Mahasiswa Unud
Harus Siap Migrasi
Gersang, megah namun krodit dan macet. Kontras. Pemandangan klasik di siang terik
manakala menilik tiga titik kampus Universitas Udayana yakni Kampus Bukit Jimbaran,
menggambarkan sikap orang nomor satu
di Universitas Udayana ini. Ditemui di
sela-sela kesibukannya pada Jumat (21/3)
lalu, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.
PD-KEMD membenarkan adanya rencana
pemusatan kegiatan belajar di kampus
Bukit Jimbaran untuk program studi
Stra-ta 1 Stra-tahun ini. “Dilihat dari segi luas,
kam-pus di Denpasar dirasa sudah tidak bisa
dikembangkan lagi. Maka dari itu
sebaikn-ya kita kembangkan program studi S1 di
Bukit Jimbaran mengingat lahan yang
ma-sih luas,” ujar Suastika sambil tersenyum
ramah. Lebih lanjut mantan Dekan
Fakul-tas Kedokteran ini menyatakan bahwa
ke-beradaan Rumah Sakit Unud juga
menja-di salah satu alasan untuk memindahkan
Fakultas Kedokteran ke Bukit Jimbaran, di
samping pertambahan jumlah mahasiswa
tahun ajaran baru mendatang.
Kampus Universitas Udayana
terb-agi atas beberapa tempat, diantaranya
Kampus Bukit Jimbaran (Fakultas Teknik,
FMIPA, Fakultas Pertanian, Fakultas
Pe-ternakan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Fakultas Ekonomi), Kampus
Sudirman Denpasar (Fakultas
Kedokter-an, Fakultas Kedokteran HewKedokter-an, Fakultas
Pariwisata, Fakultas Ekonomi) dan
Kam-pus Pulau Nias Denpasar (Fakultas Sastra
dan Budaya serta Fakultas Hukum).
Den-gan tata kampus yang dianggap kurang
eisien, Suastika merencanakan sebuah
tata letak yang baru. Rencana sentralisasi
tersebut memfokuskan mahasiswa
pro-gram S1 dari semua fakultas melakukan
kegiatan pembelajaran di satu area seluas
150 hektar yakni Kampus Bukit Jimbaran.
Sementara itu, gedung-gedung kampus di
Denpasar akan difungsikan untuk proses
pembelajaran bagi program pasca sarjana
(S2), vokasi (D3) dan ekstensi.
“Sentral-isasi tahun ini akan dimulai dari fakultas
yang prodinya belum memiliki gedung
memadai seperti prodi Kedokteran Gigi
atau FISIP,” ujar Prof Suastika.
Dekan Fakultas Kedokteran, Prof.
Dr. dr. Putu Astawa, M.Kes, Sp.OT (K)
me-ngungkapkan sangat setuju dengan
ren-cana sentralisasi tersebut. “Kalau
ditan-ya setuju tidak setuju, maka saditan-ya sebagai
Dekan yang harus melakukan pendidikan
LAPUT 1
akademik dan profesi yang memerlukan
laboratorium serta rumah sakit sebagai
tempat belajar, maka saya setuju,”
ujarn-ya di sela-sela kesibukannujarn-ya pada Senin
(14/4) lalu. Astawa menambahkan,
pro-gram sentralisasi ini penting untuk
men-gatasi berbagai tantangan di masa depan
misalnya lahan sempit sehingga
pengem-bangan parkir, bangunan ruang
perkulia-han kurang dan lain-lain. Namun
menge-nai kapan harus dilaksanakan atau harus
sudah tersentralisasi di bukit masih belum
merupakan keputusan pasti.
Ditemui di tempat berbeda,
Pemban-tu Dekan I Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA), Drs. I Made
Satriya Wibawa, M.Si. pun
mengungkap-kan hal senada. “Saya setuju, karena amengungkap-kan
lebih bagus apabila semua S1 berkumpul,”
ujarnya saat ditemui di Fakultas MIPA
Se-lasa (15/4) lalu. Sayangnya banyak hal yang
di-of the record-kan oleh Satriya Wibawa
mengingat masih simpang siurnya
infor-masi.
Namun demikian, hal tak senada
disuarakan oleh mahasiswa. Ni Nyoman
Clara Listyadewi misalnya. Mahasiswi
semester 4 Program Studi Hubungan
In-ternasional ini menyatakan lebih baik
ge-dung di FISIP yang ada sekarang
diopti-malkan lagi, misalnya seperti renovasi
gedung agar lebih layak. Lebih lanjut Clara
mengungkapkan jika secara pribadi,
dir-inya merasa tidak ada salahnya jika
dip-indahkan ke bukit asalkan gedung yang
disiapkan untuk FISIP memang
benar-be-nar capable. “Jangan sampai kalau kami
sudah pindah malah dikasi gedung yang
mangkrak. Apalagi jarak untuk
menem-puh bukit jauh. Ketika mahasiswa belajar
ke sana dan melihat gedungnya tidak
me-madai malah akan malas untuk kuliah,”
ujar mahasiswi yang kini menjabat sebagai
Menteri Pendidikan BEM PM Unud
terse-but.
Hal serupa diungkapkan Made
Laras Fatmala Eni, mahasiswi semester 2
Program Studi Kedokteran Gigi. Dirinya
menginginkan perkuliahan tetap
diada-kan di Kampus Sudirman. “Gosipnya sih
semester selanjutnya bakal ditempatkan
di bukit, setuju nggaknya ya jelas, nggak
setuju,” ujar mahasiswi yang mengaku
kuliahnya nomaden, tapi akhir-akhir ini
selalu di skill laboratorium. Lebih lanjut
Laras menyangsikan apakah Bapak/Ibu
dosen bersedia mengajar di kampus Bukit
dan Sudirman. “Kalau dosen sudah
dipas-tikan mau mengajar ya ga papa. Tapi kalau
bilang mau ujung-ujungnya malah kuliah
bolong-bolong gara-gara dosennya ada
Kuliah terganggu,” beber Laras pada hari
Minggu (20/4) via Short Message Service
(SMS).
Ditanya mengenai sosialisasi tentang
sentralisasi di Fakultas Kedokteran, Dekan
Fakultas Kedokteran, Putu Astawa
men-gatakan memang wacana tersebut belum
disosialisasikan secara terstruktur namun
telah disampaikan secara implisit dalam
sambutan rektor. “Wacana mengenai
ke-sulitan-kesulitan pengembangan kampus
Sudirman itu disampaikan secara tidak
langsung melalui sambutan-sambutan
Rektor pada pertemuan maupun event di
Kampus Sudirman,” ujar Dekan berwajah
ramah itu saat ditemui di kantornya pada
Senin lalu (14/4) seusai makan siang.
Lebih lanjut Dekan yang
menggan-tikan Prof Suastika sejak tahun 2013
terse-but menyatakan bahwa dirinya
menang-gapi positif rencana Rektor, terlebih alasan
Rektor dalam pengembangan Kampus
Sudirman ke depannya. “Khusus untuk
FK karena pengembangan Rumah Sakit
Perguruan Tinggi ada di Kampus Bukit,
bukan tidak mungkin FK akan segera
ke-sana kalau semua sarana prasarana sudah
dapat direalisasikan.” ungkapnya.
Permasalahan Klasik Vs Rupiah
Mewujudkan sentralisasi memang
tidak semudah membalikkan telapak
tan-gan. Banyak hal yang perlu dibenahi
ber-kaitan dengan sarana prasarana, lalu
pem-benahan tersebut memerlukan waktu dan
biaya yang ekstra. “Ini memerlukan waktu
yang lama mulai dari penataan aset,
mem-buat masterplan baru kemudian
memba-ngun gedung. Tentu prodi yang pindah
dari Denpasar menuju Jimbaran
membu-tuhkan gedung untuk sarana kegiatan
be-lajar-mengajar,” ujar rektor yang hobi
blu-sukan ke fakultas-fakultas ini.
Universitas Udayana di Bukit
Jimba-ran berdiri di atas lahan seluas 175 hektar,
dimana 25 hektarnya adalah milik warga
setempat. Sayangnya, 25 hektar tanah
war-ga tersebut berada di antara lahan
Univer-sitas Udayana sehingga menyulitkan
pem-bangunan dan menghambat sentralisasi
kampus.
“Dari dulu sebelum saya menjadi
rektor tentu upaya untuk menukar aset
milik beberapa masyarakat yang berada
di tengah dengan yang berada
pinggi-ran tanah Unud sudah dilakukan, namun
masyarakat masih ngotot tanahnya tidak
bisa dipindah,” ujar rektor yang baru
se-tahun menjabat itu. Selanjutnya Suastika
menyatakan tidak akan menggunakan
jal-ur hukum terkait masalah lahan,
melaink-an dengmelaink-an cara musyawarah dengmelaink-an
tidak menghiraukan apabila ada
sosialisa-si masalah lahan ini,” ujar Suastika seraya
menggelengkan kepala.
Ditanya mengenai keefektifan
sen-tralisasi terkait dengan pembenahan tata
letak di Universitas Udayana, Dekan
Fakultas Kedokteran pun angkat bicara.
“Kampus Sudirman memang sudah
san-gat sulit dikembangkan baik untuk parkir
maupun bangunan lain. Sebagai pengelola
pendidikan, sepanjang proses belajar
men-gajar berjalan dengan baik apalagi
melebi-hi dari Kampus Sudirman, ini sudah
efek-tif,” ungkapnya. Meskipun selalu berpikir
positif terhadap rencana tersebut, Astawa
menambahkan agar program studi
Kedok-teran Gigi, Rumah Sakit Gigi dan mulut
tidak dialokasikan di tempat yang bukan
perencanaan semula agar tidak bongkar
pasang dan pindah sana sini setelah di
Kampus Bukit mengingat hal ini
memer-lukan biaya tidak sedikit.
Berbicara masalah dana, Rektor pun
mengaku sentralisasi ini tentunya
mem-butuhkan biaya yang tidak sedikit. “Kalau
menunggu dana dari Dikti tentu
keluarn-ya tidak karuan, sehingga kami
mengu-sahakan upaya lain untuk mendapatkan
dana baik dari pembayaran UKT dan
lain-nya,” Ditemui di tempat berbeda, Dekan
Fakultas Kedokteran menyatakan bahwa
tidak ada itu pungutan ke Fakultas
Kedok-teran atau ke mahasiswa. “Yang ada
ada-lah FK bersama-sama Unud melengkapi
sarana prasarana pendidikan Kedokteran
termasuk operasional Rumah Sakit
Pergu-ruan Tinggi Negeri,” ungkap Astawa.
Lebih lanjut kesulitan terbesarnya
adalah mengubah mindset seluruh
civi-tas akademika untuk mempunyai niat
dan mau ke tempat yang lebih baik
yak-ni Kampus Bukit. Tidak menutup
kemu-ngkinan ada Clara dan Laras Laina yang
kompak belum ingin pindah ke bukit.
Na-mun Dekan Fakultas Kedokteran itu
opti-mis mahasiswa akan siap pindah kuliah ke
Bukit. “Saya kira kalau fasilitas yang telah
disediakan itu memadai dan sentralisasi
merupakan kebijakan ke arah yang lebih
baik pasti mereka manut-manut,”
Asta-wa berharap hendaknya sarana prasarana
dalam proses belajar mengajar tidak
leb-ih jelek dari Kampus Sudirman. Rektor
Universitas Udayana pun berharap
semo-ga program ini bisa direalisasikan dalam
beberapa tahun ke depan secara bertahap
setelah sarana dan infrastruktur bisa
dilengkapi. “Sentralisasi tentu akan
mem-permudah penyampaian informasi
seh-ingga komunikasi bisa berjalan lebih
lan-car,” pungkas Suastika sambil tersenyum
Pr o- Kon t r a Sen t r a l i sa si :
I y a a t a u Ti da k?
“Saya nyaman berada di Kampus Sudirman. Lokasinya juga dekat
den-gan rumah.”Begitulah alasan salah seorang mahasiswa Unud yang
me-nolak rencana sentralisasi pembelajaran program S1 di kampus Bukit
Jimbaran Unud.
R
ektor Universitas Udayana, Prof. Dr. Ir Ketut Swastika, Sp.Pd-KEMD berencana
menyentral-isasikan pembelajaran program S-1 Unud
di kampus Bukit Jimbaran. Menurut
Swas-tika Kampus Unud di Denpasar yang
ter-diri dari dua wilayah, yakni di Sudirman
dan Nias dilihat dari segi luas sudah tidak
efektif lagi. Sementara Kampus Unud di
Bukit Jimbaran sebaliknya, dari segi lahan
masih dapat dikembangkan.
”Kalau kita melihat dari segi luas
kampus, rasanya di Denpasar sudah tidak
bisa dikembangkan lagi dan rencana itu
saya kira sangat logis,”terang Rektor Unud
yang juga merupakan mantan Dekan FK
Unud ketika ditemui di Gedung Rektorat
Bukit Jimbaran.
Menurut Swastika, sebenarnya
ren-cana sentralisasi kegiatan pembelajaran di
Bukit Jimbaran telah diwacanakan sejak
masa kepemimpinan rektor sebelumnya.
Namun karena suatu proses yang panjang,
wacana ini belum dapat direalisasikan.
Se-hingga dalam kepemimpinannya Swastika
berniat fokus pada rencana ini, mengingat
Unud akan mengembangkan beberapa
prodi baru.
Namun, rencana ini sepertinya tidak
mendapat sambutan positif oleh seluruh
civitas akademika Unud, terutama
maha-siswanya. Selalu ada yang berada di pihak
oposisi atau memilih berada di grey area,
alias ragu-ragu. Hal ini terbukti dengan
hasil polling yang dilakukan Persma
Aka-demika kepada 100 responden di 13
LAPUT 2
menyetujui sentralisasi pembelajaran di
Kampus Bukit Jimbaran, 37 persennya tak
merestui sentralisasi ini, dan sisanya
se-banyak 9 persen masih ragu-ragu.
Dari hasil kuesioner, sebagian besar
penolakan berasal dari mahasiswa Unud
yang berkuliah di Denpasar.
Sementa-ra “anak bukit” (mahasiswa yang kuliah
di Kampus Bukit Jimbaran) setuju-setuju
saja dengan rencana sentralisasi ini.
Mas-ing-masingnya pun punya pandangan,
serta alasan tersendiri, terhadap
ke-pro-an-nya dan ke-kontra-ke-pro-an-nya.
Salah satunya dari mahasiswa
Fakul-tas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universi-tas Udayana, Yunda Ariesta(19). Terlepas
dari statusnya sebagai mahasiswa yang
berkuliah di kampus Denpasar, Yunda,
panggilan akrab gadis ini, setuju dengan
adanya sentralisasi. “Aku setuju, karena
hal itu akan memudahkan jalannya
bi-rokrasi di Unud”, ungkapnya.
Akan tetapi, apabila gadis berambut
panjang tersebut ikut terkena imbas
kebi-jakan tersebut, Yunda pribadi mengaku
ti-dak setuju terhadap kebijakan sentralisasi.
Ia beralasan, kalau dirinya terkena imbas,
dalam artian beberapa mendatang ia harus
pindah ke bukit, tentu ia harus
beradap-tasi lagi. “Kita kan perlu menyesuaikan
dengan lingkungan sekitar lagi,
menurut-ku itu akan menggangu konsentrasimenurut-ku
se-bagai mahasiswa,” akunya.
Yunda juga sedikit berkomentar
mengenai kebanyakan “anak kamsud”
yang tidak pro terhadap sentralisasi ini.
Menurutnya, di mindset “anak kamsud”,
kampus bukit beserta lingkungannya
ada-lah tempat yang kurang cozy. “Di pikiran
orang-orang, selain letaknya yang jauh,
kampus Bukit adalah ‘negeri’ yang agak
terisolir dari jantung kota. Belum lagi,
banyak isu-isu angker yang bertebaran di
daerah bukit jimbaran,” kata Yunda.
Ditanya mengenai pendapatnya
ten-tang kemungkinan program ini berhasil,
Yunda berkata bahwa mungkin rencana
tersebut bisa berhasil, namun dalam
jang-ka waktu yang cukup lama. “Aku yakin
sih, tapi mungkin akan berlangsung alot,
kira-kira 10 tahunan lah. Soalnya, kan
lumayan banyak fakultas yang akan
dipin-dahkan,” tegas mahasiswa yang duduk di
semester 2 ini.
Program sentralisasi ini sangat
dis-ambut meriah oleh mahasiswa fakultas
pe-ternakan. Hal tersebut diakui oleh Kadek
Dwi Febri Dyantari, “kami mahasiswa
pe-ternakan memang dari dulu ingin kuliah
satu sentral. Sekarang kita kan pisah-pisah
ada yang di bukit ada yang di Denpasar”,
ungkap Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Peternakan ini.
Febri yang sekarang duduk di
se-mester enam ini juga memaparkan bahwa
sebenarnya mahasiswa peternakan
san-gat setuju sekali dengan kebijakan
rek-tor untuk membangun kembali kampus
bukit. “Selain itu, kita sebagai mahasiswa
memang wajib untuk membuat Kampus
Bukit menjadi aktif,” terangnya.
Sementara itu, pendapat yang agak
berbeda datang dari seorang mahasiswi
Fakultas Teknik, Citra Arum Sari(18).
Ci-tra, sapaan akrabnya, mengakui bahwa ia
sangat setuju atas sentralisasi ini.
Menurut-nya, apabila semua mahasiswa S1
ngam-pus di Bukit Jimbaran, hal itu akan terasa
adil. Sebab, ia merasa fasilitas di
Kam-pus Sudirman lebih terawat ketimbang di
Kampus Bukit Jimbaran. “Ya menurutku,
biar adil lah, dalam artian semua
maha-siswa merasakan kehidupan di Bukit,”
tutur gadis yang duduk di semester 2 ini.
PROFIL
Wanita pun Mampu
Mengubah Dunia
K
esan pertama yang terpan-car dari Made Nian Anggaraadalah cantik. Pantas ia berhasil
menyandang predikat Duta Endek
Denpasar 2013. Rupanya tak
ha-nya itu, mahasiswi kelahiran 11
Mei 1993 juga memiliki segudang
prestasi dari berbagai bidang.
Nian, begitulah sapaan
akrabnya. Sebagai duta, Nian tak
hanya wajib mempromosikan kain
endek kepada masyarakat.
Bag-inya, Duta Endek harus mampu
memotivasi dan menginspirasi
orang lain untuk melakukan hal
positif. Bukan berarti harus
men-jaga imege atau ‘on’ tiap saat.
Pu-tri dari pasangan Drs. I Nyoman
Aryana dan Putu Sugiasih, S.Pd.
ini selalu berusaha menjadi diri
sendiri dan lebih baik lagi.
“Duta yang mencontohkan
sesuatu atau menjadi role model
bagi orang lain,” ujar perempuan
yang bercita-cita menjadi direktur
Alumni SMA Negeri 1 Denpasar
ini bercerita tentang suka-dukanya
men-jadi seorang duta. Dengan menmen-jadi duta,
ia mempunyai kesempatan menambah
wawasan dan relasi, menginspirasi dan
memotivasi orang-orang di sekitarnya,
serta membantu upaya perubahan positif.
Di samping itu, ia juga harus siap
menja-di sorotan publik, harus siap menja-diwawancara
kapan dan dimana saja, serta tanggung
jawab kepada diri sendiri dan pemerintah
yang mesti dipenuhi. Untungnya, Nian
selalu mendapat dukungan dari keluarga
dan sahabat. Dukungan inilah yang
mem-buatnya bersemangat mengikuti berbagai
lomba. Hal ini semata-mata demi masa
de-pan yang baik, bukan untuk terkenal.
Putri bungsu dari 2 bersaudara ini
mempunyai segudang prestasi akademik
dan non akademik. Prestasi ini
diraihn-ya sejak SMA sampai kuliah,
diantaran-ya Juara 1 Lomba Design Kreasi Wastra
(Kategori Putri), Juara Umum 2 Olimpiade
Ilmu Sosial FISIP UI 2010 (Juara 1 dalam
kategori Analisis Masalah dan Circle of
Beat), Mahasiswa Berprestasi FKIK Unwar
2014 dan lain lain.
Nian beranggapan bahwa
menye-laraskan kegiatan akademis/non akademis
dengan tugas-tugasnya sebagai seorang
duta merupakan hal yang krusial.
Kunci-nya adalah mencintai kewajiban, time
management dengan membiasakan
mem-buat jadwal kegiatan dan menentukan
skala prioritas. “Yakin, deh, kalau kamu
udah cinta, kegiatan yang banyak itu pasti
terselesaikan dengan baik,” ucap Nian.
Kesetaraan gender dan emansipasi
wanita bukan dilihat dari jabatan, namun
bagaimana wanita mampu
menempat-kan dirinya dan bersikap teladan.
“Wani-ta yang berani maju dan siap mengambil
resiko untuk menjadi lebih baik, dialah
Kartini masa kini!” tegas mahasiswi
Ke-dokteran Umum Universitas Warmadewa
ini.
Nian menganalogikan era
global-isasi seperti pisau bermata dua yang
ber-dampak baik dan buruk. Oleh karena itu,
pemuda harus meningkatkan wawasan
agar mampu bersaing di dunia modern
yang global, apalagi dengan pemberlakuan
ASEAN Free Trade Area tahun 2015.
Seka-rang wanita tidak hanya menjadi ‘hiasan
rumah’ seperti zaman R.A Kartini remaja,
melainkan wanita yang mampu
berpresta-si dan menginspiraberpresta-si.
“Kalau bukan kita sebagai seorang
wanita yang sadar terhadap hak dan
ke-wajiban sendiri, siapa lagi? A woman can
ESAI FOTO
Tak terasa Universitas Udayana (Unud)
memasuki usia ke-53 tahun. Kondisi
perkuliahan terbagi menjadi dua, daerah
Bukit Jimbaran dan Denpasar. Isu
pen-yatuan tempat perkuliahan di Bukit pun
diusung agar birokrasi dapat terpusat di
Kampus Bukit Jimbaran. Namun, saat ini
sebagian tanah atas nama Unud digunakan
sebagai tempat tinggal, sekolah, bahkan
tempat untuk berjualan. Melihat kondisi
Bukit yang masih “berantakan” tersebut,
apakah layak untuk disatukan?
Siapkah BUKIT Menyatukan Seluruh Mahasiswa?
1
Dari pojok kiri atas, searah jarum jam:
1. Rumah Sakit Universitas Udayana tampak tak terawat sehingga tulisannya pun tak terbaca. 2. Gedung pencucian mobil yang berdiri di atas tanah Unud.
3. Hotel baru yang masih dalam tahap pemban-gunan di atas tanah Unud.
4. Stan tanaman yang berada tepat pada papan “Tanah Milik Universitas Udayana”.
Oleh: Rizky Anugerah
2
R
atusan dayang bangun dan langsung mengenakan pakaianserta saling membantu berias
an-tar dayang di Istana Terlarang. Adegan
selanjutnya muncul ratusan langkah kaki
kuda menuju suatu tempat di sebuah
pe-gunungan entah dimana. Kembali ke
ista-na, seorang wanita sedang berias dengan
sedikit terengah seperti sedang sakit.
Wan-ita itu adalah Sang Ratu, yang kemudian
kedatangan Sang Pangeran Bungsu yakni
Pangeran Yu.
Tak lama kemudian rombongan
Sang Pangeran dan Ratu pergi ke
kedia-man pangeran tertua, namun sempat
ber-henti saat Sang Ratu hampir terjatuh
kare-na merasakan pusing. Hendak ditolong,
sang Ratu menghentikah dayangnya.
Sesa-mpai di kamar pengeran tertua, Sang Ratu
masuk dan sedikit merayu pangeran,
yak-ni Pangeran Wan. Pangeran Wan
berusa-ha menolak, karena takut ketahuan. Sang
Pangeran berkelit, Sang Ratu adalah
ibun-ya dan hal ini tak pantas. Sang Ratu tegas
membela diri bahwa ia adalah bukan ibu
kandung sang pangeran, sehingga sang
pangeran tak usah takut seperti itu lagi,
namun yang terjadi mereka berdua
sema-kin berselisih paham dan diakhiri dengan
keluarnya sang ratu dari kamar.
Perselisihan selesai dan rombongan
hendak menyambut Kaisar Ping namun
ada kabar bahwa penyambutan
dibatal-kan. Sang Kaisar rupanya sedang bertemu
dengan pangeran kedua, yakni Pangeran
Jai. Sang Kaisar berkata kepada Jai, “Kau
hanya boleh mendapatkan apa yang aku
berikan.” Selanjutnya kaisar mengajak
pu-tra keduanya itu kembali ke istana.
Sesa-mpainya di istana, tabib kaisar
memberi-tahukan bahwa perintah kaisar mengenai
ramuan Sang Ratu sudah dijalankan.
Kai-Judul Film : Curse of The Goldern Flower Sutradara : Zhang Yimou
Aktor Utama : Chow Yun Pat Jay Chou Liu Ye Aktris Utama : Gong Li
Li Man
Curse of The Golden Flower,
Cinta dan Tahta di Akhir Era
RESENSI FILM
sar kemudian bertemu dengan ratu dan
semua putranya serta mengajak mereka
untuk memperlihatkan keharmonisan
pada festival bunga krisan nanti. Namun,
adegan keluarga tersebut tak terlihat
lay-aknya keluarga yang harmonis.
Sebenarnya, timbulnya
ketidakhar-monisan keluarga kekaisaran itu karena
Sang Ratu menjalin hubungan dengan
pangeran Wan dan Sang Kaisar
menge-tahuinya, tidak hanya itu timbul konlik
antara pejabat istana kepercayaan Kaisar
dengan Kaisar sendiri yakni tabib istana
yang memberikan ramuan untuk
mem-buat Sang Ratu semakin lemah.
Perselingkuhan Sang Ratu dengan
Pangeran Wan juga menimbulkan
perse-lingkuhan baru antara sang pangeran
den-gan anak tabib istana, dimana itu dilarang
dalam aturan istana. Jati diri ibu kandung
Pangeran Wan dan siapa sesungguhnya
Kaisar Ping sebelum menjadi Kaisar juga
akan ditampilkan. Terkahir, puncak
keti-dakharmonisan keluarga kekaisaran Tang
ini akan disuguhkan adegan hebat saat
se-belum Festival Bunga Krisan.
Film yang disutradarai Zhang Yimou
ini begitu mempesonakan
penontonn-ya dengan banpenontonn-yak memperlihatkan
kea-gungan dan kemasyhuran Dinasti Tang.
Keindahan istana, pakaian keluarga
kera-jaan, pasukan elit dan percakapan politik
yang penuh intrik membawa penonton ke
suasana istana Zaman Dinasti Tang yang
identik dengan pernis emasnya dan
ista-na yang megah dan luas, bahkan ada abdi
khusus yang bertugas untuk
memberita-hukan jam karena luasnya istana sehingga
matahari tak bisa masuk jauh ke dalam.
Alur cerita ilm ini sangat kuat. Hal
ini membuat penonton susah menebak
akhir dari ilm tersebut. Kualitas akting
pemainnya pun tak diragukan lagi;
pen-gendalian emosi dan penaikan nada suara
secara tiba-tiba begitu menyiratkan
pe-mainnya bisa mendalami karakter seorang
dari keluarga kerajaan.
Film yang rilis tahun 2007 dengan
durasi 114 menit ini terasa
membosank-an dengmembosank-an kekolosalmembosank-annya ymembosank-ang terlalu
terlihat, tetapi semua itu akan tertutupi
dengan kelebihan dimana cerita berpusat
pada kisah cinta Ratu dengan Pangeran
Wan dan perebutan tahta serta ramuan
Sang tabib akan membuat penonton
ter-cengang. Namun, ada sedikit terasa
meng-gantung pada akhir ceritanya. Penonton
menyaksikan adegan yang membuat
pe-nasaran bagaimana kelanjutan
ceritan-ya. Hal ini cukup megundang tanya dan
mungkin membuat penonon berkeinginan
RESENSI BUKU
Sayatan Nada-nada Kehidupan
Identitas Buku
Judul Buku : “Kisah Lainnya : Catatan 2010-2012” Pengarang : Ariel dkk.
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan Musica Studio’s Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2012
Cetakan : Pertama, Agustus 2012; Kedua, Agustus 2012; Ketiga, September 2012
“J
adi, hidup telah memilih,menurunkan aku ke bumi”.
Be-gitulah kalimat pembuka dalam
buku ini, sederhana namun penuh
mak-na. “Yang Terucap Akan Lenyap, Yang
Tercatat Akan Teringat”. Kata-kata bijak
inilah yang menginspirasi Ariel, Uki,
Luk-man, Reza, dan David untuk mencatat
se-gala kejadian yang terjadi selama tahun
2010-2012.
Semua itu berawal pada suatu
malam di bulan Mei 2010, kehidupan
Ariel berubah seketika menjadi seorang
tahanan. Ariel menapaki hidupnya yang
baru dalam lingkungan yang asing dan
meninggalkan sejenak personil Peterpan
untuk kurun waktu yang tidak sebentar,
Ia membuat ukiran pada piano tua,
mem-buat kaligrai pada gypsum, dan mencoba
take vocal lagu yang Ia ciptakan sendiri
yaitu “Dara” dalam sebuah almari tanpa
ventilasi yang dibantu rekan Bimkernya.
Begitu kemelut kisah Ariel dan
Peter-pan, membawa banyak pro dan kontra di
masyarakat. Masalah internal juga terjadi,
sehingga membuat Peterpan memperkuat
formasinya dengan David sebagai pianis.
Satu persatu kisah mereka dibahas dalam
buku ini. Bagaimana perjuangan musik
mereka ketika ditentang oleh keluarga dan
lingkungan. Lalu pencapaian-pencapaian
yang akhirnya didapatkan oleh mereka,
penghargaan dari dalam dan luar negeri
untuk musikalitas mereka.
Buku ‘Kisah Lainnya’ ini
merupa-kan biograi dari Ariel dkk serta Peterpan
sendiri. Penyajiannya menyenangkan dan
bahasa yang digunakan juga ringan. Buku
ini memiliki alur maju mundur yang
mem-buat pembaca harus lebih jeli dan
konsen-trasi dalam menanggapi setiap kisah yang
dipaparkan secara tidak runtut tersebut.
Jika tidak, pembaca mungkin akan merasa
sedikit bingung dengan alur yang ada.
Namun demikian, judul yang
diberi-kan pada tiap kisah yang ditulisnya
mem-buat setiap pembaca penasaran dan ingin
segera mengetahuinya. Seperti pada judul
berikut: “Ketika Bintang Terang Menyinari
Peterpan” dan “Yang Lepas dan Yang
Ter-hempas”. Keindahan kata yang gunakan
dalam buku ini membuat kita semakin
ter-hanyut dalam kisahnya, serta ada banyak
foto dan gambar yang ditampilkan
seh-ingga membuat pembaca menikmati dan
tidak bosan-bosannya membalik lembar
demi lembar kisah yang tertulis
didalam-nya.
Buku ‘Kisah Lainnya’ memiliki sampul
gradasi warna merah gelap dan dan
mer-ah terang dengan simbol bulu warna
pu-tih menghadap kanan atas, ini
merupa-kan simbol dari band yang ariel gawangi
bersama dengan kawan-kawannya.
Sam-pul ini terlihat sederhana namun elegan,
memberikan kesan misterius dan
menun-tun setiap mata untuk mengetahui lebih
jauh apa yang tersimpan dibaliknya.
Banyak nilai positif yang dapat kita
ambil, Keberanian menghadapi persoalan
dengan kepala tetap tegak. Itulah
kesat-uan dari banyak kisah yang satu persatu
di uraikan oleh kelima personil tersebut.
Oleh karena itu, buku ini dapat dibaca
oleh semua orang, segala usia dan
kalan-gan. Sangat tepat untuk mereka yang
in-gin tahu lebih dalam kisah Ariel dkk serta
LAPORAN KHUSUS
“Kuliah di Hardy’s itu
tidak efektif, karena di sana bukan
tempat kuliah. Di sana adalah tempat
berjualan. Saat belajar pukul 10.00 WITA,
sudah terdengar suara pramuniaga yang menawarkan
discount-discount,” ungkap Kadek Dwi Pebri Dyantari
(Dyan) Ketua BEM Fakultas Peternakan.
J
arum jam menunjukkan pukul 08.30 WITA. Seluruh mahasiswa programS1 regular di Universitas Udayana
bergegas memasuki kelasnya masing –
masing. Tidak ketinggalan pula
maha-siswa Fakultas Peternakan (Fapet) yang
pagi itu berkuliah di Kampus Sesetan.
Te-patnya satu gedung dengan mall Hardy’s
Ramayana Sesetan.
Mungkin petugas penjaga parkir di
mall tersebut harus bekerja lebih ekstra
untuk menghafalkan wajah – wajah
ma-hasiswa yang berkuliah di sana. Pasalnya
setiap mahasiswa yang memasuki areal
tersebut telah terbebas dari biaya parkir.
Namun sayang areal tersebut kurang
aman. “Parkir mahasiswa dan pengunjung
sama, tapi mahasiswa gak bayar, banyak
yang kehilangan helm pula,” celetuk Dyan.
Awalnya ruang kuliah yang berada satu
bangunan dengan Hardy’s Ramayana
tersebut merupakan Pusat Pengembangan
Agribisnis dan Kewirausahaan (PPAK).
Pendirian gedung PPAK bertujuan untuk
melatih mahasiswa Fapet dan orang luar
Fapet yang mau belajar berwirausaha.
“Ada lima ruangan ditambah tiga ruangan
baru, terdiri dari kelas dan lab ekonomi
dan penyuluhan kewirausaan,” ungkap
Ir. Tjok Istri Putri, M.P, Pembantu Dekan
II Fapet Universitas Udayana. Ketika
dis-inggung masalah kepemilikan lahan, lebih
Fakultas Peternakan
Terjebak di Tiga Tempat
lanjut Tjok Istri memaparkan bahwa
lah-an tersebut adalah milik Udaylah-ana ylah-ang
disewakan dan kemudian didirikan
se-buah mall. Namun dalam perjanjian sewa
lahan tersebut dinyatakan bahwa Fapet
akan dibuatkan sebuah gedung sebagai
pusat pengembangan Agribisnis.
“Karena tren mahasiswa kuliah di
Fapet semakin sedikit, makanya kita
pa-kai ruang pengembangan agribisnis
un-tuk berkuliah,” tambah Tjok Istri. Lantas
gedung yang dimiliki oleh Fapet yang
berada di Bukit dilirik oleh Program
Stu-di Farmasi Fakultas Mipa. Ketika Fapet
yang mulai jarang memfungsikan gedung
perkuliahan di Bukit, maka gedung
terse-but dipinjam secara lisan oleh Farmasi atas
keputusan dari rektor.
Kini mahasiswa Fapet sudah
berjum-lah 86 orang, lebih banyak dari
tahun-ta-hun sebelumnya. Rencana – rencana baru
pun mulai disusun oleh Dekan Fapet dan
jajarannya demi membenahi kampus.
“Ta-hun lalu sudah saya usulkan kepada Pak
Bakta (Rektor yang menjabat sebelumnya)
agar gedung AI diperbaiki dikarenakan
semua mahasiswa Fapet akan difokuskan
di Bukit,” tegas Tjok Istri.
Fapet memiliki tiga tempat
perkuli-ahan saat ini, diantaranya kampus Bukit
Jimbaran yang harus rela dibagi dengan
Program Studi Farmasi, Fakultas Mipa.
Kampus Sesetan yang memiliki
konstruk-si bangunan satu gedung dengan Mall dan
Kampus Sudirman yang merupakan Lab
Bersama dan dinaungi oleh empat
Fakul-tas. Keseluruhan proses belajar mengajar
mahasiswa Fapet berlangsung pada tiga
tempat tersebut. Untuk mahasiswa
semes-ter satu dan dua berkuliah di kampus Bukit,
Jimbaran. “Semester satu dan dua kuliah di
Bukit, ruang sidang di lantai tiga dekanat
dan ini merupakan kesalahan kami yang
menjadikan ruang sidang sebagai tempat
kuliah,” tegas Tjok Istri. Sementara
semes-ter tiga dan sesemes-terusnya berkuliah di
kam-pus Sesetan dan praktikum dilaksanakan
di Kampus Sudirman.
Menanggapi hal tersebut Rektor
Universitas Udayana menyatakan sudah
merencanakan penataan ulang tentang
keberadaan Fapet dan Program Studi
Far-masi. “Dirancang lagi, ditata lagi, ditata
ulang, apakah gedungnya akan ditambah
lagi untuk Farmasi, nanti akan ditinjau lagi
kebutuhannya nanti bagaimana, karena
dulu gedung tersebut tidak dipakai oleh
Fapet dan untuk tanah yang di Hardy’s
nanti jika sudah selesai, jangan
dikontrak-kan lagi,” ungkap Prof.Dr.dr Ketut
Suasti-ka SpPD KEMD saat diwawancarai disela
– sela kesibukannya. (Dharma, Sas, Jack)
JEJAK
Eksotisme Pura Gunung Kawi, Genah Penglukatan lan Wisata
Keindahan Pura Gunung Kawi terpancar ketika melihat pekarangan yang luas dan asri,
lengkap dengan taman yang tertata rapi. Gerak ikan dalam kolam yang jernih menambah
kesan keseimbangan alam di dalamnya.
G
emercik air kolam dan sejuknya udara menyambut wisatawanyang datang ketika pertama
sam-pai di Pura Gunung Kawi yang terletak di
Desa Sebatu, Tegallalang, Gianyar, Bali.
Kawasan pura dengan taman yang tertata
rapi, kolam ikan yang luas dan jernih yang
dipenuhi ratusan ikan menjadi
pemandan-gan indah yang tertangkap mata.
Berdasarkan cerita yang
berkem-bang di desa ini, konon pemerintahan Raja
Mayadenawa yang lalim tidak mampu
menyejahterakan masyarakatnya.
Kemu-dian, Dewa Wisnu memberikan sumber
air kehidupan dalam wujud air suci
kepa-da masyarakat setempat. Masyarakat
men-gungkapkan rasa syukurnya dengan
mem-bangun sebuah pura tempat pemujaan
Dewa Wisnu yang dikenal dengan nama
Pura Gunung Kawi. Pura tersebut
dileng-kapi dengan berbagai macam pancuran
air suci. Umat Hindu umumnya datang ke
pura ini untuk melakukan
persembahyan-gan dan pembersihan diri (penglukatan).
Masyarakat setempat percaya bahwa air
suci tersebut mampu memberikan
kecan-tikan alami. “Banyak pemain drama dan
penari kesini mencari kecantikan”, ujar
Genep (48), salah seorang penjaga pura.
Selain umat Hindu, pura ini juga
menarik para wisatawan, baik domestik
maupun wisatawan mancanegara. “This
place is very beautiful. We still can feel the historical value. It’s amazing how Balinese people are still able to maintain the beau-ty of this place until now”, papar Kevin, wisatawan asal Kanada yang datang
ber-sama istrinya, Marissa. Wisatawan juga
dapat merasakan sejuknya air suci di
Biaya Rp. 10.000 bukanlah biaya yang
besar jika dibandingkan dengan
pen-galaman menakjubkan di pura yang
cukup keramat ini. Kain dan selendang
menjadi sarana yang wajib dikenakan
wisatawan selama berwisata di
sekelil-ing pura.
Beberapa toko kecil berderet rapi
di depan pura menjajakan souvenir
khas desa setempat. Pilihan menarik
sebagai buah tangan bagi wisatawan
sebelum meninggalkan pura ini. Pura
yang memiliki panorama indah ini
ber-jarak 38 km dari Kota Denpasar.
Den-gan irinDen-gan pemandanDen-gan hasil seni
pahat yang begitu indah dan
berkuali-tas, hamparan alam nan menawan serta
cuaca yang sejuk membuat perjalanan
menuju pura ini menjadi
menyenang-kan. Pura Gunung Kawi bisa menjadi
pilihan untuk kabur dari kepenatan
dan sesaknya suasana kota yang padat.
Such a sweet escape. (Resita)
Kolam terbesar di kawasan Pura Gunung Kawi sebagai habitat para ikan dan salah satu objek yang paling diminati.
BUDAYA
Bala
Cinta
Si
Landung
Di Bali, kisah cinta tak selamanya berakhir bahagia.
Bisa juga berujung petaka.
Tak hanya pemandangan alam, seni,
bu-daya, dan religi yang mampu menjadi
magnet pesona Bali, namun
keromanti-san dan cinta di setiap ujung lokasi di Bali
juga memberikan icipan cita rasa berbeda.
Tak jarang Bali menjadi incaran bagi
mer-eka yang ingin mempersatukan cinta
da-lam ikatan pernikahan. Bali bahkan lebih
sering menjadi destinasi tempat berbulan
madu. Film kisah cinta ala Hollywood
pun juga pernah singgah untuk shooting
di Bali.
Siapa kira, di balik romantisme yang
ditawarkan Bali ternyata ada kisah cinta
memilukan yang pernah terjadi di tanah
Dewata ini. Kisah yang terjadi sekitar
100 windu silam, yang telah menelurkan
peradaban kuno ditengah Agama Hindu,
seni, dan budaya di Bali yang terjaga
hing-ga saat ini.
Alkisah Barong Landung, inilah
awal mula perkenalan kisah cinta tragis
tersebut. Barong menurut asal katanya
da-lam bahasa sansekerta yaitu ‘B(h)arwang’
(Kardji, 1993) dan dalam bahasa Jawa
Kuno Barong juga disebut “Barwang”
(Zoetmulder,1995). Kedua asal kata
Bar-ong tersebut bermakna sama yaitu
Beru-ang. Tak salah jika pementasan Barong di
Bali identik dengan rupa binatang yang
besar. ‘Landung’ dalam bahasa Bali
berar-ti berar-tinggi, sehingga Barong Landung berarberar-ti
Barong yang memiliki perawakan tinggi.
Jangan sangka Barong Landung
be-rupa hewan yang tinggi dan besar. Barong
Landung tak sama seperti Barong pada
umumnya di Bali. Barong ini unik dan
ber-ciri khas. Bagaimana tidak, rupa – rupanya
adalah manusia. Perawakannya pun
ma-nusia. Barong ini identik dengan sepasang
wanita lelaki. Wanita beparas gadis Cina,
lelakinya berwajah Bali Aga (kuno).
Letak kesamaan antara Barong Landung
dengan Barong pada umumnya pada
makna pementasannya untuk kegaiatan
keagamaan, yaitu sebagai penolak bala.
Meskipun memiliki makna sebagai
peno-lak bala, tapi bala yang mewarnai kisah
sejarah Barong Landung ini tak dapat
di-tolak. Bala cinta. Kisah bala cinta Barong
Landung inilah yang memberikan
sentu-han berbeda pada setiap kisah cinta yang
berujung di Bali.
Dalam kisahnya tersebutlah seorang
Raja Balingkang yang bertahta pada tahun
1181 – 1204 Masehi bernama Jaya Pangus.
Beliau memperistri seorang wanita Cina,
King Cing Wei. Balingkang merupakan
gabungan kata dari dua nama wilayah
yang berbeda, yaitu ‘Bali’ yang berarti Bali
dan ‘Khang’ yang berarti Cina. Raja Jaya
Pangus atau yang dikenal pula dengan
nama Dalem Balingkang konon sangat
mencintai sang istri, sayangnya mereka
tak kunjung diberikan putra.
Suatu hari Dalem Balingkang
beren-cana untuk bersemedi di Gunung Batur.
Namun celakanya, bukan wangsit yang
didapat, melainkan seorang wanita
ber-nama Dewi Danu. Tipu muslihat Dalem
Balingkang yang mengatakan dirinya
per-jaka berhasil menikahi Dewi Danu. Dari
hubungan itu lahir seorang putra bernama
sangat termashyur, Maya Denawa.
Gelisah suami tak kunjung
kemba-li, King Cing Wei menyusul ke Gunung
Batur. Didapatlah suaminya telah
ber-hati dua, maka murkalah King Cing Wei
dan menghardik Dewi Danu. Dewi Danu
merasa dibohongi. Dengan kesaktiannya
dibinasakanlah Dalem Balingkang dan
King Cing Wei.
Oleh rakyat yang mencintai Dalem
Balingkang dan King Cing Wei, setelah
mengetahui keduanya sudah binasa,
dib-uatkanlah patung yang disebut
Stasu-ra dan Bhati Mandul untuk mengenang
keduanya, yang akhirnya berkembang
menjadi Barong Landung. Hal ini tidak
diketahui pasti mengapa diwujudkan
da-lam perawakan yang ‘landung’.
Dalam perwujudan Barong Landung
yang ada sekarang, lelakinya berwujud
hitam, seram, dan gigi bertaring.
Sedang-kan wanitanya putih, cantik, dan bermata
sipit. Barong Landung biasa dipentaskan
saat Hari Raya Galungan dan Kuningan,
upacara keagamaan, dan terkadang juga
sebagai hiburan. Meskipun dalam konteks
pementasan maknanya berbeda, namun
kisah yang melekat pada Barong Landung
tak akan berbeda. Kisah cinta yang
ber-bumbu pengkhianatan, kebohongan, dan
OPINI
Grasi
Presiden punya hak untuk memberi grasi. Jadi, mintalah grasi, bagi tahanan yang mulai frustasi, dengan rumitnya jalur hukum di republik ini. Contohnya Schapelle Leigh Corby yang
pernah merasakan nikmatnya menerima grasi. Tapi kalau yang tak diberi, artinya harus mendekam di bui lebih lama lagi.
Pertengahan tahun 2013 saya
ber-temu dengan Meta Dharmasaputra,
Pemimpin Redaksi Kata Data dan mantan
wartawan TEMPO. Saya pribadi
memang-gilnya mas Meta. Saya menjemputnya -siang hari di Bandara Ngurah Rai, Bali.
Kami naik taxi dari bandara menuju
tem-pat pelatihan di daerah Kerobokan,
Ba-dung. Saya bertanya tentang Vincent
ke-pada Meta di dalam taxi. Vincent adalah
pembocor rahasia pajak Asian Agri Group
yang merupakan induk perusahaan Raja
Garuda Mas (RGM) milik Sukanto Tanoto.
Meta menjelaskan, kalau saat ini Vincent
telah bebas dan sedang membuka usaha
catering. "Tapi harus terus diawasi karena
bisa saja terjadi sesuatu yang tidak
diing-inkan menimpanya," kata Meta.
Vincent resmi masuk dan menghuni
rumah tahanan Kepolisian Daerah Metro
Jaya pada 11 Desember 2006. Dia
dijeb-loskan ke penjara karena terlibat kasus
pencurian uang perusahaan Asian Agri
senilai US$ 3,1 juta dan baru dicairkan Rp
200 juta. Sebelum menghuni rumah
tahan-an Kepolisitahan-an Daerah Metro Jaya, Vincent
sempat melarikan diri ke Singapura. Dia
melarikan diri karena mendapatkan
an-caman dari pihak Asian Agri. Dalam
pelar-ian itulah Vincent mengancam akan
mem-bocorkan skandal pajak Asian Agri Group
jika pihak Sukanto Tanoto terus
mengan-camnya. Meta mengeluarkan laporan in -vestigasi skandal pajak ini dalam bentuk
buku berjudul "Saksi Kunci". Bagi saya
yang menarik dari laporan investigasi itu
adalah upaya pria bernama lengkap
Vin-centius Amin Sutanto atau Vincent dalam
mencari keringanan hukuman.
Laporan investigasi "Saksi Kunci"
sosok Vincent digambarkan sebagai
seo-rang whistle blower atau peniup peluit.
Istilah ini dipakai bagi para pelaku
kejaha-tan atau kriminal, namun pelaku kejahakejaha-tan
tersebut bersedia untuk mengungkapkan
kejahatan lain yang lebih besar sehingga
merugikan negara. Bahkan di Amerika ada
undang-undang federal the False Claims
Act atau Lincoln Law yang sudah ada
se-jak 1863. Undang-undang ini menjelaskan
bagaimana seorang whistle blower bukan
hanya harus dilindungi keselamatannya,
tapi juga bisa mendapatkan imbalan
beru-pa uang. Sayangnya meski sebagai whistle
blower, nasib Vincent benar-benar tak
mu-jur. Singkatnya, Vincent harus mendekam
di penjara selama 11 tahun setelah
mele-wati berbagai persidangan termasuk
upa-ya banding. Gagal dengan berbagai upaupa-ya
banding untuk meringankan
hukumann-ya, Vincent ajukan grasi kepada Presiden.
Tapi gagal juga. Susilo Bambang
Yud-hoyono lebih memilih mengampuni
ban-dar "mariyuana" ban-daripada mengampuni
penyelamat uang negara triliunan rupiah.
Schapelle Leigh Corby yang kedapatan
membawa 4,2 kg ganja di Bandara Ngurah
Rai, Bali pada 8 Oktober 2004. Corby pun
divonis hukuman penjara 20 tahun pada
27 Mei 2005. Presiden memberikan
gra-si kepada Corby pada 15 Mei 2012. Gragra-si
itulah yang mengurangi hukuman Corby
dari 20 tahun menjadi 15 tahun.
Nasib Corby jelas lebih mujur dari
Vincent. Namun, tak semua tahanan suka
dengan pemberian grasi oleh presiden. Tak
semua tahanan di republik ini juga suka
dikasihani presiden. Contohnya tahanan
politik Filep Karma yang ditahan oleh
pen-gadilan negeri Abepura dan memperoleh
hukuman 15 tahun penjara pada 27
Okto-ber 2005. Dia ditahan karena mengibarkan
bendera Bintang Kejora pada saat
upaca-ra memperingati ulang tahun kedaulatan
Papua tanggal 1 Desember 2004.
Karma menolak dengan alasan jika ia
me-nerima grasi tersebut berarti ia
menga-kui bahwa ia salah. Karma balik meminta
presiden untuk membebaskan papua dari
kolonialisme Indonesia. Elaine Pearson,
Wakil Direktur Asia dari Human Rights
Watch menjelaskan, “Memenjarakan
pe-sakitan politik merupakan hal
memalu-kan dan sangat jauh dari gambaran negara
demokrasi modern yang berusaha digagas
Indonesia”.
Memasuki tahun politik, April 2014.
Kita dihadapkan pada banyak persoalan
yang belum kelar di negara ini. Dari
ma-salah korupsi hingga pelanggaran HAM.
Dari Sabang sampai Merauke. Kita dituntut
untuk memilih pemimpin negeri ini
selan-jutnya. Pasca SBY turun dari kursi
terhor-matnya. Lagi dan lagi. Selain memilih kita
hanya bisa berharap. Semoga yang terpilih
kelak dapat memberikan haknya kepada
yang pantas mendapatkan hak. Grasi
ha-nya contoh mungil dari setumpuk
perma-salahan yang serius di negeri ratusan suku
ini. Dari negeri yang hanya mengakui lima
agama ini. Dari negeri yang
pemimpinan-ya pemurah ampun ini. Pemurah ampun
untuk pengedar ganja bukan penyelamat
Redaksi menerima kiriman arikel, opini, masukkan, kriik, saran atau tanggapan tentang kehidupan civitas akademika Universitas Udayana. Tulisan bisa dialamatkan langsung ke Sek
-retariat Pers Mahasiswa Akademika Jl. Dr. R. Goris No. 7A, Denpasar atau dikirim lewat email ke pers_akademika@yahoo.com. redaksi berhak menyuning isi tulisan sepanjang idak
menyimpang esensi tulisan. www.persakademika.com