BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PERILAKU CARING 2.1.1 Teori Caring
Caring ialah fenomena universal yang mempengaruhi cara manusia berpikir, merasa dan mempunyai hubungan dengan sesama. Dalam
keperawatan, caring merupakan bentuk dasar praktik keperawatan yang membantu klien pulih dari sakitnya, memberikan penjelasan tentang
penyakitnya dan mengelola atau membangun kembali hubungan. Caring
memfasilitasi kemampuan perawat untuk mengenali klien, membuat perawat
mengetahui masalah klien dan mencari serta melaksanakan solusinya (Potter
& Perry 2009).
Caring menurut Watson (1985 dalam Kozier, 2010) merupakan inti dari keperawatan yang digambarkan dalam sebuah kesatuan nilai-nilai kemanusian
yang universal (kebaikan, kepedulian dan cinta terhadap diri sendiri dan orang
lain). Watson et al (2005 dalam Alligood & Tomey, 2006) mendefinisikan
caring sebagai moral ideal keperawatan yang dimiliki perawat dalam membina hubungan interpersonal dan nilai-nilai kemanusian. Miller (1995
dalam Kozier, 2010) mendefinisikan caring sebagai tindakan yang disengaja yang membawa rasa aman baik fisik maupun emosi serta keterkaitan yang
tulus dengan orang lain maupun sekelompok orang. Swanson (1991 dalam
tanggung jawab kepada pasien sehingga bermanfaat untuk meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan klien. Campbel (1984 dalam Morrison &
Burnard, 2008) mempersepsikan caring sebagai bentuk “cinta”, yang secara professional terikat oleh konvesi dan undang-undang. Griffin (1980, 1983
dalam Morrison & Burnard, 2008) membagi konsep caring dalam dua domain utama, yang pertama yaitu sikap dan emosi perawat dan selanjutnya
caring merupakan aktivitas perawat dalam melaksanakan fungsi keperawatannya.
Watson (1999 dalam Alligood & Tomey, 2006) menyatakan bahwa
caring merupakan hubungan antara dua individu yang unik yaitu perawat dan pasien. Tujuan caring ialah meningkatkan kualitas hubungan antara perawat dan pasien untuk mendukung proses penyembuhan. Tujuan dari dibentuknya
hubungan tersebut ialah melindungi, memelihara dan peningkatan martabat
pasien, serta terciptanya kondisi yang harmonis bagi perawat dan pasien. Bagi
pasien, pelaksanaan caring oleh perawat dapat meningkatkan pengetahuan, kontrol diri, perawatan diri sendiri dan mempercepat proses penyembuhan.
Tindakan caring meliputi komunikasi, tanggapan yang positif atau intervensi fisik oleh perawat (Kozier, 2010). Mayeroff (dalam Barbara 1981)
menyatakan bahwa tindakan caring terdiri dari pengetahuan, kemampuan memandang masalah dari sudut pandang yang berbeda, kesabaran, kejujuran,
kerendahan hati, harapan dan keberanian.
Menurut (Leininger 1984 dalam Kozier, 2010) caring bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi manusia yang menekankan pada
orang yang didasarkan pada metode bantuan yang telah ditentukan, didapat
dan disetujui oleh budaya dan kepercayaan. Perilaku caring meliputi kenyamanan, kasih sayang kepedulian, perilaku koping, empati, memudahkan,
memfasilitasi, tindakan konsultasi, tindakan pemeliharaan kesehatan, perilaku
menolong, cinta, perilaku protektif, berbagi, penurunan stress, bantuan,
sentuhan dan kepercayaan (Leininger 1984 dalam Kozier 2010).
Tindakan caring yang diberikan perawat didasarkan pada kebutuhan, masalah dan nilai-nilai pasien. Walaupun caring bersifat universal, namun penerapannya pada setiap klien sangat personal berdasarkan kebiasaan kultur
pasien, sehingga penting untuk perawat memahami kebiasan dan nilai-nilai
dari setiap pasien karena pengungkapan caring pada setiap pasien akan berbeda (Leinenger, 1988 dalam Potter & Perry, 2009). Pelaksanaan caring
bisa terkendala atau bahkan tidak terlihat jika hubungan antara perawat dan
klien didasari penghargaan, perhatian dan dukungan (Potter & Perry 2009).
Watson, (Tomey, 1994) mengungkapkan tujuh asumsi utama tentang
caring dalam keperawatan yaitu :
a. Caring hanya akan efektif jika diperlihatkan dan dilaksanakan melalui hubungan interpersonal
b. Caring terdiri dari sepuluh carative factor sebagai hasil dari kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan manusia
c. Caring yang efektif dapat meningkatkan perkembangan kesehatan individu ataupun keluarga
e. Lingkungan yang caring sangat potensial untuk mendukung individu memilih tindakan yang baik untuk dirinya
f. Caring lebih kompleks daripada curing. Praktik caring
mengintegrasikan pengetahuan bio-fisik dan pengetahuan tentang
perilaku individu untuk meningkatkan derajat kesehatan dan
memberikan pertolongan bagi orang yang sakit
g. Praktik caring merupakan inti dari keperawatan.
2.2.2 Perilaku Caring
Watson (1985 dalam Tomey, 1994) mengidentifikasi sepuluh carative faktor sebagai pondasi dan kerangka kerja dalam praktik keperawatan. Dalam setiap komponen menjelaskan hubungan yang dilakukan antara perawat
dengan pasien. Sepuluh carative factor tersebut adalah: a. Membentuk nilai Humanistik-Altruistik
Pembentukan sistem nilai humainistik-altruistik dibangun dari pengalaman hidup, belajar dan juga dapat ditingkatkan selama masa
pendidikan perawat. Humanistik-Altruistik dapat didefinisikan sebagai kepuasan dalam memberi yang berasal dari dalam diri
sendiri (Marriner & Tomey, 1994). Sikap perawat yang
mencerminkan nilai Humanistik-Altruistik ialah perawat memberikan kebaikan dan kasih sayang serta membuka diri untuk melakukan
tindakan terapi dengan klien (Potter & Perry, 2009).
b. Menciptakan kepercayaan dan harapan
Menggambarkan peran perawat dalam meningkatkan hubungan
kesehatan dan menolong pasien beradaptasi dengan keadaan sehat
sakit. Faktor ini merupakan gabungan dari nilai humanistic-altruistik
dalam memfasilitasi promosi kesehatan melalui pemberian asuhan
keperawatan secara holistik (Tomey, 1994). Perawat harus mampu
menjalin hubungan yang baik dengan pasien, memperoleh informasi
pasien yang dibutuhkan selama merawat pasien, dan perawat harus
mampu mendorong pasien untuk menemukan harapan (Alligood &
Tomey, 2006)
c. Meningkatkan rasa sensitif pada diri sendiri dan orang lain
Perawat belajar meningkatkan kepekaan sehingga perawat bisa
menerima keberadaan diri sendiri dan orang lain. Adanya rasa
sensitif dalam diri perawat, membuat perawat lebih ikhlas, lebih
peka terhadap orang lain, dan tampil apa adanya (Tomey, 1994).
Perawat harus paham tentang kebutuhan psikologis dan spiritual
klien, meningkatkan rasa kepekaan sehingga mampu menemukan
cara untuk menunjukkan caring pada klien (Alligood & Tomey, 2006).
d. Membangun hubungan saling percaya dan membantu
Membangun hubungan saling percaya dan membantu antara perawat
dan pasien sangat penting dalam pelaksanaan caring. Hubungan saling percaya dapat meningkatkan penerimaan terhadap ekspresi
negatif dan positif (Tomey, 1994). Untuk membangun hubungan
sikap empati, bersikap hangat, dan dapat melaksanakan komunikasi
terapuetik dengan baik (Potter & Perry, 2009).
e. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif
Perawat harus mempersiapkan diri untuk menerima ekspresi
perasaan negatif ataupun positif dari pasien. Dalam berhubungan
dengan pasien, perawat harus mampu menunjukkan kesiapan
mengambil resiko saat berbagi dengan pasien (Potter & Perry 2009).
Hal yang dapat perawat lakukan misalnya memahami setiap ekspresi
kekhawatiran klien, cara klien menunjukkan rasa sakitnya, nilai atau
budaya yang dimiliki klien berhubungan dengan penyakitnya
(Alligood & Tomey, 2006).
f. Menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam
mengambil keputusan
Perawat menerapkan proses keperawatan secara sistematis, membuat
keputusan pemecahan masalah secara ilmiah dalam
menyelanggarakan pelayanan yang berfokus pada klien (Potter &
Perry 2009). Perawat harus memahami bahwa setiap individu adalah
unik dan situasi dalam menghadapi penyakit berbeda-beda, sehingga
dalam menerapkan metode pemecahan masalah perawat harus
mampu menyesuaikan teori keperawatan dengan setiap orang dan
situasi yang dihadapi (Alligood & Tomey, 2006).
g. Peningkatan pembelajaran interpersonal
Hal ini merupakan konsep penting yang membedakan antara caring
proses belajar-mengajar yang diciptakan agar klien dapat
meningkatkan kemandiriannya, memenuhi kenutuhan secara mandiri
dan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan personal klien
(Tomey, 1994).
h. Menyediakan dukungan, perlindungan dan/atau perbaikan suasana
mental, fisik, sosial dan spiritual
Perawat harus menyadari lingkungan internal dan eksternal
berpengaruh terhadap kondisi sehat-sakit klien. Lingkungan internal
meliputi keadaan mental dan spiritual, keadaan sosiokultural, dan
kepercayaan individu. Sedangkan lingkungan eksternal ialah
kenyamanan, privasi, keamanan, kebersihan, lingkungan yang
astetik. Sehingga perawat harus mampu membuat pemulihan suasana
fisik dan non fisik serta menciptakan kebersamaan, keindahan,
kenyamanan (Tomey, 1994).
i. Memberi bantuan dalam memenuhi kebutuhan manusia
Perawat membantu memenuhi kebutuhan dasar klien meliputi
kebutuhan biofisik, psikofisik, psikososial, dan kebutuhan
intrapersonal klien dengan sepenuh hati. Pemenuhan kebutuhan yang
paling mendasar perlu dicapai sebelum beralih ke tingkat yang
selanjutnya (Tomey, 1994).
j. Mengijinkan terjadinya kekuatan-kekuatan fenomenologis-
eksistensial
Fenomenologis diuraiakan sebagai suatu keadaan langsung yang
Watson mempertimbangkan bahwa faktor ini memang sulit untuk
dimengerti. Namun hal ini akan membawa perawat untuk memahami
dirinya sendiri dan orang lain. Sehingga perawat dapat membantu
seseorang untuk memahami kehidupan dan kematian dengan
melibatkan kekuatan spiritual (Tomey, 1994).
Tujuan dari pelaksanaan cartive factor oleh perawat ialah memfasilitasi klien untuk meningkatkan kesehatan dengan upaya pencegahan penyakit
dengan cara mengajarkan klien meningkatkan kesehatannya, menyediakan
dukungan lingkungan, mengajarkan metode penyelesaian masalah, dan
membantu melakukan koping dan adaptasi terhadap kehilangan (Tomey,
1994).
2.2 KANKER PAYUDARA
2.2.1 Pengertian Kanker Payudara
Kanker payudara adalah tumor ganas yang menyerang jaringan payudara.
Jaringan payudara terdiri dari kelnjar susu (pembuat air susu), saluran kelenjar
(saluran air susu), dan jaringan penunjang payudara. Kanker payudara
menyebabkan sel dan jaringan payudara berubah menjadi abnormal dan
bertambah banyak secara tidak terkendali (Mardiana, 2005).
2.2.2 Penyebab kanker Payudara
Penyebab spesifik kanker payudara sampai saat ini belum diketahui,
namun faktor genetik dan hormonal diketahui dapat menunjang terjadinya
kanker payudara. Faktor resiko penyebab kanker payudara meliputi: Riwayat
pribadi tentang kanker payudara, wanita yang memiliki keluarga dengan
dini sebelum usia 12 tahun, nulipara atau usia maternal saat kelahiran anak
pertama lebih dari 30 tahun diketahui mempunyai resiko dua kali lipat
mengalami kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang mempunyai
anak pertama sebelum usia 20 tahun, Manopause setelah usia 50 tahun, wanita
yang mempunyai riwayat penyakit payudara jinak, Pemajanan terhadap radiasi
setelah masa pubertas dan sebelum usia 30 tahun dan wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral (Smeltzer & Bare, 2002).
2.2.3 Gambaran Klinis Kanker Payudara
Selama ini penderita kanker payudara mengetahui bahwa dirinya terserang
kanker payudara setelah timbul rasa nyeri atau sakit pada payudara. Penderita
yang mengalami kondisi seperti demikian sebenarnya sudah terserang kanker
payudara stadium lanjut. Penderita kanker payudara pada stadium awal tidak
merasakan adanya nyeri atau sakit pada bagian payudara (Mardiana, 2005)
Gambaran klinis pada kanker payudara meliputi gejala awal, gejala
pernyebaran lokal atau regional dan gejala yang menunjukkan bukti
metastasis. Gejala awal yang terjadi ialah adanya teraba masa (terutama jika
keras, irregular, tidak nyeri tekan) atau penebalan pada payudara, rabas puting
payudara unilateral yang persisten yang mempunyai karakter serosanguinosa
dan mengandung darah, retraksi atau inverse puting susu, perubahan ukuran serta tekstur payudara dan bentuk payudara menjadi tidak simetris, pengerutan
atau pelekukan kulit disekitarnya, dan kulit yang bersisik disekeliling putting
susu. Gejala penyebaran lokal meliputi kemerahan dan ulserasi edema atau
metastasis maka terlihat pembesaran kelenjar getah bening supraklavikula dan
servikal, hasil rontgen toraks abnormal dengan atau tanpa efusi pleura,
peningkatan alkali fosfatase dan kalsium, pindai tulang positif dan/ atau nyeri
tulang berkaitan dengan penyebaran ke tulang dan tes fungsi hati abnormal
(Otto & Shirley, 2003)
2.2.4 Tipe Kanker Payudara
Kanker payudara dibagi menjadi beberapa tipe yaitu :
a. Karsinoma duktus menginfiltrasi
Tipe histology yang paling umum dan merupakan 75% dari semua jenis
kanker payudara. Saat diraba payudara terasa keras dan kanker ini bisa
bermetastasis ke nodus aksila. Prognosisnya lebih buruk dari tipe kanker
yang lain.
b. Karsinoma lobular menginfiltrasi
Kasusnya jarang terjadi, sekitar 5-10% dari kasus kanker payudara. Pada
tipe ini terjadi pada suatu area penebalan yang tidak baik pada payudara.
Tipe ini lebih umum metasentris, dengan demikian dapat terjadi penebalan
pada beberapa area pada salah satu atau kedua payudara
c. Karsinoma medular
Tipe tumor ini dapat menjadi besar namun meluas secara lambat, sehingga
prognosisnya lebih baik.
d. Kanker Musinus
Terjadi sekitar 3% pada kanker payudara. Penghasil lendir dan tumbuh
dengan lambat, sehingga prognosisnya lebih baik dibandingkan dengan
e. Karsinoma duktal tubular
Karsinoma duktal tubular terjadi sekitar 2% dari kanker payudara.
Metastasis aksilaris secara histology tidak lazim, maka prognosisnya
sangat baik
f. Karsinoma Inflamatori
Gejala yang muncul berupa nyeri tekan dan sangat nyeri. Payudara secara
abnormal keras dan membesar, kulit diatas tumor merah dan agak hitam.
Sering terjadi edema dan retraksi putting susu. Penyakit dapat menyebar
dengan cepat pada bagian tubuh yang lainnya.
g. Penyakit Piaget Payudara
Penyakit Piaget merupakan tipe kanker payudara yang jarang terjadi. Gejala yang sering muncul ialah rasa terbakar dan gatal pada payudara.
Massa tumor sering tidak dapat diraba di bagian putting susu yang
merupakan tempat penyakit ini muncul. Mammografi merupakan
satu-satunya peemeriksaan diagnostic yang dapat mendeteksi tumor
h. Karsinoma Payudara In Situ
Karsinoma Payudara In Situ dapat dideteksi dengan mammografi. Penyakit ini ditandai dengan poliferasi sel-sel malignan didalam duktus dan lobulus
tanpa invasi ke dalam jaringan sekitar
(Smeltzer & Bare, 2002)
2.2.5 Pentahapan Kanker Payudara
Faktor prognostik terpenting untuk kanker payudara adalah ukuran tumor
primer, metastasis ke kelenjar getah bening, dan adanya lesi ditempat jauh. Faktor
gambaran peradangan. Sistem penentuan stadium yang sering digunakan telah
dirancang oleh American Join Committee on Cancer Staging dan International Union Againts Cancer. Penentuan stadium terbagi menjadi :
Stadium 0 : Ductal Carsinoma In Situ atau karsinoma tidak menyebar keluar dari pembuluh / saluran payudara dan kelenjar-kelenjar (lobules)
susu pada payudara.
Stadium I : Karsinoma invasive dengan ukuran 2 cm atau kurang serta
kelenjar getah bening negatif
Stadium IIA : Karsinoma invasive dengan ukuran 2 cm atau kurang disertai
dengan metastasis ke kelenjar getah bening, atau karsinoma
invaasif lebih dari 2cm, tetapi kurang dari 5 cm dengan kelenjar
getah bening negatif
Stadium IIB : Karsinoma invasive dengan diameter lebih dari 2 cm, tetapi
kurang dari 5 cm dengan kelenjar getah bening positif atau
karsinoma invasive berukuran kurang dari 5cm tanpa keterlibatan
kelenjar getah bening
Stadium IIIA : Karsinoma invasive berukuran berapa pun dengan kelenjar getah
bening terfiksasi atau karsinoma berukuran garis tengah lebih dari
5cm dengan kelenjar getah bening nonfiksasi
Stadium IIIB : Karsinoma inflamasi, karsinoma yang menginvasi dinding dada,
kulit, nodus kulit, atau setiap karsinoma dengan metastasis ke
kelenjar getah bening mamaria interna ipsilateral
2.2.6 Pengobatan kanker Payudara
Pengobatan untuk penyakit kanker payudara terdiri dari pengobatan lokal
dan pengobatan sistemik (Smeltzer & Bare, 2001). Pengobatan lokal bertujuan
untuk menyingkirkan adanya kanker lokal yang meliputi tindakan pembedahan
dan terapi radiasi. Pengobatan sistemik meliputi penggunaan kemoterapi dan
terapi hormonal yang dilakukan pada pasien dengan penyebaran kelenjar getah
bening aksila, prognosis buruk pada penyakit tanpa kelenjar yang terkena,
penyakit lokal-regional yang telah berkembang jauh, metastasis yang sudah jauh
(Otto & Shirley, 2003).
Pada pengobatan lokal, tindakan pembedahan dipilih berdasarkan tahapan
penyakit, temuan pada mamografi (pembuktian adanya sel kanker pada daerah
lain pada payudara yang terpisah dari tumor primer), lokasi tumor, ukuran dan
bentuk payudara dan pilihan pasien. Jenis-jenis pembedahan yang dapat dilakukan
pada kanker payudara ialah : Lupektomi (Tumorektomi) yaitu Pengangkatan
hanya pada tumor saja, Eksisi luar (reseksi terbatas, matektomi parsial) yaitu
pengangkatan tumor dengan batas jaringan payudara normal yang jelas,
kuadranektomi yaitu pembedahan untuk melakukan pengangkatan seluruh
kuadaran payudara yang mengandung tumor bersama kulit dan tepi otot pektoralis
mayor, Masektomi totalis yang merupakan pengangkatan seluruh jaringan
payudara, kelenjar getah bening diaksila dan dinding toraks tidak diangkat, dan
Masektomi radikal modifikasi yang merupakan pengangkatan seluruh payudara
bersama kelenjar getah bening aksila dan tepi otot pektoralis mayor (Otto &
Shirley, 2003). Setelah tindakan pembedahan, dilakukan terapi radiasi yang
residual. Efek samping dari radiasi berupa reaksi kulit ringan sampai sedang dan
keletihan yang bersifat sementara. Keletihan yang terjadi akibat radiasi biasanya
dimulai sekitar 2 minggu setelah pengobatan dan berlangsung beberapa minggu
setelah pengobatan (Smeltzer & Bare, 2002).
Pengobatan sistemik dengan penggunaan kemoterapi secara umum
dilakukan setelah masektomi. Penatalaksanaan kemoterapi bertujuan untuk
meningkatkan penghancuran sel tumor dan untuk meminimalkan resistensi
terhadap medikasi. Kemoterapi dilakukan dengan menggabungkan preparat
kemoterapeutik yaitu cytoxan (C), methotrexate (M), fluorouracil (F), dan
adriamycin (A). Efek samping dari kemoterapi ialah mual, muntah, perubahan
rasa kecap, rambut rontok, dermatitis, keletihan, mukositis dan depresi sumsum
tulang belakang. Selain kemoterapi, terdapat terapi hormonal yang didasarkan
pada indeks reseptor estrogen dan progesterone yang diturunkan dari pemeriksaan
uji jaringan tumor. Jaringan payudara normal memiliki reseptor untuk estrogen.
Namun, hanya sepertiga dari kanker payudara yang tergantung pada estrogen, atau
ER (+). Uji ER (+) menunjukkan bahwa pertumbuhan tumor bergantung pada
suplai estrogen. Sehingga penggunaan preparat pada terapi hormonal bertujuan
untuk mengurangi pembentukan hormone estrogen untuk membatasi kemajuan
penyakit (Smeltzer & Bare, 2002).
2.3 KONSEP KECEMASAN 2.3.1 Definisi Kecemasan
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang dan
merupakan perasaan yang tidak pasti, dimana objek yang menimbulkan
dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart & Sundeen, 1998). Kecemasan
merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan.
Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi
dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan menentu
dan tidak berdaya. Kecemasan merupakan respon emosi tanpa objek yang
spesifik yang secara subjektif dan dialami oleh makhluk hidup tanpa dapat
diobservasi secara langsung (Suliswati dkk, 2005). Kecemasan merupakan
suatu kondisi yang meliputi kegelisahan mental, keprihatinan, ketakutan dan
perasaan putus asa karena ancaman yang akan terjadi atau ancaman antisipasi
yang tidak dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri atau hubungan yang
bermakna (Kozier, 2010)
2.3.2 Etiologi Kecemasan
Menurut Stuart & Sundeen (1998) mengembangkan beberapa teori yang
menjelaskan penyebab terjadinya kecemasan yaitu (a) Teori psikoanalisis
yang menjelaskan kecemasan terjadi akibat konflik dari elemen kepribadian
yaitu id yang mewakili dorongan insting dan impuls primitif dengan super ego yang mencerminkan hati nurani yang dikendalikan oleh budaya. (b)Teori
interpersonal menyatakan bahwa kecemasan muncul akibat dari
ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. (c) Teori Perilaku yang
menyatakan bahwa kecemasan adalah hasil dari segala sesuatu yang
mengganggu individu untuk mencapai tujuan. (d) Kajian Keluarga
menunjukkan bahwa kecemasan biasabya terjadi dalam keluarga. (e) Kajian
benzodiazepine yang berperan penting secara biologis dalam terjadinya
kecemasan.
Kecemasan dapat juga terjadi akibat adanaya faktor pencetus yang berasal
dari dalam diri sendiri (faktor internal), dan dari luar diri (faktor eksternal).
Secara umum faktor pencetus dikelompokkan menjadi dua yaitu ancaman
terhadap integritas fisik yang mencakup disabilitas fisiologis atau penurunan kemampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan Ancaman terhadap
sistem diri yang dapat membahayakan indentitas diri, harga diri dan fungsi
sosial yang terintegrasi pada individu (Stuart & Sundeen, 1998)
2.3.3 Tingkat Kecemasan
Peplau (1963 dalam Stuart & Sundeen, 1998) mengidentifikasikan
kecemasan menjadi empat tingkatan berdasarkan respon individu dalam
menghadapi kondisi yang ada dalam diri dan lingkungannya menjadi cemas
ringan, cemas sedang, cemas berat dan panik.
Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan
sehari-hari yang dapat menyebabkan seseorang menjadi waspada dan lahan
persepsinya menjadi meningkat (Stuart & Sundeen, 1998). Cemas ringan
dapat meningkatkan motrivasi dan kreativitas selain itu membuat seseorang
menjadi lebih waspada. Respon dari cemas ringan ialah bernafas pendek, nadi
dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir
bergetar, lapang persepsi meluas, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan
masalah secara efektif, tidak dapat duduk tenang dan tremor halus pada tangan
Cemas sedang membuat seseorang fokus pada hal yang penting dan
mengesampingkan hal yang lain. Seseorang mengalami perhatian yang
selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah (Stuart &
Sundeen, 1998). Respon cemas sedang ialah sering nafas pendek, nadi dan
tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, gelisah, lapangan pandang menyempit, banyak bicara dan cepat, susah tidur dan perasaan tidak enak
(Tarwoto 2004)
Cemas berat membuat lahan persepsi seseorang menjadi lebih sempit, dan
seseorang cenderung untuk memusatkan sesuatu yang lebih terinci dan
spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal yang lain. Seseorang dengan
cemas berat memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada
suatu daerah lain (Stuart & Sundeen, 1998). Respon kecemasan berat ialah
nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala,
penglihatan kabur, lapang persepsi sangat sempit, tidak mampu
menyelesaikan masalah, blocking, dan perasaan terhadap ancaman meningkat (Tarwoto 2004)
Panik,tingkatan ini berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror.
Pada tahap ini lahan persepsi sudah sangat terganggu sehingga individu tidak
dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apapun walaupun
dengan bimbingan dan pengarahan oleh orang lain. Pada saat panik terjadi
peningkatan aktivitas motorik dan penurunan kemampuan berhubungan
dengan orang lain serta kehilangan pemikiran yang rasional (Stuart &
Sundeen, 1998). Respon panik ialah nafas pendek, rasa tercekik dan palpitasi,
Rentang Respon Ansietas
Respon adaptif Respon maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
marah, ketakutan, berteriak-teriak, blocking, kehilangan kendali dan persepsi kacau (Stuart & Sudeen, 1998)
Skema 2.3.3 Rentang Respon Kecemasan menurut Stuart & Sudden (1998)
2.3.4 Kecemasan Pada Penderita Kanker Payudara
Payudara adalah salah satu ciri seks sekunder yang mempunyai arti
penting bagi wanita, bukan hanya sebagai identitas namun juga mempunyai
nilai tersendiri dari segi biologik, psikologik, psikososial dan psikoseksual
(Hawari, 2004). Saat wanita mengetahui bahwa dirinya terkena kanker
payudara, munculnya gangguan kejiwaan seperti depresi dan kecemasan
adalah umum. Jika gangguan kecemasan tidak ditangani dapat menyebabkan
perilaku kepatuhan pengobatan yang buruk, bertambahnya waktu rawat inap
dirumah sakit dan menurunnya kualitas hidup pasien. Kecemasan yang
berkepanjangan pada penderita kanker payudara juga menyebabkan dampak
yang buruk bagi kesehatan pasien. Kecemasan menyebabkan terjadinya
gangguan fisiologis dan menyebabkan sistem kekebalan tubuh menurun dan
sangat terlihat pada penderita kanker payudara yang sudah tua. Konsekuensi
patologis yang dapat dilihat akibat kecemasan ialah sakit kepala sebelah
berkepanjangan mempengaruhi perilaku kesehatan pasien menjadi lebih buruk
diantaranya adalah konsumsi makanan yang tinggi lemak, dan peningkatan
konsumsi alkohol (Pederson et al, 2010).
2.3.5.1 Faktor-faktor yang menyebabkan kecemasan pada pasien kanker payudara
Kecemasan pada pasien kanker payudara berlangsung sepanjang penyakit
tersebut diderita. Ekspresi kecemasan yang ditunjukkan oleh pasien kanker
payudara berhubungan dengan perawatan yang tidak tuntas, kesulitan untuk
mengerti informasi dan kesalahan dalam perencanaan pengobatan (Pedersen et
al, 2010).
Kecemasan pada pasien kanker payudara adalah respon umum yang terjadi
dan dapat dihubungkan dengan usia yang lebih muda, tidak ada riwayat
penanganan psikologis dan kurangnya dukungan sosial. Kualitas dukungan
sosial yang baik diprediksi dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker
payudara sehingga status kesehatannya menjadi lebih baik (Burgess et al,
2005). Dukungan sosial terutama dukungan emosional dari keluarga dan
anak-anak yang diberikan pada pasien kanker dapat membantu menurunkan
kecemasan yang dialami. Kurangnya dukungan keluarga pada pasien yang
sudah bercerai ataupun janda menunjukkan tingkat kecemasan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita yang memiliki dukungan dari keluarga
(Bulotiene et al, 2008)
Selain itu, kecemasan juga umum terjadi pada pengobatan kanker
payudara. Tindakan pengobatan yang berbeda, maka intensitas dan
pengobatan dengan operasi pengangkatan payudara (masektomi) biasanya
kecemasan dikarenakan pasien akan kehilangan organ payudara nya yang
berfungsi bukan hanya sebagai organ penyusu bagi bayinya namun juga
sebagai daya tarik (attractiveness). Pengangkatan payudara mengakibatkan perasaan kecewa, rasa malu bagi wanita, terjadinya gangguan fungsi seksual,
dan terganggunya fungsi sosial (Hawari, 2005). Penelitian yang dilakukan
oleh Lim (2011) tentang kecemasan pada penderita kanker yang mengalami
pengobatan ditemukan hasil bahwa pengobatan dengan kemoterapi
menunjukkan banyak gejala kecemasan diantara pengobatan dengan
radioterapi dan pembedahan, dan kecemasan tertinggi terjadi sebelum infuse
pertama kemoterapi. Hal ini terjadi akibat efek samping yang dirasakan pada
pengobatan kemoterapi. Ketakutan terhadap jarum infuse juga merupakan
penyebab kecemasan pada pasien kanker payudara yang dikemoterapi.
Sedangkan untuk pengobatan kanker payudara dengan radioterapi tidak
menyebabkan kecemasan yang berarti. Dalam menjalani pengobatan, masalah
finansial juga merupakan hal yang menyebabkan timbulnya kecemasan pada
pasien kanker payudara (Hawari, 2005).
Pada penderita kanker stadium lanjut, ancaman kematian merupakan
masalah yang cukup serius. Saat penderita kanker payudara mengetahui
bahwa kanker yang dideritanya sudah mencapai stadium lanjut, terdapat tiga
fase reaksi emosional. Fase pertama penderita akan merasakan syok mental,
reaksi kedua penderita diliputi rasa takut dan depresi namun cepat berlalu dan
pendekatan psikoterapeutik seperti keramahan, penuh pengertian, simpatik,
menyediakan waktu untuk berbagi lebih dirasakan sebagai pengobatan