BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejarah perkebunan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan
kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Pada umumnya perkebunan hadir sebagai
perpanjangan dari perkembangan kapitalisme agraris Barat yang diperkenalkan melalui
sistem perekonomian kolonial. Awalnya, perkebunan di Indonesia hadir sebagai sebuah
sistem perekonomian baru yang belum dikenal oleh kalangan masyarakat Indonesia. Bangsa
ini hanya mengenal sistem kebun sebagai sistem perekonomian tradisional, yang
kegunaannya sebatas pemenuhan kebutuhan hidup dan dikerjakan dengan pola-pola
tradisional.
Jenis-jenis perkebunan terbagi dua yaitu perkebunan inti rakyat (PIR) yang dikelola
oleh perusahaan inti dan perkebunan rakyat (small holdings), yang merupakan bentuk usaha
kecil, tidak padat modal, tenaga kerja keluarga, serta penggunaan lahan yang terbatas, dan
perkebunan besar (plantation), yang merupakan bentuk pertanian skala besar dan kompleks,
padat modal, areal pertanian luas, organisasi tenaga kerja besar, dan menggunakan tegnologi
modern seperti PTPN. Jika dilihat dari jenis komoditasnya, pertanian terbagi dua yaitu
pertanian tanaman pangan (food crops), yang lebih ditujukan untuk tanaman konsumsi atau
subsisten dan pertanian tanaman perdagangan (commercial crops), yang sering juga disebut
Kedatangan Belanda ke Indonesia telah mengubah sistem perekonomian Indonesia
dari sistem ekonomi subsisten menjadi komersial melalui perusahaan-perusahaan
multinasional dan salah satunya adalah perusahaan perkebunan.1
Di samping memenuhi kebutuhan dalam negeri akan produk-produk perkebunan yang
terus meningkat, peran perkebunan dalam pembangunan nasional yang cukup besar lainnya
adalah sebagai upaya peningkatan pendapatan petani, penyediaan lapangan kerja dalam
jumlah besar, pemerataan pembangunan di daerah-daerah, penciptaan efek ganda (multiplier
effects) yang mendorong berkembangnya berbagai industri yang terkait termasuk industri-industri jasa, pembentukan pusat-pusat pertumbuhan baru, sejalan dengan pembangunan
perkebunan baru di wilayah-wilayah yang semula terpencil, membantu pemerataan Perkebunan tersebut
mempunyai peran yang cukup signifikan dan membawa suatu perkembangan unik dalam
sejarah ekonomi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan, penyebaran dan komposisi
penduduk serta perkembangan suatu daerah. Hal ini sangat berkaitan dengan perkebunan
yang sering disebut sebagai agen pembangunan (agent of development) serta memberikan
lapangan pekerjaan bagi rakyat.
Setelah proklamasi kemerdekaan, komoditas perkebunan turut memberikan saham
yang cukup besar dan berharga dalam menegakkan perekonomian rakyat dan Negara
Indonesia, serta memainkan peran yang semakin lama semakin penting dalam pembangunan
nasional. Sejak dulu usaha tani perkebunan berorientasi ekspor, dan dalam pembangunan
sekarang ini komoditas perkebunan merupakan salah satu sumber pendapatan devisa
nonmigas dalam jumlah yang cukup besar.
1
penyebaran penduduk, karena adanya kaitan antara program perluasan areal perkebunan
dengan transmigrasi dan ikut memantapkan wawasan nusantara untuk meningkatkan
ketahanan nasional.
Jika dilihat dari bentuk perusahaan perkebunan, di Indonesia dikenal tiga bentuk
utama usaha perkebunan yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Swasta (PBS),
dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Pada penelitian ini, penulis lebih menekankan pada
perkebunan kelapa sawit milik rakyat atau yang sering dikenal dengan perkebunan rakyat.
Perkebunan rakyat memegang peranan yang cukup penting dalam perekonomian Indonesia
yakni meningkatkan perekonomian rakyat, penyerapan tenaga kerja, dan sumber devisa
Negara. Selain itu, perkebunan rakyat juga dijadikan sebagai motor penggerak dari
pembangunan suatu wilayah. Oleh karena itu, sejak tahun 1980 pemerintah menetapkan
bahwa setiap perluasan perkebunan harus diikuti dengan pembangunan perkebunan rakyat di
sekelilingnya, yaitu yang biasa disebut dengan istilah plasma.2
Tingkat pendidikan rata-rata petani di Indonesia masih sangat rendah,3
2
Kumpulan Makalah, “Proceedings: Seminar dan Panel Diskusi Pengembangan dan Pembinaan Perkebunan Rakyat (28-29 Juni 1985), Medan: Percetakan Universitas Sisimangaraja XII. hlm.104.
3
Soepadiyo Mangoensoekarjo & Haryono Semangun (ed), Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 37.
sehingga
tingkat keterampilan dan kemampuan pengelolaan yang mereka miliki juga rendah terlebih
dalam memahami informasi pasar dan ditambah lagi dengan modal yang mereka miliki juga
rendah. Dengan melihat kelemahan tersebut, mudah dimengerti bahwa tingkat produktivitas
maupun hasil yang dicapai petani sangat rendah dan petani sulit diharapkan untuk mampu
Mengingat pentingnya peranan dan potensi perkebunan rakyat dalam peningkatan
perekonomian, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan
pengusahaan perkebunan kelapa sawit. Sejak pelita II telah disusun oleh Direktorat Jenderal
Perkebunan suatu kebijaksanaan pembangunan perkebunan yang memuat tentang
perkebunan rakyat sebagai sasaran utama pembangunan. Kemudian pada awal Pelita III
pemerintah melancarkan program pengembangan perkebunan secara besar-besaran dengan
berbagai pola, seperti pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR),4 pola Unit pelaksana Proyek
(UPP), pola Swadaya, Perusahaan Besar Swasta Nasional (PBSN), dan lain-lain.5
4
Perkebunan Inti Rakyat merupakan suatu pola pelaksanaan pengembangan perkebunan besar sebagai inti dan perkebuna rakyat sebagai plasma dengan melibatkan rakyat bukan sebagai buruh perkebunan, tetapi sebagai pekebun yang mandiri atau dengan kata lain pemerintah menyediakan kesempatan bagi rakyat yang terpilih untuk ikut dalam proyek PIR. Pola PIR ini dirancang tahun 1974/1975 dan diperkenalkan dalam bentuk proyek NES/PIR-BUN di daerah perkebunan pada 1977/1978.
5
Soepadiyo Mangoensoekarjo & Haryono Semangun (ed.), Op.Cit., hlm.6.
Dengan dibukanya perkebunan kelapa sawit di daerah Bagan Sinembah dengan
program pemerintah yakni PIR (Perkebunan Inti Rakyat), perekonomian masyarakatnya pun
semakin meningkat, mengingat kelapa sawit adalah komoditi ekspor yang penting dan sangat
menguntungkan. Sebelum PIR dibuka di daerah ini, masyarakatnya hanya memanfaatkan
hasil hutan sebagai sumber perekonomian mereka. Keadaan mulai menunjukkan perubahan
setelah pola PIR mulai dibuka. Dalam pola ini, PTPN atau PBS yang kemampuannya dinilai
cukup, diberi tugas untuk membuka suatu perkebunan termasuk pabrik pengolahannya. Dan
di daerah Bagan Batu sendiri PTPN yang membuka perkebunan inti rakyat disekitarnya atau
sering juga disebut sebagai bapak angkat perkebunan inti rakyat tersebut adalah PTPN-V,
yang merupakan perkebunan yang berasal dari kebun pengembangan proyek eks PTP-II,
Pertanian kelapa sawit rakyat merupakan penggerak ekonomi yang terbesar pada
masyarakat di Riau khususnya di Kecamatan Bagan Sinembah. Namun, harga kelapa sawit
yang tidak menentu sering menimbulkan kerugian bagi para petani sawit yang memiliki
modal kecil dan lahan yang tidak luas. Hal ini berdampak pada hampir semua kalangan di
daerah ini, terutama pada golongan ekonomi menengah ke bawah. Para pedagang pun sering
mengeluh akibat penurunan harga kelapa sawit. Ketika harga kelapa sawit turun, maka
terjadilah kelumpuhan perekonomian di daerah ini karena sebagian besar masyarakat di
Bagan Batu memiliki mata pencaharian sebagai petani kelapa sawit. Bila harga kelapa sawit
tinggi, petani diuntungkan, sehingga kestabilan harga kelapa sawit menentukan kestabilan
perekonomian di daerah ini.
Awalnya, daerah ini merupakan kawasan hutan yang sedikit penduduknya, yang
hanya didiami oleh beberapa penduduk pendatang dari Sumatera Utara dan penduduk asli
Riau yakni suku Melayu yang pada saat itu masih belum menetap tinggal di desa Bagan
Sinembah karena daerah tersebut pada saat itu yakni sekitar tahun 1950an dianggap tidak
menjanjikan dari segi ekonomi. Namun, seiring dengan perkembangan pertanian kelapa
sawit, daerah ini berubah menjadi daerah yang ramai, ditandai dengan pertambahan angka
penduduknya. Selain itu, perkembangan pertanian kelapa sawit yang begitu luar biasa ini,
menjadikan Bagan Batu dijuluki sebagai “Kota Sawit”.
Manusia cenderung mencari lokasi atau tempat tinggal yang terbaik untuk dirinya
maupun kelompoknya. Hal ini akan mengakibatkan pengelompokan kegiatan pada
tempat-tempat tertentu, terutama pada tempat-tempat-tempat-tempat yang mempunyai sumber daya yang baik. Pada
dan akan menimbulkan perkembangan serta perkembangan itu sendiri akhirnya menarik buat
orang lain, demikian seterusnya. Dalam ilmu ekonomi, hal ini sering dijelaskan dengan teori
pertumbuhan kegiatan ekonomi yang berakumulatif.6
Secara teoritis pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, kawasan atau pun daerah
tertentu akan diikuti oleh perubahan-perubahan mendasar dalam segala aspek kehidupan
masyarakat. Perubahan pola konsumsi masyarakat misalnya merupakan salah satu aspek
yang terlihat paling jelas. Aktivitas migrasi yang berlangsung dari satu wilayah ke wilayah
tertentu pun merupakan imbas positif yang berkembang sebagai konsekuensi pertumbuhan
ekonomi daerah bersangkutan.7 Semakin baik perkembangan ekonomi suatu daerah maka
kemungkinan terjadinya pertambahan angka migrasi pun akan semakin meningkat. Sama
halnya seperti yang dialami oleh daerah Sumatera Timur yang semakin pesat pertambahan
angka penduduknya ketika pertanian telah berkembang dan menunjukkan perkembangan dari
segi ekonomi. Seperti pepatah ada gula ada semut begitulah keadaan yang bisa digambarkan
terhadap daerah Bagan Sinembah pada saat itu. Perkembangan perekonomian sejalan dengan
pertambahan jumlah penduduknya. Dengan kata lain, dengan adanya kegiatan-kegiatan
pembangunan, terlebih pada sektor perkebunan, dapat mempengaruhi pola dan tingkat gerak
penduduk. Begitu pula sebaliknya, gerak penduduk dapat mempengaruhi dan memperlancar
pembangunan serta mengakibatkan perubahan sosial-ekonomi.8
6
Urbanus M. Ambardi, Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah: Konsep dan Pengembangan,
Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT, 2002, hlm. 61.
7
Abdul Haris & Nyoman Andika (ed), Dinamika Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia: dari perspektif makro ke realitas mikro, Yogyakarta: LESFI, 2002, hlm.21.
8
Muhammad Idrus Abustam, Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan Sosial: kasus tiga komunitas padi sawah di Sulawesi selatan, Jakarta: UI-Press, 1990, hlm. Vii.
Dalam hal ini, perjalanan
dikenal dengan masyarakat yang dinamis, baik itu perubahan yang lamban prosesnya ataupun
dengan proses yang cepat.
Persoalan di atas menarik untuk dikaji, karena pertanian kelapa sawit rakyat
memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian masyarakat di daerah ini dan
membawa perubahan-perubahan yang bersifat positif yakni kemajuan-kemajuan yang
dialami oleh daerah ini salah satunya adalah pertambahan serta keanekaragaman
penduduknya yang mencakup perkembangan perekonomian masyarakat suatu wilayah. Di
samping itu, menurut pengamatan saya, masalah ini juga belum pernah diteliti. Penelitian
mengenai pengaruh pertanian kelapa sawit rakyat terhadap perekonomian terlebih bagi
perkembangan wilayah di daerah Riau sudah pernah dilakukan, tetapi khusus di Kecamatan
Bagan Sinembah belum pernah dilakukan. Inilah alasan saya meneliti pertanian kelapa sawit
rakyat yang terletak di Kecamatan Bagan Sinembah, Riau.
Cakupan kajian ini adalah Kecamatan Bagan Sinembah sebagai satu bagian dari
Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Batasan temporalnya adalah tahun 1981-2000.
Batasan waktu berkaitan dengan pola PIR yang telah dirancang oleh pemerintah tahun
1974/1975 dan di desa Bagan Sinembah9
9
Awalnya Bagan Sinembah adalah nama sebuah desa, namun sejalan dengan perkembangan penduduknya maka berkembang menjadi sebuah Kecamatan yang terdiri dari beberapa desa.
PIR ini mulai dibuka tahun 1981 dan diserahkan
atau dikonversikan kepada rakyat sekitar tahun 1990-an. Pada tahun 1990-an ini pula
semakin banyak penduduk yang bermigrasi ke daerah ini dan mulai membuka perkebunan
kelapa sawit. Penulis membuat sampai tahun 2000, karena pengaruh pertanian kelapa sawit
masyarakat, serta perkembangan wilayah Bagan Sinembah, yakni dengan semakin
banyaknya bangunan permanen di daerah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan argumentasi di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
memfokuskan kepada :
1. Bagaimana keadaan Kecamatan Bagan Sinembah sebelum dibukanya pertanian
kelapa sawit?
2. Bagaimana perkembangan pertanian kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bagan
Sinembah tahun 1981-2000 ?
3. Bagaimana pengaruh pertanian kelapa sawit rakyat terhadap perkembangan
masyarakat di Kecamatan Bagan Sinembah Tahun 1981-2000?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diungkap dalam penelitian ini, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan keadaaan Kecamatan Bagan Sinembah sebelum dibukanya pertanian
kelapa sawit.
2. Menjelaskan perkembangan pertanian kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bagan
Sinembah tahun 1981-2000.
3. Menjelaskan pengaruh pertanian kelapa sawit rakyat terhadap perkembangan
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini nantinya adalah :
1.
Bagi displin Ilmu Sejarah, dapat menambah referensi sejarah pertanian kelapasawit di daerah Bagan Sinembah khususnya sejarah pertanian kelapa sawit rakyat.
2.
Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang pengaruhperkebunan kelapa sawit khususnya kelapa sawit rakyat terhadap perkembangan
masyarakat di daerah Bagan Sinembah tahun 1981-2000.
3.
Aspek praktis diharapkan dari hasil penelitian ini adalah menjadi masukan bagipemerintah dalam mengambil kebijakan untuk menangani masalah perekonomian
khususnya pada sektor perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah Bagan Sinembah
dan di Indonesia pada umumnya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam kajian ini, selain akan melakukan penelitian ke lapangan, peneliti juga
menggunakan beberapa literatur kepustakaan berupa buku-buku dan laporan sebagai bentuk
studi kepustakaan yang akan dilakukan selama penelitian.
Jika berbicara mengenai perkebunan, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan
mengkaji karya Karl J. Pelzer dalam Toean Keboen dan Petani (1985). Di dalam karyanya
ini, Karl J. Pelzer menjelaskan mengenai sejarah perkebunan Deli yang juga merupakan cikal
bakal perkembangan perkebunan di Sumatera Timur hingga sampai ke Riau dan Bagan
Sinembah khususnya. Sejarah perkebunan Deli dimulai ketika Jacobus Nienhuys dan para
pionir pengusaha perkebunan yang pertama kali menggarap atau membuka wilayah
perkembangan yang sangat pesat. Perkebunan tersebut yang pada saat itu menghasilkan
tanaman tembakau di tanah Deli yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys. Terbukti pada saat itu
tembakau yang dihasilkan merupakan produk yang sangat menguntungkan di pasar
perdagangan di Eropa yang kemudian menjadikan Deli penghasil daun pembungkus cerutu
termasyhur di dunia.
Sejak itu wilayah Medan menjadi ramai hingga sekarang ini. Dengan berkembangnya
perkebunan di Sumatera Timur, maka semakin berkembanglah perekonomian di daerah
tersebut. Berdatanganlah penduduk dari daerah lain yakni dari Tapanuli, Jawa (kuli kontrak),
Minangkabau dan lain sebagainya. Hal serupa juga terjadi di daerah Bagan Sinembah.
Setelah pertanian kelapa sawit berkembang dan menunjukkan hasilnya dalam bentuk
peningkatan perekonomian maka mulai berdatanganlah para penduduk dari daerah lain
seperti dari Jawa, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan lain sebagainya.
Dalam Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit (2003) yang disunting oleh Soepadiyo
Mangoensoekarjo dan Haryono Semangun dijelaskan bahwa di Indonesia dikenal tiga bentuk
utama usaha perkebunan yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Swasta (PBS)
dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Bentuk lain yang relatif baru, yaitu bentuk Perusahaan
Inti Rakyat (PIR), yang pada dasarnya merupakan bentuk gabungan antara Perkebunan
rakyat dengan Perkebunan Besar Negara atau dengan Perkebunan Besar Swasta, dengan tata
hubungan yang bersifat khusus. Juga disebutkan pola PIR dirancang tahun 1974/1975 dengan
tujuan membantu membangun pertanian rakyat di sekitarnya, atau rakyat yang dipindahkan
(transmigrasi), untuk dijadikan plasma. Perkebunan inti dan plasmanya merupakan sistem
rakyat diharapkan lebih mampu memperoleh pendapatan yang lebih layak. Dari penjelasan
buku ini, kita bisa menyimpulkan bahwa pola PIR yang diterapkan oleh pemerintah sangat
membantu perkebunan rakyat dalam mengembangkan pertanian kelapa sawitnya sehingga
sangat membantu dalam bidang perekonomian.
Fachri Yasin dalam Agribisnis Riau: Pembangunan Perkebunan Berbasis Kerakyatan
(2003), mengkaji tentang perkebunan kelapa sawit yang semakin penting peranannya dalam
ekonomi Indonesia karena membawa kontribusi besar terhadap perolehan devisa Negara.
Pada periode pertama pembangunan jangka panjang tahap pertama (PJP-I), subsektor
perkebunan kelapa sawit telah memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap Produk
Domestik Regional Bruto Provinsi Riau10
10
A.Z. Fachri Yasin, Agribisnis Riau: Pembangunan Perkebunan Berbasis Kerakyatan, Pekanbaru: UNRI Press, 2003. Hlm. 100.
dan subsektor perkebunan dalam pembangunan
nasional juga berperan sebagai penyedia lapangan kerja. Di dalam bukunya ini, Fachri Yasin
juga menambahkan bahwa pola pengusahaan perkebunan kelapa sawit telah mengalami
pergeseran, di mana Perkebunan Besar Negara dan Swasta (PBN dan PBS) tidak lagi
mendominasi perkebunan kelapa sawit dan telah melibatkan peran serta masyarakat petani
yang semakin bertambah dalam pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang terbentuk dalam
pola perkebunan swasta besar dan menengah serta perkebunan rakyat. Sehingga buku ini
sangat perlu untuk dikaji serta sangat membantu di dalam penelitian saya di dalam menulis
pengaruh perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat di Kecamatan Bagan Sinembah yakni
dalam bidang ekonomi yang berkaitan dengan penyedia lapangan kerja serta pergeseran pola
Sementara itu, Mulyadi S dalam Ekonomi Sumber Daya Manusia: Dalam Perspektif Pembangunan (2006), mengkaji tentang pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk
diakibatkan oleh empat komponen yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), migrasi
masuk dan migrasi keluar. Selisih antara kelahiran dan kematian disebut pertumbuhan
alamiah (natural-increase), sedangkan selisih antara migrasi masuk dan migrasi keluar
disebut migrasi neto (net-migration). Mulyadi juga menambahkan mengenai gambaran laju
pertumbuhan penduduk, berdasarkan hasil pendataan, dikemukakan bahwa laju pertumbuhan
penduduk tertinggi adalah Provinsi Riau yaitu sebesar 3,85%. Buku ini sangat membantu
penulis untuk menjelaskan pertambahan penduduk yang terjadi di daerah Bagan Sinembah
melalui migrasi yang sangat berkaitan dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit di
daerah ini. Buku yang ditulis oleh Mulyadi ini juga menjelaskan bahwa migrasi merupakan
perpindahan sumber daya manusia yang umumnya disebabkan oleh alasan ekonomi seperti
menyangkut pekerjaan.
1.5 Metode Penelitian
Dalam menulis kejadian masa lalu yang dituangkan dalam historiografi harus
menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara
kritis rekaman dan peninggalan masa lampau11
11
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985. Hlm. 32.
. Kemudian menurut Kuntowijoyo, Metode
sejarah ialah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan
Tulisan sejarah dianggap ilmiah jika tulisan tersebut menggunakan metode sejarah.
Dalam penerapannya, metode sejarah ada empat tahapan yaitu heuristik, verifikasi,
interpretasi dan historiografi. Heuristik yaitu proses menemukan dan mengumpulkan sumber
sesuai dengan permasalahan penelitian. Heuristik berasal dari bahasa Yunani Heurinkein
yang artinya to find. To find di sini berarti tidak hanya menemukan, tetapi mencari terlebih
dahulu baru menemukan12
Sementara itu metode wawancara (studi lapangan) dilakukan kepada orang-orang
yang terlibat atau tidak terlibat langsung dengan aktivitas di perkebunan kelapa sawit
khususnya perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah Bagan Sinembah. Wawancara . Metode yang digunakan untuk pengumpulan data atau sumber
adalah studi pustaka (library research) dan studi lapangan (field research). Studi pustaka
dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah sumber tertulis, baik primer maupun sekunder,
berupa buku, artikel, laporan penelitian, skripsi, tesis, serta disertasi yang berkaitan dengan
objek penelitian yang terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan
Daerah Sumatera Utara, Perpustakaan FISIP USU, Lembaga Penelitian Kelapa Sawit (LPKS)
yang berada di jalan Brigjen Katamso, Medan, Lembaga Penelitian USU, dan Perpustakaan
Umum Unimed. Selain buku, sumber tertulis lainnya juga berupa arsip, dokumen serta
laporan dari pemerintah daerah baik desa maupun pada tingkat Kabupaten Rokan Hilir, yang
terdapat di kantor kepala desa Bagan Batu, Kantor Camat Bagan Sinembah, Perpustakaan &
Arsip Daerah Kabupaten Rokan Hilir, Dinas Perkebunan Kab. Rokan Hilir, Dinas
Kependudukan Kab Rokan Hilir, kantor BPS Rokan Hilir yang terletak di Bagan Siapi-api,
sekitar ± 4 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan dari objek penelitian, serta ke
PTP Nusantara V Tanah Putih, Riau.
12
dilakukan dengan cara wawancara mendalam untuk memperoleh data secara lengkap tentang
permasalahan penelitian. Penentuan informan dilakukan melalui seorang informan kunci
yaitu masyarakat yang telah lama tinggal di desa Bagan Sinembah serta masyarakat yang
dianggap mengetahui secara detail permasalahan pertanian kelapa sawit rakyat di Bagan
Sinembah khususnya bagi para peserta PIR yang masih ada dan informan selanjutnya
ditentukan berdasarkan informan kunci ini atau yang dikenal dengan snow ball sampling.13
Tahapan selanjutnya adalah interpretasi yaitu membuat analisis dan sintesis terhadap
data yang telah diverifikasi. Hal ini diperlukan untuk membuat sumber-sumber yang
tampaknya terlepas satu dengan yang lainnya menjadi satu hubungan yang saling berkaitan.
Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta sehingga terdapat pemahaman terhadap
fakta sejarah baik secara tematis maupun kronologis dapat diungkapkan. Meskipun fakta
bersifat objektif tetapi tetap mengandung sifat subjektif karena ditafsirkan oleh seseorang. Setelah data terkumpul maka tahapan selanjutnya dilakukan kritik sumber baik kritik
intern maupun kritik ekstern. Kritik ekstern menyangkut dokumennya yaitu meneliti apakah
dokumen itu memang dibutuhkan, apakah asli atau palsu, utuh atau sudah diubah sebagian.
Kritik intern berupa meneliti serta isi dari data atau sumber untuk menilai kelayakan data
akan permasalahan penelitian. Tujuan dari kritik intern ini ialah untuk mendapatkan
kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari sumber tersebut, apakah isi dari sumber dapat
dipercaya atau tidak. Hal ini dilakukan melalui pengelompokan data dan membandingkannya
dengan data yang lain.
13
Dengan kata lain, tahapan ini dilakukan dengan membuat kesimpulan keterangan atau
sumber informasi yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada. Dalam artian sebagai
sejarawan, kita harus kritis terhadap data atau sumber yang ada, tidak langsung
mempercayainya begitu saja atau “menelannya secara bulat-bulat”.
Tahapan yang terakhir dalam metode sejarah adalah historiografi. Historiografi
merupakan konstruksi fakta yang terlepas satu sama lain untuk digabungkan menjadi satu
perpaduan yang harmonis, kronologis dan logis. Dalam penulisan sejarah, aspek kronologis
memang menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk menghasilkan karya sejarah yang
ilmiah dan objektif karena jika kita berbicara sejarah maka kita akan berbicara mengenai
waktu, tempat dan manusia sebagai pelakunya. Selain itu, historiografi juga merupakan
bentuk tulisan yang kritis analitis dan bersifat ilmiah. Analitis berarti membutuhkan
teori-teori dari berbagai ilmu sosial yang berguna untuk memberi informasi terhadap peristiwa
yang kita selidiki. Oleh karena itu, agar tulisan mengenai pengaruh pertanian kelapa sawit
rakyat terhadap perkembangan Kecamatan Bagan Sinembah ini dapat disajikan secara ilmiah