• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Pelayanan Klinik Infeksi Menular Seksual dengan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan IMS pada Wanita Usia Subur Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Pelayanan Klinik Infeksi Menular Seksual dengan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan IMS pada Wanita Usia Subur Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh Tahun 2013"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat

yang cukup besar di dunia termasuk di Indonesia. Kebutuhan akan adanya program

penanggulangan IMS yang efektif semakin dirasakan semenjak dibuktikan bahwa

IMS merupakan faktor resiko independen untuk penularan HIV. Kemunculan IMS

seperti penyakit gonore, klamidia, sifilis dan chancroid ternyata dapat memperbesar

resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High

Commissioner for Refugee, 2010).

IMS sering juga disebut Penyakit kelamin yaitu penyakit yang sebagian

besar ditularkan melalui hubungan seks atau hubungan kelamin. Sebelum dikenal

sebagai IMS, jenis penyakit ini sudah cukup lama dikenal dengan sebutan penyakit

kelamin (venereal disease) yang berasal dari kata venus ( dewi Cinta). Saat ini

penyakit kelamin yang dikenal baru sifilis ( syphilis) dan gonore (gonorrhea),

sedangkan istilah IMS baru dikenal setelah ditemukannya jenis penyakit kelamin

selain kedua jenis diatas. IMS dikenal pula dengan sebutan Penyakit Akibat

Hubungan Seksual (PHS) atau Sexually Transmitted Disease (STD) (Dirjen PP & PL

Kemenkes, 2013).

Pada dasarnya setiap orang yang sudah aktif secara seksual dapat tertular

(2)

yaitu orang yang suka berganti-ganti pasangan seksual. Orang yang mengidap IMS

memiliki resiko yang lebih besar untuk terinfeksi HIV yang ditularkan melalui

hubungan seks. Penderita IMS mempunyai resiko 2-9 kali lebih besar untuk tertular

HIV dibandingkan bukan penderita. Oleh karena itu program penanggulangan IMS

meliputi pengamatan penyakit, penemuan, pengobatan dan pencegahan ditingkatkan

disemua daerah ( KPA Nasional, 2007).

Menurut WHO (1999), memperkirakan 340 juta kasus baru Penyakit

menular seksual (Sifilis, Gonore, Klamidia dan Trikhomonas) terjadi setiap tahunnya

didunia. Di Negara-negara berkembang, komplikasi akibat infeksi menular seksual

diperingkat lima teratas kategori penyakit lain yang membutuhkan perawatan. Infeksi

dengan IMS dapat menyebabkan gejala akut, infeksi kronik, Infertilitas, Kehamilan

ektopik, kanker leher rahim dan kematian mendadak bayi dan orang dewasa.

( BKKBN, Depkes RI, USAID, 2012)

Semua jenis infeksi yang menyebabkan gangguan pada saluran reproduksi

perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan kepada masyarakat, sehingga akan

sangat membantu dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat. Dimana setiap

tahunnya ada sekitar 30.000 orang menderita infeksi menular seksual, sebagian besar

( 50% ) perempuan tidak menyadari dirinya terinfeksi (Yulifah, 2009).

Dari berbagai penelitian terbatas diketahui angka prevalensi IMS di

Indonesia cukup tinggi, misalnya penelitian pada 312 perempuan klien KB di Jakarta

Utara (1997): angka prevelensi 24,7% dengan infeksi klamidia yang tertinggi yaitu

(3)

599 perempuan hamil didapatkan infeksi virus Herpes simpleks sebesar 9,9%,

Klamidia 8,2%, Trikomonas 4,8%, Gonore 0,8% dan Sifilis 0,7%. Suatu survey di 3

Puskesmas di Surabaya (1999) pada 194 perempuan pengunjung KIA/KB diperoleh

proporsi tertinggi infeksi trikhomonas 6,2%, sifilis 4,6% dan klamidia 3,6% ( Depkes,

2007 ).

IMS dan HIV/AIDS dapat timbul pada semua orang yang berhubungan

kelamin dengan banyak pasangan atau bahkan dengan satu pasangan yang telah

berhubungan seksual dengan orang lain. Di Indonesia, dari bulan Oktober sampai

dengan Desember 2012 jumlah infeksi baru HIV yang dilaporkan sebanyak 6.139

kasus. Dimana persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur

25-49 tahun (61,6%), diikuti kelompok umur diatas 50 tahun (20,1%) dan kelompok

umur 20-24 tahun (12,5%) (Ditjen PP & PL Kemenkes, 2013).

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Untuk Propinsi Aceh/ KPAP Aceh,

jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS serta IMS lain di propinsi Aceh

meningkat dan kejadian ini telah menyuarakan keprihatinan dari banyak pihak. Data

terakhir pada tahun 2009 menunjukkan bahwa 47 orang di Aceh telah terinfeksi oleh

HIV (Crurch World Service, 2009). Sedangkan data tahun 2012 menunjukkan bahwa

kasus HIV sebanyak 85 orang. Ada beberapa kondisi yang telah memberikan

kontribusi terhadap situasi tersebut seperti terbatasnya sumber informasi dan

pendidikan mengenai masalah-masalah tersebut (Ditjen PP & PL Kemenkes, 2013).

Upaya pencegahan dan penanggulangan IMS/HIV-AIDS ditingkat

(4)

pencegahan dan penanggulangan IMS dengan pendekatan sindrom. Saat ini masih

ditemui hambatan sosiobudaya yang sering mengakibatkan ketidaktuntasan dalam

pengobatannya, sehingga menyebabkan laju epidemi HIV meningkat terutama

melalui hubungan seksual (Depkes, RI, 2007).

Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan Juni 2012, kasus

HIV/AIDS tersebar pada 498 kabupaten/kota diseluruh (33) provinsi di Indonesia.

Sampai dengan tahun 2005 jumlah kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 859 kasus,

tahun 2006 sebanyak 7.195 kasus, tahun 2007 sebanyak 6.048 kasus, tahun 2008

sebanyak 10.362 kasus, tahun 2009 sebanyak 9.793 kasus, tahun 2010 sebanyak

21.591 kasus, tahun 2011 sebanyak 21.031 kasus, dimana untuk Aceh sendiri terdapat

65 kasus HIV (Dirjen PP &PL, 2012).

Perkembangan epidemi HIV/AIDS telah menyebabkan penyakit tersebut

menjadi masalah global dan semakin nyata menjadi masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia. Dalam rangka mempercepat upaya penanggulangan HIV dan AIDS di

Indonesia, sangatlah penting untuk memadukan upaya pencegahan dengan upaya

perawatan, dukungan serta pengobatan dimana keduanya merupakan komponen

penting dan saling melengkapi. Kurang disadarinya resiko penularan IMS, HIV/AIDS

oleh kelompok beresiko serta masih rendahnya kesadaran untuk mengetahui status

HIVnya yang ditunjukkan dengan masih cukup besar kasus AIDS yang ditemukan

pada stadium lanjut di rumah sakit. Keadaan ini menyebabkan tingginya kematian

(5)

pengendalian epidemik HIV dan AIDS (Komisi Penanggulangan AIDS, Family

Health International, 2009).

Berdasarkan profil kesehatan Dinkes Aceh tahun 2011 terdapat kasus

penyakit infeksi menular seksual sebanyak 379 kasus dan HIV/AIDS sebanyak 65

kasus. Data dari Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh menunjukkan kasus IMS pada

tahun 2011 sebanyak 91 orang dan tahun 2012 sebanyak 74 orang. Sedangkan data

dari Puskesmas Kuta Alam didapatkan untuk tahun 2011 dari 93 kasus IMS terdapat

penderita Sifilis 15 orang (16,13%), Gonore 48 orang (51,61%), Uretritis 2 orang

(2,15%), Servicitis 2 orang (2,15%), Suspec GO 19 orang (20,43%) dan lain-lain 7

orang (3,57%). Pada tahun 2012 dari 270 kasus IMS terdapat penderita Sifilis 62

orang (22,96%), Herpes genital 5 orang (1,85%), Urethritis 5 orang ( 1,85%),

Gonore 36 orang ( 13,3% ), Kandidiasis 16 orang ( 5,92%), Servicitis 44 orang

( 16,29%), Trikomoniasis 2 orang (0,74%), Suspec GO 54 orang (20%) dan lain-lain

46 orang ( 8,53%). Dari data dapat kita lihat pada kenyataannya terjadi peningkatan

dari jumlah kasus yang mengalami IMS tersebut ( Puskesmas Kuta Alam, 2012 ).

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Aulia M, 2011, pada Rumah

Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh didapatkan kasus penyakit Infeksi

Menular Seksual pada tahun 2008-2010 berjumlah 113 kasus, 20 kasus pada 2008, 36

kasus pada 2009 dan 56 kasus pada 2010. IMS yang paling banyak dijumpai di

Rumah Ssakit Umum dr. Zainoel Abidin adalah Gonore (40,7%).

Menurut Widodo ( 2009 ) dalam Fitriana (2012), fenomena peningkatan dan

(6)

bahwa penyakit infeksi menular seksual yang sangat berpotensi meningkatkan risiko

penularan HIV melalui hubungan seksual sehingga sangat membutuhkan perhatian

dalam pencegahan dan penanggulangannya. Upaya tersebut tentunya harus didukung

dari tingkat pelayanan yang diberikan secara komprehensif.

Pemerintah pada saat ini sudah membuat program penanggulangan penyakit

menular seksual termasuk HIV/AIDS dikabupaten/kota, dimana untuk Puskesmas

Kuta Alam Banda Aceh hanya beberapa program saja yang sudah dilaksanakan,

diantaranya program Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) sebagai upaya

komunikasi perubahan perilaku (KPP) atau Behavior Change Communication (BCC),

Program kondom 100%, Program penanganan IMS, Konseling dan testing sukarela

(VCT).

Berdasarkan standar minimum klinik IMS, maka setiap klinik IMS harus

melakukan hal-hal seperti kegiatan pencegahan, target pelayanan bagi kelompok

beresiko, kelompok inti, kelompok penghubung, pelayanan yang efektif yaitu

pengobatan secepatnya bagi orang dengan gejala IMS, program penapisan, program

penatalaksanaan mitra seksual, system monitoring dan surveilen yang efektif

(Depkes, USAID, Family Health International,2007).

Dibentuknya klinik IMS didaerah, bukan berarti pemerintah melegalkan

keberadaan prostitusi, sehingga harus menfasilitasi pembentukan sebuah klinik. Akan

tetapi lebih didorong atas pesan moral pada individu. Setelah pesan moral dilakukan

dengan memberikan penyuluhan bahaya penyakit seks, pencegahan dan yang terakhir

(7)

fungsi sosialnya yaitu menyediakan tempat kesehatan secara khusus dan bukan

berbentuk klinik umum lagi. Ini dimaksudkan agar orang lebih mudah mengenali dan

terarah. Klinik IMS diharapkan mampu mencegah penularan penyakit PMS seperti

HIV/AIDS ( Raharjo dalam Mardin Purba, 2009).

Puskesmas Kuta Alam merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang

dipilih di kota Banda Aceh sebagai wujud dalam membantu upaya pencegahan dan

penanggulangan penyakit menular seksual yang bekerja sama dengan Global Fund

untuk Aceh mulai dibentuk pada tahun 2010. Pelayanan yang diberikan diantaranya

konseling , terapi obat, sosialisasi kondom yang masih belum sepenuhnya terealisasi

sedangkan bagi pasien yang gejala kemungkinan HIV maka dilakukan rujukan

pemeriksaan lebih lanjut ke Rumah Sakit Pemerintah. Selain itu pelayanan IMS yang

diberikan diklinik IMS tersebut seminggu 2 kali yaitu setiap hari Selasa dan hari

Rabu yang dikarenakan fasilitas terbatas dengan kunjungan pasien umum lainnya.

Penapisan terhadap pasien IMS khususnya wanita usia subur beresiko masih

menghadapi kendala dilapangan bahwasanya pasangan mereka tidak membolehkan

melakukan pemeriksaan dan pengobatan secara terpadu. WUS beresiko tersebut juga

merasa takut diketahui oleh orang kalau ia mengalami penyakit infeksi menular

seksual dan adanya rasa malu dari wanita usia subur beresiko tersebut untuk

memperoleh pelayanan dan pengobatan tentang IMS. Terkadang mereka yang

mengalami penyakit tersebut akan melakukan pengobatan secara tradisional. Kondisi

demikian disebabkan oleh lingkungan dan kehidupan adat istiadat yang kental serta

(8)

pelayanan diklinik IMS tersebut belum dapat menjaring para WUS beresiko yang

mengalami IMS dalam melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan IMS.

Meningkatnya angka kejadian penyakit Infeksi Menular seksual dikalangan

dewasa muda terutama wanita merupakan bukti bahwa wanita dalam hal ini sering

menjadi korban dari IMS. Karena jika seorang wanita terkena IMS, maka wanita

tersebut akan lebih tidak menunjukkan gejala jika dibandingkan dengan laki-laki.

Wanita dengan IMS tidak menunjukkan gejala apapun sehingga cendrung tidak akan

mengobati infeksinya karena tidak ada gejala penyakitnya seperti pada gejala

keputihan yang sering muncul pada wanita yang merupakan hal biasa, jika tidak

ditanggulangi dengan cepat akan memicu terjadinya servicitis atau peradangan

panggul. Biasanya WUS beresiko tersebut baru akan mengunjungi klinik atau

memeriksa jika kondisinya sudah tidak baik dan pengobatan tradisional tidak berhasil

menyembuhkan.

Menurut Raharjo (2005) dalam Mardin Purba, 2009, faktor-faktor yang

memperlambat upaya mengurangi resiko penyebaran IMS adalah kurangnya akses

penderita IMS kesarana pelayanan kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi yang

tidak strategis, keterbatasan biaya dalam membeli kondom di apotik, toko lain atau

klinik, kurangnya rasa percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negative terhadap

kegiatan seks dan penggunaan alat kontrasepsi atau karena ada larangan .

Berdasarkan uraian tersebut diatas, peneliti mencoba untuk mengetahui

Hubungan Pelayanan Klinik IMS dengan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

(9)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah “ Bagaimana Hubungan Pelayanan Klinik Infeksi Menular Seksual dengan

Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Infeksi Menular Seksual pada

Wanita Usia Subur Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh Tahun 2013“.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Pelayanan Klinik

IMS dengan Upaya pencegahan dan Penanggulangan IMS pada Wanita Usia Subur

Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh Tahun 2013.

1.4. Hipotesis

Ada Hubungan Pelayanan Klinik Infeksi Menular Seksual dengan Upaya

Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual pada Wanita Usia Subur

Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh Tahun 2013.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Diharapkan bagi lahan penelitian dapat meningkatkan Program pelayanan sesuai

dengan standar minimun klinik IMS .

2. Sebagai masukan bagi tenaga kesehatan agar memberikan advokasi dan

(10)

3. Memperkaya wawasan dan implementasi ilmu yang diperoleh dari perkuliahan

penanggulangan IMS.

4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti

Referensi

Dokumen terkait

Persentase jenis campur kode yan terdapat pada majalah Orange tahun 2017, khususnya pada edisi LXIII, LXIV, LXV, dan LXVI yang berasal dari bahasa Jawa merupakan campur kode

Di depan sudah dijelaskan bahwa faedah membaca shalawat yang paling besar manfaatnya adalah inthibâ‘u ash-shûrati Rasulillah ‘alâ qalb al-mushalli (tercetaknya

PENGERTI AN PEMI LI KAN TANAH

Menurut teori Azwar 2016 bahwa sikap seseorang bisa berubah setelah diberikan tindakan yang berulang kali sehingga pada penelitian ini ada pengaruh pemberian promosi

Dari data tersebut menunjukkan bahwa rata- rata diameter terbesar secara keseluruhan yaitu pada media umbi talas konsentrasi 90% untuk pertumbuhan jamur tiram (M2J1)

Universitas Sumatera Utara... Universitas

Pandangan ini kemudian dapat dikoreksi melalui dua hal: pertama , penjelasan kepala PLD kepada Ketua LPPM bahwa dalam konteks pendidikan inklusif, rencana menempatakan difabel

Selain subektor jasa perdagangan hasil laut, beberapa subsektor lain yang memiliki nilai output total yang besar adalah subsektor penambangan migas lepas pantai,