• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian - Kesiapan Perawat Dalam Memberikan Pelayanan Keperawatan Pada Pasien HIV/AIDS Di RSUD Kota Dumai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian - Kesiapan Perawat Dalam Memberikan Pelayanan Keperawatan Pada Pasien HIV/AIDS Di RSUD Kota Dumai"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pengertian

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV (human Immunodevficiency virus) (Djoerban, 1999).Syndrome imunodefisiensi yang didapat (AIDS, acquired immunodeficiency syndrom) diartikan sebagai bentuk paling berat dari keadaan sakit terus-menerus yang berkaitan dengan infeksi human immunodefiency virus (HIV) (Smeltzer&Bare, 2008).

Jadi dapat disimpulkan AIDS merupakan penyakit menular seksual yang ditularkan oleh virus HIV yang menyerang system kekebalan tubuh.

2.2.Patofisiologi

(2)

sendiri, dengan cara masuk kedalam sel tersebut dan selanjutnya melalui bantuan sel itu dapat dihasilkan virus-virus baru dari jenis yang sama.

Rachimhadhi (1999) mengatakan sebelum seseorang menderita penyakit AIDS pada umumnya selalu didahului oleh infeksi HIV. Agar dapat masuk ke dalam sel tubuh, virus membutuhkan reseptor khusus yang dikenal dengan nama CD4 antigen, yang hanya terdapat pada permukaan sel limfosit T-4, monosit dan makrofag. Setelah HIV melekat ke reseptor CD4 antigen, selanjutnya HIV masuk kedalam sel itu dengan cara endositosis. Selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun HIV dalam sel tersebut dalam keadaan tidak aktif. Fase ini dikenal sebagai fase laten. Fase laten berakhir setelah virus menjadi aktif berkembang biak.

Murtiastutik (2007); Smeltzer&Bare (2008) mengatakan, Untuk mengaktifkan HIV dalam fase produktif diperlukan faktor- faktor tertentu. Faktor-faktor ini belum jelas benar, namun diduga apabila penderita tersebut mendapatkan infeksi virus lain, seperti misalnya infeksi cytomegalo virus, virus herpes simpleks, dan virus hepatitis B, maka HIV akan menjadi aktif dan berkembang biak. Dalam proses pengaktifan virus ini sel dimana HIV bersarang, yaitu sel limfosit T-4 dihancurkan. Akibatnya tubuh penderita akan mengalami kehilangan banyak sel limfosit T-4 dan akibat selanjutnya ialah kelemahan dan kerusakan kekebalan tubuhnya. Kerusakan system kekebalan tubuh penderita akan menyebabkan penderita lebih mudah mendapat infeksi parasit, virus dan jamur jenis tertentu, disamping mungkin pula menderita kanker jenis tertentu.

(3)

lain, adanya antibody spesifik ini merupakan pertanda bahwa orang itu pernah terpapar HIV. Immunoglobin dalam sirkulasi darah bertambah terutama IgA dan IgB. Akibat kelainan fungsi limfosit T-4 dan karena limfosit B terinfeksi HIV, maka fungsi limfosit B berkurang, yang akan menyebabkan respon limfosit B terhadap antigen lain juga berkurang. Kerusakan kekebalan tubuh penderita akibat HIV berbeda dengan penyakit infeksi lainnya yang dapat menurunkan kekebalan tubuh dalam jangka waktu tertentu, dan setelah infeksi tersebut sembuh, kekebalan tubuh akan kembali normal. Hal ini tidak berlaku untuk infeksi HIV karena kerusakan tubuh yang tejadi bersifat menetap (Rachimhadhi,1999).

2.3.Tanda dan gejala

Menurut Murtiastutik (2007); Smeltzer&Bare (2008); Tengadi (1996) tanda dan gejala HIV/AIDS dibagi menjadi 4 sub- grup yaitu gejala konstitusi, gejala neurologis, gejala infeksi, dan gejala tumor.

1. Gejala konstitusi

Penderita mengalami paling sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa :

a. Demam terus menerus lebih dari 37°C b. Kehilangan berat badan 10% atau lebih

c. Radang kelenjer getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjer getah bening diluar daerah inguinal

d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

(4)

2. Gejala neurologis

Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beraneka ragam seperti kelemahan otot, kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinansi, mudah lupa, psikosis dan dapat sampai koma (gejala radang otak) 3. Gejala infeksi

Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan tubuh penderita sudah sangat lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi sama sekali bahkan pathogen yang normal dalam tubuh manusia. Infeksi ditemukan antara lain :

a. Pneumocystic carinii pneumonia (PCP)

Merupakan infeksi paling sering ditemukan pada penderita AIDS (80%). Dengan gejala batuk-batuk, sesak nafas (dispnea), nyeri dada.

b. Tuberculosis

Penyakit ini cenderung terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi HIV dan biasanya mendahului diagnosis AIDS

c. Infeksi mukokutan

(5)

4. Gejala tumor

Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalah Sarkoma Kaposi dan limfoma maligna non- hodkin. Diantara kedua keganasan ini, yang paling sering ditemukan adalah Sarkoma Kaposi dengan gejala berupa bercak merah coklat, ungu atau kebiruan pada kulit yang pada awalnya hanya berdiameter beberapa millimeter, tetapi dalam perkembangan selanjutnya membesar sampai beberapa sentimeter.

Infeksi HIV menyebabkan suatu penyakit dengan spectrum yang luas, mulai dari golongan penyakit tanpa gejala tetapi pemeriksaan darahnya menunjukkan adanya infeksi HIV, sampai pada go longan AIDS yang merupakan stadium akhir dan mematikan dari spectrum ini. Karena penyakit HIV itu mempunyai spectrum yang luas, maka penyakit ini mulai dari awal infeksi HIV sampai stadium akhir (Rachimhadhi, 1999).

Menurut Hudak&Gallo (1996) transmisi infeksi HIV/AIDS terdiri dari lima fase, yaitu:

1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi, tidak ada gejala

2. Fase infeksi primer akut. Lamanya 1-2 minggu, sakit seperti flu. 3. Infeksi asimtomatik. 1-15 tahun atau lebih dengan tidak ada gejala.

(6)

5. AIDS lamanya bervariasi: 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS. Didapatkan infeksi oportunistik berat dan tumor-tumor pada setiap system tubuh, manifestasi neurologic.

2.4.Kriteria Diagnostik HIV/AIDS.

Nursalam dan Dian. K (2007) mengatakan WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS menjadi klasifikasi laboratorium dan klinis.

a) Klasifikasi laboratorium Limfosit CD4+/

b) Klasifikasi klinis

Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia. Dalam hal ini pasien bisa didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor didefenisikan sebagai HIV simptomatik. Gejala Mayor :

• Penurunan berat badan = 10%

(7)

• Diare kronis • Tuberculosis

Gejala Minor :

• Kandidiasis orofaringeal

• Batuk menetap lebih dari satu bulan • Kelemahan tubuh

• Berkeringat malam • Hilang nafsu makan • Infeksi kulit generalisata • Limfadenopati generalisata • Herpes zoster

• Infeksi Herpes simplex kronis • Pneumonia

• Sarcoma Kaposi

Diagnosis HIV pada anak

(8)

pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat bulan. Jika tes ini negatif, maka bayi tidak terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI maka bayi beresiko tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan, pemeriksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain.

2.5.Penularan

Isselbacher (2000); Murtiastutik (2007) mengatakan, HIV ditularkan melalui kontak seksual, homoseksual dan heteroseksual; melalui darah atau produk darah; dan oleh ibu yang terinfeksi kepada bayinya intrapartum, secara perinatal, atau melalui air susu ibu. Sampai dekade kedua epidemic, tidak terdapat bukti bahwa HIV ditularkan melalui kontak biasa atau bahwa vir us dapat disebarkan oleh serangga misalnya gigitan nyamuk.

a. Penularan seksual. Kontak seksual adalah cara utama penularan diseluruh dunia. Walaupun penularan melalui kontak homoseksual merupakan cara tersering penularan seksual di Amerika, diseluruh dunia penularan heteroseksual merupakan cara penularan tersering, terutama di negara- negara yang sedang berkembang.

(9)

c. Disamping itu kontak dengan darah atau sekret yang infeksius terjadi melalui tranfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV. Penularan lainnya dapat terjadi melalui jarum suntik atau alat kesehatan lainnya yang ditusukkan atau tertusuk kedalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Hal ini bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan. Penularan juga dapat terjadi melalui transplantasi organ pengidap HIV.

2.6.Pencegahan Penularan HIV/AIDS

Dengan memahami cara penularan HIV, maka akan lebih mudah melakukan langkah- langkah pencegahannya. Menurut UNAIDS (2006) secara mudah pencegahan HIV dapat dilakukan dengan rumusan ABCD yaitu:

A = Abstinence, tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah.

B = Being faithful, setia pada satu pasangan, atau menghindari berganti-ganti pasangan seksual.

C = Condom, bagi yang beresiko dianjurkan selalu menggunakan kondom secara benar selama berhubungan seksual.

D= Drugs injection, jangan menggunakan obat (narkotika) suntik dengan jarum tidak steril atau digunakan secara bergantian.

(10)

HIV/AIDS. Disisi lain, dengan kemajuan ilmu dan teknologi dibidang kesehatan, HIV/AIDS yang tadinya merupakan penyakit progresif yang mematikan bergeser menjadi penyakit kronis yang bisa dikelola. Meskipun belum ditemukan obat yang bisa membunuh virus secara tuntas, dengan ditemukannya obat antiretroviral, para penderita HIV/AIDS bisa lebih meningkat usia harapan hidupnya. Hal ini tentunya harus didukung oleh upaya perawatan yang adekuat agar tercapai kualitas hidup yang optimal (Djoerban, 1999).

2.7.Penerapan tehnik pencegahan umum dipelayanan kesehatan dalam mencegah resiko penularan HIV/AIDS

Menurut Yanri (2005) pencegahan umum atau dengan kata lain “kewaspadaan universal (universal precaution)” merupakan salah satu upaya pengendalian infeksi disarana pelayanan kesehatan yang telah dikembangkan oleh Departemen Kesehatan RI sejak tahun 1980-an. Penerapan pencegahan umum didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Prinsip utama prosedur kewaspadaan universal adalah menjaga hygiene individu, sanitasi ruangan, dan sanitasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi lima kegiatan pokok yaitu:

1) Cuci tangan untuk mencegah infeksi silang.

(11)

menyentuh darah, cairan tubuh, atau ekskresi pasien. Tiga cara cuci tangan dilaksanakan sesuai kebutuhan yaitu cuci tangan hygienis atau rutin untuk menghilangkan kotoran dengan menggunakan sabun atau deterjen, cuci tangan aseptic yang dilakukan sebelum melakukan tindakan aseptic ke pasien, cuci tangan ini dilakukan dengan menggunakan zat antiseptic, dan cuci tangan bedah yang dilakukan sebelum melakukan tindakan bedah cara aseptic. Sarana yang perlu dipersiapkan untuk melakukan cuci tangan adalah air mengalir, sabun dan deterjen, larutan antiseptic, dan pengering dari mulai handuk/lap bersih, kain lap atau handuk steril sampai alat pengering tangan (hand drier).

2) Pemakaian alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker, kaca mata, barak short dan sepatu pelindung.

Tidak semua alat pelindung diri harus dipakai pada waktu bersamaan, tergantung pada jenis tindakan yang akan dikerjakan. Misalnya ketika akan menolong persalinan sebaiknya semua pelindung diri dipakai untuk mengurangi kemungkinan terpajan darah/cairan tubuh pada petugas, namun untuk tindakan menyuntik atau memasang infus, cukup dengan memakai sarung tangan.

3) Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai.

(12)

a. Dekontaminasi, yaitu menghilangkan mikroorganisme pathogen dan kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya. Cara dekontaminasi yang lazim dilakukan adalah dengan merendam alat kesehatan dalam larutan desinfektan misalnya klorin 0,5% selama 10 menit.

b. Pencucian, dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang kasat mata dengan cara mencuci dengan air, sabun/deterjen, dan sikat.

c. Sterilisasi, yaitu proses menghilangkan seluruh mikroorganisme termasuk endosporanya dari alat kesehatan. Cara sterilisasi yang sering dilakukan adalah dengan uap panas bertekanan, pemanasan kering, gas etilin oksida, dan zat kimia cair. Dengan kata lain, penggolongan cara sterilisasi juga dapat dikategorikan cara fisik seperti pemanasan, radiasi, filtrasi, dan cara kimiawi dengan menggunakan zat kimia.

d. Penyimpanan, penyimpanan yang baik sama pentingnya dengan proses sterilisasi atau desinfeksi itu sendiri. Ada dua metoda penyimpanan yaitu cara terbungkus dan tidak terbungkus.

4) Pengelolaan jarum dan benda tajam untuk mencegah perlukaan

(13)

tidak perlu dilakukan, jadi jarum suntik bersama syringnya lansung saja dibuang ke kotak khusus. Jika sangat diperlukan untuk menutup kembali, misalnya karena masih ada sisa obat yang bisa digunakan, maka penutupan jarum suntik kembali dianjurkan dengan menggunakan teknik satu tangan (single handed recapping method).

5) Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan

Secara umum limbah dapat dibedakan menjadi limbah cair dan limbah padat, namun lebih khusus lagi limbah yang berasal dari rumah sakit dibedakan menjadi:

a. Limbah rumah tangga atau limbah non medis

b. Limbah medis terdiri dari limbah klinis, laboratorium

c. Limbah berbahaya yaitu limbah kimia yang mempunyai sifat beracun misalnya senyawa radioaktif dan bahan sitotoksik.

Cara penanganan limbah di sarana pelayanan kesehatan harus dimulai dari tempat sampah diproduksi dengan cara :

a. Pemilahan, dilakukan dengan menyediakan wadah yang sesuai dengan jenis sampah, misalnya hitam untuk limbah non medis, kuning untuk limbah medis infectious, dan merah untuk bahan beracun, dan seterusnya.

b. Semua jenis limbah ditampung dalam wadah berupa kantong palstik yang kedap air.

(14)

d. Pengumpulan sampah dari ruang perawatan atau pengobatan harus tetap pada wadahnya jangan dituangkan pada gerobak terbuka.

e. Petugas yang menangani sampah harus selalu menggunakan sarung tangan dan sepatu serta selalu mencuci tangan selesai mengambil sampah.

f. Sampah dari tempat penampungan sementara diangkut ke tempat pemusnahan. System pemusnahan yang dianjurkan adalah dengan pembakaran (insenerasi) pada suhu tinggi (>1200°C).

2.8.Profilaksis Pasca Pajanan HIV (PPP)

Menurut Direktorat Kesehatan Angkatan Darat (2011) profilaksis pasca pajanan HIV merupakan tindakan pencegahan terhadap petugas kesehatan yang tertular HIV akibat tertusuk jarum, tercemar darah dari penderita atau mayat penderita HIV.

1. Faktor yang mempengaruhi profilaksis pasca pajanan HIV yaitu jumlah dan jenis cairan yang mengenai, dalamnya tusukan/luka, dan tempat perlukaan/paparan

2. Indikasi pemberian PPP

a. Tertusuk/luka superficial yang merusak kulit oleh jarum yang telah terpapar sumber dengan HIV yang asimptomatik. Membran mukosa terpapar oleh darah terinfeksi dalam jumlah banyak, dari sumber HIV yang asimtomatik (tergantung dari banyak tidaknya volume tetesan)

(15)

c. Terpapar dengan orang HIV yang asimtomatik lewat tusukan yang dalam jarum berlubang yang berukuran besar.

d. Luka tusukan jarum dengan darah yang terlihat dipermukaan jarum

e. Luka tusukan jarum yang telah digunakan untuk mengambil darah arteri atau vena pasien

f. Luka tusuk dari jenis jarum apapun yang telah digunakan pada sumber dengan HIV yang asimtomatik

g. Membran mukosa yang terpapar oleh darah yang terinfeksi HIV dalam jumlah yang banyak dari sumber HIV yang simtomatik.

h. Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai derajat paparan dari sumber dengan status HIV tidak diketahui tetapi memiliki faktor resiko HIV

i. Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai derajat paparan dari sunber yang tidak diketahui status HIV dan tidak diketahui faktor resikonya namun dianggap sebagai sumber HIV

j. Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapapun dari sumber yang tidak diketahui status HIV tetapi memiliki faktor resiko HIV k. Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapa pun dari

sumber yang tidak diketahui statusnya HIVnya, namun sumber tersebut dianggap sebagai sumber HIV

3. Penatalaksanaan Pasca Pajanan

(16)

b. Penanganan luka c. Beri Informed consent d. Lakukan test HIV

e. Pemberian ARV profilaksis

f. Penanganan tempat paparan/luka : segera

1) Luka tusuk : bilas air mengalir dan sabun/antiseptic 2) Pajanan mukosa mulut : ludahkan dan kumur

3) Pajanan mukosa mata : irigasi dengan air/garam fisiologis

4) Pajanan mukosa hidung : hembuskan keluar dan bersihkan dengan air, jangan dihisap dengan mulut, jangan ditelan.

Desinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan salah satu : 1) Betadine (povidon iodine 2,5%) selama 5 menit

2) Alcohol 70% selama 3 menit

a. Pelaporan terjadinya paparan. Rincian waktu, tempat, paparan dan konseling serta manajemen pasca paparan

b. Evaluasi dan resiko transmisi

c. Konseling berupa resiko transmisi, pencegahan transmisi sekunder, tidak boleh hamil dan sebagainya.

(17)

4. Pengobatan

Penggunaan ART dilakukan sesegera mungkin setelah terpapar cairan atau bahan yang mengandung HIV dengan mempertimbangkan resiko (drug toxicity) dan manfaat pemakaian ART tersebut.

1) Diberikan selama 1 bulan

2) Diberikan ha nya hasil test HIV negative

3) Diberikan 4 jam setelah paparan maksimal 48 jam setelah paparan 4) Rejimen yang digunakan adalah :

a) AZT/TDF + 3TC + EFV b) AZT/TDF + 3TC + Lop/r c) AZT + 3TC

5. Pemantauan

Tes antibody dilakukan pada minggu ke-6, minggu ke -12, dan bulan ke 6. Dapat diperpanjang sampai bulan ke 12.

2.9.Konsep kesiapan

(18)

a. Kondisi fisik, mental dan emosional b. Kebutuhan-kebutuhan, motif dan tujuan c. Ketrampilan dan pengetahuan

2.9.1. Konsep pengetahuan

Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya (Keraf; Dua, 2001). Baik secara perorangan atau bersama, ternyata pengetahuan berlansung dalam dua bentuk dasar yang berbeda. Bentuk pertama adalah pengetahuan hanya untuk memenuhi kepuasan hati manusia. Bentuk yang kedua adalah pengetahuan untuk digunakan dan diterapkan, misalnya untuk melindungi dan membela diri, memperbaiki tempat tinggal, mempermudah pekerjaannya, memperlancar hubungan dengan orang lain, mencegah bencana, meningkatkan kesehatan, dan lain sebagainya (Verhaak & Iman, 1991).

Menurut Notoatmojo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu akibat proses penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan tersebut terjadi sebagian besar dari penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan dalam kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: mengetahui (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis),dan evaluasi (evaluation).

(19)

kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan menginterpretasikan materi secara benar. Ketiga, aplikasi (application) yaitu kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada kondisi nyata. Keempat, analisis (analysis) yang diartikan sebagai menguraikan materi kedalam komponen-komponen yang berkaitan satu dengan lainnya. Tingkatan kelima adalah sintesis (syhthesis) yaitu kemampuan menyimpulkan materi sebagai suatu bentuk keseluruhan yang baru. Tingkatan tertinggi yaitu evaluasi (evaluation) yang berkaitan dengan kemampuan.

Menurut Nursalam dan Dian. K (2007) dalam memberikan pelayanan keperawatan pada pasien HIV/AIDS perawat perlu mempunyai pemahaman yang benar mengenai AIDS dan perlu disebarluaskan.Kenyataan bahwa dalam era obat antiretroviral, AIDS sudah menjadi penyakit kronik yang dapat dikendalikan juga perlu dimasyarakatkan karena konsep tersebut dapat memberi harapan pada masyarakat dan penderita HIV/AIDS bahwa penderita AIDS dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik dan berfungsi di masyarakat.Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan konseling, edukasi yang benar tentang HIV/AIDS baik pada penderita, keluarga dan masyarakat. Sehingga penderita, keluarga maupun masyarakat dapat menerima kondisinya dengan sikap yang benar dan memberikan dukungan kepada penderita.

(20)

akan semakin tinggi daya serapnya terhadap informasi yang didapatkannya, sehingga tingkat pengetahuannya semakin tinggi.

2.9.2. Konsep kesiapan mental

Seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya selalu berhubungan dengan penderita, keluarga, teman seprofesi, dan profesi lain yang memiliki kepribadian bermacam- macam dan unik. Oleh karena itu, seorang perawat hendaknya dapat memahami kepribadian pasien, keluarga pasien, teman sejawat, penyelia, instruktur. Disamping itu seorang perawat hendaknya dapat memahami perbedaan kepribadian yang ia miliki dan menyadari ciri-ciri yang khas yang ia miliki agar dapat membantu memudahkan berinteraksi secara positif dengan orang lain (Sunaryo, 2004).

Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada pasien HIV/AIDS perawat mampu memberikan dukungan emosional, membuat pasien merasa nyaman; dihargai; dicintai dan diperhatikan.Peran seorang perawat dalam mengurangi beban psikis seorang penderita AIDS sangatlah besar. Lakukan pendampingan dan pertahankan hubungan yang sering dengan pasien sehingga pasien tidak merasa sendiri dan ditelantarkan. Tunjukkan rasa menghargai dan menerima orang tersebut. Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri klien. Aspek spiritual juga merupakan salah satu aspek yang tidak boleh dilupakan perawat (Nursalam & Dian 2007).

(21)

hubungan telepon dan aktivitas sosial dalam tingkat yang memungkinkan bagi pasien. Partisipasi orang lain, bantuan dari orang terdekat dapat mengurangi perasaan kesepian dan ditolak yang dirasakan oleh pasien. Perawat juga perlu melakukan pendampingan pada keluarga sehingga keluarga dapat berespons dan memberi dukungan bagi penderita.

Dalam memberikan perawatan mereka bukan saja menghadapi tantangan fisik tetapi juga muncul kekhawatiran, yang dikemukakan oleh para profesional kesehatan meliputi persoalan seperti perasaan takut tertular. Penderita yang sudah terikat dengan prilaku yang terstigmatisasi yang berlawanan dengan nilai agama, moral, perawat dapat memiliki keengganan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien ini. Disamping itu para petugas masih mempunyai perasaan takut dan cemas terhadap kemungkinan tertular penyakit tersebut kendati mereka sudah diberikan penyuluhan tentang pengendalian infeksi, perawat dianjurkan untuk memeriksa kepercayaan dirinya dan menggunakan proses klarifikasi nilai untuk mendekati persoalan yang kontroversial (Smeltzer & Bare, 2002).

2.9.3. Konsep kesiapan Fisik

Referensi

Dokumen terkait

Prestasi belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar sedangkan faktor

Menurut Parakkasi (1999) dalam Wijaya dkk., (2016) menyatakan bahwa konsumsi pakan maupun konsumsi protein kasar dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bobot

Maka dari itu, serangga juga disebut dengan istilah Hexapoda, yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “berkaki enam” disebut dengan istilah Hexapoda, yang diambil dari

sekaligus menyediakan layanan internet seperti web server, FTP server, terminal emulation (telnet), akses database, dan Network File System (NFS) yang mengijinkan client dengan

Mayoritas ibu hamil dengan preeklamsia 92,2% memiliki kadar kalium tidak normal, mayoritas ibu hamil tidak preeklamsia 95,1% memiliki kadar kalium normal,

Stabilitas fisik suspensi ubi cilembu dengan suspending agent CMC Na dan PGS pada parameter pengamatan organoleptis, homogenitas, berat jenis dan kemampuan redispersi,

(Studi Multisitus di SMP Nabawi Maftahul Ulum Blitar dan MTs Ma’arif NU 2 Sutojayan Blitar), Tulungagung: Program Pascasarjana IAIN Tulungagung, 2016.. Fokus penelitian: 1)

Penelitian membahas tentang aktivitas jual beli kuliner khas Tionghoa di Kota Pangkalpinang yang menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya usaha