1
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
A. LATAR BELAKANG
Sekolah adalah tempat para siswa mendapatkan pendidikan dari guru.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu sistem yang harus diatur dengan
baik dan benar agar siswa mendapatkan pendidikan yang layak. Menurut UU RI
No 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (Hardianto, 2013).
Tujuan pendidikan yang telah diatur tersebut sejalan dengan pendapat
seorang tokoh yakni Blum (2002) yang menjelaskan bahwa sekolah selain
merupakan tempat untuk mendapatkan pendidikan tetapi juga tempat yang
membangun kehidupan para generasi muda lebih baik serta mencapai kesuksesan.
Selain itu dijelaskan bahwa siswa akan lebih mungkin untuk mencapai kesuksesan
ketika siswa merasakan bahwa mereka merupakan “milik” sekolah dan memiliki rasa “keterhubungan” pada sekolah atau disebut juga memiliki school
School connectedness diartikan sebagai keyakinan yang dimiliki siswa
bahwa orang-orang dewasa di sekolahnya peduli dengan pendidikan dan mereka
sebagai seorang individu (Blum, 2002). Keyakinan atau belief merupakan
kepercayaan dasar individu tentang suatu hal yang terbentuk tanpa disadari
sebagai akibat dari interaksi berulang dengan suatu pengalaman tertentu
(Matsumoto, 2004).
Menurut Blum (2002), hubungan yang terbentuk antara siswa dengan
orang dewasa di sekolah merupakan jantung dari school connectedness.
Orang-orang dewasa di sekolah tidak terbatas hanya dengan guru tetapi juga para staf
administrasi yang termasuk di dalamnya para penjaga gedung, penjaga kantin, dan
seluruh orang dewasa yang terlibat dalam dinamika proses pendidikan di sekolah.
Ketika para siswa mempersepsikan bahwa guru mereka dan para staf sekolah
peduli, membangun lingkungan belajar yang terstruktur, serta adil maka akan
memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk merasa lebih terhubung kepada
sekolah.
Sudah ada beberapa literatur dan penelitian yang membahas isu sense of
belonging ini. Beberapa penelitian memberikan istilah sebagai “school engagement” sementara yang lain menyebutnya sebagai “school attachment” dan yang lain menganalisisnya sebagai “school bonding”. Semua penelitian-penelitian
ini membahas isu yang sama meskipun memakai istilah yang berbeda ataupun
metode analisis yang berbeda. Isu yang dibahas dari semua konsep ini adalah rasa
Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Libbey (2004)
ditemukan bahwa school connectedness memiliki cakupan konstruk yang lebih
luas dibandingkan konsep lainnya. Pada konsep school attachment hanya fokus
kepada sejauh mana siswa menilai orang-orang di lingkungan sekolah
menyukainya. Lain halnya dengan school bonding yang mengukur kelekatan dan
komitmen siswa. Akan tetapi, pada konsep school connectedness mencakup
beberapa konstruk seperti kelekatan, komitmen, dukungan guru, hubungan teman
sebaya , dan lainnya.
School connectedness berhubungan dengan hasil perilaku, emosional, dan
akademik. Hal ini dapat dijadikan prediktor hasil yang baik dan buruk. Tingkat
school connectedness yang tinggi berhubungan dengan hasil-hasil yang baik,
sedangkan tingkat yang rendah berhubungan dengan hasil-hasil yang buruk.
Misalnya dalam hal perilaku, siswa yang lebih merasa terhubung kepada sekolah
kemungkinan kecil untuk terlibat perilaku nakal dan kekerasan, minum alkohol,
menggunakan obat-obatan, serta melakukan seks bebas (Monahan, 2010).
Penelitian lain juga menghubungkan variabel ini dengan kehadiran di
sekolah. Ditemukan bahwa ada hubungan positif antara school connectedness
dengan kehadiran siswa di sekolah (Rosenfeld, LB et al 2000). Ditambahkan lagi
penelitian yang dilakukan oleh Stracuzzi dan Meghan (2010) membuktikan bahwa
school connectedness memiliki hubungan positif yang kuat dengan prestasi
akademik dan non akademik.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipaparkan dapat dilihat
siswa. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Resnick dan Harris (1993) yang
telah didapat bahwa variabel ini merupakan elemen kedua yang terpenting setelah
family connected sebagai faktor protektif untuk mencegah terjadinya perilaku
maladaptif siswa seperti bunuh diri. Penelitian lain yang dilakukan Stracuzzi dan
Meghan (2010) yang meneliti dampak school connectedness dengan perasaan
depresi, ditemukan bahwa siswa yang memiliki tingkat keterhubungan pada
sekolah yang rendah memiliki kemungkinan yang besar untuk mengalami depresi.
Sebagai tambahan, penelitian ini menjelaskan bahwa ketika siswa merasakan
terhubung kepada sekolah, mereka lebih mungkin untuk memiliki strategi koping
dan sumber daya untuk menghadapi situasi yang stress dan masalah lebih efektif.
Menurut Blum (2002) seluruh sekolah memiliki potensi untuk membentuk
school connectedness yang tinggi pada setiap siswa. Berdasarkan penelitian Witt
(2013) ukuran sekolah dan tingkat birokrasi mempengaruhi tinggi rendahnya
school connestedness. Di Kota Medan, salah satu sekolah yang memiliki ukuran
sekolah yang besar dan memiliki tingkat birokrasi yang tinggi adalah SMA
Harapan I Medan. SMA Harapan I Medan merupakan salah satu lembaga
pendidikan yang didirikan pada tahun 1969 di bawah naungan Yayasan
Pendidikan Harapan Medan atau Yaspendhar.
Siswa SMA Harapan I Medan tercatatat memiliki prestasi akademik dan
non akademik yang baik. Beberapa kali siswa SMA Harapan I mendapatkan
peringkat 3 besar dalam ajang Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan pada tahun
2014 seluruh kelas 12 siswa SMA Harapan I Medan 100 persen lulus (Zahendra,
prestasi. Mereka berhasil mengadakan acara pentas seni selama empat tahun
terakhir sejak tahun 2011, yang disebut dengan United For One (UFO). Tahun
2013 lalu, UFO ke 3 sukses menyita perhatian para remaja yang diadakan di
sebuah hotel berbintang di Medan dan mengundang musisi terkenal di Indonesia
sebagai pengisi acara (Diputri, 2013) .
Visi yang diwujudkan SMA Harapan I Medan adalah terwujudnya insan
yang beriman, berilmu dan beramal melalui lembaga pendidikan dan
pengembangan pengetahuan yang unggul dalam IMTAQ dan IPTEK serta
berwawasan kebangsaan. Dalam mewujudkan visi tersebut, ada beberapa misi
yang diemban oleh Yaspendhar salah satunya adalah mengembangkan
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang mencerminkan insan yang
beriman, berilmu dan beramal (Yayasan Pendidikan Harapan, 2013).
Berdasarkan penjelasan di atas, berikut hasil wawancara peneliti kepada
siswa mengenai kepedulian para guru dan staf sekolah terhadap siswa:
“ Peduli kak. Tapi relatif juga kak .Guru-guru mau diajak diskusi tentang pelajaran…. Hem yg diajak curhat, gak semua guru bisa kak paling wali kelas aja. Curhat paling sama temen-temen aja kak. Kalau dengan staf sekolah kurang dekat ke siswa jadi jarang berinteraksi...”
(Komunikasi Personal, 2014)
Dari wawancara tersebut dapat diketahui bahwa siswa menganggap tidak
semua guru membangun hubungan dekat dengan siswa. Namun para guru peduli
dengan aktivitas akademik dan non akademik. Akan tetapi, untuk hal yang bersifat
personal, siswa tidak sepenuhnya yakin bahwa setiap guru dapat menjadi tempat
curahan hati. Pada staf sekolah siswa juga mengaku tidak memiliki hubungan
Kemudian berikut hasil wawancara mengenai keterlibatan siswa dalam
kegiatan sekolah baik di bidang akademik maupun non akademik:
“ Kita di kelas selalu diminta guru untuk selalu aktif kak. Emm.. tapi kalo aku sih gak semua mata pelajaran aktif kak. Paling sama mata pelajaran yang gurunya enak dan topiknya seru. Guru yg kejam agak serem juga kak, haha. Kalo untuk kegiatan non akademik paling sering yang terlibat ya anak osis kak.”
(Komunikasi Personal, 2014)
Berdasarkan pengakuan siswa tersebut dapat dilihat bahwa siswa cukup
terlibat dalam kegiatan di sekolah. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa siswa
tidak merasa yakin untuk selalu terlibat pada semua mata pelajaran di sekolah
dikarenakan tergantung pada tipe-tipe guru di kelas.
Hasil wawancara tersebut sejalan dengan penelitian Karcher dan Lee
(2002) bahwa school connectedness dikategorikan ke dalam 3 tingkatan dengan
tingkat keterlibatan siswa yang berbeda-beda yakni mulai dari level rendah
(general support), level sedang (specific support), dan terakhir level tinggi
(engagement). Pada level general support, siswa memandang bahwa tidak ada
perbedaan dukungan dari guru, staf sekolah, serta teman meskipun begitu siswa
tetap merasa bahwa dirinya diterima di sekolah. Pada level specific support, siswa
menyadari besarnya dukungan dari guru berbeda dengan dukungan dari teman
atau staf sekolah. Pada level ini, siswa memiliki rasa penerimaan dari sekolah
akan tetapi tindakan siswa tidak secara sukerala serta siswa tidak aktif mencari
dukungan. Tingkatan tertinggi adalah level engagement yakni siswa menunjukkan
upaya dalam tugas sekolah serta menunjukan kesenangan dan terlibat aktif dalam
kegiatan sekolah. Siswa menyadari dukungan secara spesifik, menghargai setiap
Menurut Blum (2002) keterlibatan siswa menjadi bagian dari school
connectedness. Mengembangkan keterlibatan siswa di sekolah dimulai dari
lingkup kecil yakni manajemen kelas seperti rutinitas, perencaan belajar, serta
konsekuensi-konsekuensi setiap perilaku. Ketika kelas diatur dengan baik maka
hubungan antar siswa maupun dengan guru cenderung akan lebih positif, dan
siswapun akan lebih mau terlibat dalam proses belajar dan persaingan dalam
menyelesaikan tugas.
Blum (2002) menyatakan bahwa school connectedness merupakan isu
yang paling penting dan perlu perhatian yang khusus bagi sekolah dan keluarga.
Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa school connectedness
melindungi generasi muda dari perilaku beresiko. Dijelaskan pula bahwa variabel
ini harus dibentuk dan ditingkatkan karena merupakan elemen penting yang harus
dimiliki oleh setiap siswa.
Mewujudkan school connectedness tidak terlepas dari peran berbagai
faktor yang mempengaruhi proses terbentuknya variabel ini. Faktor-faktor
tersebut tidak hanya melibatkan siswa dan guru saja tetapi juga seluruh komponen
yang ada di sekolah. Menurut Blum (2002) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi school connectedness antara lain, dukungan orang dewasa,
kelompok teman sebaya, komitmen terhadap pendidikan, serta lingkungan
sekolah. Salah satu faktor lingkungan sekolah yang menjadi sorotan utama adalah
iklim sekolah. Rasa keterhubungan siswa terhadap sekolah ditingkatkan dengan
Iklim sekolah adalah apa yang dirasakan siswa, guru, serta para staf
sekolah terhadap sekolah. Iklim sekolah merupakan interaksi dari antara orang
dewasa dengan para siswa di sekolah, serta terlibat di dalamnya faktor lingkungan
seperti sarana dan prasarana gedung, serta rasa aman dan percaya (Gruenert,
2008). Thapa (2012) menyatakan iklim sekolah adalah suasana yang dialami
orang-orang yang ada di sekolah mengenai norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan
interpersonal, serta struktur organisasional. Blum (2002) menyatakan bahwa iklim
sekolah termasuk di dalamnya bagaimana para orang dewasa dan siswa saling
menghormati satu sama lain, dan seberapa besar kesempatan untuk
mengemukakan pendapat serta berpartisipasi di kegiatan sekolah.
Menurut Pianta (dalam Reynold, 2003) iklim sekolah berperan penting
untuk menentukan kualitas hubungan antara siswa dengan guru. Kedua hal ini
memberikan peran timbal balik satu sama lain. Ketika hubungan siswa dengan
guru positif maka iklim sekolah juga positif begitu juga sebaliknya. Preble dan
Gordon (2011) mengungkapkan bahwa iklim sekolah merupakan “jiwa” sekolah.
Tidak hanya untuk siswa tetapi juga untuk guru serta administrator yang ada di
sekolah untuk bekerja secara efektif dan siap untuk memberi kontribusi untuk
sekolah.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada siswa mengenai iklim
sekolah bahwa ia mengaku bahwa sekolah merupakan tempat nyaman. Hubungan
antara siswa dan guru terjalin baik meskipun hanya beberapa guru saja yang bisa
“ Senang kak berada di sekolah. Sekolah kami nyaman lah kak…. Kalo soal hubungan dengan guru, aman-aman aja kak, gak ada yang buruk .
Tetapi ya memang gak bisa juga semua guru mau akrab sama kami”.
(Komunikasi Personal, 2014)
Kemudian, hasil wawancara peneliti mengenai suasana di SMA Harapan I
yang berada dalam satu kawasan dengan SMP dan SD Harapan adalah ternyata
siswa merasakan ketidaknyamanan. Hal ini dikarenakan masing-masing sekolah
memiliki gedung yang berbeda tetapi mereka berbagi fasilitas yang sama seperti
lapangan bermain, klinik, serta kantin. Pada hari Jumat, mereka memiliki jadwal
istirahat yang serentak dengan siswa SMP sehingga harus berebutan
menggunakan fasilitas sekolah. Berikut pengakuan siswa tersebut:
“Iya kak, di hari Jumat kami semua istirahatnya semua sama. Sebenarnya agak terganggu sih kak karena gak dapet tempat duduk di kantin. Anak cowok juga kadang berebut untuk menggunakan lapangan walaupun gak sampe berantem sih kak”.
(Komunikasi Personal, 2014)
Berdasarkan pengakuan tersebut dapat dilihat bahwa siswa cenderung
menyukai iklim yang ada di SMA Harapan I akan tetapi siswa cenderung merasa
tidak nyaman dengan sekolah yang harus bergabung dengan siswa SMP dan SD.
Hasil wawancara di atas sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wilson (2004) menunjukkan bahwa siswa yang mempersepsikan iklim sekolah
yang positif maka besar kemungkinannya untuk tidak melakukan perilaku
kekerasan dan terlibat aktif pada aktivitas sekolah yang baik.
Kemudian Preble dan Gordon (2011) menyatakan ada komponen lain yang
tidak luput menjadi perhatian yakni lingkungan fisik sekolah. Bangunan sekolah
yang rapuh ataupun dinding-dinding yang dipenuhi coretan memberikan pesan
tanggung jawab menjaga dan memperbaiki lingkungan sekolah adalah strategi
yang ampuh untuk meningkatkan iklim sekolah.
Hasil wawancara yang didapat mengenai lingkungan fisik SMA Harapan I
adalah siswa mengaku bahwa fasilitas digunakan dengan baik dan sangat
membantu aktivitas sekolah. Namun, aturan tetap ditegakkan untuk tidak merusak
fasilitas yang diberikan sekolah. Berikut kutipan wawancaranya :
“Bagus kak. Menurutku, semua fasilitas di sekolah ini sangat dimanfaatkan sama guru. Kami di sini juga ada klinik kak, jadi kalo sakit di sekolah bisa ditangani sama dokter, kalo di sekolah lain paling uks biasa aja…… Tapi kami juga harus ikuti aturan untuk menjaga fasilitas, kalo gak sanksinya bisa kena skors”.
(Komunikasi Personal, 2014)
Berdasarkan penelitian dan hasil wawancara yang telah dipaparkan
menunjukkan bahwa iklim sekolah mempengaruhi kehidupan siswa di sekolah.
Sebagai tambahan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Kozina dkk (2008)
ditemukan bahwa iklim sekolah memiliki hubungan yang kuat terhadap prestasi
siswa. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ketika siswa merasa senang berada di
sekolah, maka besar kemungkinannya untuk siswa tersebut mengikuti
kegiatan-kegiatan di sekolah dengan baik. Penelitian lain yang dilakukan Zullig dan
Huebner (2011) menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara iklim
sekolah dengan kepuasan siswa di sekolah.
Penelitian-penelitian yang telah dikemukakan membuktikan bahwa iklim
sekolah merupakan elemen yang sangat penting. Menurut Blum (2005)
lingkungan sekolah mempengaruhi school connectedness. Sekolah bertanggung
jawab untuk memberikan lingkungan yang aman serta iklim positif kepada siswa,
perilakunya. Oleh karena itu, para siswa akan cenderung menghindari sekolah
yang memiliki iklim sekolah yang negatif atau sekolah yang memberikan rasa
janggal pada diri siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Osher (2009) bahwa iklim sekolah
berhubungan dengan school connectedness. Tanpa adanya iklim sekolah yang
positif, maka siswa tidak mungkin mengalami rasa keterhubungan pada sekolah.
Berdasarkan Hasil penelitian McNeely, Nonemaker, dan Blum (2002) bahwa
tingkat school connectedness yang rendah ditemukan pada iklim sekolah negatif
seperti manajemen kelas yang buruk, tingkat disiplin rendah, serta ukuran sekolah
yang besar. Berdasarkan penelitian di atas maka iklim sekolah merupakan salah
satu faktor yang membangun school connectedness siswa. Akan tetapi, menurut
hasil penelitian Whitlock (2003) bahwa siswa yang berumur lebih tua daripada
siswa lainnya memiliki kecenderungan untuk menilai iklim sekolah secara
negative dan memiliki rasa keterhubungan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan
oleh siswa yang lebih tua memandang aturan, norma, maupun perhatian dari pihak
sekolah sebagai penghalang kebebasan mereka.
Setelah melakukan wawancara dapat diketahui bahwa pihak sekolah SMA
Harapan I Medan berusaha membangun iklim positif bagi siswa. Namun siswa
tidak merasa seluruhnya sebagai iklim yang positif. Menurut Blum (2002) iklim
sekolah yang suportif dan memiliki norma-norma positif cenderung memiliki
school connectedness yang tinggi. Dalam hal ini, siswa juga tidak sepenuhnya
yakin bahwa semua orang dewasa di sekolah dapat dikatakan peduli dengan
fenomena yang telah dipaparkan maka perlu diteliti untuk mengetahui pengaruh
iklim sekolah terhadap school connectedness pada siswa SMA Harapan I Medan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut, “Apakah ada pengaruh iklim sekolah
terhadap school connectedness pada siswa SMA Harapan I Medan?”. Selan itu, “Berapa besar pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness pada siswa SMA Harapan I Medan?”.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan ada atau tidak ada
pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness. Selain itu juga bertujuan
untuk mengetahui besar pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness
pada siswa SMA Harapan I Medan.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan literatur dan
pemikiran untuk mengembangkan ilmu Psikologi Pendidikan, khususnya
Psikologi Sekolah, berkaitan dengan iklim sekolah dengan school
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada siswa
SMA Harapan I Medan bahwa iklim sekolah merupakan faktor penting
dalam pembentukan school connectedness pada siswa. Sehingga pihak
sekolah bisa melakukan evaluasi dan pengembangan terkait dengan
peningkatan school connectedness siswa.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah :
a. Bab I Pendahuluan
Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan. Tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
b. Bab II Landasan Teori
Berisikan tentang teori-teori penyusunan variabel yang diteliti, hubungan
antara variabel dan hipotesa.
c. Bab III Metode Penelitian
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel, definisi
operasional dari masing-masing variabel, sampel penelitian, teknik
pengambilan sampel, metode pengumpulan data, prosedur penelitian serta
metode analisa data.
d. Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Pada bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian. Diawali
penelitian. Selanjutnya, hasil tersebut akan dibahas berdasarkan teori yang
telah dipaparkan.
e. Bab V Kesimpulan dan Saran
Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan, serta saran-saran sehubungan dengan
hasil yang didapatkan dari penelitian. Saran-saran yang dikemukakan berupa