• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRACT : Due to a number of problems pertaining to

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ABSTRACT : Due to a number of problems pertaining to"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA IJTIHAD KONTEMPORER: Studi Terhadap Metode Ijtihad Majmu’ al-Buhuts

M. Syadli

Prodi HES Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Muara Bulian Jambi info@stai-muarabulian.ac.id

ABSTRACT: Due to a number of problems pertaining to the quality of scholarship and the emergence of the more complicated social problems, collaborative reasoning (ijtihad jama‟i) is nowadays considered to have been able to give a more comprehensive legal answer than that of individual reasoning (ijithad fardi). This type of reasoning has been developed organizationally and institutionally by Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyyah. Founded by Muhammad Ali Pasya, this institution is productive in giving legal opinion and has become reference for Moslem all over the world. In its reasoning, both al-Qur‟an and the Prophet Traditions are the primary source of law, while the methods used are not far difference from the previous ones such as maslahah, sadd al-dzari‟ah, istihsan and etc. The implementation of this methods is clearly seen in such legal opinion as the questions of Ahmadiyyah, breath banking, defining the beginning of the lunar month, baitul mal as the heir and ihtikar.

Keywords: Jtihad Jama‟i, Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyyah, Islamic Law.

Pendahuluan

(2)

khazanah fiqh hadir dengan nuansa yang lebih kaya dan progresif yang tercermin dalam berbagai alternatif pendapat hukum dengan pendekatan dan metode yang beragam. Terciptanya khazanah pemikiran hukum yang begitu kaya, tentunya seiring dengan suasana adanya kebebasan berpikir dan berijtihad.

Namun demikian, dalam beberapa dekade ijtihad sebagai upaya penalaran dalam peng- galian hukum sempat mengalami kemunduran dan kemandekan yang diakibatkan oleh kejumudan berfikir. Terbentuknya opini bahwa ijtihad telah tertutup merupakan titik kul- minasi dari keadaan jumud tersebut sehingga muncul kultur taqlid dikalangan umat Islam yang bermuara pada fanatisme mazhab. Efeknya berkembang persepsi bahwa sulitnya men capai kompetensi berijtihad, yang sebelumnya terbuka bagi juris Islam sebagai refleksi atas munculnya tema-tema yang belum pernah ada masa sebelumnya (Wahbah al-Zuhaili: 2005: 1061 dan 1170).

Baik pada masa keemasan maupun kemunduran

kecenderungan ijtihad dilakukan secara perseorangan dan belum terorganisir dan terlembaga, yang ditandai dengan lahirnya banyak tokoh ilmu hukum dari berbagai daerah, kemudian diikuti dengan munculnya mazhab. Sejalan dengan perkembangan zaman, saat ini ijtihad yang dilakukan secara individual seperti yang berlaku pada masa klasik dipandang tidak lagi dapat menyelesaikan persoalan secara komprehensif karena kemampuan seseorang sangat terbatas dalam penguasaan keilmuan. Apalagi dengan kecenderungan spesialisasi dan pembidangan keilmuan yang semakin tajam. Kepakaran seseorang diakui hanya dalam satu bidang. Tentunya, berbeda dengan masa lalu, ketika pengkotomian ilmu belum seperti sekarang. Kepakaran seseorang sangat dimungkinkan tidak hanya dalam satu bidang tertentu saja, tetapi bisa dua atau lebih dari rumpun keilmuan yang berbeda. Sebutlah misalnya, al-Ghazali, selain kepakarannya diakui dalam bidang hukum, juga ahli dalam tasawuf dan filsafat.

(3)

dengan sistem yang jauh dari nilai-nilai Islam dan bahkan diantaranya hidup di tengah antipati terhadap Islam.

Kompleksitas persoalan yang semakin rumit seperti yang dideskripsikan di atas tentunya memerlukan penyelesaian dengan multi pendekatan, dituntut adanya ijtihad yang melibatkan banyak bidang dan keahlian. Pendekatan yang dimaksud, tentunya tidak boleh lepas dari pondasi dasar yang sudah dibangun Nabi Muhammad saw kendatipun beliau sudah berlalu selama 14 abad lamanya. Interval waktu yang cukup panjang demikian dapat dipastikan bahwa dalam banyak hal secara sosiologis akan muncul perbedaan terhadap keberlakuan hukum hukum yang ditetapkan pada masa itu dengan kondisi kekinian. Begitu pula fiqh dan fatwa imam-imam mazhab ditulis dan muncul atas respon denyut perkembangan sosial dan kehidupan yang mengitari pada masa para mujtahid tersebut berada.

Menyikapi kondisi keterbatasan ulama dalam merespon persoalan yang semakin komp lit dan kompleks itu dibutuhkan ijtihad yang progresif dan kolektif. Pendekatan secara kolektif, yang dikenal dengan ijtihad jama‟i, melibatkan berbagai disiplin ilmu tidak hanya ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu sosial dan eksak dipandang lebih dapat memberikan jawaban hukum yang lebih komprehensif. Hal ini tentunya memiliki korelasi dengan kehadiran Islam yang ditujukan kepada manusia yang secara fitrah cenderung untuk selalu berubah. Islam dalam konteks demikian hadir tidak diruang yang hampa, tetapi akan bergelut dengan dinamika dan perubahan tersebut.1

1

(4)

Pada ranah yang lebih taktis dan teknis telah muncul dengan banyak model dan ke- lompok. Di Indonesia misalnya, ada Majelis Tarjih Muhammadiyah, Bahtsul Masail (Nah- dhatul Ulama), Dewan Hisbah (Persis) dan Komisi Fatwa (MUI). Hasil dari ijtihad institusi ini berfungsi memberikan tuntunan kepada masyarakat terutama yang tergabung atau simpatisan dalam organisasi tersebut meskipun hal itu tidak mengikat secara hukum. Dalam banyak hal, fatwa lembaga ini sudah memberikan kontribusi nyata dalam perkembangan hukum Islam ditanah air dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Selain itu, fatwa hukum yang dikeluarkan oleh Lembaga tersebut baik secara langsung maupun tidak sebagian mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Model ijtihad jama‟i ini di beberapa dunia Islam lain, tampaknya telah lama eksis seperti Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyyah di Mesir. Lembaga yang berada di bawah Universitas al-Azhar Mesir ini termasuk lembaga kajian hukum yang produktif dalam melahirkan fatwa dan bahkan menjadi rujukan dari berbagai belahan dunia Islam. Dalam hal itu, tulisan ini merupakan upaya memahami dan menganalisa latar belakang munculnya lembaga ini, metode ijtihad yang digunakan dengan menganalisis beberapa fatwa yang sudah dipublis kemasyarakat.

Sejarah dan Latar Belakang

Eksistensi Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyyah sudah ada sejak lama bersamaan dengan keluarnya Mesir dari wilayah kekuasaan Turki Utsmani, meskipun dengan nama dan ruang lingkup yang terbatas seiring dengan situasi dan perkembangan politik. Pada mulanya lembaga ini didirikan pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya (1765-1849) dengan nama al-Bi‟sah al-„Ilmiyyah al-Azhariyyah (Harun Nasution: 1994: 34). Latar belakang berdirinya lembaga ini memiliki korelasi langsung dengan keadaan Mesir yang pada saat itu berada dalam keterbelakangan baik pada bidang ekonomi, sosial, politik maupun pendidikan.

Menyadari kondisi masyarakat Mesir yang sedang berada

(5)

pada transisi, Muham- mad Ali Pasya sebagai kepala pemerintahan mengambil langkah-langkah taktis dan strategis. Secara politik, Mesir baru saja dapat pengakuan dari Turki Usmani (1805M), di samping itu masyarakat Mesir juga sedang menghadapi penjajahan Napo-leon Bonaparte dari Perancis. Dalam pan-dangan Muhammad Ali Pasya keadaan transisi ini memerlukan penanganan serius dan taktis, bilamana tidak atau salah urus Mesir tidak mustahil akan mengalami instabilitas politik yang akan mengancam eksistensinya. Bila kondisi ini terjadi, tentunya yang paling diuntungkan adalah pihak penjajah yang menginginkan Mesir berada dalam keadaan lemah.

Sedangkan secara sosiologis, perpindahan kekuasaan dari Turki Usmani dan kedatangan Napoleon Bonaparte akan berdampak pada perubahan budaya Mesir. Jika hal itu tidak disikapi dan antisipasi dimungkinkan kebudayaan Mesir akan tergerus oleh perubahan yang dibawa dari luar sehingga masyarakatnya akan tercerabut dari akar budayanya.

Salah satu kebijakan taktis dan strategis yang diambil Muhammad Ali Pasya adalah dengan membentuk sebuah lembaga yang ber- fungsi sebagai think thank. Lembaga tersebut mesti difungsikan secara maksimal dengan memanfaatkan sumber daya terutama dari kalangan ulama. Oleh karena ulama menjadi unsur terpenting dan paling berpengaruh bagi masyarakat Mesir. Lembaga yang dimaksud adalah al-Bi‟sah al-„Ilmiyyah al-Azhariyyah. Dalam menjalankan fungsinya, lembaga ini sangat produktif memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik termasuk mengawal budaya Mesir dari pengaruh luar.

(6)

melepaskan Mesir dari belenggu keterbelakangan tidak cukup hanya dengan menghandalkan dua kebijakan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil selanjut nya adalah dengan melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran terhadap buku-buku ilmu pengetahuan yang didatangkan dari dan berbahasa Barat kedalam bahasa Arab.

Pada mulanya semangat dan upaya ini pada tataran teknis belum didukung oleh sumber daya sehingga mengalami kemandekan. Namun demikian, semangat Ali Pasya tidak pernah surut dan berhenti meskipun banyak kendala. Hal itu ditandai dengan didirikannya sekolah khusus penterjemahan pada tahun 1836 (Harun Nasution: 1994: 34). Pengelola lembaga ini terutama direkrut dari ilmuan muda yang sudah menyelesaikan studinya dari Perancis. Sekolah khusus tersebut memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu; tempat bekerja para ilmuan muda yang sudah pulang dari studi dan sarana yang produktif dalam mencerdaskan masyarakat Mesir melalui penterjemahan berbagai ilmu pengetahuan yang sudah dan sedang berkembang di barat. Sejak itu, gerakan penerjemahan berjalan lancar dan sukses sehingga buku-buku yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab cukup memadai bagi masyarakat sebagai referensi di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah.

Selanjutnya mahasiswa yang sudah sele- sai studinya dari Eropa selain ditempatkan di sekolah khusus penterjemahan ter-sebut sebagian besarnya ditempatkan di Universitas al-Azhar guna memperkuat dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta penerjemahan. Kehadiran para ilmuan muda tersebut semakin memperkuat Universitas al-Azhar sehingga eksistensinya sampai seka-rang masih cukup kuat. Bahkan universitas ini dalam jumlah yang fantastis mampu mendis- tribusikan para ilmuannya keberbagai dunia Islam termasuk ke Indonesia tidak hanya dalam bidang keilmuan keislaman tetapi juga dalam bidang sosial dan eksak. Al-Bi‟sah sebagai lembaga ilmiah dan pusat kajian kebijakan berjalan dan bergerak seiring dengan dinamika sosial dan politik Mesir.

(7)

dalam undang- undang Mesir Nomor: 103 Tahun 1961 (Abdul Azis Dahlan: 1996: 1068).

Lahirnya undang-undang ini tentunya terobosan baru sebagai landasan yuridis. Sedangkan perluasan cakupan yang dimaksud meliputi keislaman, sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan dan peradaban. Secara rinci tugas dan wewenang tersebut adalah:

1. Melakukan pembahasan yang luas dan men dalam masalah-masalah parsial keislaman.

2. Berupaya untuk memperbaharui kebudayaan dan peradaban Islam serta member sihkannya dari berbagai pengaruh asing, sehingga tercipta kebudayaan dan peradaban Islam yang sesungguhnya.

3. Menggali kekayaan ilmiah Islam dan menyebarluaskannya.

4. Menjadi penengah dalam berbagai masalah keislaman bilamana terjadi perbedaan maz- hab, sosial, ekonomi.

5. Melakukan amr ma‟ruf nahi mungkar dengan cara yang baik dan bijaksana.

6. Melakukan kajian-kajian ilmiah keislaman dengan menggali sumber-sumber asli dan klasik baik didalam maupun di luar negeri.

7. Memperluas dan mengembangkan ilmu ke- islaman dan

kebudayaan Islam.

8. Mengirim para utusan Universitas al-Azhar keberbagai dunia Islam untuk membantu mengembangkan ilmu dan kebudayaan Islam serta membantu para mahasiswa yang menuntut ilmu di Universitas al-Azhar.

9. Membuka kelas khusus bagi para mahasiswa yang ingin memperdalam ilmu keislaman melalui program pascasarjana. 10. Menyusun peraturan dan menertibkan pemberian penghargaan

ilmiah dan hadiah ilmiah untuk mendorong para peminat mengkaji dan mendalami masalah-masalah keislam an (Abdul Azis Dahlan: 1996: 1068). Selain perubahan nama dan perluasan cakupan, pengelolanya juga diperluas dengan penambahan anggota menjadi 50 orang yang terdiri dari lintas mazhab dan 20 orang diantaranya berasal dari ulama luar al-Azhar.

(8)

belum bisa berinteraksi secara langsung termasuk untuk mengakses fatwa-fatwa yang terbaru secara lengkap karena belum lagi memanfaatkan teknologi.2

Kalaupun didapatkan informasi fatwa seperti pernyataan-pernyataan ulama al-Azhar, informasi tersebut tidak secara utuh dan lengkap.

Hal ini berbeda dengan lembaga fatwa lain yang saat ini cukup memberikan ruang informasi kepada publik untuk mengetahui informasi perkembangan termasuk produk pemikirannya melalui website. Dar al-Ifta‟ misalnya, sudah menggunakan teknologi sebagai media komunikasi dan mempublikasikan fatwanya keberbagai belah an dunia, bahkan lembaga fatwa ini sudah menye- diakan delapan bahasa termasuk didalamnya bahasa Indonesia (www.darifta. com dan www.alazhar.agu.com). Jadi, sangat dimungkinkan orang dari belahan dunia dengan delapan bahasa tersebut mengikuti perkembangannya dan mengakses fatwa-fatwa terbaru atau menanyakan secara langsung kepada pengelola.

Karakteristik Metode Ijtihad Majmu’ Al- Buhuts Al-Islamiyyah

Majmu‟ al-Buhuts sebagai lembaga ilmiah yang berada di bawah naungan Universitas al-Azhar dalam perjalanannya telah memberikan konstribusi besar dalam memberikan tuntunan kepada umat Islam diberbagai dunia terutama bagi masyarakat Mesir. Lembaga ini menjadi referensi di dunia Islam terutama dibidang hukum Islam. Pengelolanya terdiri dari banyak orang yang meliputi multidisiplin ilmu dan lintas mazhab.

Proses ijtihad dalam menangani suatu persoalan dilakukan

2

(9)

secara kolektif dengan melibatkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang. Model ijtihad ini merupakan salah satu terobosan dalam sejarah hukum Islam karena sebelumnya dilakukan secara individual. Tentunya, terobosan ini merupakan jawaban terhadap kondisi riil yang dihadapi umat Islam mengingat pada masa kini adanya keterbatasan para juris Islam.

Keterbatasan yang dimaksud boleh jadi disebabkan karena kemampuan dalam pengua- saan berbagai disiplin ilmu yang berhubungan langsung dengan masalah yang muncul. Sebagai-mana diketahui bahwa kecenderungan sekarang adanya spesialisasi (at-takha- shush) keilmuan yang semakin tajam termasuk dalam Islam seperti yang digagas al-Murtadha Muthahhar.3 Spesialisasi tersebut meliputi bahasa Arab, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits dan lain sebagainya. Pada bidang masing-masing itupun terjadi pembidangan lagi. Padahal di antara syarat-syarat ijtihad yang disebutkan oleh para ushuliyun adalah penguasaan berbagai bidang ilmu-ilmu keislaman (Muhammad Hasan: 1981: 496-500) yang hampir nyaris sempurna, tetapi sulit untuk ditemukan. Oleh karena itu, perbedaan pendapat diantara cendikiawan muslim semakin tidak bisa dihindari karena masalahnya didekati dengan spesialisasi ilmu yang berbeda. Bila hal itu tetap dipaksakan dikuatirkan cara memandang suatu persoalan akan seperti “mata kuda” tanpa memandang kiri kanan. Artinya, tidak melibatkan bidang-bidang lain sehingga pendapat hukum yang muncul tidak komprehensif.

Tambah lagi dalam mengartikulasikan ide dan merespon perubahan yang terjadi terutama sejak munculnya paradigma baru di dalam melakukan pendekatan ilmu-ilmu keislaman seperti pendekatan historitas-empirik di samping pendekatan normativitas-idealistik (Amin Abdullah: 1999: v-vii). Hal itu menyebabkan munculnya kritik tajam terhadap tradisi yang sedang berjalan hingga muncul gagasan progresif pentingnya membongkar kembali apa yang sudah dianggap mapan selama ini. Selain itu, persoalan yang terjadi di tengah masyarakat semakin rumit dan komplit akibat dari perkembangan dan kemajuan tekhnologi. Interaksi dan aktivitas perbankan, perda- gangan bursa, variasi jenis asuransi, transaksi ekonomi modern, bio-teknologi, isu

3

(10)

gender, HAM dan politik global adalah contoh-contoh masalah kontemporer yang tidak cukup dibahas dan ditentukan hukumnya hanya dengan ijtihad individual. Oleh karena perubahan tersebut telah mempengaruhi pola hidup dan interaksi sosial umat Islam di tengah pluralisme budaya dan agama (Ilyas Supena dan M. Fauzi: 2002: 5).

Bilamana persoalan-persoalan tersebut hanya diijtihadkan secara individual dan didekati dengan satu disiplin ilmu tidak akan mungkin menyelesaikan dan menghasilkan pendapat hukum yang lebih komprehensif karena keterbatasan. Dalam hal itu, diperlukan lembaga ijtihad yang berang-gotakan ulama dari berbagai disiplin ilmu seperti agama, ekonomi, politik, teknologi, kedokteran, hukum dan sebagainya (Harun Nasution: t.th: 115). Sebab putusan bersama dari para anggota yang berbeda bidang keahliannya itu lebih mendekati kebenaran dan lebih kuat daripada putusan yang diambil secara sendiri-sendiri oleh ang- gota-anggota yang memiliki satu bidang keahlian (Nadiah Syarif al-Imari: 1981: 115). Pada ranah itu, meminjam istilah Syamsul Anwar, ijtihad yang bersifat integratif-interkonektif.4 Antar bidang ilmu dan disiplin.5 Adalah jalan terbaik untuk menghasilkan hukum yang kompre-hensif sehingga persyaratan yang dituntut didalam kitab-kitab ushul fiqh tersebut dapat terpenuhi secara kolektif. Dilihat dari sisi sejarah tuntutan ijtihad yang bersifat holistik ini sudah disadari oleh banyak cendikiawan Islam sejak paruh abad ke-20, (dalam Tholhatul Chaoir dan Ahwan Fanani: 2009: viii).

Dalam konteks demikian Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyyah,

4 Pendekatan integratif-interkonektif memiliki dua sisi yang terpisah. Dalam

integrasi terjadi restrukturisasi ilmu berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, yaitu; dengan mengadakan perubahan menyangkut paradigm, teori, metode, dan prosedur-prosedur teknis dalam ilmu bersangkutan. Sedangkan didalam interkoneksi tidak terjadi restruktisasi semacam itu, melainkan yang ter- jadi adalah perluasan perspektif dengan menyerap informasi pelengkap dari ilmu lain. Dengan kata lain interkoneksi merupakan proses pengkajian dalam suatu disiplin ilmu terkait di samping menggunakan data dan analisis ilmu bersangkutan sendiri dalam rangka komplementasi, konfirmasi, kontribusi atau komparasi (Syamsul Anwar: 2011: 2-3)

5

(11)

yaitu satu lembaga ilmiah yang berada di bawah Universitas al-Azhar, Mesir (Tholhatul Chaoir dan Ahwan Fanani:2009: viii) lahir dengan pendekatan yang berbeda. Selain mempertimbangkan pendapat yang berkembang dalam mazhab hukum tertentu, juga mengkaji perdebatan yang terjadi pada lintas mazhab (Jalaluddin Rahmat:1996: 42). Artinya, fatwa dan hasil ijtihad ulama yang berasal dari berbagai mazhab sebelumnya menjadi pertimbangan untuk melahirkan fatwa baru. Sejauh hasil ijtihad masa lalu dipandang masih sangat relevan untuk kondisi kekinian, pendapat tersebut menjadi pertimbangan utama bahkan dengan alasan tertentu kembali diperkuat. Jauh dari itu, pertimbangan disiplin ilmu lain dipandang sangat penting karena semakin kaya dengan pengayaan dan pendekatan tentunya semakin tepat keputusan hukum yang akan lahir.

Salah satu perbedaan penting dari ijtihad yang dilakukan secara individual adalah keterlibatan banyak orang dan multi disiplin ilmu. Ijtihad model ini dipandang lebih tepat dalam menjawab persoalan yang sedang diha- dapi umat Islam. Bilamana hal ini bisa ter- wujud, maka hasilnya dalam pandangan Majmu‟ sampai pada tingkat mutlak (dalam Jalaluddin Rahmat: 1996: 42). Oleh karena pendekatannya lebih kaya dan terintegratif. Gagasan ini pada konteks Indonesia sudah terimplementasi pula dengan munculnya beberapa lembaga di organisasi-organisasi Islam seperti Majelis Tarjih Muhammadiyah, Bahtsul Masail (Nahdhtul Ulama), Dewan Hisbah (Persis) dan Komisi Fatwa (MUI).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majmu‟ al-Buhuts secara kelembagaan sudah mempelopori terjadinya ijtihad secara kolektif sebagaimana yang terdapat dalam keputusan muktamar Maret 1964 di Khairo yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan secara

kolektif (dalam Jalaluddin Rahmat: 1996: 42 dan

http://media.isnet.org).

Fatwa dan Analisis Istimbat Hukum

Aliran Qadiyaniyah (Ahmadiyah)

(12)

krusial, juga cara mereka membangun gerakan yang bekerjasama dengan pihak penjajah yang oleh umat Islam lainnya dipandang musuh.

Fatwa tersebut memberikan penjelasan bahwa ajaran yang dibawa dan dikembangkan oleh Ahmadiyah Qadian adalah keliru dan menyimpang bahkan difatwakan berada di luar Islam. Hal itu, disebabkan pokok-pokok ajaran Ahmadiyah dipandang sudah menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya (Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010: 71). Wahyu yang dipahami oleh Ahmadiyah adalah keliru (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah:2010: 74) oleh karena turunnya wahyu telah berakhir dengan berakhirnya para nabi. Berbeda halnya dengan ilham, yang bisa didapatkan oleh siapapun. Wahyu yang dimaksudkan didalam QS. An-Nahl: 68 adalah dalam artian ilham (Majma‟ al-Buhuts al- Islamiyah: 2010: 75).

Kemudian yang dimaksud dengan term khatam al-anibiyyin yang terdapat didalam QS. al-Ahzab: 40 adalah penutup. (Majma‟ al-Buhuts al- Islamiyah: 2010: 75). Dengan demikian jelas keyakinan Ahmadiyah keliru karena ini adalah kesesatan yang nyata yang tidak boleh dibiarkan (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010: 71) sebagaimana yang dijelaskan dalam (Qs. Al Imran: 178).

Begitu juga pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa al-Masih, al-Mahdi dan jihad berada dalam kekeliruan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Jihad didalam Islam sangat dan amat diperlukan bahkan berperang sekalipun jika kondisinya menuntut untuk itu baik dalam rangka untuk mempertahankan agama maupun tanah air. Berbeda dengan Ahma-diyah, jihad tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu, salah satu poin penting dalam hal ini adalah ketundukan dan loyalitasnya terhadap pemerintah yang sedang berkuasa (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010:76) sekalipun penjajah seperti kolonial Inggris dimasa kelahirannya

Ajaran yang disebarkan oleh Mirza tersebut menimbulkan masalah diinternal Islam karena perbedaannya tidak hanya terkait dengan wilayah ijtihadiyah, tetapi sudah memasuki ranah yang krusial, yaitu aqidah. Begitu juga didalam menjalankan gerakannya lebih memilih menggandeng pihak penguasa daripada sesama muslim meskipun penjajah, yang oleh umat Islam lain menjadi musuh.

(13)

Ghulam Ahmad tidak obah seperti Musailamah al-Kazab di masa Nabi Muhammad saw (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010:71) dan kehadirannya tidak lepas dari kepentingan politik kolonial Inggris bahkan mereka dilindunginya (Maj-ma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010: 75).

Fatwa ini dikeluarkan selain didasarkan kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah dengan merujuk kepada mainstream tafsir ulama klasik serta analisis terhadap pendapat ulama sebelumnya terutama Imam Akbar al-Syeikh Jad al-Haq, Syeikh al-Azhar, yang menegaskan bahwa orang Islam yang masuk kedalam kelompok ini dipandang sudah keluar dari Islam (murtad). Oleh karena itu, mereka tidak dibolehkan masuk kedalam mesjid umat Islam. Apabila mereka meninggal dunia tidak dibolehkan dimakamkan di pemakaman umat Islam (Majma‟ Buhuts Islamiyah: 2010:76). Hal ini didasarkan kepada QS. al-Taubah: 17. Bersamaan dengan itu, Majmu‟ dalam fatwanya itu merujuk pula kepada fatwa yang sudah dikeluarkan Dar al- Ifta‟. Bila dilihat dari sisi proses keluarnya fatwa tersebut lahir setelah melalui proses kajian dari berbagai perspektif terutama bidang bahasa Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadis dan sejenisnya.

Di antara ulama yang terlibat secara aktif dalam pengkajiannya baik sebagai narasumber maupun peserta aktif adalah Muhammad al- Khudariy Husein, Syeikh al-Azhar; Husnaini Makhluf, Mufti al-Diyar al-Misr; Muhammad Abu Zahrah, Ulama Besar al-Azhar; Said Muhammad al-Murshafa, dosen ulumul hadis Universitas al-Azhar; Muhammad al-Kha- syau‟iy, dosen ulumul hadis Universitas al-Az har; Muhammad Yusra Ibrahim, Wakil Rektor Universitas Amrikiyah al-Maftuhah (Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah: 2010: 79-88).

Bank ASI

(14)

masalahnya didalam Islam persoalan susu tidak hanya sekedar pemenuhan nutrisi bagi pertumbuhan pisik dan psikis anak, tetapi akan menimbulkan masalah hukum baik bagi anak itu sendiri maupun terhadap orang yang menyusui dan saudara sesusuannya.

Pada ranah demikian Majmu‟ mengeluarkan fatwa tidak membolehkan adanya bank asi karena dipastikan akan menimbulkan kemudharatan (Majma‟ al-Buhuts al- Islamiyah: 2010: 79-88). Kemudharatan yang dimaksud dapat terlihat dari beberapa indikator berikut: Pertama, sulit mengetahui susu itu berasal dari siapa, apalagi kalau terjadi pencampuran dari berbagai tempat. Kondisi seperti ini akan menimbulkan masalah larangan pernikahan seperti yang ditegaskan dalam QS. An-nisak: 23.

Dalam hal ini Muhammad Hilmiy, Sekretaris Jenderal Majmu‟ menjelaskan bahwa pendirian bank susu memiliki maslahat bagi anak-anak, yaitu tersedianya nutrisi baginya, namun mafsadahnya lebih besar daripada kerusakan, yaitu terjadinya pencampuran nasab (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 243).

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara- saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.” (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 251).

(15)

terdapat dua hal yang berbeda didalam satu masalah antara kemaslahatan dan kemudharatan, maka didahulukan menghilangkan yang mafsadah. (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 244) “ menolak kemafsadatan lebih utama daripada mengambil kemaslahatan.” Oleh sebab itu, bila terjadi benturan mafsadah dan maslahah lebih utama menghilangkan mafsadah daripada mengambil maslahah.

“Apabila kamu dihadapkan oleh suatu masalah dengan masalah yang lain, maka ambilah daripadanya mana yang kamu mampu. Apabila kamu dilarang tentang sesuatu, maka hendaklah menjauhinya.”

Kebutuhan anak terhadap nutrisi (susu) merupakan kemaslahatan, sedangkan yang di- larang adalah terjadinya pencampuran nasab. Bilamana anak-anak sampai meminum susu yang berasal dari bank susu menimbulkan mudharat yang lebih besar (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 243). Keharamannya juga berlaku bagi orang yang memberikan susunya pada bank susu karena ia telah memberikan kemafsadatan pada orang lain (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al- Muqaran: t.th: 245)

Selanjutnya susuan yang sampai menimbulkan keharaman pernikahan menurut Majmu‟ bukan dilihat dari sisi pengertian

radha-‟ah secara lughawi seperti yang dipahami oleh mazhab al-Zahiri, tetapi dilihat dari subtansi dari susu tersebut, yaitu kemanfaatan nutrisi (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al- Muqaran: t.th: 243). Dengan demikian haram hukumnya nikah orang yang sesuan meskipun tidak menyusu pada tetek perempuan itu (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 259).

(16)

susuan kecuali sesuatu yang memperkuat tulang dan menumbuhkan da- ging.” (HR. Abu Daud dan al-Daruqutni).

Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari „Aisyah ra bahwa seorang laki-laki masuk di samping Nabi saw dan laki-laki itu berubah wajahnya. Ia berkata: sesungguhnya ini adalah saudara- ku. Nabi saw bersabda yang artinya: “Sesungguhnya susuan itu adalah me- ngenyangkan”.(Lajnah min asatazah qism al- Fiqh al-Muqaran: t.th: 243)

Berikutnya hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan as-Syafii dari Ummi Salamah ia berkata: Rasulullah saw bersabda yang artinya: karena itu, meminum susu tidak dengan cara bukanlah disebut radha‟ (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 246).

“Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara- saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan”.

Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan Majmu‟ di atas kelihatan bahwa ketidak bolehan mendirikan bank susu didasarkan pada al-Qur‟an dan hadis-hadis tentang radha‟ah juga didasarkan kepada pertimbangan maslahat dan mudharat. Hadis-hadis tentang susuan menyebutkan bahwa radha‟ adalah sampainya susu itu kepada rongga anak sehingga membawa efek terhadap pertumbuhan pisik dan psikisnya tanpa mempersoalkan melalui apa susu itu sampai. Inilah yang menyebabkan adanya larangan nikah. Berbeda dengan pandangan ulama Zahiri yang berangkat dari makna radha‟, yaitu isapan susu dari al-sady (tetek) perempuan. Jadi, dalam pemahaman yang seperti ini yang terpenting adalah isapannya itu. Oleh sebab itu, yang menimbulkan larangan nikah adalah isapan dan meminum susunya itu. Selain berdasarkan hadis, Majmu‟ juga lebih mempertimbangkan kepada mudharat ketimbang kemaslahatan yang ditimbulkannya, yaitu akan mengaburkan nasab. Nasab didalam Islam termasuk masalah yang sangat krusial karenanya masuk pada adh-dharuriyat.

(17)

dari susu tersebut apalagi dengan adanya pencampuran karena dihimpun dari berbagai sumber. Kerumitannya itu akan menimbulkan masalah 20 tahun yang akan datang pada saat si anak akan melangsungkan pernikahan. Besar kemungkinan tidak akan bisa tertelusuri siapa ibu yang memiliki susu ketika dia kecil dulu termasuk saudara sesuannya. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa ijtihad dilakukan Majmu‟ melalui proses kajian berbagai disiplin ilmu termasuk ilmu gizi.

Dari sisi metode ijtihad Majmu‟ memposisikan al-Qur‟an dan hadis sebagai sumber pokok sedangkan maslahah digunakan dalam pertimbangan. Dengan demi kian dapat dikatakan, Majmu‟ dalam fatwa ini konsisten menggunakan bangunan teori yang dibangun sebelumnya.

Penentuan Awal bulan Qamariah

Penentuan awal bulan qamariah adalah persoalan klasik yang selalu aktual. Disebut demikian karena hampir setiap tahun persoalannya selalu mengemuka dan selalu menjadi topik hangat dibicarakan masyarakat luas. Kadang nuansanya tidak lagi murni persoalan agama-ilmu pengetahuan, tetapi didominasi oleh kepentingan politik. Perbedaan dan perdebatan tersebut berada diseputar rukyat dan hisab. Dalam kaitannya dengan itu Muktamar Majmu‟ Al-Buhuts ketiga yang diadakan pada tahun 1966 M, menetapkan bahwa:

1) Pada dasarnya yang dipakai untuk mengetahui masuknya bulan qamariyah apa pun, adalah rukyah, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih. (Al-Haria ibn Abi Usamah:1992:409). Jadi, rukyah adalah yang pokok, tetapi tidak bisa dijadikan sandaran apabila terdapat faktor lain yang mempengaruhi akurasi rukyah ini.

(18)

3) Informasi dari perorangan berlaku bagi orang tersebut dan orang yang percaya kepadanya. Adapun menyuruh semua orang untuk mengikuti, maka hal ini tidak bisa dilakukan kecuali setelah ada penetapan rukyah dari pihak yang ditunjuk oleh negara untuk menangani masalah ini.

4) Hisab bisa dijadikan pegangan dalam penetapan masuknya bulan Ramadhan apabila tidak bisa dilakukan rukyah dan tidak memungkinkan untuk menggenapkan bulan (Sya‟ban) sebelumnya menjadi tiga puluh hari.

5) Muktamar memandang, bahwa perbedaan tempat munculnya bulan (ikhtilaful ma-tha- li‟) tidak bisa dijadikan alasan, sekalipun wilayah-wilayah itu berjauhan letaknya, selama masih ada sebagian malam yang sama pada saat rukyah, meskipun sedikit. Perbedaan tempat munculnya bulan ini baru berlaku jika letak antar negeri itu sangat jauh dan tidak ada bagian malam yang dilalui bersama.

6) Muktamar menghimbau kepada masyarakat dan

pemerintahan negara-negara Islam, agar hendaknya masing-masing memiliki lembaga keislaman yang diakui yang berwenang menetapkan bulan-bulan qamariyah dengan tetap menjalin hubungan antara satu dengan lainnya. Selain itu, lembaga ini juga mesti bekerja sama dengan para astronom dan ahli falak yang bisa dipercaya (CD Room: al-Maktabah al-Syamilah, Fatawa al-Azhar.

Berdasarkan hal itu, dapat dipahami bahwa fatwa ini menggunakan hadis-hadis yang berkaitan dengan perintah melaksanakan rukyat hilal dalam menetapkan rukyat. Akan tetapi, didalam fatwanya tidak mengungkapkan bagaimana hubungannya dengan hadis yang berkaitan dengan kondisi umat Islam yang dalam keadaan ummi dan belum menguasai ilmu hisab sebagaimana yang digunakan oleh pendukung hisab (Yusuf al- Qardawi: 1993: 208).

(19)

Baitul Mal sebagai Ahli Waris

Baitul Mal adalah lembaga keuangan yang dikelola oleh negara sudah tumbuh dan berkembang sejak masa Nabi saw. Fungsinya lebih nyata sejak masa Umar bin Khatab menjadi kepala pemerintahan (khalifah). Salah satu pemasukan Baitul Mal adalah dari harta orang yang sudah meninggal dunia. Dalam kaitannya dengan itu, ulama fiqh berbeda pendapat tentang status Baitul Mal sebagai salah satu sebab boleh tidaknya mewarisi. Berkaitan dengan itu, Mujma‟ memetakan perdebatan itu kepada tiga kelompok besar, yaitu;

Pertama, Baitul Mal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak, baik yang terorganisasi maupun tidak. Jika seorang muslim meninggal dunia dan tidak mempunyai seorangpun ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya, dengan salah satu sebab-sebab mewarisi yang telah disepakati, maka Baitul Mal berhak mewarisi harta peninggalan tersebut serta mengguna-kannya untuk kemaslahatan kaum muslimin. Sebab kaum muslimin pun dibebani kewa-jiban membayar diyat (denda) untuk saudaranya sesama muslim yang tidak berkerabat. Dengan demikian, kedudukan mereka bagaikan

„ashabah (golongan yang mewarisi) dalam lingkungan kerabat. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Maliki-yah dan Imam Syafii dalam qaul qadim, pendapat lamanya di Baghdad (Komite Fakultas Syari‟ah Universitas al-Azhar: 2011: 41).

Kedua, Baitul Mal menjadi ahli waris jika terorganisasi. Dengan demikian, andai seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris sama sekali, harta peninggalan tersebut diserahkan ke Baitul Mal, bukan atas dasar kemaslahatan atau kepentingan sosial, tetapi untuk diwarisi oleh kaum muslimin secara ashabah. Pendapat ini dikemukakan Imam Syafii dalam qaul jadid. Kalangan Malikiyyah dan Syafiiyah yang bersandar pada pendapat ini berargumentasi dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Daud: “Aku adalah ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Aku mengerti tentang dia dan aku mewarisinya.”(as- Shan‟ani: t.th: 101)

(20)

seluruh atau sisa harta peninggalan di Baitul Mal kepada orang yang dikehendakinya (as-Shan‟ani: t.th: 101).

Ketiga, Baitul Mal bukan menjadi pe- nyebab mewarisi secara mutlak, baik ia terorganisasi maupun tidak. Ini adalah penda- pat kalangan Hanafiyyah dan Hambaliyyah. Kalangan ulama yang berpegang pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Anfal: 75: “(daripada yang bukan kera-bat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Majmu‟ dalam hal ini lebih memilih pendapat yang ketiga ini, karena inilah dipandang yang lebih kuat. Oleh sebab itu, sisa harta waris dikembalikan kepada ash- habul furudh atau diwariskan kepada dzawi al-arham. Jika tidak ditemukan seorang pun dari as-shabul furud, „ashabah, atau dari dzawi al-arham, warisan dialihkan ke Baitul Mal. Pengalihan ini bukan berdasarkan ang- gapan bahwa Baitul Mal merupakan ahli waris, tetapi Baitul Mal adalah sebagai pe- nyimpan (penjaga) harta waris hingga ahli waris si mayit diketahui (as-Shan‟ani: t.th:101).

(21)

Dengan demikian dapat dipahami bahwa fatwa ini didasarkan pada sumber pokok hukum, yaitu al-Qur‟an dan hadis sebagaimana diposisikan sejak semula. Kemudian pendapat ulama dari berbagai mazhab dijadikan sebagai pertimbangan dengan melakukan pentarjihan terhadap pendapat-pendapat tersebut. Oleh sebab itu, fatwa ini lebih memperkuat salah satu pendapat yang berkembang dalam wacana hukum Islam.

Ihtikar

Ihtikar sebagai perbuatan menimbun kebutuhan masyarakat yang menyebabkan terjadinya kelangkaan dari pasar sehingga harga melonjak secara drastis disepakati oleh ulama fiqh merupakan perbuatan yang dilarang (mahzur) oleh syara‟. Larangan tersebut disebabkan karena menimbulkan mudharat bagi masyarakat. Berbeda dengan ulama klasik (Hanafiyah, Hanabilah, Syafi‟ yah, Malikiyah dan Zahiriyah), Majmu‟ berpendapat bahwa ihtikar itu tidak hanya terbatas kepada makanan, hewan dan pakaian saja, tetapi meliputi semua yang menjadi kebutuhan (hajat) orang banyak (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 306) termasuk didalamnya jasa. (Lajnah min asatazah qism al-Fiqh al-Muqaran: t.th: 306).

Dalam pada itu, pada ihtikar terdapat dua kepentingan yang berlawanan, yaitu kemaslahatan pribadi pedagang dan kemas- lahatan konsumen (orang banyak). Ditinjau dari sisi tujuan syara‟ didalam menetapkan hukum apabila terjadi pertentangan antara kepentingan orang banyak dengan kepen- tingan pribadi, maka kepentingan orang banyak harus didahulukan.

Artinya, untuk memelihara kepen- tingan orang banyak, kepentingan pribadi harus dikorbankan, karena kepentingan pri- badi dapat mere-sahkan masyarakat banyak. Pada dasarnya pedagang (pemilik barang) boleh menjual barangnya sesuai dengan keinginannya, tetapi akibat dari perbuatan itu orang banyak mendapat mudharat.

(22)

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Majmu‟ dalam kasus ihtikar selain bertumpu pada keumuman hadis-hadis yang berkaitan dengan larangan melakukan penimbunan juga dengan mempertimbangkan kemudharatan yang ditimbulkannya. Pada ihtikar terdapat dua kepentingan kemasla- hatan yang saling bertentangan, yaitu kemas- lahatan pedagang dan masyarakat. Oleh karena kepentingan pribadi jutru menimbul- kan mudharat bagi kepentingan masyarakat, maka kepentingan pribadi harus ditinggalkan. Dalam ranah seperti itu, tentunya peran pemerintah sangat diperlukan untuk kestabilan barang dan harga sehingga kemaslahatan dapat dicapai.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Majmu‟ dalam fatwanya ini menggu- nakan hadis sebagai sumber pokok hukum. kemudian maslahah dijadikan sebagai pertim- bangan setelah terlebih melakukan kajian kri- tis terhadap pendapat ulama maz-hab sebelumnya. Jika dalam ijtihad ulama mazhab yang termasuk ihtikar hanyalah berkaitan de- ngan kebutuhan makanan pokok, Majmu‟ jus- tru memperluas cakupannya menjadi kebutuh- an hajat orang banyak dengan menggunakan keumuman hadis tentang larangann ihtikar.

Penutup

Majmu‟ al-Buhuts al-Islamiyah sebagai lembaga fatwa yang berada di bawah naungan Universitas al-Azhar telah mempelopori ter- wujudnya lembaga fatwa yang bersifat kolektif, yang sebelumnya lebih banyak diga- wangi secara pribadi (mufti). Ijtihad model ini tentu lebih dapat menjawab persoalan- persoalan masyarakat yang terus terjadi sei- ring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial secara komprehensif.

Dalam implementasinya Majmu‟ menja- dikan al-Qur‟an dan hadis sebagai sumber pokok dalam istimbat hukum. Berdasarkan pada kasus-kasus yang dikemukakan sebe- lumnya terlihat bahwa kedua sumber pokok tersebut digunakan secara konsisten. Selain al- Qur‟an dan hadis, pendapat para ahli hukum Islam yang berkembang sebelumnya yang terdiri dari berbagai mazhab menjadi pertimbangan didalam penetapan hukum. Bahkan didalam praktiknya Majmu‟ lebih

cenderung memilah dan memilih pendapat diantara yang

(23)

kelihatannya mewarisi tradisi keilmuan ulama-ulama klasik terutama pada fiqh muqaran. Selain dengan cara tarjih, Majmu‟ juga menjadikan maslahat sebagai motode dalam istimbat hukum. Dengan demikian jelas bahwa Maj-mu‟ didalam proses penetapan hukum tam-pak konsisten dengan teori yang diba-ngunnya.

Bibliografi

Abdullah, Amin, 1999. Studi Agama, Norma- tivitas atau Historitas? Yogyakarta: Pus- taka Pelajar.

Anwar, Syamsul, 2011, Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi, Yogyakarta: Suara Mu-hammadiyah.

Al-Bukhari, tt. Shahih al-Bukhari, Juz III, Bairut: Alam al-Kutub. al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan, 1992, Dha-wabit al-Mashlahah

fi al-Syariah al- Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, Chaoir, Tholhatul, dan Fanani, Ahwan, (ed),2009, Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Dahlan, Abdul Azis, (ed), 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta:

Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid III

Fanani, Muhyar, 2009, Fiqh Madani Kontruk- si Hukum Islam di Dunia Modern, Yog- yakarta: LkiS.

al-Gazali, Abu Hamid,2008, al-Mustashfa min„Ilm al-Ushul, Jilid I, Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah,

Hasan, Muhammad, 1981, Al-Wajiz fi Ushul al-Tasyri al-Islami, Beirut: Muassasah al- Risalah.

Hitti, Philip K., 2005, History of the Arabs, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

(24)

al-diyaniyah, Khairo:t.p,

Ibn Majah, tt, Sunan ibn Majah, Chairo: Isa al-Babi al-Halabi. Muthahhari, Murtadha, al-Ijtihad fi al-Islam, Teheran: t.tp, tt

Nasution, Harun, 1994, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.

as-Shan‟ani, tt, Subul al-Salam, Bandung: Dahlan, Juz III

Syam, A. Slamet Ibnu, Ijtihad Kolektif: Refleksi atas Kompleksitas Problematika & Keterbatasan para Cendekiawan Islam Kontemporer, http://moslemz. multiply. com/ journal/item/111 diakses 12 April 2012

al-Syatibi, tt, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟at, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II

Supena, Ilyas, dan Fauzi, M., 2002, Dekons- truksi dan Rekontruksi Hukum Islam, Semarang: Gama Media,

Usamah, Al-Haria ibn Abi, 1992, Bugyah al- Bahia „an Zawa‟id Musnad al-Haria, al- Madinah al-Munawarah: Markaz Hid- mah al-Sunnah wa al-Sirah al-Naba- wiyah, Tahqiq: Husain Ahmad Shalih.

Rahmat, Jalaluddin, (ed), 1996, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, Yanggo, Huzaemah Tahido, 1997, Pengantar Per-bandingan Mazhab, Jakarta: Logos.

al-Qardawi, Yusuf, 1993, Fatawa Mu‟ashirah, Beirut: Dar al-Wafa‟, Juz II

al-Qardawi, Yusuf, 1985, al-Ijtihad fi al- Syari‟at al-Islamiyyat ma‟a Nazharat al-tahliliyat fi al-Ijtihad al-Mu‟ashir, Kuwait: Dar al-Qalam,

Zulkarnain, Iskandar, 2006, Gerakan Ahma- diyah di Indonesia, Yogyakarta: LKIS.

al-Zuhaili, Wahbah, tt , Ushul Fiqh Islamiy,Damaskus: Dar al-Fikr, Juz II www.darifta.com bandingkan dengan www. alazhar.agu.com

Referensi

Dokumen terkait

Tugas akhir yang berjudul ”Kode Linier dari Graf Strongly Regular” ini diaju- kan sebagai salah satu syarat Sidang Sarjana Program Studi Matematika, Fakultas Matematika dan

Untuk menghitung gan,sguan kilat pada- seperempat dan setengah djarak dari menara dipakai metod.e AIEE, djr.di dengart mernbandingkan kekuatan isolasi dari djarak antara

Begitu juga keluarga, terutama anak-anak, walaupun mereka penting dalam memberikan sokongan kepada warga tua, tetapi kewujudan dan interaksi dalam keluarga adalah tidak

Seluruh staf medis fungsional, maupun dokter yang diberi izin praktek di RSUD Kardinah Tegal berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap penulisan

Dari tabel 2 di atas diketahui serat alam yang paling banyak ditemukan sebagai bahan baku kain untuk batik di kota Pekalongan adalah kapas dan sutra. Bahan baku kain

Tujuan Pengujian : Pengujian dilakukan untuk memastikan bahwa aplikasi dapat memenuhi kebutuhan fungsional untuk pengiriman notifikasi status permainan sehingga aplikasi

Isu-isu terkait Program Vaksinasi adalah: (1) Program Vaksinasi yang membahas vaksinasi tahap pertama untuk tenaga kesehatan; (2) Polemik Vaksinasi mengenai beberapa alasan

NIST mendefiniskan Clud Computing adalah sebuah model untuk kenyamanan, akses jaringan on-demand untuk menyatukan pengaturan konfigurasi sumber daya komputasi