• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apa yang Sebenarnya Mahal dari Demokrasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Apa yang Sebenarnya Mahal dari Demokrasi"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Apa yang Sebenarnya Mahal dari

Demokrasi?

Sejak reformasi politik tahun 1997/1998 dan era otonomi daerah di awal 2000-an silam, Indonesia telah mengalami ratusan pemilihan langsung untuk memilih kepala daerahnya masing-masing. Hal ini jelas merupakan pencapaian Bangsa yang sangat mengagumkan. Terlebih lagi, Indonesia adalah satu-satunya Negara dengan penduduk islam terbanyak di dunia yang mampu mensejajarkan Islam dan demokrasi untuk dapat hidup “harmonis”. Akan tetapi, prestasi tersebut hadir bukan tanpa suatu kekurangan sedikitpun. Demokrasi di

Indonesia sedang diuji ketahanannya dengan semakin tereksposnya kasus-kasus korupsi oleh pejabat tinggi Negara, penurunan toleransi antar umat beragama, kesejahteraan yang tidak merata, serta pembangunan ekonomi nasional yang nampaknya sedang jalan di tempat. Ujian-ujian tersebut akhirnya mengusik pikiran dan suara hati beberapa masyarakat Indonesia belakangan ini: apakah demokrasi politik ini sudah menghadirkan manfaat yang sesuai dengan apa yang kita “bayar”? apakah demokrasi hari ini sudah membawa kepada kehidupan yang lebih baik daripada rezim otoriter pra-1998?

Beberapa golongan masyarakat berpendapat bahwa demokrasi kita ini “berbiaya mahal” tetapi tidak banyak menghasilkan manfaat seperti yang dicita-citakan di semangat awal reformasi. Beberapa golongan yang lainnya berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah (dan juga kepala Negara) sebaiknya dibatasi dan disarankan hanya 1 putaran saja, mengingat borosnya dana yang harus diambil dari APBN dan APBD jika pesta rakyat tersebut harus dilakukan lebih dari satu putaran dan diselenggarakan di setiap level pemerintahan. Dengan menilai hanya pada sisi keburukannya saja, beberapa golongan yang lain bahkan mengklaim bahwa rezim otoriter pra-1998 itu jauh lebih baik, efisien, teratur, dan jelas arahnya mau kemana dibandingkan jaman demokrasi dewasa ini. Hal ini terbukti dari beredarnya

baliho/spanduk di kota-kota Jakarta dan sekitarnya yang ber-tagline: “enak jamanku tho…?”, disertai dengan foto Alm. Bapak Presiden Suharto sebagai latarnya.

Fenomena pengkambing-hitaman mahalnya biaya penyelenggaraan demokrasi, sebagai dasar pembatasan kebebasan berpolitik, dewasa ini sedang marak terjadi di Indonesia, baik disadari maupun tidak. Hal tersebut sangat terasa dari mulai jargon para calon incumbent yang selalu meneriakkan Pemilu / Pemilukada SATU putaran sampai pada ide-ide terbaru ditiadakannya Pemilukada Gubernur / tingkat provinsi dengan dalih penghematan anggaran pemerintah. Konsen terhadap mahalnya biaya pemilu bukanlah merupakan suatu konsen kebijakan yang salah. Hanya saja, pengkambing-hitaman mahalnya biaya Pemilu / Pemilukada tersebut seringkali dibarengi dengan pengerdilan dan pengebirian kebebasan berpolitik bagi

(2)

presiden/kepala daerah saja ketimbang pesan edukasinya (edukasi Pemilu/Pemilukada hemat). Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa telah terjadi salah kaprah pemahaman tentang demokrasi oleh warga Indonesia, khususnya (ironisnya) disebabkan oleh para pemimpin kita sendiri. Berikut ilustrasinya.

Menyalahkan / mengkambing-hitamkan biaya pemilu yang mahal atas nama penghematan anggaran pemerintah adalah layaknya konsumen yang ingin membeli mobil bermerek “Ferari” namun maunya hanya membayar seharga mobil “Carry”. “Ferari” (sistem

demokrasi) memiliki fitur / komponen yang sangat unik, kompleks, dan canggih, sehingga memiliki harga yang relatif mahal dari sekedar mobil “Carry” (sistem non-demokrasi / otoriter) yang memiliki komponen relatif jauh lebih sederhana. Oleh karena itu, wajar adanya jika kita harus membayar lebih “mahal” untuk mendapatkan mobil “Ferari”. Dengan

teknologi (baca: sistem sosial, politik, hukum, dan ekonomi) dan sumber daya (baca: kualitas manusia) yang ada sekarang ini, memang sebesar itulah biaya yang harus kita bayarkan untuk mendapatkan (menikmati) mobil “Ferari” (sistem demokrasi). Secara logis, pertanyaan yang sebenarnya sangat krusial adalah: apakah dengan membayar semahal itu, konsumen (baca: rakyat) benar-benar mendapatkan mobil “Ferari” (demokrasi)? Atau jangan-jangan, konsumen yang membayar seharga “Ferari” tersebut hanya mendapatkan mobil “Carry” (tidak benar-benar harapan dari sistem demokrasi)! Dengan kata lain, memastikan bahwa demokrasi benar-benar dapat menghasilkan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara seperti apa yang kita idam-idamkan bersama adalah jauh lebih krusial dan substantif dibandingkan dengan menyalahkan mahalnya biaya Pemilu / Pemilukada yang memang sudah selayaknya kita tanggung karena telah memilih sistem demokrasi politik.

Keberatan atas pemahaman yang salah akan demokrasi yang berbiaya mahal juga pernah diangkat ke permukaan oleh beberapa tokoh politik di Indonesia. Bapak Jusuf Kalla pada saat debat Capres-Cawapres 2009 mengatakan bahwa penganjuran / pengarahan Pemilu satu putaran atas nama penghematan anggaran Negara adalah nama lain dari pengebirian demokrasi dan hak-hak kebebasan berpolitik masyarakat Indonesia. Selain itu, nada yang sama juga dikeluarkan oleh anggota DPR-RI Komisi II, Basuki TP (Ahok) di tahun 2011 pada saat rapat dengar pendapat bersama KPU dan Banwaslu, yang mengkritisi bahwa pemerintah seringkali tidak substantif dalam mencari solusi dari demokrasi yang mahal dan rawan kecurangan tersebut. Alih-alih membereskan sistem pemilu (DPT dan lain-lain), Pemerintah lebih memilih ide bahwa nantinya Gubernur akan dipilih oleh DPRD, supaya lebih menghemat anggaran negara. Hal inilah yang disebut oleh kedua tokoh tersebut sebagai pengebirian demokrasi dan hak-hak masyarakat Indonesia atas nama penghematan anggaran Negara yang sama sekali tidak substantif. Justru hal tersebut merupakan sebuah langkah mundur bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

(3)

Pemilukada, karena memang masyarakat menuntut demokrasi yang seluas-luasnya. Usaha-usaha menghemat biaya akan sangat sulit dilakukan tanpa mengurangi utilitas (tingkat kepuasan) sosial politik masyarakat di Indonesia (melalui terkekangnya kebebasan berpolitik). Oleh karena itu, alih-alih melakukan “efisiensi” yang salah kaprah tersebut, penulis berpendapat bahwa hal yang lebih substantif yang dapat dilakukan sebenarnya adalah memastikan bahwa kita (warga Indonesia) telah mendapatkan manfaat yang sesuai dari “harga” yang telah dibayarkan untuk mendapatkan demokrasi politik tersebut. Dengan kata lain, secara ekonomi, pemerintah semestinya lebih berfokus kepada usaha-usaha untuk memastikan bahwa masyarakat Indonesia bisa mendapatkan peluang manfaat sosial ekonomi yang lebih baik dengan adanya demokrasi tersebut. Ketidakoptimalan pemerintah dalam memastikan manfaat dari demokrasi tersebut akan berimbas kepada kehilangan kesempatan ekonomi (opportunity loss), dimana biaya yang harus ditanggungnya signifikan lebih besar daripada sekedar biaya penyelenggaraan Pemilu / Pemilukada.

Ada 3 elemen penting di dalam sistem demokrasi politik yang menentukan kualitas hasil akhir dari pesta demokrasi yang akan dihelat, yaitu calon yang akan dipilih (legislatif, gubernur, walikota, bupati, atau presiden), pengawas dan penyelenggara pemilu (Banwaslu dan KPU), serta para pemilih (masyarakat dengan hak pilih). Tidak optimalnya peran serta / kualitas salah satu komponennya akan berakibat pada 5 tahun penderitaan yang “mahal” untuk Kota/Kabupaten/Provinsi/Republik kita melalui kebijakan publik yang tidak baik, pembangunan ekonomi yang stagnan, tata kelola pemerintahan yang buruk, serta korupsi yang merajalela,akibat darimemilih pemimpin (wakil rakyat) yang salah. Penderitaan “mahal” inilah yang semestinya menjadi konsen yang lebih utama bagi masyarakat Indonesia, bukan hanya penghematan anggaran yang tidak substantif yang berujung pada pengebirian kebebasan berpolitik di Indonesia.

Berikut adalah sumber permasalahan dari penderitaan yang “mahal” tersebut:

1.Masih rendahnya kesadaran para pemilih kita untuk memilih dengan cerdas merupakan sumber yang dominan mengapa akhirnya pemimpin (wakil rakyat) yang terpilih adalah seseorang tanpa kualitas yang memadai. Pada akhirnya, ketidakpedulian dan

(4)

2.Permasalahan utama adalah bukan pada seberapa banyak putaran pemilihan langsung tersebut, tetapi seberapa bersihkah pemain yang bermain dalam Pemilu/pemilukada tersebut. Hal itu sangatlah essensial mengingat calon yang tidak bersih memiliki peluang yang lebih besar untuk tidak optimal dalam memimpin, karena lebih berfokus pada pengembalian hutang dana kampanye dan kesejahteraan “teman-teman” terdekatnya dibandingkan dengan

pembangunan kota / kabupaten / provinsi / Republik kita dalam jangka panjang. Oleh karena itu, seberapa banyaknya putaran di dalam Pemilu / Pemilukada bukanlah suatu masalah, selama pemimpin yang terbaik dan terbersihlah yang keluar sebagai pemenangnya. Bukan memotong biaya penyelenggaraan Pemilu / Pemilukada melalui pengebirian demokrasi caranya, namun lebih kepada pengawasan yang indepeden atas keluar dan masuknya dana kampanye para calon, untuk memastikan sebuah persaingan yang adil.

3.Permasalahan klasik Pemilu dan Pemilukada di Indonesia adalah tidak akuratnya Daftar Pemilih Tetap (DPT), absennya mekanisme yang menjamin sumber dana kampanye adalah berasal dari sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik, serta ketidak-akuratan rekapitulasi suara dari TPS di daerah-daerah sampai ke pusat. Meskipun para calon sudah bersih dan para pemilih sudah begitu cerdas, jika Pengawas dan Pelaksana Pemilihan langsung (Banwaslu dan KPU) tersebut tidak cukup optimal dalam melaksanakan tugasnya, maka permainan politik akan semakin mungkin terjadi. Sehingga pada akhirnya peluang menangnya pemimpin yang tidak benar-benar kompeten akan semakin besar. Hal tersebut merupakan salah satu “saluran” mahalnya demokrasi.

Ada satu hal lain yang tidak kalah pentingnya didalam menyikapi demokrasi politik di Indonesia dewasa ini, yaitu Golput atau Apatisme. Sejarah mencatat bahwa seringkali golongan yang menang pemilu bukanlah calon yang bertanding, melainkan Golongan

masyarakat yang tidak memilih. Hal ini dikarenakan besarnya masyarakat yang tidak memilih tersebut justru melebihi (poin) kemenangan salah satu pasangan calon pemenang Pemilu / Pemilukada. Apatisme / Golput merupakan suatu endemik yang dapat menyebabkan biaya pemilu sangat “mahal”. Dalam konteks ini, apatisme / golput merupakan suatu bentuk sistemik dalam menghambur-hamburkan uang rakyat dengan cara tidak menggunakannya. Beberapa golongan menyebutnya Mubazir. Tidak heran kemudian MUI mengeluarkan fatwa bahwa Golput hukumnya haram. Itu semata-mata merupakan suatu bentuk lain dari

(5)

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, pembatasan kebebasan berpolitik mungkin hanya menghemat anggaran Negara sampai puluhan / ratusan miliar, tetapi belum tentu juga akan menjamin kesejahteraan masyarakat Indonesia dan masa depan Republik Indonesia menjadi lebih baik. Akan tetapi, investasi politik yang cerdas dengan cara memastikan sistem

pemilihan berlangsung jujur dan adil (dari sisi KPU dan Banwaslu), bermain bersih (bagi para calon), serta memilih dengan hati-hati dan didasarkan pertimbangan yang matang serta tidak hanya ikut-ikutan (dari sisi pemilih) akan sangat mungkin menghasilkan penghematan ratusan / bahkan ribuan triliun rupiah melalui terpilihnya pemimpin (wakil rakyat) yang bersih dan berfokus kepada pembangunan ekonomi nasional yang produktif (tidak hanya populis semata). Bahkan, tidak hanya penghematan yang dapat tercipta, peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat juga dapat terakselerasi melalui perbaikan sistem ekonomi politik di Republik ini.

Tidak kurang dari satu pekan lagi akan berlangsung Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017. Ini adalah momentum bagi masyarakat Indonesia untuk membuktikan bahwa para pemilih bisa memilih dengan cerdas, para calon bisa bertanding dengan fair, dan KPUD serta Banwaslu bisa menjamin “lapangan yang rata” untuk kesemua pasangan calon. Di Pemilukada mendatang ini, harapannya Masyarakat Jakarta tidak hanya tinggal diam dan memilih dengan dasar asal-asalan atau ikut-ikutan saja (atau bahkan memutuskan untuk Golput): “udahlah yang pasti-pasti saja”, “lanjutkan aje udah”, “udahlah satu putaran saja, biar hemat”, atau bahkan “aah.. paling cuma janji… janji doang, ga usah nyoblos ah”. Harapannya slogan itu musnah di Pemilukada DKI Jakarta mendatang ini dan harapannya juga tulisan ini bisa sedikit memberikan pencerahan bahwa “mahal” adalah disaat kita acuh terhadap mempertimbangkan calon mana yang paling baik untuk kita, calon mana yang paling kompeten, dan tidak memilih dengan dasar pertimbangan yang matang, sekedar ikut-ikutan atau bahkan karena politik uang. Keacuhan dan keapatisan kita lah yang sejatinya membuat demokrasi itu sendiri menjadi mahal.

(6)

Referensi

Dokumen terkait

• Transfusi darah atau komponen darah yang cukup dalam jangka waktu < 24 jam untuk mengganti. seluruh

o Gerakan memegang tangan makin ke atas di belakang badan menunjukkan seseorang yang sedang sangat marah dan berusaha lebih keras untuk mengendalikan diri dibandingkan dengan

(5) The existence of significant influence on the industry changes in the social structure of society through corporate social responsibility (CSR) as an

Pada emulsi ganda A/M/A yang dibuat dengan menggunakan hidrokoloid sebagai penstabil antara fase dispers A/M dan fase air eksternal, viskositasnya dapat lebih

• Perlu adanya wadah yang berfungsi sebagai gedung Gereja yang mampu menunjang kegiatan beribadat umat Katolik Paroki Rasul Barnabas secara maksimal dengan kapasitas yang mampu

Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Di sini

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Tujuan disusunnya Rencana Strategis (Renstra) Dinas Perhubungan Kabupaten Klaten Tahun 2016 – 2021 adalah tersusunnya dokumen perencanaan teknis strategis secara