• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Normatif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kerangka Normatif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Implementasi H

ak-hak

E

konomi,

S

osial dan

B

udaya:

Kerangka Normatif dan Standar Internasional

Oleh: Ifdhal Kasim∗

Pendahuluan

Makalah ini akan membahas isu-isu yang diajukan dalam term of reference seminar ini,

yakni: (i) berbagai kerangka normatif danm standar internasional yang mengatur hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya; (ii) sistem dan mekanisme internasional implementasi

hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, termasuk badan-badan internasional yang terkait; (iii)

berbagai kelemahan dan kekurangan dalam sistem dan mekanisme internasional

menyangkut hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta langkah-langkah internasional

dalam penyempurnaannya; (iv) kerangka normatif kewajiban negara menurut sistem dan

standar internasional dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya; dan (v) sumber-sumber acuan normatif kewajiban negara termasuk

Prinsip-prinsip Linburg dan Maaastricht.

Kerangka Normatif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Marilah kita awali dengan bahasan mengenai tempat hak ekosob di dalam hukum hak

asasi manusia internasional, sebelum kita memasuki bahasan pokok tulisan ini. Tidak

berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, hak ekosob merupakan bagian yang esensial

dalam hukum hak asasi manusia internasional; bersama-sama dengan hak-hak sipil dan

politik ia menjadi bagian dari theinternational bill of human rights. Sebagai bagian dari

Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional tentang “Menuju Perlindungan dan Pemantauan

yang Efektif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR), di Yogyakarta, 16 April 2007.

(2)

international bill of human rights, kedudukan hak ekosob dengan demikian sangat

penting dalam hukum hak asasi manusia internasional; ia menjadi acuan pencapaian

bersama dalam pemajuan ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian hak ekosob

tidak dapat ditempatkan di bawah hak-hak sipil dan politik --sebagaimana telah

dikesankan selama ini.

Pengikatan terhadap hak eksob itu diwujudkan dengan mempositifikasikan hak-hak

tersebut ke dalam bentuk perjanjian multilateral (treaty). Rumusannya tertuang dalam

Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya –yang dalam bahasa aslinya dikenal

dengan Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (selanjutnya disingkat

CESCR), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1966 –bersama-sama

dengan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Kedua kovenan ini memang dilahirkan secara

bersamaan, sebagai bentuk kompromi dari pertentangan pada saat perumusannya ketika

itu.1 Negara-negara yang telah menjadi pihak pada Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial

dan Budaya itu --dengan meratifikasinya, mencapai berjumlah 142 Negara,2 dan kini

ditambah satu negara lagi yang baru meratifikasi, yaitu Indonesia.

Tingginya tingkat ratifikasi terhadap kovenan ini menunjukkan, bahwa kovenan ini

memiliki karakter universalitas yang sangat kuat. Karena ia telah diterima oleh lebih dari

seratus negara. Sebagian ahli hukum hak asasi manusia internasional menganggap,

perjanjian dengan karakter yang demikian ini, telah memiliki kedudukan sebagai bagian

dari hukum kebiasaan internasional (international customary law);3 ia mengikat setiap negara dengan atau tanpa ratifikasi. Tetapi bagi kita sekarang, kovenan tersebut telah

1 Pada saat perumusannya, para perancangnya berupaya merumuskan sebuah international bill of human

rights, yang mencakup kedua kategori hak tersebut. Bukan memisahkannya ke dalam dua kovenan. Tetapi karena pertentang politik pada saat itu, yang berada dalam atmosfir Perang Dingin, akhirnya dipisahkan menjadi dua kovenan. Uraian ringkas mengenai ini dapat dibaca dalam Thomas Buergental, International Human Rights in A Nutshell (Wset Publising Co, 1995).

2 Menurut data ratifikasi yang dikeluarkan PBB, hingga tanggal 15 Juni 2000 CESCR telah

diratifikasi oleh 142 Negara dan ditandatangani oleh 61 Negara. Kemudian pada tahun 1997, Cina menyusul meratifikasi kovenan ini, persisnya 27 Oktober 1997. Lihat, Millenium Summit Multilateral Treaty Framework (New York: United Nations, 2000). Oktober 2005, menyusul Indonesia meratifikasinya.

3 Argumen seperti ini diajukan dan dipertahankan oleh, di antaranya, yang paling vokal adalah Prof.

(3)

menjadi bagian dari hukum nasional kita; ia telah mengikat negara ini untuk

melaksanakan isi kovenan tersebut di dalam negerinya.

Pembahasan dari sudut legal ini menunjukkan betapa kuatnya kedudukan hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya. Ia berkedudukan sama dengan hak-hak sipil dan politik.

Tetapi persepsi atau pandangan yang berkembang mengenainya menunjukkan realitas

yang lain, yakni memposisikannya dalam kedudukan yang tidak berimbang dengan

hak-hak sipil dan politik. Jadi dalam waktu yang lama telah berkembang persepsi yang

menyangkal keberadaan hak-hak ekosob ini dalam rezim hukum hak asasi manusia,

dengan mengatakan bahwa hak-hak ini bukanlah hak yang riel (not really right). Karena

itu marilah kita periksa pula bagaimana penyangkalan tersebut dibangun.

Penyangkalan terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Selama ini telah terbangun suatu persepsi populer mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya. –yang telah diterima secara umum. Yaitu persepsi atau pandangan yang

mengontraskan hak ekosob dengan hak-hak sipil dan politik. Kedua kategori hak ini

dikontraskan secara diametral. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya digambarkan

sekedar sebagai statemen politik, sementara hak-hak sipil dan politik dikatakan sebagai

hak yang riil. Karena kedua kategori hak ini, yang diatur dalam masing-masing kovenan,

memang menggunakan formulasi hukum yang berbeda. Kalau CESCR menggunakan

formulasi “… undertakes to take steps, … to the maximum of its available resources, with

a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the

present Covenant …”.4 Dipihak lain, ICCPR (Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik)

menggunakan: “… undertakes to respect and to ensure to all induvidual within its

territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant

…”.5 Formulasi hukum yang berbeda ini dijadikan dasar untuk menarik garis pembeda

yang tajam antara kedua kovenan tersebut.

4 Selengkapnya lihat pasal 2 (1) Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

(4)

Perbedaan tajam yang dibuat itu adalah dengan mengatakan hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya merupakan hak-hak positif (positive rights), sementara hak-hak sipil dan politik

dikatakan sebagai hak-hak negatif (negative rights).6 Dikatakan positif, karena untuk

merealisasi hak-hak yang diakui di dalam kovenan tersebut diperlukan keterlibatan

negara yang besar. Negara di sini haruslah berperan aktif (obligation to do something).

Sebaliknya dikatakan negatif, karena negara harus abstain atau tidak bertindak dalam

rangka merealisasikan hak-hak yang diakui di dalam kovenan. Peran negara di sini

haruslah pasif (obligation not to do something). Makanya hak-hak negatif itu dirumuskan

dalam bahasa “freedom from” (kebebasan dari), sedangkan hak-hak dalam kategori

positif dirumuskan dalam bahasa “rights to” (hak atas). Sebagai hak-hak positif, maka

hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat dituntut di muka pengadilan (

non-justiciable). Sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak-hak negatif ia dapat

dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat

menuntut negara ke muka pengadilan, karena pelanggaran tersebut. Sebaliknya, orang

yang disiksa oleh aparatur negara dapat dengan segera menuntut tanggung jawab negara

atas pelanggaran tersebut ke muka pengadilan.

Disamping membedakannya dengan cara positif dan negatif tersebut, juga dibuat

perbedaan secara ideologis. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dikatakan bermuatan

ideologis, sementara hak-hak sipil dan politik non-ideologis. Artinya hak-hak ekonomi,

sosial dan budaya hanya dapat diterapkan pada suatu sistem ekonomi tertentu, sedangkan

hak-hak sipil dan politik dapat diterapkan untuk semua sistem ekonomi atau

pemerintahan apapun. Atau dalam kata-kata Philip Alston dan Gerald Quinn,7

“... civil and political rights are seen as essentially non-ideological in nature and are potentially compatible with most system of goverment. By contrast, economic, social and cultural rights are often perceived to be of a deeply ideological nature, to necessitate an unacceptable degree of intervention in the

6 Lihat Vierdag, “The Legal Nature of the Rights Granted by the International Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights”, Netherlands Yearbook of International Law 1978, 69-105.

7 Philips Alston dan Gerald Quinn, “The Nature and Scope of States Parties Obligations under the

(5)

domestic affairs of states, and to be inherently incompatible with a free market economy”.

Kedua kategori hak ini menuntut tanggung jawab negara yang berbeda. Kalau hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya menuntut tanggung jawab negara --meminjam istilah yang

digunakan Komisi Hukum Internasional-- dalam bentuk obligations of result, sedangka

hak-hak sipil dan politik menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk obligations of

conduct. Tetapi apakah argumen-argumen penyangkalan tersebut memiliki validitas yang

kuat? Ternyata kontras yang dibuat itu hanya artifisial dan mitos belaka. Karena

perbedaan tersebut tidak didasarkan pada pemahaman yang utuh mengenai legal nature

hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan kajian-kajian mutakhir, seperti yang

diprakarsai oleh ahli-ahli hukum seperti Philip Alston, Asbojrn Aide, Audrey Chapman,

Scott Leckie, Katarina Tomasevski (sekedar menyebut beberapa di antaranya),

mengungkapkan ketidaksahihan penyangkalan tersebut. Pandangan-pandangan mereka

sangat mempengaruhi perumusan Prinsip-prinsip Limburg8 dan Pedoman Maastrict.9

Kebijakan Negara dalam Melindungi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Berdasarkan pada kajian-kajian mutakhir hak-hak ekosob, ternyata diungkapkan bahwa

hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu tidak sepenuhnya merupakan hak-hak positif.

Sebab cukup banyak hak-hak yang diakui di dalamnya menuntut negara agar tidak

mengambil tindakan (state obligation not to do something) guna melindungi hak tersebut.

Bukannya melulu mengharuskan negara aktif mengambil tindakan. Hal ini dapat kita

lihat pada klausul-klausul seperti hak berserikat, hak mogok, kebebasan memilih sekolah,

kebebasan melakukan riset, larangan menggunakan anak-anak untuk pekerjaan

berbahaya, dan seterusnya, yang terdapat di dalam CESCR. Ketentuan-ketentuan itu

menunjukkan dengan gamblang, bahwa yang diatur di dalam CESCR bukan hanya

8 Prinsip-prinsip Limburg ini dirumuskan oleh para ahli hukum internasional sebagai suatu usaha

untuk mengefektifkan pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dengan memberikan penafsiran baru terhadap ketentuan-ketentuan CESCR. Prinsip-prinsip ini tidak mengikat secara hukum.

9 Pedoman ini juga dirumuskan oleh para ahli hukum internasional yang tidak mengikat secara

(6)

hak dalam jenis “rights to”, tetapi juga hak-hak dalam jenis “freedom from”. Jadi

mengatakan bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya semata-mata merupakan hak-hak

positif jelas menyesatkan.

Makanya frasa undertakes to take steps, to achieve progressively dan to maximum of its

available resources pada pasal 2(1) CESCR harus dilihat sebagai ketentuan yang

memiliki hubungan yang dinamis dengan semua pasal lainnya.10 Hakikat kewajiban

hukum yang timbul dari pasal ini bukan hanya menuntut negara berperan aktif, tetapi

juga menuntut negara tidak mengambil tindakan (pasif). Makanya kurang tepat, tanggung

jawab negara di bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini dibedakan antara

obligation of conduct dan obligation of result. Kedua kewajiban itu merupakan kewajiban

yang sekaligus harus dipikul oleh negara dalam pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya. Misalnya, untuk mencukupi kebutuhan pangan, negara harus mengambil

langkah-langkah dan kebijakan yang tepat agar tujuan mencukupi pangan tersebut

berhasil (obligation of result). Tetapi dalam waktu yang bersamaan, negara juga tidak

diberbolehkan mengambil tindakan yang menyebabkan seseorang kehilangan kebebasan

memilih pekerjaan atau sekolah (obligation of conduct). Jadi jelas mengapa dikatakan

keliru, jika tanggung jawab negara dikatakan terbatas pada obligation of result.

Dalam sebuah konferensi yang diorganisir oleh International Commission of Jurist,

David Matas11 --salah seorang yang terlibat dalam dalam konferensi tersebut, dengan

tegas menolak pemisahan antara kedua bentuk tanggung jawab negara itu. Kita turunkan

di sini pendapatnya:

10 Salah seorang sarjana yang memberi perhatian besar terhadap frasa-frasa kontroversial itu adalah

Robert E. Robertson. Dalam tulisannya yang mengulas frasa ‘maximum available resources’, Robertson menunjukkan betapa tidak mudahnya memahami bahasa yang digunakan CESCR. Katanya, “It is a difficult phrase –two warring adjectives describing an undefined noun. ‘Maximum’ stands for idealism; ‘available’ stands for reality. ‘Maximum’ is the sword of human rights rhetoric; ‘available’ is the wiggle room for the State. Lihat, Robert E. Robertson, “Measuring State Compliance with the Obligation to Devote the “Maximum Available Resources” to Realizing Economic, Social and Cultural Rights,” Human Rights Quarterly, Vol. 16 (November 1994): Hlm.694.

11 Lihat David Matas, “Economic, Social and Cultural Rights and the Rule of Lawyers: North

(7)

“Put in terms of distinction between obligations of conduct and obligations of result, the notion that economic, social and cultural rights are always and only obligations of result, and that political and civil rights are always and only obligations of conduct is false. For countries like Canada and the US all economic and social rights are obligations of conduct and not just obligations of result. For countries like Canada and the US, if an economic, social or cultural rights is not being realised, the reason is unwillingness and not incapacity”.

Prinsip-prinsip Limburg juga menegaskan hal yang serupa. Kumpulan prinsip yang

disusun oleh para ahli hukum internasional itu --yang didesain untuk memberi pedoman

dalam mengimplementasikan CESCR, berusaha meletakkan arah baru dalam melihat

tanggung jawab negara dalam konteks hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Yaitu

dengan tidak memandangnya melulu bersifat positif. Hal ini dapat kita baca pada

paragraf ke-16 Prinsip-prinsip Limburg itu. Di sana dikatakannya:

“All States parties have an obligation to begin immediately to take steps towards full realization of the rights contained in the Covenant.”

Selanjutnya pada paragraf ke-22, ditegaskan lagi:

“Some obligations unders the Covenant require immediate implementation in full by all States parties, such as the probihation of discrimination in article 2(2) of the Covenant.”

Jadi, meskipun CESCR menetapkan pencapaian secara bertahap dan mengakui realitas

keterbatasan sumberdaya yang tersedia di satu sisi, pada sisi lain ia juga menetapkan

berbagai kewajiban yang memiliki efek segera (immediate effect). Itu artinya hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya tidak lagi dapat dilecehkan sebagai “bukan merupakan hak

yang sebenarnya” alias sekedar “statemen politik”. Sama seperti hak-hak sipil dan politik,

ia juga merupakan hak yang sebenarnya yang juga dapat dituntut pemenuhannya melalui

pengadilan (justiciable). Terutama untuk hak-hak yang diatur pada pasal 3, 7(a) dan (i),

8, 10(3), 13(2), (3) dan (4), dan pasal 15(3). Hak-hak dalam pasal-pasal ini bersifat

justiciable, yang dapat dituntut di muka pengadilan nasional masing-masing negara.

Argumen maximum available resources atau progressive realization tidak dapat

digunakan untuk mengesampingkan pemenuhan segera hak-hak tersebut. Jadi anggapan

(8)

menyesatkan. Selain tidak menyumbang apa pun bagi kepentingan advokasi pemenuhan

hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Begitu juga mengenai anggapan, bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu tidak

cocok bagi semua sistem pemerintahan atau ekonomi. Karena ia ideologis! Anggapan ini

juga keliru, karena hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini tidak pernah didesain untuk

salah satu sistem ekonomi atau pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya ini bersifat netral. Penjelasan mengenai netralitas hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya itu dikuatkan oleh General Comment dari Komite Hak-hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dikatakannya:12

Thus, in terms of political and economic sytems the Covenant is neutral and its principles cannot accurately be described as being predicated exclusively upon the need for, or the desirability of, a socialist or a capitalist system, or a mixed, centrally planned, or laissez-faire economy, or upon any other particulary approach. In this regard, the Committee reaffirms that rights recognized in the Covenant are susceptible of realization within the context of a wide variety of economic and political systems.

Dalam konteks pemahaman legal nature hak-hak ekosob seperti dipaparkan panjang

lebar di atas, kita dapat memastikan bahwa tanggungjawab negara (state obligation)

dalam memajukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak hanya dalam bentuk

obligation of result, tetapi sekaligus dalam bentuk obligation of conduct. Dalam konteks

tanggungjawab yang demikian ini, maka kebijakan-kebijakan negara dalam memajukan

hak-hak ekosob harus dapat menunjukkan terpenuhinya kedua bentuk kewajiban tersebut.

Itu artinya, ketika negara merancang kebijakan kesehatan atau kebijakan pendidikan, ia

harus sudah menimbang hasilnya dapat menjamin terpenuhinya hak atas kesehatan atau

hak atas pendididkan tersebut. Begitu pula negara harus menyediakan sarana atau

mekanisme yang memberi akses kepada rakyat untuk menuntut apabila hak-hak tersebut

tidak terpenuhi.

Kebijakan negara dalam kontek pemenuhan hak-hak ekosob dengan demikian tidak

terkait dengan pilihan sistem ekonomi yang diterapkan negara tersebut, apakah pro-pasar

12 Lihat General Comment 3, The nature of State parties obligations (Art. 2, para. 1 of the Covenant), UN

(9)

atau sistem komando. Sekalipun kebijakan ekonomi suatu negara didasarkan pada sistem

pasar bebas atau liberalisme –seperti yang sekarang diterapkan pemerintahan saat ini,

negara tersebut tetap memikul kewajiban merealisasi hak-hak ekosob warganya di dalam

sistem ekonomi tersebut. Apabila kebijakan ekonomi negara tersebut gagal memberi

jaminan terhadap pemenuhan hak-hak ekosob warganya, maka negara dapat dikatakan

melanggar hak-hak yang terdapat dalam kovenan tersebut (violations of covenant

obligations). Apalagi setelah kita menjadi pihak dari kovenan tersebut.

Kemiskinan sebagai Pelanggaran terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Permasalahan dasar kemiskina di Indonesia dapat digambarkan dengan kondisi dimana

masih tingginya jumlah penduduk miskin yaitu 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 persen

(BPS, Maret 2006), masih tingginya Rumah Tangga Miskin di Indonesia yaitu 19,2 juta

KK ( BPS, 2006), masih tingginya angka pengangguran sebesar 10,24 persen dari total

angkatan kerja yang berjumlah 103 juta jiwa (2006). Selain itu, dalam hal akses

pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan & permukiman, infrastruktur,

permodalan/kredit dan informasi bagi masyarakat miskin dirasakan masih sangat terbatas.

Jika diamati dengan seksama di sebagian wilayah nusantara ini, masih terdapat luasnya

kawasan kumuh dan kantong-kantong kemiskinan yang jumlahnya sekitar 56.000 hektar

kawasan kumuh di perkotaan di 110 kota-kota, dan 42.000 desa dari sejumlah 66.000

desa dikategorikan desa miskin.

Tingkat kinerja penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia kondisinya

masih belum optimal. Koordinasi yang dalam hal pendataan, pendanaan dan

kelembagaan masih lemah. Kelemahan ini juga dirasakan pada koordinasi antar

program-program penanggulangan kemiskinan di antara instansi pemerintah pusat dan daerah,

begitu juga dengan integrasi program pada tahap perencanaan, sinkronisasi program pada

tahap pelaksanaan, serta sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat

madani) dalam penyelenggaraan keseluruhan upaya penanggulangan kemiskinan. Selain

kelembagaan di pemerintah, kita masih dihadapkan pada fakta pada belum optimalnya

dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam

(10)

Gambar 1

Perkembangan Jumlah Anggaran Program & Proyek Penanggulangan Kemiskinan di APBN

Penutup

Uraian yang dipaparkan tulisan ini tidak seluruhnya menjawab apa yang dirumuskan

dalam term of reference, tetapi mungkin akan dilengkapi oleh pembahas yang lain. Saya

hanya membahas sebagiannya, dan saya coba pusatkan pada pembahasan terhadap

konsep tanggungjawab negara dalam konteks memajukan hak-hak ekosob. Karena dari

sinilah kebijakan negara dalam mewujudkan perlindungan hak-hak ekosob tersebut

seharusnya lahir. Artinya, kebijakan negara dalam menjamin hak-hak tersebut merupakan

bentuk tanggungjawabnya terhadap pelaksanaan kovenan ekosob yang sudah

diratifikasinya. Apabila negara tidak mengambil langkah-langkah apapun dalam

memajukan, melindungi dan memenuhi hak-hak ekosob itu, maka negara telah melanggar

kewajibannya melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Lalu ujungnya adalah

impunitas. ***

16,5 16

18

23

42 51

0 10 20 30 40 50 60

2002 2003 2004 2005 2006 2007*

Sumber : TKPK dan Bappenas

Catatan : Untuk Tahun 2007 diambil dari pagu indikatif program penanggulangan kemiskinan usulan Departemen dan LPND (RKP 2007)

Gambar

Gambar 1

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa produksi enzim selulase dari mikrofungi Trichoderma reesei dengan substrat bubuk jerami padi

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah kegiatan intrakurikuler yang wajib diikuti oleh mahasiswa program kependidikan Universitas Negeri Semarang, sebagai pelatihan

Pengukuran good corporate governance dengan sebelas indikator memiliki kekurangan pada tahun 2013 dan 2014 banyak bank yang menggunakan penilaian komposit

Kaedah soal selidik telah digunakan dalam proses pengumpulan data kajian into AnaUsis regresi berbilang menunjukkan 57.6 peratus perubahan kesan stres di tempat kerja

Hanya saja, keyakinan yang benar semata belum bisa diterima sebagai pengetahuan kalau tidak dijustifikasi sehingga seseorang dikatakan mengetahui jika dia meyakini sesuatu,

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM Sesudah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan memahami hukum asuransi di Indonesia Kuliah mimbar Kulsponsi Diskusi White board OHT Handout 3

Teori Tes Modern muncul untuk menjawab keterbatasan dari Teori Tes Klasik yakni, parameter dalam Teori Tes Klasik merupakan karakteristik aitem tergantung pada

Nematodiasis prevalence rate in local goats near Puskeswan Batee Roo, Aceh Jaya District was 70% which caused economic loss around 20 million rupiahs per