• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

ISBN 978-602-73602-2-8

Sejak tahun 2000-an seakan menjadi momentum kebangkitan kaum radikalis Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Bak jamur di musim hujan, kelompok-kelompok yang relatif identik dengan organisasi radikal yang mengatasnamakan simbol Islam bermunculan sebut saja seperti Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jama'ah (FKASWJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad (LJ), dan lain sebagainya. Dari berbagai kelompok tersebut ada satu organisasi yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok Islam, yaitu Jama'ah Islamiyah (JI) telah diindikasikan sebagai gerakan teroris cabang al-Qaeda di Asia Tenggara. Gerakannya dalam menyebarkan paham dan keyakinan doktrin radikal dan teror sangat sistematis dan massif.

Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta sosial menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim garis keras dan sangat membebani beban psikologi umat Islam secara keseluruhan. Keterlibatan berbagai pihak dalam menangani masalah radikalisme dan terorisme sangat diharapkan dengan tujuan untuk mempersempit ruang gerak radikalisme dan terorisme dan memblokir arus penyebarannya di masyarakat. Buku ini karenanya dapat memberikan informasi yang objektif tentang bagaimana pola penyebaran dan penanganan radikalisme dan terorisme kepada pemerintah dan masyarakat Kalimantan Timur. Dengan demikian, masyarakat memiliki pilihan dan dapat menginisiasi pencegahan lebih dini untuk keamanan dan kedamaian hidup beragama.

PENYEBARAN RADIKALISME

DAN TERORISME

DI KALIMANTAN TIMUR

P

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

PENYEBARAN RADIKALISME

DAN TERORISME

DI KALIMANTAN TIMUR

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

Mukhamad Ilyasin lahir pada 11 September 1966 di Kabupaten Purworejo. Setelah menamatkan sekolah dasar di SDN Celep Purworejo 1979, dia kemudian melanjutkan studi ke SMPN Purworejo dan menyelesaikan studinya 1983. Pada tahun 1986 beliau menamatkan studi di Madrasah Aliyah Negeri Purworejo. Ilyasin kemudian melanjutkan karir akademiknya pada Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari S a m a r i n d a p a d a 1 9 8 6 d a n m a m p u menyelesaikannya tepat waktu yakni pada 1990. Suami dari Hj. Titi Kadi, S.Ag ini kemudian melajutkan studi di Program Master (S2) Pascasarjana UNMUL-UNJ dan lulus pada 2004. Program Doktoral (S3) dilanjutkan di Universitas Negeri Malang dengan masa tempuh empat tahun yaitu di 2008. Ilyasin dikenal sebagai sosok pekerja keras, disiplin dan komitmen tinggi. Hasil dari semua ini beliau dipercaya menjadi Rektor IAIN Samarinda 2014-2019, yang sebelumnya berstatus STAIN. Perubahan dari STAIN ke IAIN juga tidak lepas dari gebrakan dan terobosan kepemimpinannya di kampus ini. Sebelum memegang jabatan Rektor, Ilyasin memulai karirnya dari bawah from zero to hero yaitu sebagai, Kepala Perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda periode 1996-1998, Sekretaris P3M Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda periode 1998-2000, Bendahara Proyek Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda periode 2000-2001, Pemimpin Proyek Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda periode 2001-2004, Pembantu Ketua II STAIS Kutai Timur periode 2008- 2010, Pembantu Ketua III Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda periode 2009-2012, dan Dosen Luar biasa STAIS Kutai Timur periode 2008-Sekarang.

Zamroni dilahirkan di Nganjuk, 18 Pebruari 1975 dari pasangan Dawam Supeno dan S u p i n a h ( A l m a r h u m a h ) . J e n j a n g pendidik an formalnya adalah S D N Rowomarto II (1988); SMPN Lengkong-Nganjuk (1991); MAN Nglawak-Kertosono-Nganjuk (1994); S.1 (Program Sarjana) Program Studi PAI STAIN Samarinda (2002); S.2 (Program Magister) Pascasarjana UIN Malang (2007); S3 (Program Doktor) Pascasarjana di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (2016). Beberapa karya publikasi ilmiah yang pernah dipublikasikan antara lain: Kepemimpinan Pendidikan dan ESQ Model: Rekonstruksi Sekolah Berbasis Spiritual (2010); Pendidikan Pembebasan Dalam Perspektif Barat&Timur (2011); Budaya Organisasi dan Pengembangan Perguruan Tinggi Islam (2012); Seni Mendidik Dalam Pendidikan: Improvisasi Memanusiakan Manusia via Pendidikan (Editor/2011); Pendidik an Berbasis Multikultural (Belajar Integrasi Sosial dari Heterogenitas Masyarakat Kalimantan Timur (Editor, 2016). Adapun dalam bentuk jurnal: Konsep Pendidikan Perspektif Pemikir Islam (2007); Pendidikan Islam Integratif (Tawaran Baru Epistemologi Pendidikan Islam) (2010). Adapun berupa penelitian antara lain: Pola Penyebaran dan Penanganan Faham Radikal di Kaliman Timur (2015); Interkoneksi Agama dan Sains Dalam Pengembangan Perguruan Tinggi (Studi Tentang Arah Pengembangan Pendidikan di IAIN Samarinda) (2016)

. Muk

hamad Ily

asin & Dr

. Zamr

(2)
(3)

Undang Nomor 12 Tahun 1997 Pasal 44 Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(4)

PENYEBARAN RADIKALISME

DAN TERORISME

(5)

TIMUR

Dr. Mukhamad Ilyasin & Dr. Zamroni

Editor:

Saipul Hamdi

Desain Kaver & Tata Letak:

Fatich Bagus

Cetakan 1, Januari 2017

Penerbit: IAIN Samarinda Press Kantor Rektorat IAIN Samarinda

Lt.2, Jl. H.A.M. Rifadin

Samarinda Seberang, Kalimantan Timur 75131 Tlp. 0541-742193; Fax.: 0541-206172(75111)

Email: iainsamarindapress@gmail.com Website: www.iainsamarindapress.com

ISBN 978-602-73602-2-8

Dicetak Oleh:

Arti Bumi Intaran Jalan Mangkuyudan Mj. 3/216 Yogyakarta 55143 Email: m.makakambamakakimbi@yahoo.co.id

(6)

Buku ini kami persembahkan kepada mereka yang selalu menyalakan api suluh perdamaian dan mencintai perdamaian demi keselarasan kosmik

(7)
(8)

Alhamdulillah IAIN Samarinda Press berkerja sama dengan LP2M IAIN Samarinda telah berhasil menerbitkan buku perdana yang berjudul “Penyebaran Terorisme dan Radikalisme di Kalimantan Timur”. Buku ini sangat penting dan krusial tidak hanya pada tataran kontribusi teoritis yang disajikan oleh penulis, tetapi juga sebagai salah satu rujukan penting baik bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan dalam rangka mengatasi upaya penyebaran radikalisme dan terorisme, maupun bagi masyarakat secara umum yang langsung bersentuhan dan berhadapan hidup berdampingan bersama kelompok-kelompok tersebut. Buku ini juga terasa spesial karena daerah yang diteliti dan kasusnya belum banyak mendapat perhatian dari kaum akademisi lokal dan nasional yakni Kalimantan Timur.

(9)

facebook, twitter, WhatApp, instagram, blog dan lain-lain untuk menyebarkan doktrin dan ideologi mereka. Hasilnya cukup efektif, gerakan ini mampu merekrut anggota secara global termasuk masyarakat Indonesia dari berbagai daerah.

(10)

tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,

rediinisi radikalisme dan terorisme, melacak akar

terorisme dan radikalisme agama, reposisi Islam sebagai agama perdamaian, lokasi penelitian dan struktur buku. Bab kedua membahas tentang pola penyebaran radikalisme dan terorisme yang dipengaruhi oleh unsur-unsur rendahnya pemahaman agama, lemahnya ekonomi masyarakat, dorongan untuk mengubah kondisi yang ada, kuatnya pengaruh ideologi radikal, kesenjangan sosial politik, lemahnya semangat kebangsaan dan provokasi Barat melalui media.

Bab ketiga membahas tentang sistem rekrutmen dan media penyebaran radikalisme dan terorisme. Sistem rekrutmen dan narasi radikalisme dan terorisme yang meliputi sistem konvensional dan modern. Sedangkan media penyebaran radikalisme dan terorisme melalui jalur lembaga pendidikan, penentuan target radikalisasi, pemberian doktrin radikalisme dan terorisme. Sedangkan bab empat membahas tentang penanganan radikalisme dan terorisme melalui edikasi kepada masyarakat, penguatan pada satuan pendidikan, penguatan Ormas Islam, deradikalisasi paham keagamaan Islam, mengubah pola pikir masyarakat, penguatan Rohis, penanaman dan penguatan cinta tanah air dan sosialisasi bahanya radikalisme dan terorisme.

Samarinda, Januari 2017

(11)

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,

yang telah melimpahkan tauiq, hidayah, dan

inayah-Nya sehingga penulisan buku ini dapat terselesaikan. Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta sosial menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim garis keras dan sangat membebani beban psikologi umat Islam secara keseluruhan. Keterlibatan berbagai pihak dalam menangani masalah radikalisme dan terorisme sangat diharapkan dengan tujuan untuk mempersempit ruang gerak radikalisme dan terorisme dan memblokir arus penyebarannya di masyarakat.

(12)

kebangkitan kaum radikalis Islam di Asia Tenggara khususnya di Indonesia. Bak jamur di musim hujan, kelompok-kelompok yang relatif identik dengan organisasi radikal yang mengatasnamakan s i m b o l Islam bermunculan sebut saja seperti Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (FKASWJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad (LJ) dan lain sebagainya. Dari berbagai kelompok tersebut ada satu organisasi yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok Islam, yaitu Jama’ah Islamiyah (JI) telah diindikasikan sebagai gerakan teroris cabang al-Qaeda di Asia Tenggara. Gerakannya dalam menyebarkan paham dan keyakinan doktrin radikal dan teror sangat sistematis dan massif yang merengsek dari individu ke individu, dari kelompok ke kelompok lainnya, bahkan telah sampai pada institusi seperti halnya institusi pendidikan.

(13)

bukan tindakan keagamaan. Islam sangat keras dalam mengecam terorisme dan ini ada dalam al-Qur’an. Maka, ketika agama berlawanan dengan karakter dasar agama itu, berarti agama telah terkontaminasi oleh kepentingan lain di luar agama seperti kepentingan ekonomi dan politik.

Tugas kita ke depan tentu sangat berat, maka diperlukan kerjasama yang sinergis antara semua elemen bangsa, baik ulama, pemerintah, dan masyarakat untuk mengikis tindakan terorisme sampai ke akar-akarnya. Paling tidak langkah itu dapat dimulai dengan cara meluruskan paham-paham keagamaan yang menyimpang oleh ulama, menciptakan keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat yang damai, toleran, aman, merdeka, religius, bertakwa dan memiliki semangat kecintaan tanah air yang kuat.

Penulis sadar, buku ini belumlah sempurna, oleh karena itu, saran dan masukan yang konstruktif kami harapkan demi kesempurnaan buku ini.

Samarinda, 1 Januari 2017

(14)

Dedikasiv Pengakuanvi

Pengantar Penerbit vii Pengantar Penulisx Daftar Isixiii

BAB 1Pendahuluan 1

Latar Belakang 1

Redeinisi Radikalisme dan Terorisme 6

Melacak Akar Terorisme dan Radikalisme Agama 12

Reposisi Islam sebagai Agama Perdamaian 17

Lokasi Penelitian 22

Struktur Buku 25

BAB 2Pola Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kaltim 27

Rendahnya Pemahaman Agama 28

Lemahnya Ekonomi Masyarakat 35

Dorongan untuk Mengubah Kondisi yang Ada 41

Kuatnya Pengaruh Ideologi Radikal 46

Kesenjangan Sosial Politik 48

Lemahnya Semangat Kebangsaan 53

Provokasi Barat melalui Media 55

BAB 3Sistem Rekrutmen dan Media Penyebaran Radikalisme dan Terorisme Di Kaltim 61

(15)

Terorisme 72

Jalur Lembaga Pendidikan 73

Penentuan Target Radikalisasi 77

Model Doktrin Radikalisme dan Terorisme 81

BAB 4Penanganan Radikalisme dan Terorisme di Kaltim 85

Edukasi Kepada Masyarakat 86

Penguatan pada Satuan Pendidikan 89

Penguatan Ormas Islam 94

Deradikalisasi Paham Keagamaan Islam 96

Mengubah Pola Pikir Masyarakat 100

Penguatan Rohis 103

Penanaman dan Penguatan Cinta Tanah Air 106

Sosialisasi Bahayanya Radikalisme dan Terorisme 109

Bab 5Kesimpulan 113

(16)

PENYEBARAN RADIKALISME

DAN TERORISME

(17)
(18)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Aksi terorisme yang semakin menguat dan mengglobal dalam satu dekade terakhir ini telah mendorong komunitas internasional untuk mencari jalan yang tepat dalam penyelesaiannya. Berbagai studi dan penelitian telah dilakukan oleh para kademisi untuk menelusuri faktor-faktor yang melatarbelakangi aksi terorisme yang muncul di hampir seluruh belahan dunia terutama di negara-negara Muslim seperti Iraq, Libia, Pakistan, Syiria dan lain-lain. Beberapa kaum intelektual dan peneliti menyimpulkan bahwa faktor pemicu gerakan radikalisme dan terorisme adalah penyalahgunaan ideologi agama “jihad” sebagai jalan kekerasan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok (Gabriel, 2002; Esposito, 2003). Dalam hal ini, gerakan Islam radikal menggunakan simbol-simbol agama untuk melegitimasi kekerasan terhadap kelompok lain yang dianggap berseberangan atau tidak sesuai dengan pemahaman keagamaan yang mereka yakini.

(19)

basis keagamaan, terdapat 12 sub kelompok teroris berbasis ideologi seperti Marxisme, Liberalisme, dan Sosialisme dengan berbagai variannya dan 4 sub kelompok berbasis etno-nasionalisme (http://www. state.gov/j/ct/rls/pgtrpt/ diakses pada 5 Januari 2015).

(20)

pada 1998 yang ditandai dengan terbukanya kran demokrasi dan kebebasan telah menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal dan teroris. Mereka salah dalam memanfaatkan kebebasan tersebut untuk menunjukkan eksistensinya secara bebas dan berlebihan, yang tidak pernah dapat dilakukan sebelumnya pada masa Orde Baru. Fenomena radikalisme di kalangan umat Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan meskipun pencetus radikalisme bisa juga lahir dari berbagai sumbu dan sumber-sumber lain seperti ketimpangan ekonomi, kekerasan politik, ketidakadilan sosial, dan perang ideologi (Bar, 2008: 11-12). Kalimantan Timur yang menjadi lokasi dalam penelitian ini termasuk wilayah yang rawan disusupi oleh ajaran-ajaran kelompok radikalis dan teroris, apalagi penduduk yang berdomisili di Kaltim bersifat plural dan multikultur. Jika tidak dikelola dengan baik, kemungkinan daerah Kaltim dengan mudah dipengaruhi dan diprovokasi oleh kelompok-kelompok militan dengan memanfaatkan keterbatasan SDM masyarakat khususnya di bidang keagamaan (Hamdi, dkk, 2015).

(21)

kekerasan etnis, dan konlik agama (Aritonang, 2004: 560). Menurut Saipul Hamdi dkk (2015: 8) bahwa Kalimantan Timur dijadikan target oleh kelompok teroris sebagai sarang persembunyian pasca tragedi Bom Bali 1 pada 2002. Pelaku teroris Ali Imron dan Abu

Zar berusaha bersembunyi di Pesantren Al-Istiqomah

Sempaja dan Pesantren Hidayatullah di Kutai Barat untuk menghindari kejaran aparat kepolisian, namun akhirnya tertangkap di Pulau Berukang.

Sejak dekade 1990-an fenomena radikalisme mulai muncul dengan berkembangnya kelompok-kelompok yang eksklusif, fundamentalis dan militan di Kaliman Timur. Mereka muncul di kampus-kampus dan di masyarakat dalam bentuk Ormas seperti FPI, LDII, Salai dan HTI, dan organisasi kampus seperti Pusdima dan KAMMI. Bahkan jauh sebelum itu sejak tahun 1970-an telah terbentuk komunitas Hidayatullah yang menjalani kehidupan beragama secara ketat, eksklusif, dan fundamentalis di Kota Balikpapan, Kaltim. Pesantren Hidayatullah merupakan bagian dari cabang Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Abdullah Said pada 1973 di Balikpapan (Hamdi, dkk, 2015: 6). Hidayatullah konsen pada agenda dakwah dan pendidikan Islam secara nasional. Kader-kader Hidayatullah disebar ke berbagai wilayah dari Sabang sampai Merauke melalui keputusan pimpinan pesantren. Jika pimpinan Pesantren Hidayatullah mengutus alumninya ke suatu daerah untuk membuka cabang baru, maka harus ditaati instruksi tersebut. Meskipun organisasi ini di awal-awal kurang berkembang, tetapi secara bertahap mereka terus eksis, tumbuh, dan mampu menanamkan pengaruhnya di masyarakat luas (Hamdi dkk, 2015: 5).

(22)

menjadi isu yang krusial bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teroris dan umat Islam diklaim menggunakan kekerasan untuk menyebarkan agamanya. Image yang berkembang ini tentunya tidak lepas dari pembelokan sejarah oleh kelompok orientalis yang mengklaim Islam disebarkan dengan pedang. Bahkan sekarang ini lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah diklaim sebagai “sarang teroris”. Asumsi ini tidak selamanya salah karena faktanya banyak tokoh-tokoh dan alumni dari pesantren yang menjadi motor penggerak radikalisme dan terorisme. Kondisi ini sangat membebani psikologi umat Islam yang sudah terkena stigma dan label sebagai pelaku teror yang berdampak secara keseluruhan.

(23)

kepada murid untuk tidak menghormati bendera merah putih pada saat apel bendera, membenci kelompok non-Muslim, anti Barat, anti Yahudi dan lain-lain.

Redeinisi Radikalisme dan Terorisme

Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, pangkal, bagian bawah, menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme berarti paham atau aliran yang radikal dalam politik, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastik, dan sikap ekstrem dalam aliran politik (Michael, dkk, 2011: 360). Radikalisme bisa dibedakan dalam dua level, yaitu level pemikiran dan level aksi. Pada level pemikiran radikalisme masih berupa wacana, konsep dan gagasan yang masih diperbincangkan yang intinya mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Adapun pada level aksi radikalisme dapat berada pada ranah politik dan keagamaan.

(24)

kelompok lain yang dianggap “sesat”, maka konlik dan kekerasan tidak dapat dihindari. Yang termasuk dalam tindakan radikalisme agama adalah aktivitas untuk memaksakan pendapat, keinginan dan cita-cita keagamaan kepada orang atau kelompok lain dengan jalan kekerasan. Radikalisme agama bisa menjangkiti semua pemeluk agama baik Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam.

Menurut Rubaidi terdapat lima ciri gerakan radikalisme, yaitu pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi inal dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya di Timur Tengah secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika al-Qur’an dan hadis hadir di muka bumi ini dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks al-Qur’an dan hadis, maka puriikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya yang bukan berasal dari lahirnya Islam (budaya Arab) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir bercampurnya antara ajaran Islam dengan praktik lokal yang lebih dikenal dengan istilah

bid’ah.Keempat, menolak ideologi non-Timur termasuk demokrasi, sekularisme dan liberalisme yang berasal dari negera-negara Barat. Segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada al-Qur’an dan hadis. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karenanya, terkadang terjadi gesekan ideologis

(25)

Afganistan, ISIS di Syiria dan Iraq, Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan Hizbullah di Libanon.

Kyai Hasyim Muzadi, mantan Ketua umum PB NU berpendapat bahwa perlu dibedakan antara radikal dengan radikalisme. Seseorang yang berpikir radikal dengan tujuan berpikir mendalam sampai ke akar-akarnya sangat dibolehkan dalam Islam. Sebagai contoh, seseorang yang dalam hatinya berpandangan bahwa Indonesia mengalami banyak masalah ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik disebabkan karena Indonesia tidak menerapkan syari’at Islam dan oleh karena itu dasar negara Indonesia harus diganti dengan sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah). Pendapat yang radikal seperti ini sah-sah saja menurut beliau selama itu dalam wacana pemikiran dan tidak sampai pada tindakan yang menimbulkan keresahan publik. Apa yang muncul dalam pikiran seseorang tidak dapat diadili karena tidak termasuk tindak pidana (Eresco, 1992: 54). Tidak jauh berbeda dengan Kyai Muzadi, peneliti terorisme asal Australia Greg Fealy dan Hooker (2006: 4) berpandangan bahwa radical Islam refers to those Islamic movement that seek dramatic change in society and the state. The comprehensive implementation of Islamic law and the

upholding of “Islamic norms’, however deined, are

central elements in the thinking of most radical groups.

(26)

ketidakadilan di masyarakat. Biasanya radikalisasi tumbuh berkaitan dengan ketidakadilan ekonomi, politik, dan lemahnya penegakan hukum (Appleby, 2000). Jadi, jangan dibayangkan ketika teroris sudah ditangkap maka radikalisme kemudian hilang. Sepanjang keadilan dan kemakmuran belum terwujud, radikalisasi akan selalu muncul di masyarakat dalam basis apapun termasuk berbasis etnis atau ideologis.

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaannya yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak sehingga seringkali yang jadi korban adalah warga sipil (Eubank dan Weinberg, 2006: 19). Istilah terorisme merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang resmi dan tidak mengikuti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justiikasi. Oleh karena itu, para pelaku teroris layak mendapat hukuman yang setimpal karena aksi kriminalitasnya.

(27)

di luar agama atau yang berseberangan dengan mereka. Ideologi jihad telah mengalami eksploitasi dan penyalahgunaan untuk pembenaran tindakan-tindakan teror yang jauh dari konsep asalnya.

Pelaku terorisme bisa bersifat individual, kelompok, bahkan negara yang dikenal dengan terorisme negara. Noam Chomsky di dalam beberapa kasus menyebut negara Amerika Serikat masuk dalam kategori terorisme negara karena seringkali mencampuri urusan negara lain dengan kekuatan militernya. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari negara-negara Barat seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris dari berbagai kelompok dan negara di dunia seperti pejuang Hizbullah di Libanon, Taliban di Afghanistan, Boko Haram di Nigeria, Muslim Moro di Filipina, rezim komunis Korea Utara, dan negara Islam Syi’ah di Iran. Di sisi lain, apabila diperhatikan dari liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat seringkali melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

(28)

sangat besar bagi keberlangsungan hidup manusia. Radikalisme menimbulkan dampak negatif baik itu rusaknya tatanan sosial kebangsaan maupun jatuhnya korban dari masyarakat sipil yang tidak berdosa dan tidak terkait langsung dengan inti masalah (Zuhairi, 2010). Radikalisme mengambil bentuknya yang sangat destruktif dalam berbagai peristiwa pengeboman, penculikan, pembunuhan bahkan pencurian dengan kekerasan. Tragedi Bom Bali 1 pada 2002, Bali 2 pada 2005, Bom Sarinah di Jl. Tamrin Jakarta 2016 dan beberapa peristiwa pengeboman di Indonesia adalah contoh bagaimana radikalisme telah merenggut ketenangan dan kerukunan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah dibangun berpuluh-puluh tahun oleh founding father Indonesia (https://m.tempo. co/read/news/2016/01/15/078736374/bom-thamrin-serangan-ala-paris-di-jakarta-ini-buktinya, diakses pada 10 Juli 2016).

(29)

bangsa untuk melakukan konsolidasi diri dengan usaha-usaha early warning system, pembinaan umat yang lebih efektif serta kerjasama kebangsaan yang lebih kokoh (Kemenag, 2011).

Pada dasarnya radikalisme dan berbagai turunannya terlepas dari simbol agama apapun yang digunakan adalah musuh bersama umat beragama. Jika kita telaah lebih dalam, kelompok radikal dan teroris seringkali menempatkan agama sebagai tameng untuk melegitimasi tindakan dan perbuatannya (Khisbiyah, 2000; Zuhairi, 2010). Padahal, agama bukan faktor utama yang memicu munculnya gerakan radikalisme dan terorisme karena agama menjadi sumber kebaikan dan kedamaian. Terorisme misalnya, tidak memiliki akar dalam Islam dan semua aksi teror bukanlah tindakan keagamaan. Islam sangat keras mengecam terorisme dan ini dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis Rasulullah. Ketika agama berlawanan dengan karakter dasar agama itu sendiri berarti agama tersebut telah terkontaminasi oleh kepentingan di luar agama seperti kepentingan ekonomi dan politik (Esposito, 2010: 57).

Melacak Akar Terorisme dan Radikalisme Agama

Terorisme selama ini dipandang sebagai dorongan spirit agama Islam untuk menegakkan Khilafah Islamiah. Pandangan ini tentu keliru dan sangat fatal karena dapat menciderai konstruksi suci agama Islam sendiri. Apalagi secara geneologi istilah terorisme sendiri mulai popular pasca penyerangan gedung WTC dan Pentagon pada 11 September 2001 melalui pembajakan pesawat komersial (Esposito, 2010: 11). Slogan “war against terrorism” yang

(30)

Hingga kini belum ada satu kesepakatan dari berbagai

pihak tentang deinisi istilah itu karena semua pihak

merasa berkepentingan untuk menerjemahkannya sesuai dengan kepentingan dan sudut pandang masing masing (Abimanyu, 2005: 129). Media Barat memainkan peran penting dalam membangun opini dengan memberikan stempel dan cap bahwa terorisme disokong sepenuhnya oleh semangat jihad Islam. Opini ini mempengaruhi pandangan masyarakat dunia, bahkan sebagian besar umat Islam di Indonesia yang meyakini jalan jihad sebagai jalan suci yang harus ditempuh demi menegakkan negara syari’at melawan pemikiran dan penindasan Barat. Padahal, di Eropa sendiri stempel terorisme telah lama diberikan kepada kelompok-kelompok politik yang makar yang ingin mengambil alih kekuasaan dari pemerintah seperti Brigade Merah ETA di Spanyol, IRA di Irlandia dan lain-lain (Purwanto, 2004: 48).

Peribahasa “Mati satu tumbuh seribu” merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan semakin maraknya aksi-aksi terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok Salai-Jihadis. Tertangkapnya tujuh terduga teroris beberapa waktu lalu menjadi bukti bahwa terorisme terus mengancam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Yang memalukan adalah gerakan ini tidak lagi murni berurusan dengan agama, akan tetapi mereka ditangkap terkait kasus perampokan toko mas di Tambora Jakarta Barat pada 10 Maret 2013 (http://m.tempo.co/read/ news/2013/03/15/064467225/Polisi-Tangkap-Perampok-Toko-Emas-Tambora, diakses pada 10 Desember 2015).

(31)

tersebut diduga terkait jaringan teroris Abu Omar. Pelatihan kelompok teroris di Aceh dan di Poso yang dikomandoi oleh jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso merupakan peranakan dari gerakan Salai-Jihadis Jama’ah Islamiah. Varian-varian jihadis terus bermunculan seperti jamur sejak munculnya ISIS yang menjelma sebagai kekuatan terorisme global (Aidinly, 2016). Kasus Bom Sarinah di Jalan Tamrin Jakarta 14 Januri 2016 memperlihatkan bahwa radikalisme masih mengancam kesatuan NKRI dan keutuhan bangsa Indonesia. Jaringan terorisme telah membumi di tengah-tengah masyarakat kita yang didukung oleh pesantren Salai-Jihadis sehingga keberadaannya perlu direspons secara serius agar generasi-generasi teror berikutnya tidak bermunculan lagi (https://m. tempo.co/read/news/2016/01/15/078736374/ bom-thamrin-serangan-ala-paris-di-jakarta-ini-buktinya, diakses ada 20 Januari 2016).

(32)

memahami doktrin agama, tidak kontekstual dan bernuansa kekerasan.

Para pelaku teror sangat keliru dalam memaknai ajaran agama termasuk jihad yang diidentikkan dengan kekerasan, perang dan pembunuhan (Qodir, 2004: 40-7). Jika jihad dimaknai secara sempit maka pemahaman seperti itu sangat keliru dan fatal yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pemikiran para generasi muda. Tampaknya terorisme telah berhasil membajak agama untuk kepentingan penghancuran kemanusiaan. Ketika agama dibajak untuk melegalkan radikalisme atas nama agama, maka agama menjadi instrumen pembenaran diri dalam melakukan kekerasan. Sempitnya makna jihad di kalangan teroris terjadi karena pemahaman keagamaan yang mereka yang minim dalam memaknai kata jihad. Islam memang

membolehkan perang isik, tapi dengan aturan dan

sarat-sarat yang benar seperti tidak boleh membunuh anak-anak dan perempuan, tidak boleh merusak tempat ibadah milik umat lain dan fasilitas-fasilitas umum. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana fundamentalisme-radikalisme agama itu dicegah di masyarakat Muslim?

Jika kita identiikasi secara jernih distingsi antara

(33)

memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok. Dalam situasi yang amat genting narasi seperti ini akan berkembang semakin tajam mengarah kepada eskalasi konlik dan kekerasan. Kelompok sendiri “kita” disucikan dan makin disucikan, sedang kelompok lain “mereka” dilecehken, disesatkan,

disetankan, dan dikairkan.

Fungsi agama sebagai pemberi identitas kelompok dan narasi yang menopangnya dapat berkembang lebih jauh ke dalam apa yang mencirikan pola utama kekerasan keagamaan selama ini, yaitu pemberian legitimasi kepada penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam jihad akbar“perjuangan suci besar” melawan kelompok-kelompok lain atau kelompok “mereka”. Pemberian legitimasi ini dapat berlangsung dalam berbagai cara, misalnya seruan formal kepada tradisi kegamaan tertentu yang menunjukkan situasi-situasi khusus, di mana penggunaan kekerasan bersenjata dapat dibenarkan, penguatan narasi-narasi yang menunjukkan kejahatan, dan kebengisan kelompok “mereka” yang mengancam keselamatan kelompok “kita” dan rujukan kepada sebuah misi suci berupa tindakan militeristik yang setidaknya dalam situasi tententu dapat dibenarkan. Bagaimanakah sebuah aksi kekerasan bersenjata pada akhirnya dapat dibenarkan oleh agama. Inilah sebab keempat mengapa agama secara intrinsik potensial untuk melahirkan konlik dan kekerasan karena komunitas agama tertentu, kelompok “kita” pada akhirnya memerlukan sebuah ruang dan wilayah, di mana “kita” bisa unggul dan mendominasi kelompok lain.

(34)

mesti tidak terlalu mengagetkan atau mengecewakan siapapun. Kenyataan itu juga tidak perlu membuat galau dan malu para agamawan yang mendambakan dunia yang damai karena selalu ada jarak antara apa yang diajarkan oleh agama dan apa yang dilakukan oleh para pemeluknya, antara keinginan dan kenyataan, antara cita-cita luhur dan fakta yang sebaliknya. Sementara benar bahwa agama bahkan inti ajarannya menyerukan perdamaian, juga benar dikatakan bahwa semua agama baik dalam sejarah maupun dalam konteks kontemporer merupakan salah satu dari beberapa sumber konlik dan kekerasan yang paling pokok (Khisbiyah, 2000: 67-84).

Reposisi Islam sebagai Agama Perdamaian

Pengakuan mengenai fakta keras itu sendiri sebenarnya tidak terlalu penting, tetapi yang lebih penting adalah apa yang harus dilakukan setelah kita menyadari dan mengakuinya. Dalam hal ini ambiguitas di atas harus dijadikan sebagai kesempatan dan peluang baru untuk menunjukkan dan mewujudkan potensi intrinsik agama sebagai sumber daya perdamaian. Para agamawan yang punya komitmen kepada perdamaian tidak hanya boleh berkeluh kesah tanpa menawarkan solusi. Tidak cukup bagi mereka hanya dengan mengatakan agama dapat berperan seperti itu atau ini, melainkan juga menyatakan komitmen mereka dalam aksi-aksi konkrit ke arah itu. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi maka upaya perdamain oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi.

(35)

kekerasan atas nama agama harus ditinjau secara teliti dan dilihat kasus demi kasus pada konteksnya yang lebih luas. Tujuannya bukan untuk menekankan sisi buruk agama, melainkan untuk memperoleh potret yang benar-benar dan selengkap-lengkapnya sebagai dasar bagi perumusan agenda dan strategi kerja dakwah ke arah upaya-upaya perdamaian di masa depan. Dalam hal ini, kabar buruk yang benar harus dipandang sebagai sesuatu yang lebih baik ketimbang kabar baik yang palsu dan bohong. Jika ancang-ancangnya benar seperti itu, maka kita memiliki tiga gugus pertanyaan besar yang harus dijawab, yaitu, pertama, dalam kondisi apa saja para aktor agama yang militan melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama, dalam kondisi apa pula para aktor agama menolak aksi-aksi kekerasan dan menentang komitmen aktor agama yang ekstremis atau militan untuk menggunakan kekerasan sebagai sebuah tugas suci atau sebuah privilese keagamaan, dan ketiga, dalam kondisi apa pula para aktor agama yang memiliki komitmen kepada perdamaian dan aksi-aksi tanpa kekerasan dapat mengembangkan diri menjadi para agen pembangun perdamaian?

(36)

para pemimpin agama berhasil menumbuhkan militansi anti-kekerasan baik sebagai norma agama maupun sebagai strategi untuk menentang dan mengatasi ketidakadilan dalam sebuah lingkungan strukural suatu masyarakat. Upaya-upaya perdamaian oleh agama terjadi ketika para pemeluk agama yang militan mau mendedikasikan diri mereka kepada sikap dan aksi-aksi tanpa kekerasan, memiliki kemampuan teknis dan profesional untuk mencegah, memberi sinyal awal, dan melakukan unsur-unsur lain ke arah transformasi konlik. Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Maka peran aktif dunia pendidikan dianggap vital sebagai proteksi dini secara menyeluruh untuk pencegahan gejala dan paham kekerasan atas nama agama. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, anti destruksi, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan dan dikampanyekan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada umat lebih bernada mengejek daripada mengajak, memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Akhirnya, generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknya-lah yang paling benar, sementara yang lain sakelompoknya-lah dan harus diperangi, merupakan akibat dari sistem pendidikan kita yang salah dan keliru. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sementara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama.

(37)

seperti dokter, insinyur, ahli teknik, dan ahli sains. Sebagian besar dari mereka hanya mempelajari materi agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamannya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Mereka juga tidak bisa memilih guru yang tepat yang tidak mengajarkan ideologi kekerasan, sebaliknya mereka dididik oleh kelompok Islam garis keras yang memiliki pemahaman agama yang serabutan. Berangkat dari fenomena ini, maka dibutuhkan pengembangan pendidikan agama yang integratif dan menyeluruh untuk menghindari pemahaman keagamaan yang parsial. Pendidikan dan agama adalah satu paket yang tidak bisa dipisah- pisahkan. Tugas kita ke depan tentu sangat berat, diperlukan kerjasama yang sinergis antara semua elemen bangsa, baik dari kalangan ulama, pemerintah, dan masyarakat untuk mengikis tindakan terorisme sampai ke akar-akarnya. Paling tidak, langkah itu dapat dimulai dengan cara meluruskan paham-paham keagamaan yang menyimpang oleh ulama, menciptakan keadilan dan stabilitas ekonomi dan politik oleh pemerintah, serta menciptakan suasana kondusif bagi tumbuhnya tatanan masyarakat yang damai, toleran, aman, merdeka, religius, bertakwa, dan memiliki semangat kecintaan tanah air yang kuat.

Bangsa dan negara kita akan terlindung dari bahaya terorisme jika tidak menyalahgunakan ajaran agama. Ini sesuai dengan janji dan spirit al-Qur’an dalam Surat al-A’raf ayat 96 menyatakan:

(38)

maka akan kami binasakan mereka akibat dari perbuatanya itu sendiri”.

Islam sebagai agama dan pedoman hidup bagi penganutnya tentu tidak mengizinkan aksi terorisme, dan bahkan mengutuknya. Islam dengan kitab suci al-Qur’an yang mengajarkan tentang moral yang berdasarkan konsep cinta, kasih sayang, toleransi dan kemurahan hati sangat bertolak belakang dengan aksi terorisme yang dipenuhi rasa kebencian dan permusuhan. Nilai-nilai yang ada di dalam al-Qur’an membuat seorang Muslim bertanggung jawab untuk memperlakukan semua orang, apakah itu Muslim atau non-Muslim, dengan rasa kasih sayang dan rasa keadilan, melindungi yang lemah dan yang tidak bersalah dan mencegah kemungkaran. Membunuh seseorang tanpa alasan adalah salah satu contoh

yang jelas dari kemungkaran. Allah berirman dalam

al-Qur’an Surah al-Qoshos ayat 77:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

(39)

“Jika seseorang membunuh walaupun hanya satu orang, maka kejahatan itu sama saja dengan membunuh seluruh manusia, dan sebaliknya barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”.

Pada ayat ini jika dilihat sepintas mungkin hanya berlaku bagi pada Bani Israil, akan tetapi sesungguhnya ayat ini juga berlaku untuk seluruh manusia tanpa memandang bangsa dan golongan. Al-Qur’an juga memerintahkan umat Islam untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap sesama manusia dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan, terkecuali orang-orang yang memerangi umat Islam. Hal ini diungkapkan dalam Qur’an surah al-Mumtahanah ayat 8 yang menyatakan:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Lokasi Penelitian

(40)

dengan studi secara terfokus melalui observasi dan wawancara. Karakteristik pokok dari pendekatan kualitatif ialah mementingkan makna, konteks, dan perspektif emik. Proses penelitian lebih berbentuk siklus daripada linier, di mana pengumpulan data berlangsung secara simultan, lebih mementingkan kedalaman ketimbang keluasan cakupan penelitian, dan wawancara mendalam bersifat sangat utama dalam proses pengumpulan data (Bognan & Biklen, 1982: 27; Moleong, 2002: 4)

Jenis penelitian ini adalah studi kasus, penulis akan menelaah secara komprehensif, detail dan mendalam. Studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian yang menekankan pada pendalaman kasus-kasus tertentu

secara spesiik sehingga data yang diperoleh akan

komprehensif dan maksimal. Hasil penelitian yang diperoleh melalui studi kasus tidak dimaksudkan untuk generalisasi. Namun karena informasi yang diperoleh cukup lengkap, maka data yang diperoleh dapat menjadi representasi dari peristiwa-peristiwa atau kenyataan-kenyataan yang serupa.

Pemilihan dan penentuan lokasi penelitian di Kalimantan Timur sebagai objek penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan atas dasar kekhasan, keunikan, dan kemenarikan sesuai dengan topik dalam penelitian ini. Beberapa

(41)

masyarakat Kaltim sangat plural dari sisi agama dan etnisitas sehingga pembauran antar etnis dan agama tidak mengenal batas, yang suatu saat dapat menimbulkan konlik dan gesekan sosial. Ketiga, masyarakat Kaltim sangat welcome dan terbuka dengan para pendatang dan tidak begitu mempersoalkan darimana asal dan latar belakang mereka selama tidak menimbulkan kekacauan. Suasana inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis dan teroris. Keempat, daerah Kaltim yang dikenal juga dengan daerah yang kaya dengan industri migas perusahaan-perusahaan asing dapat menjadi target serangan kelompok teroris dan radikalis. Dengan demikian, penting untuk mengantisipasinya karena peran dan fungsi industri yang sangat vital.

Teknik pengambilan data dalam penelitian menggunakan observasi, wawancara, FGD, dan dokumentasi. Hasil observasi meliputi aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian. Wawancara merupakan aktivitas yang dilakukan oleh penulis dan informan untuk menggali data yang dibutuhkan. Wawancara yang dipilih dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur yang masih membutuhkan garis-garis besar (outline) sebelum melakukan wawancara. Cara ini dinilai efektif karena dapat menghindarkan kesan interogasi bagi informan, namun juga akan membantu penulis dalam menggali data tanpa kehilangan arah pembicaraan.

(42)

memperoleh data yang lebih variatif dan komprehensif. Di antara informan tersebut adalah pelajar dan mahasiswa, kelompok radikal, lembaga keagamaan, Ormas-Ormas Islam dan pemerintah. Selain itu, informan dalam penelitian ini juga berasal dari aktivis politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemimpin adat, khathib, da’i dan takmir masjid, tokoh pemuda, aktivis dakwah kampus, remaja masjid, dan juga aktivis Rohis. Sedangkan FGD dilakukan untuk menemukan makna sebuah isu oleh sekelompok orang lewat diskusi, dan untuk menghindari pemaknaan yang salah oleh seorang peneliti. Adapun dokumentasi merupakan langkah pengumpulan data tertulis yang mendukung penelitian, seperti buku, catatan, dan buku-buku dan

format-format yang signiikan dalam penelitian ini.

Strukur Buku

Buku ini terdiri dari empat bab, yaitu bab pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari

(43)
(44)

POLA PENYEBARAN RADIKALISME DAN TERORISME DI KALTIM

Radikalisme merupakan fenomena yang jamak muncul di dalam agama-agama dunia termasuk di agama besar seperti Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan Budha. Radikalisme sangat berkaitan erat dengan fundamentalisme yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar agama yang paling fundamental. Fundamentalisme dalam perkembangannya merupakan ideologi yang menjadikan agama sebagai satu-satunya pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu. Biasanya fundamentalisme akan diiringi oleh sikap radikal dan terkadang seringkali diikuti oleh perilaku kekerasan ketika kebebasan untuk kembali kepada agama dihalangi oleh situasi sosial politik yang mengelilingi masyarakat. Fundamentalisme juga mendorong suatu kelompok untuk tidak mengakui kebenaran dari kelompok-kelompok lain yang berseberangan dengan keyakinan kelompok mereka.

(45)

Rendahnya Pemahaman Agama

Keberagamaan dan pluralitas agama yang ada di Indonesia ini terkadang menimbulkan berbagai ketegangan dan bahkan permasalahan. Hal ini disebabkan karena pemikiran dan sikap yang dimiliki sebagian umat beragama di Indonesia yang masih pada tingkat eksklusif yang melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Sikap eksklusivisme tersebut muncul di tingkat personal dan juga kelompok yang akhirnya berdampak pada lahirnya sikap fanatisme dan menjurus pada radikalisme. Kelompok ini kemudian memandang agama atau kelompok keagamaan yang lain sebagai aliran yang mengandung heresy, bid’ah, dan sesat yang wajib dikikis hingga ke akar-akarnya (Qodir, 2004; Hamdi, dkk, 2015). Kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syi’ah di Indonesia merupakan contoh dari sekian banyak kasus kekerasan karena sikap pelaku yang eksklusif, klaim kebenaran dan intoleran terhadap perbedaan.

(46)

lain (produk bid’ah) karena secara otoritatif telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu yang statusnya

inal dan tuntas.

Ketua Dewan Taniz NU Samarinda (2015)

menilai bahwa lemahnya pemahaman kegamaan seseorang atau kelompok akan mengantarkan mereka pada sikap fanatisme yang berlebihan. Kondisi ini harus segera diatasi karena akan memberikan dampak yang negatif terhadap tatanan sosial, budaya, bahkan dapat mengancam eksistensi NKRI yang dikenal plural dan multikultur. Dia meyakini bahwa agama tidak harus dipandang dan diperlakukan demikian, agama dapat dilihat dalam posisi yang lebih netral, dialogis dan terbuka karena tujuan agama tidak lain untuk perbaikan tatanan kehidupan manusia. Terkait dengan itu, agama dapat diposisikan pada dua hal, pertama adalah sebagai kekuatan integrasi dan solidaritas sosial, dan kedua adalah sebagai pemicu

konlik dan perpecahan sosial. Sekarang tergantung pada pengguna agama itu sendiri, apakah mau memposisikannya pada hal yang negatif-destruktif atau yang positif-konstruktif. Agama yang menjadi pemicu konlik sosial diibaratkan seperti rumput kering pada musim kemarau yang mudah terbakar jika ada percikan api yang menyambar walaupun itu kecil.

(47)

sayang, rahmat dan kelembutan kepada manusia dalam proses membangun interaksi dan komunikasi sosialnya. Islam juga sangat moderat dalam melihat berbagai masalah sosial, lebih-lebih menyangkut kebutuhan, dan hak asasi manusia. Jika kita telaah lebih dalam tentang eksistensi kelompok radikal, di mana mereka seringkali menempatkan agama sebagai tameng dan simbol untuk legitimasi tindakan dan perbuatannya demi meraih berbagai kepentingan termasuk ekonomi, politik dan kekuasaan. Argumen di atas jelas menunjukkan bahwa agama bukanlah faktor utama yang memicu tindakan radikalisme dan terorisme, akan tetapi agama hanya dijadikan sebagai alat atau instrumen pemuas kekuasaan untuk mencapai kepentingan mereka. Hakikat agama adalah sumber kebaikan dan kedamaian bagi manusia yang lain.

(48)

dan bisa juga menjadi racun yang dijadikan alasan untuk merugikan pihak lain. Semua itu tergantung dari umat Isam dalam memahami teks kitab suci ataupun hadis nabi. Apabila pemecahan masalah diintervensi dengan kepentingan politik, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan kitab suci yang lebih banyak berperan sebagai racun.

Senada dengan Ketua Tanidz NU Samarinda di atas, Wakil Ketua Tanidz NU Kutai Timur mengatakan

bahwa maraknya wacana dan gerakan radikalisme di Kutai Timur disebabkan karena rendahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama yang benar sesuai dengan petunjuk dan yang dicontohkan oleh Nabi. Mereka memahami agama setengah-setengah karena rendahnya tingkat pendidikan mereka khususnya dalam bidang keagamaan sehingga ketika muncul aliran atau organisasi baru yang masuk dan berkembang akhirnya mereka ikut-ikutan tanpa

memilter dan meneliti lebih jauh agenda dan tujuan

dari aliran tersebut. Mereka tidak menganalisa motif dan tujuan di balik indoktrinisasi ajaran agama tersebut sehingga dengan mudah mereka dijadikan target rekrutmen sebagai anggota. Kondisi pemahaman keagamaan yang minim inilah seringkali dimanfaatkan oleh kelompok radikal dan teroris untuk menyebarkan doktrin jihadis mereka. Pada waktu yang bersamaan, tidak ada wacana tandingan yang intens melawan wacana radikal yang dibawa oleh kelompok esktremis tersebut dan tidak ada usaha untuk mencari wacana lain bagi mereka yang sudah terkena indoktrinisasi.

(49)

dimanfaatkan kelompok tertentu, dan agama dijadikan sebagai tumbal dan tameng untuk meraih kepentingan golongan mereka. Masyarakat mudah terjebak pada fanatisme dan pembenaran terhadap agama dan aliran yang mereka yakini pasca indoktrinasi. Agama dieksploitasi dan dipolitisasi untuk kepentingan mereka tanpa mengindahkan budaya bangsa yang agung dan bersahabat yang sudah lama terbangun dalam citra Bhineka Tunggal Ika. Sebagai bangsa yang majemuk dan multikultur, masyarakat Indonesia tidak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan, apalagi sampai meneror kelompok lain. Perbedaan-perbedaan baik keyakinan maupun budaya adalah bagian dari kekayaan lokal bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dipelihara oleh segenap anak bangsa. Kuatnya arus globalisasi dan gerakan keagamaan transnasional yang berlabuh di Indonesia telah menciptakan kondisi baru yang mengancam eksistensi pluralitas dan multi etnis di Indonesia, apalagi dengan munculnya ajaran dan doktrin radikalisme, jihadisme, dan terorisme yang dapat merusak dan menghancurkan pilar-pilar keragaman kultur keagamaan masyarakat.

(50)

diajarakan dan dikatakan oleh ustadz mereka secara utuh tanpa mengkritisi dan menganalisa kebenarannya lebih jauh. Mereka tidak begitu memahami ajaran Islam dan wacana-wacana perdebatan keislaman tingkat tinggi lintas mazhab dan lintas agama. Jangankan membaca kitab kuning yang gundul (tidak berbaris), membaca kitab suci al-Qur’an saja terkadang sebagian tidak fasih. Seringkali mereka tidak dapat membedakan mana ayat al-Qur’an dan mana hadis Nabi karena sama-sama berbahasa Arab. Pada waktu yang bersamaan, pemahaman keagamaan yang disertai dengan provokasi doktrin-doktrin jihad telah memunculkan sikap eksklusif, klaim kebenaran, dan kurang menghargai pluralitas agama serta kepercayaan. Pemahaman tersebut telah mengarahkan mereka kepada sikap yang fanatik secara berlebihan pada simbol-simbol agama daripada substansinya sehingga menciptakan instabilitas dan disintegrasi sosial pada suatu komunitas, bangsa, dan negara.

(51)

nilai-nilai agama. Dia mencontohkan konsep jihad di dalam ajaran Islam memiliki makna sebagai suatu sikap berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syari’at Islam. Makna inilah yang sering memunculkan penafsiran yang beragam, tergantung dari siapa, kepentingannya apa, latar belakang ideologinya apa, dan seberapa besar pengetahun seseorang tentang jihad itu sendiri. Istilah jihad secara umum dalam Islam seringkali dimaknai secara negatif oleh beberapa kelompok Islam dengan cara menerjemahkannya secara sempit yang identik dengan kekerasan. Bahkan, kata jihad lebih dekat dipadani dengan istilah perang di jalan Allah, sedangkan istilah jihad mempunyai makna yang universal tergantung konteksnya. Jihad dalam konteks puasa misalnya, tentu akan berbeda maknanya dengan jihad dalam konteks peperangan.

(52)

sebagai agama kasih sayang dan pembawa rahmat bagi alam semesta semakin lama akan semakin tersudutkan dan kehilangan kepercayaan publik. Terlebih aksi radikalisme dan terorisme seringkali menggunakan simbol-simbol agama dengan dalih pemurnian atau puriikasi ajaran agama yang dianggap jalan paling benar yang dapat membawa mereka ke dalam surga.

Ketua Nahdhatul Wathan Kutai Barat juga mempunyai pandangan yang sama tentang penyimpangan dan penyalahgunaan ajaran Islam oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab. Kalau umat Islam betul-betul masuk dan memahami Islam secara sempurna kaffah, bukan didasari sentimen politik dan kekuasaan maka pasti akan terbentuk pola pikir Islam yang rahmatan bagi semua manusia karena Islam sudah mengajarkan semua aspek kehidupan baik sosial, politik, hukum dan ekonomi. Tidak ada satu agama yang memiliki ajaran sesempurna Islam, namun sayang sekali banyak disalahgunakan dan hanya mengambil aspek-aspek yang dapat merusak nama Islam itu sendiri seperti kasus kekerasan atas nama jihad dan terorisme. Banyak orang yang hanya bisa bicara tentang konsep rahmatan, akan tetapi pelaksanaannya nihil dan jauh dari makna konsep tersebut.

Lemahnya Ekonomi Masyarakat

(53)

seseorang dalam sikap keberagamaannya. Kegiatan ekonomi merupakan suatu upaya yang dilakukan seseorang dalam melakukan tindakan pemenuhan kebutuhan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia harus berusaha dengan cara apapun, bahkan kadang-kadang menghalalkan segala macam cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fenomena ISIS misalnya menargetkan kelompok-kelompok Muslim yang dari ekonomi menengah ke bawah untuk dijadikan sebagai anggota dan martir syahid dengan iming-iming gaji yang tinggi dan bidadari cantik yang menunggu di surga. Kekuatan ekonomi kelompok teroris menjadi modal penting bagi perekrutan anggota, selain dijanjikan surga, mereka juga dijamin sejahtera di dunia.

Dampak dari pengaruh tingkat perekonomian masyarakat yang timpang antara satu dengan yang lain secara tidak langsung menyebabkan perilaku keberagamaan seseorang juga ikut menyimpang, bahkan bisa keluar dari ajaran agama yang benar. Hal ini sudah terindikasi dalam hadis Nabi yang mengatakan “Kemiskinan itu sangat dekat dengan

kekairan”. Adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi dan tuntutan yang lebih dari apa yang dihasilkan telah melahirkan kondisi sosial tertentu yang tidak banyak memberikan pilihan dalam penyelesaian masalah. Tingkat kepasarahan dan frustrasi pada seseorang karena belitan ekonomi inilah yang rawan dimanfaatkan oleh orang atau kelompok lain. Dengan demikian, kesenjangan tingkat perekonomian masyarakat yang disebabkan oleh beberapa faktor merupakan sumber dari benih-benih lahirnya radikalisme dan terorisme.

(54)

Indonesia diamini oleh Ketua KAMMI Samarinda. Menurut Ketua KAMMI bahwa pemikiran masyarakat Indonesia dalam sistem perekonomiannya yang menganut paham kapitalisme harus diubah karena tidak sesuai syari’at Islam. Kapitalisme dinilai sebagai sistem yang telah merusak sendi-sendi ekonomi masyarakat kelas bawah yang sulit untuk merangkak naik dan bersaing dengan kelompok pemodal yang mapan. Tawaran dari pihak KAMMI sendiri adalah apabila ingin mengembalikan ekonomi masyarakat yang mapan dan sejahtera maka harus menggunakan sistem ekonomi Islam yang diajarakan oleh Rasulullah. Ekonomi Islam telah terbukti memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi semua umat di dunia ini.

Radikalisme dan terorisme yang belakangan ini marak muncul merupakan reaksi dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Liberalisme ekonomi yang mengakibatkan perputaran modal hanya bergulir dan dirasakan bagi kelompok yang kaya saja telah berdampak pada munculnya jurang yang sangat tajam antara yang kaya dan miskin. Jika pola ekonomi seperti itu terus berlangsung, maka yang terjadi reaksinya adalah terorisme internasional. Namun jika pola ekonomi seperti ini diterapkan pada tingkat negara tertentu, maka akan memicu tindakan terorisme nasional. Boleh jadi problem kemiskinan, pengangguran, dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola pikir seseorang dari yang sebelumnya berpikir lurus, kemudian menjadi sesat. Dia dapat menjadi orang yang sangat kejam dan dapat melakukan apa saja termasuk melakukan teror dengan lapisan baju agama.

(55)

bahwa masalah kemiskinan di Indonesia sesungguhnya berpangkal pada buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Menurut beliau masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan tuntas dengan cara menciptakan pola distribusi yang lebih adil dan merata, di mana setiap warga negara dijamin pemenuhan kebutuhan pokoknya dan diberi kesempatan yang luas untuk memenuhi kebutuhan sekundernya. Kesalahan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan pada saat ini adalah bentuk upaya penghapusan kemiskinan difokuskan hanya pada peningkatan produksi baik produksi total negara maupun pendapatan per kapita, dan bukan pada masalah distribusi. Maka, sistem ekonomi kapitalis tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah kemiskinan karena titik pusat persoalannya, yaitu pada distribusi kekayaan yang tidak ditata secara adil sebagaimana semestinya.

(56)

Hal ini tak ayal semakin menambah angka kemiskinan. Islam memberikan penyelesaian masalah kemiskinan ini dengan cara yang unik dan lebih humanis. Intinya adalah harus ada pola distribusi yang adil dan persoalan keadilan distribusi ini disinggung dalam al-Qur’an.

Pembiaran negara terhadap berbagai persoalan seperti kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan sistem ekonomi, ketimpangan yang dihadapi masyarakat khususnya di bidang ekonomi dan ketidakseriusan pemerintah dalam merespons kiritik dan masukan warga merupakan contoh bahwa negara melakukan pembiaran terhadap kondisi masyarakat. Masyarakat hanya didekati dan diajak berdialog ketika menjelang Pemilu, Pilpres, dan Pilkada oleh politisi dan pengambil kebijakan dengan

tujuan supaya memperoleh suara yang signiikan.

Ini menunjukkan adanya pragmatisme pemerintah terhadap kekuasaan yang cenderung eksploitatif dan

artiisial. Biasanya setelah Pemilu sebagian besar pihak

yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif lupa dengan janji kampanyenya, bahkan terkesan tidak peduli dan cenderung melupakan akar permasalahan yang dihadapi masyarakat.

(57)

bila diakumulasi dan diindoktrinasi melalui ideologi atau doktrin yang dapat mempersatukan mereka. Maka hal tersebut dapat memperkuat akar gerakan radikalisme dan teorisme. Melalui cara indoktrinisasi ini, yang dibungkus dengan simbol dan nilai agama anggota kelompok radikal dapat melakukan cuci otak sehingga cara-cara revolusioner dan kekerasan diperbolehkan untuk mencapai tujuan perjuangannya.

Hal ini menunjukkan bahwa faktor kesenjangan ekonomi yang kemudian diolah sedemikian rupa sehingga mengakarkan rasa kebencian anggotanya kepada sistem perekonomian kapitalisme Barat yang ada sebagai bentuk sistem perekenomian yang dianut di Indonesia. Cara ini dikemas demikian hebat sehingga menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian terhadap suku, agama, ras, antar-golongan lainnya yang tidak sepaham. Cuci otak ini dilakukan dengan berbagai macam cara, dan yang dianggap efektif adalah cara-cara ideologis misalnya, melakukan penentangan terhadap kebijakan yang ada, demonstrasi besar-besaran, pembunuhan berkedok jihad, bahkan melakukan teror meskipun harus mengorbankan diri sendiri melalui bom bunuh diri.

(58)

dan mencegah masuknya ajaran radikalisme dan terorisme melalui penguatan ekonomi keluarga dan masyarakat. Pandangan ini juga diiyakan oleh AY, tokoh Muhammadiyah Kutai Timur menerangkan bahwa pendekatan yang paling efektif untuk menangkal doktrin dan ajaran radikalisme dan terorisme yang marak sekarang adalah dengan penguatan ekonomi karena hal inilah yang sangat menyentuh bahkan mengubah pola pikir mereka tentang agamanya. Kalau mereka kenyang tidak akan berpikir macam-macam dan akan tenang belajar dan menjalankan agama. Oleh karena itu tidak hanya ideologi yang dicekoki kepada mereka, tapi ekonomi pun harus menjadi perhatian”.

Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa faktor ekonomi sangat menentukan pola dan perilaku tingkat keberagamaan seseorang. Hal tersebut merupakan hal yang sangat mendasar yang harus dipenuhi oleh manusia. Sangat tepat jika direnungkan hadis Nabi yang mengatakan, “Kadal faqru an yakuwna kufran”

(Kemiskinan itu dapat meyeret orangnya kepada tindakan kekufuran). Bukankah tindakan pembunuhan, melukai, meledakkan diri dan meneror adalah suatu tindakan yang dekat dengan kekufuran? Pertanyaan besar ini penting untuk direnungkan oleh kelompok teroris dan radikalis yang menyalahgunakan fungsi agama. Simbol dan teks suci agama mengalami eksploitasi dan manipulasi untuk melegitimasi perilakunya.

Dorongan untuk Mengubah Kondisi yang Ada

(59)

tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggungjawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak. Radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada, yang dinilai tidak mencerminkan keadilan dan mengalami disfungsi dalam mengatasi berbagai problem sosial, ekonomi, politik, dan keagamaan di masyarakat. Dengan demikian, sesuai dengan arti kata ‘radic’ bahwa sikap radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara total dan mendasar.

(60)

untuk membayar utang. Negara tetap berada dalam kendali negara kreditur, sedangkan rakyatnya tetap hidup dalam kesempitan dan kesulitan sebagai akibat dari pemaksaan terhadapnya untuk menerapkan kebijakan penghematan.

Hizbut Tahrir memandang Islam bukan hanya sekedar identitas kultural dan ritual, akan tetapi juga ideologi mencakup politik dan kenegaraan.

Keberadaan sebuah negara merupakan konsekuensi dari sebuah ideologi. Sistem pemerintahan yang dijadikan referensi oleh Hizbut Tahrir adalah sistem khilafah. Khilafah menurut Hizbut Tahrir adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh umat Islam di dunia secara menyeluruh untuk menegakkan syari’at Islam dalam kehidupan bernegara. Khilafah Islamiah menurut tokoh Hizbut Tahrir Kutai Timur ini harus didirikan atas empat dasar pokok, yaitu kedaulatan adalah milik syara’, kekuasaan ada di tangan rakyat, kewajiban untuk mengangkat seorang khalifah dengan metode bai’at sebagai wakil rakyat untuk melaksanakan hukum Allah dan penyusunan serta pembentukan konstitusi negara Islam oleh khalifah sebagai seorang kepala negara. Oleh karena itu, Khilafah Islamiah harus tegak di atas dasar hukum-hukum Allah.

(61)

kebahagiaan hidup yang hakiki. Dengan demikian, bagi sebagian masyarakat Samarinda yang diwakili oleh para informan yang berhasil kami wawancarai berpandangan bahwa bentuk dan sistem yang berlaku di negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi bukanlah sesutu yang paten dan harga mati. Menurut mereka negara dan bentuk negara adalah ciptaan manusia yang dihasilkan oleh kesepakatan masyarakat Indonesia yang tidak lepas dari pengaruh bangsa-bangsa luar termasuk Eropa dan Amerika pada waktu itu. Oleh karena itu jika rakyat menghendaki perubahan bentuk dan sistem kenegaraan, maka tentu saja bentuk dan sistem negara ini harus diubah.

Pandangan tokoh Hizbut Tahrir di atas tidak sejalan dengan pemikiran MM, tokoh NU, di Samarinda. Menurut MM bahwa latar belakang munculnya paham radikalisme dan terorisme disebabkan oleh adanya pertentangan pemikiran dan ideologi mereka dengan ideologi negara yang sudah ada. Sebagai representasi dari ketidaksepahaman ini mereka membentuk atau mengikuti golongan tertentu seperti organisasi kegamaan transnasional Hizbut Tahrir Indonesia, yang berusaha untuk mengubah tatanan negara ini yang menganut demokrasi menjadi negara Islam,

(62)

Pandangan yang sama dengan tokoh NU di atas disampaikan oleh SM, akademisi dari Kutai Timur yang menyatakan bahwa latar belakang terjadinya paham radikalisme, bahkan mengarah pada kegiatan teror di mana-mana karena adanya berbagai ketidakadilan, ketidakmerataan, kesenjangan, dan ketidakcocokan pola pikir sehingga menyebabkan suatu respons negatif yang mengarah pada destruktif. Oleh karena itu, hal ini membutuhkan pemikiran serius guna meminimalisir adanya benih-benih disintegrasi dan konlik sosial yang terjadi di negara kita. Perbedaan pandangan tidak harus berujung pada

konlik dan disintegrasi sosial, apalabila ditempatkan pada tataran yang proporsional sebagai wacana dan kemajuan demokrasi di Indonesia. Semua memiliki kebebasan dalam berpendapat dan menjalankan keyakinan masing-masing dengan tidak merugikan pihak lain.

(63)

transnasional ini tentu saja telah melahirkan respons dalam berbagai gradasinya mulai dari yang lunak hingga yang keras. Apalagi kelompok transnasional tersebut mengancam dalam bentuk pengambilan dan penguasaan aset-aset mereka seperti jama’ah, masjid, dan lembaga pendidikan.

Ketua pemuda Muhammadiyah Samarinda, AS juga gerah dengan fenomena Islam transnasional. Dia menyatakan akan bahayanya paham keagamaan Islam transnasional bagi keutuhan bangsa Indonesia karena mereka tidak memiliki akar sejarah budaya Indonesia dalam pola pikir dan tingkah laku. Kelompok transnasional yang cenderung intoleran, mengedepankan tindak kekerasan, eksklusif, dan berusaha untuk mengubah ideologi bangsa ini sangat jauh dari karakter masyarakat Indonesia. Ide mereka tidak akan cocok dengan setting sosial dan kultur keagamaan bangsa Indonesia yang dikenal plural dan majemuk.

Kuatnya Pengaruh Ideologi Radikal

Kuatnya keyakinan kaum radikalis tentang kebenaran ajaran dan ideologi yang mereka bawa merupakan salah satu modal yang mendukung terjadinya penyebaran radikalisme dan terorisme di Kalimantan Timur. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan panafsiran kebenaran sistem lain yang akan diganti dalam gerakan sosial. Keyakinan

tentang kebenaran program atau ilosoi sering

(64)

Tokoh Hizbut Tahrir Samarinda mengungkapkan bahwa Hizbut Tahrir didirikan sebagai organisasi Islam yang bertujuan untuk mengembalikan kaum Muslimin pada hukum Islam yang sesungguhnya, memperbaiki sistem perundang-undangan dan hukum negara yang dinilai kufur agar sesuai dengan tuntunan syari’at dan membebaskan masyarakat dari gaya hidup dan pengaruh negara Barat. Hizbut Tahrir juga bertujuan untuk membangun kembali pemerintahan Khilafah Islamiah di dunia sehingga hukum Islam dapat diberlakukan kembali seperti pada masa awal perkembangan Islam. Ideologi ini terus mengalami sosialisasi dan internalisasi melalui kajian-kajian ilmiah dalam halaqah dan majelis taklim.

Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa faktor ideologis yang anti Westernisme digadang-gadang untuk menyakinkan kaum Muslimin bahwa seluruh pemikiran, ide, dan produk-produk Barat harus dihindari. Westernisme bagi Hizbut Tahrir merupakan suatu pemikiran yang membahayakan kaum Muslimin yang mengaplikasikan syari’at Islam karena benturan dan ketidakcocokan antara keduanya. Untuk memurnikan penerapan syari’at Islam maka simbol-simbol Barat harus dihancurkan dan tidak diberi ruang untuk berkembang. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan, tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalis justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.

(65)

gerakan Islam radikal seperti FPI sebenarnya

merupakan cermin dari adanya proses komodiikasi

dan politisasi agama dalam proses sosial. Gerakan Islam garis keras model FPI memang tidak memiliki basis sosial yang kuat di Indonesia. Dengan kata lain, sebenarnya FPI bukanlah gerakan Islam radikal-fundamentalis seperti yang berasaskan ideologi Islam. Gerakan ini lebih bersifat radikal-politik yang bersifat temporer. Dalam kasus FPI Islam hanya difungsikan sebagai alat legitimasi gerakan politik. Penggunaan simbol, bahasa dan tokoh Islam hanyalah sebagai kedok untuk menghalalkan tindakan dan melegitimasi kepentingan mereka semata.

Selama ini masyarakat Indonesia lebih suka keterbukaan, toleransi, dan akulturasi dalam segala hal termasuk dalam beragama. Konstruksi watak yang demikian membuat agama apa pun bisa masuk dan terserap dalam kehidupan masyarakat secara damai, harmonis, tanpa konlik, dan gejolak sosial yang berarti. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai macam praktik ritual yang kompleks dan beragam di setiap daerah dan adanya kebersamaan hidup masyarakat dengan agama-agama yang berbeda. Tidak pernah muncul masalah yang besar terkait dengan praktik ritual dan keagamaan tersebut, apalagi pemerintah jelas-jelas melindungi seluruh rakyat Indonesia untuk menjalankan ajaran dan keyakinan mereka sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Kesenjangan Sosial Politik

(66)

berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, pro rakyat dan tidak semata-mata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, maka tentunya akan melahirkan kebanggaan dari anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan negaranya. Mereka akan sayang dan menjaga kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dari luar.

Dengan adanya berbagai macam kebijakan yang kurang berpihak kepada masyarakat bawah, politik kotor, politik yang hanya berpihak kepada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan sikap dan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompok-kelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang dengan mudah saling menghancurkan satu sama lain. Pengurus NU Kutai Timur, MM menyatakan bahwa gejala radikalisme dan kekerasan yang mengatasnamakan agama lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaprah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia.

Referensi

Dokumen terkait

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah rekam medis pasien, catatan pengobatan pasien dan rincian biaya medis langsung selama pengobatan untuk mengetahui

Artinya, penyandang disabilitas menganggap positif metode yang digunakan oleh BPBD dan tim SAR Klaten dalam menyampaikan komunikasi tentang bencana, masyarakat

Sehingga menurut Snouck, dalam bidang agama Pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan kepada umat Islam Indonesia untuk menjalankan Agamanya sepanjang

Etika normatif juga dapat dibedakan dari segi benar dan tidaknya suatu tindakan dan baik-buruknya akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut, yakni: 1) Etika Deontologis,

T df Sig. Dukungan berupa mengingatkan bahwa Allah mengetahui peristiwa yang sedang dialami hamba yang melahirkan, Allah mendengarkan dan mengabulkan doa orang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji Pedoman standar teknis kerja di UPT Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah dalam proses digitalisasi koleksi deposit

Atas jasa bank memberikan dana talangan tersebut bank dapat memperoleh fee (ujrah). Dalam perbankan syariah, akad qardh biasanya diterapkan sebagai berikut :.. Sebagai produk