• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGAIMANA ESAI TERCIPTA Esai tentang Esa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAGAIMANA ESAI TERCIPTA Esai tentang Esa"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAGAIMANA ESAI TERCIPTA

Esai tentang Esai

Oleh: Suhariyadi

Penulis dan Penggiat Sastra di Tuban

Di kalangan sebagian ahli, esai dimasukkan sebagai salah satu genre sastra. Artinya, esai telah memenuhi syarat untuk disebut sastra. Dari sisi bahasa dan cara pengungkapan, pendapat sebagian ahli tersebut ada benarnya. Tapi dari sisi apa yang diungkapkan, terdapat perbedaan yang mencolok dibanding genre sastra lain, seperti puisi, cerpen, novel, roman, dan drama. Namun demikian, apapun pendapat orang, semua akan setuju jika dikatakan bahwa lebih esai dekat dengan ragam sastra dari pada ragam yang lain. Bahkan sangat jauh jarak yang membedakan antara ragam yang digunakan dalam esei dengan tulisan ilmiah.

Ibarat sebuah renungan, esei ditulis untuk mengungkapkan apa yang direnungkan itu. Di sana terdapat bentuk-bentuk proses kesadaran penulisnya, seperti: perasaan, pemikiran,

penghayatan, pembayangan, pengayalan, dan

pengargumentasian. Di sana juga terdapat emosi, nafsu, suasaana perasaan (mood), libidinal, dan memori bawah sadar. Semuanya serba ada dalam proses penulisan esei. Kalau kemudian esei dibaca, semua itu seperti anak katak berloncatan dari balik semak-semak bernama esei. Bukankah pembaca itu seperti orang yang menguak-uak, mengibas-ibas, dan menyibak-nyibak kerimbunan tanaman di belantara bahasa? Ia ingin mengetahui ada apa di dalam kerimbunan itu. Dan anak-anak katak seperti terganggu olehnya dan berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya. Pembaca yang tak jijik pada katak, ia akan melihatnya dengan takjub, senang, dan geli. Sebaliknya yang jijik, ia akan marah, mengumpat, bahkan membanting apa yang dibacanya. Sementara para perempuan yang biasa berperasaan, merasakan sedih, prihatin, terharu, tersenyum, penasaran, dan penuh rasa simpati dan empati.

(2)

pengacara pokrol bambu, atau orator ulung sekalipun, esei tetap berada di jajaran teratas. Ia kelak akan langgeng dikenang oleh pembacanya. Bahkan sangat membekas menjadi sebuah tradisi ilmiah yang tak ilmiah, karena memang esei bukan tulisan ilmiah. Esei juga seperti ajaran kebijakan filosofis tentang hakikat kehidupan. Ia hasil dari kontemplasi manusia tentang hakikat kebenaran. Esei mempertanyakan segala hal ihwal yang ada dan keadaannya. Yang ada, nampak, dan nyata, dipertanyakan dalam renungan-renungan penuh makna. Tujuannya, agar esei dapat membuka cakrawala pembaca tentang sesuatu yang masih samar menjadi nyata; yang nampak menjadi terang, dalam kenyataan atau ketidaknyataannya. Tujuannya, agar esei dapat memberikan pencerahan dan penyucian terhadap nafsu-nafsu, hasrat-hasrat, dan kehendak yang cenderung meledak-ledak dalam diri manusia. Maka, esei membangun kualitasnya dengan untaian kalimat persuasif dan ekspresif. Maka, esei membangun substansinya dengan kebijakan-kebijakan hidup.

Berlebihankah, mengibaratkan esei seperti anak katak berloncatan dari balik semak belantara bahasa? Seperti proposisi seorang profesor senior? Atau, seperti ajaran filsuf yang mempertanyakan hakikat hidup ini? Semuanya serba mungkin. Semuanya bisa terjadi dalam sebuah esei. Tidak masalah esei akan seperti apa. Yang penting, esei adalah bentuk ekspresi berbahasa yang mengungkapkan manusia dan kemanusiaannya dari perspektif subyektif dan obyektif berbaur menjadi satu. Sebuah strategi pelisanan yang khas, yang berada di kedua ujung wacana reflektif-subyektif dan argumentatif-obyektif. Mana ada ragam tulisan seperti itu, selain esei?

(3)

Kedua, esei mempunyai cara pengungkapan yang khas pula. Tidak hanya bahasanya yang khas, tapi juga bagaimana cara penulis mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan. Ada daya ekspresi di dalam esei. Ekspresi itu berkaitan dengan sikap, pandangan, dan wawasan yang dimiliki penulisnya. Esei ditulis bukan sekedar untuk menampung sebuah fakta, seperti wacana sejarah. Esei bukan sekedar menampung konsep, seperti wacana pengetahuan. Esei juga bukan sekedar menampung aturan-aturan untuk dipedomani, seperti wacana hukum. Tapi esei ingin mengungkapkan sebuah persoalan yang direfleksikan dari kehidupan dengan sudut pandang kemanusiaan. Itulah mengapa ada sikap, pandangan, dan keyakinan di dalam esei, sebentuk ideologi kewacanaan. Ideologi kewacanaan merupakan wujud intelektualitas dan keyakinan akan suatu kebenaran hidup.

Bahasa yang khas dan cara pengungkapan mengindikatorkan adanya kreativitas dan imajinasi penulisnya. Kreasi dan imajinasi adalah terminologi dalam jagad kesusasteraan. Ketika keduanya masuk ke dalam ranah esei, ia telah memenuhi syarat sebagai sebuah karya sastra. Di dalam imajinasi itulah seseorang mengembara ke ruang kesadaran. Ia mengarungi samudra yang luas tak bertepi dalam jiwanya. Dalam pengembaraan itu akan ia jumpai kenangan, ingatan, pengalaman, kilatan gambar-gambar, yang pernah masuk ke dalam alam sadar dan bawah sadarnya. Bahasalah yang akan mewadahinya melalui kata, frase, kalimat, paragraph, dan wacana, yang kemudian disebut sastra. Demikian juga dalam esei, penulis mengembara dalam kesadarannya untuk mengais-ngais memori, pengalaman, pemikiran, penghayatan, perenungan, bahkan khayalan, yang kemudian disebut imajinasi. Melalui bahasa, hasil pengembaraan itu menjadi untaian kalimat yang sarat dengan semua itu.

(4)

pribadi untuk menjelaskan hakikat sebuah kebenaran. Dalam esei ekspresi menjadi impresi, sedang dalam tulisan ilmiah teoritisasi menjadi proposisi. Tapi keduanya dengan cara berlainan, sama-sama ingin menjelaskan suatu kebenaran untuk dapat digunakan dalam kehidupan ini. Kalau tulisan ilmiah akan ditumbangkan oleh teori baru, maka esei akan ditenggelamkan oleh perjalanan waktu.

Sampai di ujung pemikiran ini, marilah kita membahas contoh esei berikut ini, agar apa yang dikemukakan di muka menjadi konkrit dan jelas.

1

Marxisme, Posmodernisme, Ketika Tak Ada lagi Revolusi

Oleh: Gunawan Muhamad

“Membentuk kembali hidup! Orang yang bisa bicara begitu tak pernah paham sedikitpun apa itu hidup— mereka tak pernah merasakan nafasnya, jantungnya….”

—Dr. Zhivago

PADA awalnya 1917. Kemudian 1993. Dua peristiwa besar, yang berhubungan dengan agenda “membentuk kembali hidup”, telah mengubah permukaan dunia seperti dua gelombang gempa yang ganjil, sebab ada yang hancur setelah itu, dan ada yang terbentuk.

Yang pertama ialah sebuah revolusi atas nama Marxisme, yang berlangsung sebagai “sepuluh hari yang mengguncangkan dunia”, seperti dilukiskan John Reid tentang Revolusi Oktober yang bermula di St. Petersburg, Rusia. Yang kedua ialah sebuah perubahan Yang tak kalah mengguncangkannya, meskipun hampir tanpa letupan bedil: Rusia (dan dalam batas tertentu juga Cina) membatalkan banyak hal dalam agenda Marxisme, sesuatu yang sebenarnya bermula di tahun 1989, ketika Tembok Berlin bebas diruntuhkan orang ramai.

Dua perubahan, dua guncangan besar: Marxisme adalah harapan dan keyakinan penting selama kurang satu setengah abad, sesuatu yang demikian jelas, tegas, memukau dan menularkan inspirasi.

(5)

tidak terdengar lagi rencana Marxis untuk “mengubah dunia”. Yang tersisa adalah “menerangkan dunia”— terutama di jurnal-jurnal pemikiran dan seminar-seminar— ketika politik sayap kiri merosot, atau mengalami perubahan diri, di pelbagai penjuru.

Maka apa gerangan yang kita hadapi, dan bisa dilakukan?

Pertanyaan ini penting, juga di Indonesia: kita tahu di sini pengaruh Marxisme, sisa-sisanya dalam pemikiran kita, tak bisa diabaikan. Marxisme tidak sekadar membayang dalam tulisan-tulisan Bung Karno sebelum kemerdekaan, ia pernah dicoba—setidaknya sebagian unsurnya, mungkin juga sebersit semangatnya—dengan mempraktikkan “sosialisme Indonesia” dan “ekonomi terpimpin”. Ia pernah menjadi inti dari pemikiran Partai Sosialis Indonesia dan Partai Komunis Indonesia, dan ia pernah menjadi bagian sentral dalam bahan-bahan yang diajarkan secara luas tentang “ideologi negara” di tahun 1960-an (yang disebut “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi”).

Di akhir tahun 1960-an paham ini dilarang—dan pada gilirannya paham yang dilarang itu memikat banyak anak muda dan cendekiawan Indonesia secara diam-diam, hingga sekarang, sebagi sejenis pernyataan pembangkangan, apalagi di sebuah masyarakat yang mulai mengalami secara nyata gerak kapitalisme, dan masih punya masalah distribusi pendapatan yang menajam.

(6)

Tulisan ini termuat dalam buku ”Setelah Revolusi Tak Ada Lagi” (Edisi Revisi), Pustaka Alvabet, Jakarta, september 2005. Halaman, 169-192].

2

PERTUNJUKAN TEATER NEGERI INI, SEBUAH PERADABAN

Oleh: Suhariyadi

Kalau negeri ini dipandang sebagai panggung teater, siapakah tokoh utama pengemban cerita untuk diungkapkan di atas panggung itu? Mereka adalah penguasa, pengusaha, dan media. Ketiga aktor inilah yang akan memainkan perannya secara ekspresif agar pertunjukkan yang dimainkan meyakinkan dan menghanyutkan penontonnya. Siapakah penontonnya? Mereka adalah rakyat yang tidak memiliki akses untuk mendekati lingkaran ketiga aktor tersebut. Narasi apakah yang akan dibangun dan diungkapkan dalam pertunjukkan itu? Narasi itu adalah sebuah adaptasi dari intrik-intrik zaman yang berasal dari kepentingan-kepentingan kelompok dan tekanan-tekanan eksternal yang tidak bisa dielakan oleh aktor-aktor tersebut. Agar kita dapat mengapresiasi bagaimana pertunjukkan itu berlangsung, sebaiknya kita urai pertunjukkan itu secara interpretatif.

Sebagai sebuah interpretatif, pemikiran ini jelas mengambil perspektif subyektif dengan pisau analisis rasional; bukan lantaran dengan perspektif subyektif itu lantas tidak menggunakan rasional untuk memahami persoalan ini. Dan sebagaimana layaknya mengapresiasi sebuah pertunjukkan teater, tulisan ini harus bermula dari narasi sebagai skenario yang akan dimainkan. Tetapi yang perlu diingat, bahwa pertunjukkan ini bergenre modern, meski naskah atau skenario tersebut tidak tertulis. Cukup seperti dalam teater tradisional, narasi yang akan dimainkan dipahami kemudian diimprovisasi oleh para aktor di atas panggung.

(7)

berperan dalam produksi narasi itu. Sedangkan konteks yang melatarbelakanginya itu jelas adalah sosial, budaya, politik, ideologi, ekonomi, dan sebagainya, dari masyarakat di mana narasi itu diciptakan, dipedomani, dan mengatur dirinya. Teks (baca: narasi) dan Konteks. Kedua hal tersebut akan muncul ketika seseorang mau mendudah dan mengurai hingga ke akar narasi itu. Kalau perlu, hingga ke aspek filosofis yang mendasari terbangunnya narasi itu.

Esei Gunawan Muhamad, kutipan pertama, jelas tidak berpretensi untuk menjadi tulisan ilmiah, meskipun apa yang diungkapkannya itu sering kali menjadi pembicaraan dan penulisan dalam konteks ilmiah. Bahkan, meskipun dalam eseinya itu Gunawan Muhamad banyak mengacu pemikiran dan teori yang pernah ada dalam tradisi pemikiran dunia. Dengan bahasanya yang cair dan dibumbui dengan pilihan kata bernilai rasa tertentu dan metafor, juga bercampur kode secara kebahasaan, esei tersebut ingin mengungkapkan perjalanan rasionalitas manusia semenjak Weber, Marxis, hingga sekarang, posmodern, khususnya di Indonesia. Meskipun apa yang diungkapkan sangat berat bagi pembaca kalangan tertentu, tetapi esei tersebut, dengan sasaran pembaca khusus, mampu mewadahi suatu sikap, pandangan, dan keyakinan penulisnya. Bahasa dan gaya pengungkapan Gunawan Muhamad sangat khas, dengan sudut pandangnya yang reflektif subyektif miliknya.

Gunawan Muhamad merupakan salah satu penulis produktif di Indonesia yang menulis dengan bentuk esei. Catatan Pinggir-nya yang termuat di majalah Tempo, dan juga telah diterbitkan dalam buku, merupakan tulisan esei yang sangat digemari pembaca darisemua kalangan. Sebagai sastrawan dan mantan wartawan, Gunawan Muhamad tidak sulit untuk menulis dengan gaya esei. Bahkan dapat dikatakan, dia merupakan penulis spesialis esei. Memang ada semacam kecenderungan bahwa esei kebanyakan ditulis oleh seorang sastrawan ataupun orang yang terjun di bidang kesastraan. Sebut nama Emha Ainun Najib, dia juga seorang penyair sekaligus piawai menulis esei. Nirwan Dewanto, Budi Darma, Saut Situmorang, Zawawi Imron,

(8)

Indonesia selalu menjadi topik yang tak pernah akan habis dibicarakan orang. Jika Gunawan Muhamad membicarakan topiknya dengan mengupas sisi-sisi yang jarang disinggung orang, tetapi dalam esei kedua, penulis mencoba membahasakan topiknya dengan sebuah analog dalam pertunjukan teater. Sebuah refleksi acap kali tak terkira dan tak terduga orang lain. Dalam refleksi bukan apa yang ada di permukaan yang utama, tetapi apa yang tersemunyi di dalamnya. Refleksi dapat memunculkan gambaran sisi-sisi gelap, samar di depan orang lain, menjadi terang. Ketika banyak orang meributkan sesuatu sebagaimana yang tampak dan terjadi, sebuah refleksi meliuk-liuk untuk memandang sesuatu itu pada sisi yang lain.

Cara pengungkapan seperti itu bukan tanpa rasional dan argumentasi. Sebuah kebenaran adalah ranah yang harus dipikirkan, dianalisis, dan diabstraksi oleh logika umum. Karena cara reflektif-subyektif dan pilihan gaya bahasa yang khas, sebuah esei menjadi lain saat dibaca. Kebenaran dan sebuah fakta dikupas pada sisi-sisi yang masih samar, tersembunyi, dan penuh ketakterdugaan. Itulah gaya dalam tulisan esei. Bandingkan dengan tulisan dengan bentuk yang lain berikut ini.

Semua penelitian pada hakekatnya merupakan usaha mengungkap kebenaran. Kebenaran ini dapat dibedakan dalam empat lapis. Lapis paling dasar adalah kebenaran inderawi yang diperoleh melalui pancaindera kita dan dapat dilakukan oleh siapa saja; lapis di atasnya adalah kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui kegiatan sistematik, logis, dan etis oleh mereka yang terpelajar. Pada lapis di atasnya lagi adalah kebenaran falsafati yang diperoleh melalui kontemplasi mendalam oleh orang yang sangat terpelajar dan hasilnya diterima serta dipakai sebagai rujukan oleh masyarakat luas. Sedangkan pada lapis kebenaran tertinggi adalah kebenaran religi yang diperoleh dari Yang Maha Pencipta melalui wahyu kepada para nabi serta diikuti oleh mereka yang meyakininya.

(9)

ajarannya. Namun justru karena perkembangan dalam falsafah dan agama itu sendiri, serta perkembangan budaya dan akal manusia, maka kita mulai mempertanyakan apakah memang kebenaran mutlak itu mengharuskan adanya kesatuan pengertian dalam segala hal mengenai hidup, kehidupan, dan bahkan alam semesta ini seragam? Mulailah berkembang berbagai mazhab atau aliran dalam bidang falsafah dan agama dengan memberikan penafsiran terhadap apa yang telah diperintahkan secara tertulis.

Kalau kebenaran falsafati dan religi saja memungkinkan adanya tafsir yang menimbulkan mazhab atau aliran tersendiri, apalagi dalam memperoleh kebenaran ilmiah. Kita semua dilahirkan aebagai mahluk yang unik, masingmasing di antara kita berbeda. Kalau penampakan kita saja dapat dibedabedakan, seperti misalnya sidik jari dan DNA, apalagi yang kasatmata yang ada dalam otak dan hati kita masing-masing. Suatu gejala atau peristiwa yang sama, dapat diberi arti yang lain oleh orang yang berlainan.

Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc., Landasan Berpikir dan Pengembangan Teori dalam Penelitian Kualitatif, dalam Jurnal Pendidikan Penabur, No.05/Th.IV/ Desember 2005.

Jargon paradigma dalam ilmu sosial didefinisikan sebagai keyakinan dasar peneliti secara ontologi, metodologi, dan epistemologi. Pemahaman mengenai paradigma adalah hal yang sangat fundamental. Paradigma juga memegang peranan penting bagaimana nantinya peneliti melakukan risetnya, bagaimana ia memandang fenomena, tolak ukuran kepekaannya dan daya analisisnya, termasuk melalui pendekatan analisis wacana.

Menurut Patton dalam Kristi (2001) paradigma mengacu pada serangkaian proposisi yang menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan dipersepsikan. Paradigma mengandung pandangan

tentang dunia, cara pandang untuk

(10)

Disadari atau tidak, peneliti sesungguhnya berjalan dan bersinggungan dalam kerangka epistemologis, ontologis dan metodologi yang memang diyakininya dalam penelitian. Epistemologis menjelaskan bagaimana hubungan antara peneliti— yang mencari tahu—dengan orang-orang atau fenomena yang diteliti. Sedangkan ontologi adalah interpretasi manusia apa itu realitas dan bagaimana cara mengetahuinya. Sedangkan metodologi adalah cara-cara, teknik atau metode untuk meneliti.

Pada dasarnya, Ada tiga paradigma dalam analisis wacana, yaitu positivis-empiris (lazim juga disebut positivisme), konstruktivisme, dan kritis. (Hikam, A.S., dalam, Latif, Y. dan Ibrahim, I.S. [ed.], [1996]). Pertama, positivis-empiris. Salah satu cirinya adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Inti bahasannya, apakah suatu pernyataan disampaikan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Dengan demikian analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan ayat, bahasa, dan pengertian bersama.

Amir Purba, Menyelami Analisis Wacana Melalui Paradigma Kritis, Majalah Kajian Media Dictum on line.http://dictum4magz.wordpress.com,

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa penjelasan diatas penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dalam judul ini adalah penelitian mengenai pelaksanaan kerjasama Musaqah yang dilakukan oleh

motivasi dari pebelajar, penggunaan sumber belajar, dan strategi belajar. Motivasi belajar merupakan keinginan yang terdapat pada diri seseorang yang merangsang pebelajar untuk

Melaksanakan tatacara salat jama’, qhasar, dan jama’ qasar serta salat dalam keadaan

(2) Terhadap Mahasiswa Badan Layanan Umum Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan pada Kementerian Agama yang menyelenggarakan kegiatan menggunakan jasa event

Permasalahan yang terjadi yaitu mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengolah data primer. Indikator yang menunjukkan mutu proses pembelajaran pada mata kuliah statistika yaitu

Tujuan yang ingin dihasilkan dari penelitian ini adalah untuk memudahkan kegiatan transaksi pembelian barang, sehingga adanya suatu sistem pembelian tunai obat yang baik dan

Cao, Eduardo, Heat Transfer In Process Engineering, McGraw – Hill.. Companies, Inc., United States of

IgA terekspresi pada epitel permukaan jaringan tumor dan terdapat positifitas ekspresi IgA sel plasma yang berbeda-beda di stroma sekitar jaringan tumor, dengan