• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kartu Kredit dalam Hukum Syariah Kajian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kartu Kredit dalam Hukum Syariah Kajian"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

89 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

Kartu Kredit dalam Hukum Syariah:

Kajian Ayat dan Hadits terhadap Akad dan Ketentuannya

Azharsyah Ibrahim

Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Email: azharsyah@gmail.com

Abstrak

Banyaknya pihak yang terlibat dalam transaksi kartu kredit menimbulkan banyak sekali perbedaan pendapat tentang kebolehan penggunaan kartu kredit dalam ajaran Islam. Akibatnya para fuqaha masih berbeda pendapat dalam menentukan jenis dan jumlah akad yang bisa digunakan dalam transaksi kartu kredit. Menurut kebanyakan pendapat, penggunaan kartu kredit diperbolehkan dengan ketentuan akad yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Namun, para fuqaha berbeda pendapat dalam hal penjabaran jenis-jenis transaksi kartu kredit dan jenis akad yang tepat untuk dipakai dalam transaksi tersebut. Sedikitnya enam akad bisa digunakan dalam transaksi kartu kredit, yaitu akad kafalah, akad wakalah, akad hawalah, akad murabahah, akad qardh, dan akad ijarah.

Kata kunci: Kartu kredit, Hukum Islam

Pendahuluan

Kartu kredit dewasa ini bukan lagi hanya sekedar gaya hidup, tetapi

merupakan kebutuhan bagi masyarakat modern untuk menunjang semua aktivitas

dalam kehidupannya sehari-hari. Semua keperluan bisnis maupun pribadi, mulai

dari membiayai perjalanan dinas, menjamu klien hingga biaya kelahiran si kecil,

belanja kebutuhan harian atau berlibur bersama keluarga tercinta, dapat di penuhi

oleh kartu kredit. Kartu kredit juga menjadi salah satu ciri dari gaya hidup modern

yang serba cepat dan efisien.1

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, penggunaan kartu kredit

merupakan hal yang sangat biasa dan umum digunakan dalam melakukan

berbagai jenis transaksi dalam kehidupan sehari-hari, seperti berbelanja,

membayar tagihan, bahkan untuk memberikan sumbangan. Di negara tersebut,

penggunaan uang kas sudah relatif sangat berkurang sehingga penggunaan kartu

kredit sebagai salah satu alat pembayaran sudah menjadi kebutuhan masyarakat

1

Bank Negara Indonesia, Kartu Kredit: Memberi Makna dalam Setiap Transaksi, diakses pada

(2)

90 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

sebagai pengganti uang yang relatif tidak efisien dan tidak aman untuk dibawa.

Disamping faktor praktis tadi, kartu kredit juga berfungsi sebagai jaminan

kepercayaan suatu bank atau issuer kepada pemegang kartu dalam hal

penggunaan keuangan dari lembaga tersebut.

Di Indonesia, bisnis kartu kredit mengalami perkembangan yang sangat

pesat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah kartu yang beredar saat ini telah

mencapai lebih dari 10 juta kartu yang diterbitkan oleh 21 bank dan lembaga

pembiayaan. Para issuer berusaha meningkat jumlah pemegang kartu dengan

berbagai macam penawaran yang menarik, baik dari sisi joint-promo maupun

fitur.2

Kartu kredit (credit card) dalam bahasa Arab disebut bithaqah i’timan.

Secara bahasa kata bithaqah (kartu) digunakan untuk potongan kertas kecil atau

dari bahan lain yang di atasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan

kertas itu, sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan

saling percaya. Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman,

yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya

serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman

untuk dibayar secara tertunda.3

Sebuah kartu kredit merupakan bagian dari suatu sistem pembayaran kartu

plastik yang dikeluarkan kepada para pengguna sistem tersebut. Kartu tersebut

memberikan hak kepada pemegangnya (card holder) untuk membeli barang dan

jasa yang didasari pada janji si pemegang kartu untuk membayar barang dan jasa

tersebut pada waktu yang sudah ditentukan.4 Penerbit kartu kredit (issuer)

biasanya memberikan suatu batas kredit (credit limit) yang bisa digunakan oleh

pemegang kartu untuk membayar tempat-tempat pembelanjaan (merchants) atau

bisa juga digunakan sebagai cash advance bagi pengguna.

2

Bank Negara Indonesia, BNI Hasanah Card, diakses pada tanggal 17 Maret 2010 dari website:

http://www.bni.co.id/Syariah/BNIHasanahCard/BNIHasanahCard/tabid/376/Default.aspx 3

Setiawan Budi Utomo, Hukum Kartu Kredit Syariah, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari

website: http://www.dakwatuna.com/2009/hukum-kartu-kredit-syariah/ 4

Sullivan, Arthur. & Steven M. Sheffrin (2003). Economics: Principles in Action. Upper Saddle

(3)

91 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

Secara terminologi, kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak

bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli

segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang. Kartu

kredit pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen dalam sistem pembayaran

sebagai sarana mempermudah proses transaksi yang tidak tergantung kepada

pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang berisiko.5

Pada prinsipnya, cara pembayaran kartu kredit ada dua, yaitu pembayaran

penuh (full payment) dan tidak penuh (minimum payment). Sistem pembayaran

kartu kredit dewasa ini memakai sistem yang kedua yaitu minimum payment.

Untuk kartu kredit yang menggunakan sistem full payment biasa dikenal dengan

charge card. Charge card mewajibkan pembayaran dilakukan secara penuh tiap

bulan atau sebelum jatuh tempo. Sedangkan credit card membolehkan pemegang

kartu untuk menunda pembayaran penuh dan hanya wajib melunasi sejumlah

pembayaran minimum dengan konsekuensi akan dikenakan biaya tambahan. 6

Jenis-jenis Akad dalam Transaksi Kartu Kredit

Penggunaan kartu kredit yang semakin meluas memunculkan beberapa

persoalan jika ditinjau menurut pandangan fiqh Islam. Permasalahan muncul

karena banyaknya pihak yang terlibat dalam transaksi kartu kredit sehingga para

fuqaha kesulitan dalam menetapkan jenis dan berapa akad yang tepat digunakan.

Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi kartu kredit hanya menggunakan

satu akad saja, sebagian yang lain mengatakan melibat enam akad, yaitu kafalah,

wakalah, hawalah, murabahah, qardh dan ijarah.

Pihak Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI)

berpendapat bahwa status hukum kartu kredit adalah sebagai objek atau media

jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan pembayaran (qardh) serta jasa ijarah

untuk kemudahan transaksi. Perusahaan perbankan dalam hal ini sebagai issuer

5

Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada

tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&pa rent_id=296&parent_section=an020&idjudul=295

6

Wikipedia, Credit Card, diakses pada tanggal 3 Maret 2010 dari website:

(4)

92 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi card

holders dalam berbagai transaksi. Dengan demikian, menurut DSN – MUI ada

tiga akad yang digunakan dalam transaksi kartu kredit yaitu: kafalah, qardh dan

ijarah. 7

Lebih lanjut, pihak DSN – MUI menyebutkan bahwa para ulama

membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil

al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ yang didasari pada firman Allah:

“...dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72).

Kata “za’im” di penghujung ayat tersebut menurut Ibnu Abbas adalah “kafil”

sebagaimana sabda Nabi SAW.: “az-Za’im Gharim” artinya: orang yang

menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi,

Ibnu Hibban).8

Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (sukarela/voluntary) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan

(ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada

terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar

aman/jauh dari syubhat. Akan tetapi hal itu sah-sah saja kalau terutang sendiri

yang memberinya sebagai hadiah atau hibah sebagai ungkapan rasa terima

kasihnya. Namun demikian, jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan

jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan

tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa

jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim

dalam perjalanan studi, transaksi bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan

sebagainya.9 Penetapan uang jasa kafalah tidak boleh terlalu mahal sehingga

7

Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (2006), Fatwa Dewan Syari'ah Nasional

No: 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card

8Ibid 9

Setiawan Budi Utomo, Hukum Kartu Kredit Syariah, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari

(5)

93 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar

terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang

kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan

kartu kredit tertentu.10

Menurut Institut Bankir Indonesia, akad kafalah yang dimaksudkan disini

adalah akad jaminan yang diberikan oleh penjamin (kafil) kepada pihak ketiga

dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggung apabila yang ditanggung

wanprestasi.11

Akan tetapi, Rafiq Yunus al-Misry tidak setuju jika pihak pengeluar kartu

kredit dianggap sebagai kafil (penjamin) kepada pemegang kartu. Anggapan

demikian akan menjadikan akad ini sebagai kafalah bi ujr (jaminan dengan

pembayaran) melalui bayaran keanggotaan (yang dibayar dalam bentuk iuran

tahunan. Bayaran yang demikian tidak boleh dalam Islam karena kafalah sama

dengan utang dengan prinsip tabarru’ (tolong menolong). Misry berkesimpulan bahwa aqad seperti ini termasuk kedalam jenis hawalah (pindah utang).12

Sementara ulama yang mengatakan bahwa akad kartu kredit termasuk

akad wakalah beralasan bahwa pemegang kartu adalah wakil dari pengeluar kartu

agar membayar utangnya pada pedagang atau siapa saja (merchants) yang

memberi pelayanan jasa atau boleh juga dikatakan bahwa merchant mewakilkan

kepada pengeluar kartu menagih utang dari pembeli barang dalam hal ini

pemegang kartu.13

Bagi sebagian ulama yang lain, akad kartu kredit menggunakan

murabahah antara card issuer dengan card holder. Card holder sebagai pembeli

membeli barang atau jasa dari merchant sebagai wakil issuer. Barang atau jasa

tersebut kemudian dijual kembali kepada card holder oleh card issuer secara

angsuran.

10

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161.

11

Institut Bankir Indonesia (IBI), Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah,

Jakarta: Penerbit Jembatan, 2002, hlm. 239 12

Rafiq Yunis al-Misry, Bitsaqah al-I’timan Dirasah Syar’iyyah ‘Amaliyah Mujazah, Majalah

Majma’, Jilid 1 (7), hlm. 411. 13

Muhammad Abdul Halim Umar, Jawanib al-Syariyyah wa al-Masrafiyah wa al-Muhasabah li

(6)

94 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

Para fuqaha lain yang berpendapat bahwa transaksi kartu kredit

merupakan qardh beralasan bahwa dalam hal ini issuer adalah pemberi pinjaman

(muqridh) kepada card holder (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau

ATM bank issuer. Sementara yang menganggapnya sebagai akad ijarah

mengatakan bahwa issuer adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan

terhadap card holder. Atas dasar ini, card holder dikenakan membership fee.14

Transaksi dengan kartu kredit merupakan cara yang relatif baru dalam

bermuamalah, sehingga agak susah untuk menentukan jenis akad yang tepat kalau

dilihat dari pendapat ulama terdahulu. Semua pendapat diatas tidak memiliki

pedoman yang benar-benar tepat dengan jenis-jenis akad yang telah ditetapkan

oleh para fuqaha terdahulu.15

Analisis terhadap Persyaratan Awal Kartu Kredit

Menurut Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, penggunaan kartu

kredit tidak hanya memunculkan persoalan mengenai akad saja, akan tetapi juga

memunculkan beberapa permasalahan lain dalam hukum Islam yaitu mengenai

persyaratan awal atau ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara sepihak

oleh issuer, seperti persyaratan-persyaratan yang berbau riba, jumlah persentase

yang diambil oleh pihak yang mengeluarkan kartu dan denda keterlambatan.16

Untuk melihat kedudukannya dalam fiqh Islam, ketentuan-ketentuan tersebut

perlu dikaji secara komprehensif.

1. Persyaratan berbau riba.

Umumnya dalam transaksi penerbitan kartu-kartu kredit mengandung

beberapa komitmen yang berbau riba karena pada intinya komitmen tersebut

mengharuskan pemegang kartu untuk membayar denda-denda finansial yang

14

Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (2006), Fatwa Dewan Syari'ah Nasional

No: 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card

15

Nazaruddin AW, Credit Card Pada Institusi Keuangan Syariah dalam Kajian Fiqh Iqtishad,

Media Syariah, vol. VIII, 2007, hlm. 171 – 188. 16

Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada

(7)

95 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

berbau riba jika terlambat dalam membayar tagihannya atau jika card holders

tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan secara sepihak oleh

pihak issuer pada saat pembuatan/pengajuan kartu kredit. Para ulama fiqh

kontemporer berbeda pandangan dalam membahas pengaruh komitmen-komitmen

tersebut terhadap sah tidaknya transaksi pembuatan kartu-kartu kredit ini. Bagi

ulama yang membolehkan, transaksi itu dianggap sah—namun komitmennya

batal—jika nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak

terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat komitmen tersebut. Karena

syarat rusak ini pada dasarnya menurut kaca mata syariat sudah batal dengan

sendirinya. Syarat ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Para

ulama tersebut membolehkannya dengan mendasarkan kepada:

a. Hadits Nabi SAW tentang pembelian seorang budak oleh Aisyah:

Dari Ibnu Umar, dari Aisyah, bahwa ia ingin membeli seorang budak perempuan untuk dimerdekakan. Pemilik budak itu berkata: “Kami akan menjualnya kepadamu, dengan syarat hak loyalitasnya untuk kami.” Lalu Aisyah RA. menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW. dan beliau bersabda: “Syarat itu tidak dapat menghalangimu, karena hak loyalitas itu hanya untuk yang memerdekakan” (Shahih Muslim).

Hadits tersebut berasal dari Aisyah R.A, ketika beliau hendak membeli

Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan

mensyaratkan bahwa hak wala' (perwalian) budak itu tetap milik mereka.

Syarat tersebut bertentangan dengan ajaran syariat karena perwalian menurut

syariat merupakan hak orang yang membebaskannya. Hadits diatas

menjelaskan bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang

bertentangan dengan syariat terhadap akad-akad yang diperlukan secara luas

dan ia tidak mau untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat

yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak harus dibatalkan akibat dari

pemaksaan itu dan juga tidak boleh difatwakan mengenai ketidaklegalannya.

Akad tersebut tetap bisa dilaksanakan dengan mengupayakan untuk

ةشئاع

‏‏‏

نع

‏‏‏

رمع

نبا

‏‏‏

نع

‏‏‏

عفان

‏‏‏

نع

‏‏‏

كلام

‏‏‏

ىلع

تأرق

لاق

‏‏‏

ىيحي

نب

ىيحي

‏‏‏

انثدح

و‏

(8)

96 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara

berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap dengan syarat tersebut bila

dalam suatu masa dimana tidak ada penguasa yang mau atau bisa

menegakkan syariat Allah.

b. Kondisi dimana transaksi semacam itu sudah terlalu banyak terjadi di seluruh

belahan dunia seperti transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya,

yang kesemuanya menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu

apabila pihak pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda

tertentu. Namun ternyata tidak seorang ulama pun yang mengharamkan untuk

berlangganan dengan fasilitas-fasilitas tersebut, padahal syarat-syarat seperti

yang tersebut diatas ada di dalamnya.

c. Sabda Nabi SAW: "Kenapa masih ada orang yang menetapkan syarat yang

tidak berasal dari Kitabullah? Barangsiapa yang menetapkan syarat yang

bukan berasal dari Kitabullah maka persyaratannya batal, meski jumlahnya

seratus syarat." Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa pinjaman tidak begitu

saja batal karena batalnya persyaratan. Bahkan peminjaman itu tetap sah

meskipun syaratnya batal.17

Tiga hal diatas merupakan landasan utama bagi ulama yang membolehkan

transaksi tersebut diatas dilaksanakan. Sementara bagi ulama yang tidak

membolehkan (kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah), transaksi tersebut dianggap

batal. Mereka membantah dalil hadits tentang Barirah yang digunakan oleh kubu

pertama. Mereka beralasan bahwa qiyas dalam hadits itu adalah qiyas dengan

alasan berbeda. Dalam kasus Barirah, syarat (yang bertentangan dengan ajaran

syari’at) tersebut mampu dibatalkan oleh Aisyah karena kejadian tersebut terjadi disaat syariat Islam masih betul-betul menjadi panutan banyak orang dan negara

Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam serta masih memimpin dunia. Hal

inilah yang menurut mereka tidak mungkin bisa dibandingkan dengan syarat

berbau riba dalam pembuatan kartu kredit karena syarat tersebut bersandarkan

17

Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada

(9)

97 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara

dan mengingkari referensi suci Islam suci yang melibatkan agama dalam

kehidupan manusia. Mengenai transaksi pemakaian listrik dan telepon, kelompok

ulama ini juga membantahnya dengan beralasan bahwa fasilitas ini amatlah

dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia amat tergantung

kepadanya. Vitalitas hal tersebut tidak bisa dibandingkan dengan kartu kredit

karena orang bisa hidup secara wajar atau cukup wajar walau tidak menggunakan

kartu-kartu itu. Hal ini akan berbeda jika fasilitas listrik dan telepon—misalnya—

tidak dapat digunakan.

Penulis dalam hal ini sepakat dengan pendapat Abdullah al-Mushlih dan

Shalah ash-Shawi, bahwa hukum mengenai kartu kredit dengan transaksi yang

memunculkan komitmen-komitmen seperti yang tersebut diatas adalah boleh bagi

orang yang yakin bahwa ia akan mampu melunasi hutangnya atau membayarkan

tagihan kartu kreditnya sebelum atau pada saat jatuh tempo sehingga dengan

demikian ia terlepas dari konsekuensi persyaratan itu.

2. Persentase yang dipotong dari transaksi pembelanjaan oleh issuer dari

merchant.

Seperti diketahui bersama bahwa pihak yang mengeluarkan kartu kredit

(issuer) mengambil persentase tertentu dari jumlah pembayaran yang dilakukan

oleh pemegang kartu (card holders) pada saat melakukan transaksi pembelanjaan.

Issuer biasanya tidak membayar jumlah yang dibayarkan oleh card holder

seluruhnya seperti yang ada dalam rekening pembayaran, namun issuer akan

memotong jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan dengan pihak yang

menerima transaksi dengan kartu kredit (merchant). Para ahli fiqh kontemporer

berbeda pendapat mengenai kedudukan masalah secara syar'i yang paling tepat

berkaitan dengan hal tersebut. Sebagian ahli fiqh ada yang mendudukkan

persentase itu sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan pembayaran dari

nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha pengambilan hutang atau

(10)

98 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

Sebagian mengatakan bahwa persentase itu adalah upah dari jasa yang

diberikan oleh pihak bank (issuer) kepada pihak pedagang (merchant), seperti

periklanan dan bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Hal ini bisa juga

disebut sebagai upah perantara karena issuer sudah membantu mencarikan

pelanggan untuk merchant sehingga layak mendapatkan upah karenanya.

Sebagian yang lain beranggapan bahwa persentase itu merupakan kompensasi

perdamaian bersama pihak yang memberi hutang dengan jumlah yang lebih

sedikit dari yang harus dibayar, karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan

kartu dengan pihak pemegang kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian

dinyatakan boleh oleh kalangan Hanafiyah.

Sementara ada juga yang berpendapat bahwa pengambilan persentase itu

tidak mengandung syubhat sebagai riba secara mendasar karena kita dihadapkan

dengan persoalan rabat/discount, bukan tambahan harga, sehingga tidak ada hal

yang menyeretnya kepada bentuk riba.

Walaupun berbeda pandangan dalam menentukan duduk persoalan,

pengkajian fiqh kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan persentase

keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi sehingga layak

disebut sebagai upah jasa yang diberikan kepada pihak pedagang dan tergambar

langsung dalam rekening pembeliannya. Dan juga dilakukan agar dapat menarik

para pelanggan untuk membeli barang dari merchant tersebut, juga mempermudah

proses jual beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluarkan kartu itu dan pihak

bank lain yang hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah dari

pelayanan tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut

untuk kepentingan pedagang.

Di beberapa negara seperti Yordania dan Kuwait, pengambilan persentase

tersebut dianggap sebagai upah penjaminan karena menjadi penjamin dan

mediator antara pedagang dengan pemegang kartu kredit, dan juga karena mediasi

itu pihak bank menjadi sebab terjadinya banyak hal, seperti lakunya

barang-barang yang dijualnya, rasa aman yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan

kesempatan memperoleh piutang dengan selamat. Sebagaimana jaminan itu

(11)

99 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

menambah jumlah harga dan juga tidak memperhatikan jumlah harga yang

dijaminnya.18

3. Denda Keterlambatan dan Bunga Riba

Issuer biasanya menetapkan beberapa bentuk denda finansial akibat dari

keterlambatan pembayaran oleh card holders. Para fuqaha sependapat bahwa

denda semacam itu termasuk riba yang jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi.19

Dalam hukum Islam, hal itu termasuk kedalam riba nasi’ah yang keharamannya

langsung ditentukan melalui turunnya ayat al-Qur'an dan para pelakunya diancam

perang oleh Allah dan RasulNya sebagaimana firman Allah dalam QS.

Al-Baqarah ayat 279:

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu

bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak

menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Akan tetapi, menurut fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama

Indonesia No. 54/DSN-MUI/X/2006, issuer dapat mengenakan ta’widh, yaitu

ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh issuer akibat keterlambatan

yang telah jatuh tempo. Di samping itu, issuer juga dapat mengenakan denda

keterlambatan pembayaran (late charge) yang harus diakui seluruhnya sebagai

dana sosial.

Kajian Syariah terhadap Kebolehahn Kartu Kredit

18

Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada

tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&pa rent_id=296&parent_section=an020&idjudul=295

19

(12)

100 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

Daud Bakar, seorang profesor di IIUM Malaysia, berpendapat bahwa kartu

kredit tidak dikenal dalam Islam, karenanya istilah yang paling tepat digunakan

adalah kartu debit.20

Pendapat Daud Bakar tersebut menyangsikan kesyari’ahan kartu kredit

karena dilandasi pada analogi bahwa kartu kredit sama dengan menganjurkan

orang untuk berutang. Padahal di dalam Islam, berutang merupakan salah satu hal

yang tidak dianjurkan.

Hal ini merujuk pada banyak hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang

isinya adalah orang yang mempunyai utang selalu berkata bohong dan selalu tidak

pernah menepati janjinya.21 Oleh karena itu Rasulullah SAW sendiri selalu berdoa

agar dirinya selalu tidak dalam keadaan berutang. Walaupun demikian, Islam

menganjurkan agar orang yang kesulitan dalam membayar utang harus diberikan

keringanan dalam membayarnya, sebagaimana firman Allah:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,

lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”(QS. al-Baqarah 280)

Jadi, apapun jenis aqad transaksi yang digunakan dalam kartu kredit

syari’ah dan sejenisnya baik ijarah, qardh atau wadiah, secara substansi tetap menganjurkan orang untuk berutang. Hal inilah yang mendasari mengapa kartu

kredit tidak mungkin dapat disyari’ah-kan.22

Akan tetapi, Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN –

MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang hukum kebolehan kartu kredit, yaitu

20

Hal tersebut diungkapkan oleh Assoc. Prof. Dr. Mohd. Daud Bakar dalam salah satu seminar nasional di Kuala Lumpur pada tahun 2002. Daud Bakar, yang juga merupakan anggota Dewan

Syari’ah Nasional Malaysia merupakan salah satu orang yang tidak setuju dengan diberikan label syari’ah pada kartu kredit.

21

Dodik Siswantoro, Kartu Kredit: Antara Kehalalan dan Kebaikannya, diakses pada tanggal 15

Maret 2010 dari website: http://www.hidayatullah.com/opini/artikel/ 1236-kartu-kredit:-antara-kehalalan-dan-kebaikannya-

22

(13)

101 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

fatwa No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang Syariah Card (Bithaqah I’timan/Credit

Card). Pihak DSN-MUI beralasan bahwa secara prinsip kartu kredit tersebut

dibolehkan syariah selama dalam praktiknya tidak bertransaksi dengan sistem riba

yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin

lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Akad yang digunakan dalam

transaksi kartu kredit adalah kafalah, qardh, dan ijarah.

Walaupun demikian, ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh

pengguna kartu kredit tersebut, yaitu: (a) Tidak menimbulkan riba, (b) Tidak

digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah, (c) Tidak mendorong

pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu

maksimal pembelanjaan, (d) Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan

finansial untuk melunasi pada waktunya, (e) Tidak memberikan fasilitas yang

bertentangan dengan syariah.

Pertimbangan pihak DSN – MUI dalam mengeluarkan fatwa tersebut

adalah dalam rangka memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi

nasabah dalam melakukan transaksi dan penarikan tunai, sehingga Bank Syariah

dipandang perlu menyediakan sejenis kartu kredit, yaitu alat pembayaran dengan

menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas

kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi

pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai, di mana kewajiban

pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit,

dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran

tersebut pada waktu yang disepakati secara angsuran. Pertimbangan lain adalah

kartu kredit yang ada sekarang menggunakan sistem bunga (interest) sehingga

tidak sesuai dengan prinsip Syariah. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat atas kartu yang sesuai Syariah, pihak Dewan Syariah Nasional MUI

memandang perlu menetapkan fatwa tentang Syariah Card yang fungsinya seperti

kartu kredit untuk dijadikan pedoman.

Dalam membuat ketentuan ini, pihak DSN – MUI merujuk kepada

beberapa dalil di antaranya firman Allah SWT dalam:

(14)

102 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

“Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu)

dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”

2. QS. al-Isra’ 34:

“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya

janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”

3. QS. Yusuf 72:

Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang

dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban

unta, dan aku menjamin terhadapnya."

(15)

103 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu

membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Selain itu, DSN – MUI juga merujuk kepada Hadits Nabi S.A.W. antara

lain: “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin

terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal

atau menghalalkan yang haram” (HR Tirmidzi). Kemudian, “Tidak boleh

membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain” (HR. Ibnu Majah

dan al-Daraquthni).

Selanjutnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Telah

dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. jenazah seorang laki-laki untuk dishalatkan.

Rasulullah bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’.

Maka, beliau menshalatkannya. Kemudian dihadap-kan lagi jenazah lain,

Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Shalatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau

menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.”

Kemudian pada hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Hibban:,

“Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung utang)”. , selanjutnya hadits riwayat Abu Dawud: “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran)

hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan

memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.” Juga pada

hadits riwayat Abd ar-Razzaq: “Barang siapa mempekerjakan pekerja,

beritahukanlah upahnya.”, kemudian hadits riwayat Muslim: “Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan

kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia

(suka) menolong saudaranya”, hadits riwayat Jama’ah: “…Menunda-nunda

(16)

104 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

(pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu, menghalalkan harga diri dan

memberikan sanksi kepadanya serta hadits riwayat Bukhari: “Orang yang terbaik

di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.”

Selain kepada al-Qur’an dan al-Hadits, pihak DSN – MUI juga menggunakan

beberapa kaidah fiqh sebagai dasar fatwa, antara lain:

a. “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada

dalil yang mengharamkannya.”

b. “Kesulitan dapat menarik kemudahan.”

c. “Keperluandapat menduduki posisi darurat.”

d. “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu

yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat).”

e. “Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan)

atas mendatangkan kemaslahatan.”

Selain itu, keputusan fatwa tersebut diambil setelah mempelajari pendapat

fuqaha’ dan fatwa di dunia internasional antara lain Imam al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin, jilid III, hal. 77-78; Khatib Syarbaini dalam kitab

Mughni al-Muhtaj, jilid III, hal. 202; As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab, juz

I, Kitab al-Ijarah, hal. 394; Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah, jilid 4, hal.

221-222; Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh Syaikh

‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam, jilid 5, hal. 542-543.

Adapun fatwa lain yang menjadi rujukan adalah Keputusan Hai’ah al

-Muhasabah wa al-Muraja’ah li-al-Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain,

al-Ma’ayir al-Syar’iyah Mei 2004: al-Mi’yar al-Syar’i, nomor 2 tentang Bithaqah

al-Hasm wa Bithaqah al-I’timan. Demikian pula fatwa-fatwa DSN-MUI terkait

yaitu (a) No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, (b)

No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah, (c) No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas

Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran, (d)

No.19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh; (e) No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh.

(17)

105 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa

Nomor, 3675, 5832, dan Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 7425.

Penutup

Pada bagian akhir tulisan ini akan diberikan beberapa kesimpulan yang

didasarkan pada kajian pendapat diatas disertai dengan analisis dari penulis

sendiri.

Secara umum, menurut kebanyakan pendapat dari ulama-ulama terkemuka

bahwa transaksi-traksaksi kartu kredit dapat dimasukkan kedalam akad kafalah,

wakalah, hawalah, qardh, dan ijarah. Akad-akad tersebut hukumnya boleh dan

penggunaannya disesuaikan dengan transaksi yang terjadi. Akan tetapi, jika dalam

praktik—baik syarat maupun unsur utama lainnya—masih terdapat unsur gharar,

ghubun dan riba, maka hukumnya menjadi haram. Wallahualam

Daftar Pustaka

Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah. or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&parent_id=296&parent_section=an020 &idjudul=295

Ahmad Zain An-Najah, Konsultasi Fiqh Kontemporer: Hukum Menggunakan Kartu Kredit, diakses pada tanggal 5 Maret 2010 dari website:

http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fiqih/ 10434-hukum-menggunakan-kartu-kredit-

Bank Negara Indonesia, BNI Hasanah Card, diakses pada tanggal 17 Maret 2010 dari website: http://www.bni.co.id/Syariah/BNIHasanahCard/ BNIHasanah Card/tabid/376/Default.aspx

---, Kartu Kredit: Memberi Makna dalam Setiap Transaksi, diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari website: http://www.bni.co.id/KartuKredit/ tabid/162/Default.aspx

Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (2006), Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card

Dodik Siswantoro, Kartu Kredit: Antara Kehalalan dan Kebaikannya, diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari website: http://www.hidayatullah.com/ opini/artikel/

(18)

106 Jurnal al-Muashirah, vol. 7, no. 1, 2010

Institut Bankir Indonesia (IBI), Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Penerbit Jembatan, 2002.

Muhammad Abdul Halim Umar, Jawanib Syariyyah wa Masrafiyah wa al-Muhasabah li bitsaqat al-I’timan, Qahirah: Itrak li an-Nashr wa al-Tawzi, 1997.

Nazaruddin AW, Credit Card Pada Institusi Keuangan Syariah dalam Kajian Fiqh Iqtishad, Media Syariah, vol. VIII, 2007.

Rafiq Yunis al-Misry, Bitsaqah al-I’timan Dirasah Syar’iyyah ‘Amaliyah Mujazah, Majalah Majma’, Jilid 1 (7), tt.

Setiawan Budi Utomo, Hukum Kartu Kredit Syariah, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.dakwatuna.com/2009/hukum-kartu-kredit-syariah/

Sullivan, Arthur & Steven M. Sheffrin, Economics: Principles in Action. Upper Saddle River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall, 2003.

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik multivariat membuktikan bahwa dengan memperhitungkan variabel riwayat pajanan asap obat nyamuk dan

Jum1ah spesies ikan yang ditemukan selama penelitian berturut-turut ialah 56 jenis ikan di Danau Sababilah (Gambar 2), 27 jenis di Danau Raya (Gam bar 3), dan 51 jenis ikan di

Menggali kemampuan mahasiswa dengan memberi pertanyaan mengapa membahas pengertian, karakteristik dan jenis pelanggan3. Menjelaskan tentang pengertian, karakteristik dan

BAB III :PENYAJIAN DATA, yang berisikan tentang data Gejala/Perilaku Negatif Siswa SMK Bandar Sri Damansara II yang Mengalami Masalah Rasa Tidak Percaya Diri

Penelitian ini mendalami bagaimana strategi untuk menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0 yang disusun oleh Perguruan Tinggi (STIA LAN Jakarta, Sekolah Vokasi UGM

A Jobbik és Vona Gábor a korszak kiemelkedő aktora, ám a nemzeti radikális közösség válto- zatosabb annál, hogy csak velük azonosítsuk.. Így választásom olyanok

Sehubungan dengan pelaksanaan pelelangan pekerjaan Pengadaan Computer Servo Hydraulic Universal Testing Machine PPPPTK Bidang Bangunan dan Listrik , dimana perusahaan saudara

Penelitian ini bertujuan untuk mencari pengaruh luas lahan, pengeluaran pemerintah untuk irigasi, jumlah tenaga kerja sub sektor tanaman pangan, dan jumlah benih