• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Bagi Whistleblower Da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perlindungan Hukum Bagi Whistleblower Da"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) dan sekaligus sebagai permasalahan yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Dikatakan merupakan permasalahan yang diahadapi oleh semua negara karena korupsi memiliki dampak negatif yang multi dimensional, yaitu menghancurkan berbagai sisi kehidupan dari sebuah negara seperti dalam sektor ekonomi, ekonomi sebuah negara akan hancur karena korupsi, karena uang yang semula ditujukan untuk kesejahteraan rakyat justru menjadi milik seseorang atau kelompok tertentu.

Dibutuhkan upaya yang sangat luar biasa untuk memberantas kejahatan ini. Banyak permasalahan yang dihadapi oleh berbagai negara. Hal ini karena korupsi pada umumnya dilakukan oleh seseorang yang notabene adalah pejabat negara atau pemegang kekusaan, dan bahkan tidak menutup kemungkinan korupsi ini dilakukan secara bersamaan dan terorganisir (organized crime). Akibatnya adalah sukarnya pemberantasan dan pembuktian terhadap tindak pidana korupsi.

Berbagai negara telah bekerjasama untuk memberantas kejahatan ini dan menganggap tindak pidana korupsi sebagai musuh umat manusia (hostis humanis generis), diantaranya adalah mengadakan konvensi yaitu dalam UNCAC (United Nation Convention Against Corruption) atau Konvensi PBB tentang korupsi. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi tersebut dan mengesahkannya menjadi Undang-undang nomor 7 tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi. Selain itu terdapat instrumen hukum lain yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

(2)

Penegakan hukum harus dilaksanakan oleh berbagai pihak, bukan hanya aparat penegak hukum, tapi juga masyarakat umum. Dalam hal ini masyarakat juga berperan penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mereka bisa berperan secara langsung dengan cara melaporkan tindak pidana korupsi kepada aparat penegak hukum, baik yang diketahui secara langsung maupun yang tidak langsung. Upaya ini sangat membantu kinerja aparat penegak hukum kita. Namun disisi lain masyarakat terkesan pasif dan enggan melaporkan, hal ini disebabkan perlindungan hukum terhadap whistleblower (pelapor) yang masih sangat kurang di Indonesia, baik dari sisi regulasi maupun dari penegakan hukum.

1.2. Perumusan masalah

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap whistleblower di berbagai negara?

2. Bagaimana upaya dan peluang perlindungan hukum terhadap whistleblower dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia?

1.3. Uraian singkat gagasan

(3)

1.4. Tujuan

1. Mendeskripsikan perlindungan hukum terhadap whistleblower di berbagai negara.

2. Menganalisis upaya dan peluang perlindungan hukum terhadap whistleblower dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia

1.5. Manfaat

a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi terhadap pemmberian perlindungan hukum terhadap whistleblower dalam tindak pidana korupsi.

b. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam rangka pemmberian perllindungan hukum terhadap whistlebower yang dalam tindak pidana korupsi.

1.6. Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analitis. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti1. Dengan menggunakan jenis penelitian ini penulis ingin memberi gambaran secara sistematis dan menyeluruh tentang pemberian perlindungan hukum kepada whistleblower dalam tindak pidana korupsi.

1

(4)

BAB II

TELAAH PUSTAKA 2.1. Korupsi

2.1.2. Pengertian tindak pidana korupsi

Korupsi berasal dari kata ‘’corruptio’’ atau ‘’corruptus’’ yang memiliki arti kerusakan atau kebobrokan2. Secara harfiah korupsi berarti kebusukan, keburukan. Korupsi dalam arti hukum adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela.

2.1.3. Unsur-unsur tindak pidana korupsi

Tindak pidana korupsi atau yang disebut sebagai perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau suatu golongan merupakan sebuah tindakan yang sangat merugikan orang lain, bangsa dan negara. Adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi apabila diliat pada pasal 2 ayat (1) undang-undang no.31 tahun 1999 yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun3. Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Yang dimaksud dengan

2

Margaretha Yesicha, Pemiskinan Korupsi Sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tipikor, (Yogyakarta:2014), Jurnal Universitas Atma Jaya, hal 7.

3

(5)

‘’keadaan tertentu’’ adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan-keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi. Unsur tindak pidana korupsi antara lain4:

1. Setiap orang adalah orang atau perseorangan atau termasuk korporasi. Dimana korporasi tersebut artinya adalah kumpulan orang yang terorganisir.

2. Melawan hukum, yang dimaksud melawan hukum adalah suatu tindakan dimana tindakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Hal ini merupakan implikasi dari pasal 1 ayat (1) Kitab undang-undang hukum pidana.

3. Tindakan, yang dimaksud tindakan dalam uu tipikor adalah suatu perbuatan yang dimana dilakukan oleh diri sendiri atau suatu korporasi. Tindakan disinilah yang sangat jelas merupakan negara.

2.2. Whistleblower

2.2.1. Tinjauan umum whistleblower

Sejarah dari whistleblower pertama kali muncul di Inggris, yaitu ketika praktek petugas Inggris yang akan meniup peluit ketika merekka melihat kejahatan, peluit juga akan memberitahu aparat penegak huku lainnya dan masyarakat umum dari bahaya5. Sehingga kemudian whistleblower dikonotasikan sebagai ‘’peniup

peluit’’. Apabila diposisikan di Indonesia, bisa dianalogikan sebagai ‘’pemukul kentongan’’, dimana pemukulan kentongan aparat pengamanan tradisional (patroli

keliling) memberikan tanda pemberitahuan bahwa telah terjadi suatu peristiwa baik

4

Brian Siahaan , Kajian Yuridis Tentang Saksi Pengungkap Fakta, (Medan:2015), Jurnal Lex Crimen, hal 1.

5

(6)

berrupa kejahatan maupun bencana. Oleh karena itu berdasarkan kedua konotasi tersebut dapat dikatakan bahwa whistleblower identik dengan pengungkap fakta atau pembocor sebuah rahasia.

Dalam penafsirannya whistleblower diartikan dalam berbagai pengertian. Mulyana Wirakusumah menyebutkan whistleblower sebenarnya bukan hanya dikenal dalam sistem peradilan pidana, akan tetapi juga dalam lingkungan lain, seperti perusahaan sebagai upaya mewujudkan good corporate governance. Para whistleblower bukan sekedar tukang mengadu, akan tetapi saksi suatu kejahatan.

Floriano C.Roa menyebutkan bahwa, ‘’ A whistleblower is someone in an organization who witnesses behavior by members that is either contrary to the mission of the organization, or threatening to the public interest, and who decidesto speak out publicity about it’’. Yang diartikan ‘’peniup peluit adalah seseorang dalam suatu organisasi yang menyaksikan perilaku anggota organisasi yang dapat bertentangan dengan tujuan organisasi atau perilakunya merupakan ancaman terhadap kepentingan umum dan peniup peluit memutuskan untuk menyampaikan hal-hal tersebut.

Sementara itu Imam Thurmudhi berpendapat bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai whistleblower pada dasarnya adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri suatu tindak pidana atau pelanggaran, sehingga dengan iktikad baik mengungkapkan kepada public atau melaporkan kepada pejabat yang berwenang6. Namun penilaian iktikad baik yang dimaksudkan memiliki nilai yang sangat subjektif, bisa saja niat atau kepentingan tertentu yang mendasari pengungkapan fakta yang dilakukan oleh whistleblower , dengan perhitungan untung dan rugi dari pengungkapan tersebut bisa saja seseorang terdorong untuk menjadi whistleblower.

6

(7)

Mardjono Reksodipuro menyebut whistleblower sebagai pembocor rahasia atau pengadu7. Adapun yang dimaksud pembocor rahasia atau pengadu tersebut adalah seseorang yang membocorkan informasi yang sebenarnya bersifat rahasiadi kalangan dimana informasi itu bermacam-macam. Di Indonesia, informasi yang diharapkan dibocorkan adalah informasi tentang kegiatan-kegiatan yang tidak sah, melawan hukum ataupun bertentangan dengan moral yang baik. Si pembocor sendiri adalah orang dalam di organisasi tersebut, dia dapat terlibat ataupun tidak terlibat dalam kegiatan yang dibocorkan. Karena dia adalah orang dalam maka dia menempuh resiko dengan perbuatannya.

Quentin Dempster8, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan whistleblower adalalah peniup peluit, disebut demikian karena seperti wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta di lapangan, atau polisi lalu lintas yang hendak melakukan tilang kpada seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan, atau seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul, membocorkan atau mengungkapkan fakta kejahatan, kekerasan atau pelanggaran, pada intinya Quentin Dempster menyebut whistleblower sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada public mengenai sebuah skandal, malpraktik, atau korupsi.

Bertolak belakang dari pendapat para ahli tentang pengertian whistleblower, dalam perkembangannya whistleblower dijelaskan mengenai pengertian whistleblower di beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di Dalam SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) dijelaskan No. 4 Tahun 2011 yang dimaksud dengan whistleblower adalah pelapor tindak pidana. Sedangkan dalam undang-undang No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan bahwa pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan

7

Mardjono Reksodipuro, Pembocor Rahasia/Whistleblower Dalam Menanggulangi Kejahatan Di Indonesia, Wacana Goverminyboard, Jakarta, hal 13.

8

(8)

kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi9.

2.2.2. Peran whistleblower di Indonesia

Tindak pidana korupsi di Indonesia menunjukkan skala yang sangat tinggi. hal ini berimplikasi terhadap pengungkapan kasus-kasus korupsi untuk keluar dari cara-cara konvensional. Adapun salah satu cara untuk mengungkap tindak pidana korupsi tersebut yaitu dengan adanya whistleblower. Hal ini akan memudahkan kinerja aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.

Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan suatu isu bagi pengungkapan korupsi maupun mafia peradilan. Yang dikatakan whistleblower itu benar-benar didukung oleh fakta konkret, bukan semacam rumor. Penyidik atau penuntut umum jika ada laporan seorang whistleblower harus hati-hati dalam menerimanya, tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu diterima, melainkan harus diuji terlebih dahulu.

Whistleblower berperan untuk memudahkan pengungkapan tindak pidana korupsi, karena whistleblower itu merupakan orang dalam sebuah institusi dimana diduga sebuah praktek korupsi terjadi. Sebagai orang dalam maka whistleblower memahami kronologi perkara korupsi.

2.2.3. Kedudukan whistleblower dalam sistem peradilan pidana

9

(9)

Para whistleblower sangat rentan akan intimidasi dan ancaman bahkan cenderung menjadi sasaran kriminalisasi sebagai pelaku kejahatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, sehinggaakhirnya mereka dituntut dan dihukum, padahal mereka ini adalah kunci dari pemberantasan korupsi. Hal ini adalah wajar karena eksistensi whistleblower kurang mendapatkan perlindungan dalam sistem peradilan pidana.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu diantara beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang whistleblower belum memadai terkait dengan perlindungan hukum kepada whistleblower. Jika dari segi normative atau segi peraturan sudah tidak memadai, maka sudah dapat dipastikan bahwa pengaplikasiannya juga tidak akan berjalan dengan baik.

Dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang hukum acara pidana juga dijelaskan beberapa istilah yang memiliki kaitan dengan whistleblower yaitu ‘pelapor’ (pasal 108 KUHAP), ‘pengadu’ (pasal 72 KUHAP),

‘saksi korban’(pasal 100 KUHAP). Menurut perspektif sistem peradilan pidana

(10)

BAB III

ANALISIS DAN SINTESIS

3.1. Perlindungan hukum whistleblower di berbagai negara

3.1.2. Amerika Serikat

Di Amerika Serikat terdapat sebuah undang-undang yaitu whistleblower protection art tahun 1989 atau sering disebut WPA. Undang-undang ini melarang pembalasan terhadap pegawai federal yang mengungkap terjadinya pelanggaran hukum, pemborosan anggaran, penyalahgunaan kekuasaan, dan keselamatan publik.

Berdasarkan UU tersebut pengungkapan dapat dilakukan terhadap pihak manapun. Proses pengungkapan akan dilindungi. Terhadap whistleblower yang dikenai sanksi atau tindakan kepegawaian tertentu sebagai akibat dari tindakannya, dapat mengadukan kepada Merit System(Peradilan Tata Usaha Negara).

UU perlindungan whistleblower juga mengatur dan memberikan hak kepada whistleblower untuk mendapatkan pemulihan, termasuk pembayaran kembali, ganti rugi. Lembaga yang bertugas untuk melaksanakan perlindungan hukum terhadap whistleblower adalah Kantor Penasihat Khusus (Office of the Special Counsel)10.

3.1.3. Australia

Australia baru memiliki undang-undang yang mengatur tentang whistleblower pada tahun 2004 yaitu tentang Workplace Relations Amendment Act 2004. Mekanisme pengungkapan di Australia di serahkan kepada Ombudsman, Police Complaints Authority and the Anti Corruption Branches.

10

(11)

Perlindungan hukum yang didapatkan whistleblower antara lain adalah11 :

1. Tidak dapat dituntut secara perdata, pidana, dan administratif karena melakukan pengungkapan.

2. Merugikan atau mencoba atau bersekutu untuk merugikan whistleblower dinyatakan sebagai suatu balas dendam dan melanggar hukum menurut hukum pidana, dan perdata.

3. Pekerja yang melapor diberi hak tambahan untuk memohon kepada Komisioner urusan layanan public agar kerjanya dipindah dengan tujuan menghindari balas dendam.

3.2. Perlindungan hukum whistleblower di Indonesia

3.2.1. Instrumen perlindungan whistleblower

a. UNCAC (United Nation Convention Against Corruption)

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini merupakan instrument hukum internasional tentang perlindungan hukum terhadap whistleblower, terutama yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi. Hal ini tercantum dalam Article 37 section 3 tentang Cooperation with law

enforcement authorities yang menjelaskan ‘’Each State Party Shall consider providing for the possibility, in accordancewith fundamental principles of the domestic aw, of granting immunity form prosecution to a personwho provides substansial cooperation in the investigation of an offence established in accordance with this convention’’. (setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari

11

(12)

penuntutan bagi orang-orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan). Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasi konvensi ini menjadi undang-undang nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan konvensi PBB anti korupsi.

b. SEMA No. 4 Tahun 2011

SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) ini mengatur tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Dalam SEMA ini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan whistleblower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang telah dilaporkannya. Dari definisi ini pula dapat disimpulkan syarat untuk menjadi seorang whistleblower. Selain itu dijelaskan juga perlakuan berbeda terhadap whistleblower, yaitu apabila pelapor dilaporkan oleh terlapor, maka penanganan perkara atas tindak pidana pelapor didahulukan daripada laporan yang diajukan kembali oleh terlapor.

c. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-undang ini merupakan perubahan atas undang-undang nomor 13 tahun 2006 yang mana didalamnya mengatur mengenai pelapor. Yang

(13)

d. Peraturan bersama Kemenkumham, Jaksa Agung, Polri, KPK, dan LPSK Tentang perlindungan bagi saksi pelapor, pelapor, dan pelaku yang bekerjasama.

Peraturan bersama ini mengatur tentang pelapor, yang dimaksud dengan pelapor adalah orang yang mengetahui dan memberikan laporan serta infformasi tentang terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana tertentu kepada penegak hukum dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.

3.2.2. Analisis dan hambatan perlindungan whistleblower

Whistleblower memiliki peran yang sangat signifikan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, terlebih apabila sebuah tindak pidana korupsi dilakukan secara terorganisir. Di Indonesia sendiri sangat kontradiktif, karena angka korupsi sangat tinggi dan peran whistleblower kurang begitu menonjol. Padahal hal ini merupakan sebuah sarana bagi masyarakat untuk meningkatkan partisipasi publik dan transparansi. Fenomena ini merupakan implikasi dari kurangnya perlindungan hukum terhadap whistleblower. Bahwasanya dari beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang whistleblower belum ada yang secara spesifik memberikan perlindungan hukum terhadap whistleblower. Kekurangan tersebut tercermin dari beberapa peraturan perundang-undang yang telah disebutkan di sub-bab sebelumnya, diantaranya:

a. SEMA No.4 Tahun 2011

(14)

peradilan pidana dimulai dari tahap penyidikan dan penuntutan sebelum masuk ke dalam persidangan.

b. Peraturan bersama Kemenkumham, Jaksa Agung, Polri, KPK, dan LPSK Tentang perlindungan bagi saksi pelapor, pelapor, dan pelaku yang bekerjasama.

Peraturan bersama ini bertujuan untuk menyamakan persepsi antar lembaga penegak hukum. Satu hal utama yang menjadi sorotan adalah whistleblower dapat dituntut oleh terlapor atas laporan yang diajukannya. Ini sangatlah tidak adil, mengingat whistleblower merupakan sebuah kunci dalam penberantasan tindak pidana korupsi.

c. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-undang ini diibaratkan sebuah perisai baja yang telah rapuh. Diibaratkan seperti itu karena undang-undang ini diharapkan mampu memberikan perubahan atas perlindungan whistleblower di Indonesia. Terdapat banyak kelemahan dalam undang-undang ini, diantaranya adalah:

(15)

bawahan atau pegawai biasa yang melaporkan perbuatan atasan, hal ini riskan karena pegawai tersebut dapat dirotasi bahkan dipecat. selain itu dijelaskan bagaimana upaya LPSK apabila hal tersebut terjadi, apakah dapat mengembalikan pekerjaan atau posisi seorang whistleblower seperti sebelumnya.

2. Whistleblower dapat dituntut kembali. Dalam pasal 10 ayat (1) dijelaskan:

‘’saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan dengan iktikad baik’’.

Sedangkan dalam pasal 10 ayat (2) berbunyi:

‘’dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap’’.

Dalam pasal 32 A ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan;

‘’dalam hal tindak pidana yang dilaporkan atau diungkap oleh saksi pelaku dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak terbukti, tidak menyebabkan batalnya perlindungan bagi saksi pelaku tersebut’’.

(16)

Kemudian adalah terkait dengan pasal 32 ayat (2) yaitu tentang perlindungan terhadap justice collaborator/pelaku yang bekerjasama. Justice collaborator mendapatkan perlindungan apabila keterangan yang diberikan tidak terbukti dalam persidangan, namun untuk whistleblower tidak mendapatkan perlindungan apabila laporannya tidak terbukti. Selain itu, apabila pelapor dituntut secara pidana dan ternyata tuntutannya tebukti tidak diatur mengenai perlindungan dan keringanan pidana yang akan diterima.

3. Penanganan khusus yang kurang

Whistleblower dan justice collaborator mendapatkan perlakuan yang berbeda, justice collaborator mendapatkan penanganan khusus serta mendapatkan penghargaan , sedangkan whistleblower tidak mendapat penanganan secara khusus dan penghargaan atas keberanian yang diungkapkannya, ini sangat bertentangan dengan semangat whistleblower.

4. Kesaksian whistleblower

Status dan posisi whistleblower merupakan keadaan yang rawan, bahkan ketika whistleblower memberika keterangan selama persidangan berlangsung. Dalam undang-undang ini tidak dijelaskan bahwa dalam memberikan kesaksian, whistleblower tidak harus hadir dalam persidangan, dan bertemu dengan terdakwa.

5. Identitas whistleblower

(17)

diaturnya perlindungan atas identitas baru tersebut, yang dikhawatirkan akan dikenakan perbuatan pemalsuan.

6. Mekanisme pelaporan (whistleblowing system)

Tidak diatur mengenai bagaimana mekanisme pelaporan terhadap tindak pidana korupsi sepertimana terdapat pada UU KPK dalam pasal 16 sama `pasal 17. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan besar bagaimana mekanismenya.

7. Sifat penting laporan

Untuk dapat menjadi whistleblower diperlukan beberapa kriteria, salah satunya adalah pentingnya laporan. Tidak dijelaskan bagaimana parameter pentingnya laporan tersebut, ini akan menimbulkan kontradiksi, apabila keterangan atau laporan tersebut dianggap tidak penting, maka tidak mendapatkan perlindungan hukum.

8. Kelembagaan

Bahwasanya yang memiliki wewenang untuk pelaporan dan perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Apabila 2 lembaga yang berwenang untuk perlindungan whistleblower dapat menyebabkan sengketa kewenangan antar lembaga, mengingat Korupsi merupakan bidang dari KPK, dan LPSK dalam UU perlindungan saksi dan korban merupakan pasal baru.

3.2.3. Alternatif pemecahan masalah whistleblower di Indonesia

(18)

1. Kebijakan legislatif

Melakukan perubahan terhadap undang-undang nomor 31 tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban, khususnya mengenai pengaturan whistleblower. Jika undang-undang ini dirubah dan disempurnakan, maka dalam praktek penegakan hukum juga akan menimbulkan keteraturan.

2. Kebijakan kelembagaan

Mengingat esensi dari whistleblower berbeda dengan saksi biasa, karena itu diperlukan lembaga yang secara khusus/independen untuk menangani whistleblower. Selain itu fungsi whistleblowing system dapat diletakkan dalam sebuah lembaga integral yang menangani perlindungan , hal ini guna menyiasati agar tidak terjadi sengketa kewenangan antara LPSK, KPK, dan PPATK.

3. Kebijakan infrastruktur.

(19)

BAB IV

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1. Simpulan

Whistleblower memiliki arti sebagai peniup peluit, hal ini merupakan sebuah konotasi bahwasanya whistleblower merupakan seseorang pengungkap fakta, atau sering disebut masyarakat umum dengan kata pelapor. Whistleblower dapat menjadi langkah strategi dalam pmberantasan tipikor, namun yang terjadi di Indonesia adalah kurangnya perlindungan hukum terhadap whistleblower menyebabkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengungkapan tipikor.

Ditinjau dari beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan whistleblower, semuanya tidak cukup memberikan perlindungan kepada whistleblower. Terdapat berbagai kelemahan-kelemahan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan cara :

a. Kebijakan legislatif b. Kebijakan kelembagaan c. Kebijakan infrastruktur

4.2. Rekomendasi

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Yesica, Margaretha. 2014. Pemiskinan Korupsi Sebagai Salah Satu Hukuman Alternatif Dalam Tipikor. Yogyakarta.Jurnal.Universitas Atma Jaya.

Siahaan, Brian. 2015. Kajian Yuridis Tentang Saksi Pengungkap Fakta. Medan.Jurnal Lex Crimen.

Mardjono Reksodipuro.Pembocor Rahasia/Whistleblower Dalam Menanggulangi Kejahatan Di Indonesia. Wacana Goverminyboard.Jakarta,

Dempster, Q. 2006. Whistleblower (Para Pengungkap Fakta). Jakarta:Elsam.

Turmudhi, Imam. 2011. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus Korupsi Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tesis. Universitas Indonesia.

Buku Whistleblower. 2011. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.Jakarta, Undang- undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

Referensi

Dokumen terkait

Hal lain yang berubah dari tipologi fasade Masjid Jami’ Malang di tahun 1950 adalah menara yang sebelumnya memiliki tinggi yang tidak melebihi tinggi atap ruang inti,

PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI PENGOLAHAN DATA LAYANAN SERVICE KENDARAAN PADA STEEL MOTOR PADANG DENGAN MENGGUNAKAN BAHASA PEMROGRAMAN JAVA YANG DIDUKUNG

telah lama menggunakan jasa studio mengenerate fitur­fitur yang berelasi dengan kebutuhan dalam rangka memelihara/mempertahankan hubungan baik pelanggan dengan perusahaan

Pengaturan Merger baru diatur secara lengkap dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang dig anti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Dalam penulisan ilmiah ini penulis akan menjelaskan tentang pembuatan sebuah animasi tiga dimensi yang mengangkat sebuah materi yaitu mengenai planet bumi. Animasi

Sementara itu yang mengalami tren nilai ekspor negatif, atau dengan kata lain nilai ekspor cenderung menurun adalah komoditas-komoditas olahan pertanian, karena industri

Gambar 1. Model Revoliusi Mental Pada Lingkungan Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal.. nesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah- daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan,

Kemampuan ikan untuk menggunakan oksigen tergantung dari tingkat toleransi ikan terhadap perubahan lingkungan, suhu air, pH, konsentrasi CO 2 dan hasil metabolisme seperti