BAB II
PERAN WHISTLEBLOWER DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DI INDONESIA
A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Sejarah Korupsi di Indonesia
Tidak bisa dipastikan bermulanya korupsi di Indonesia sejak kapan, akan tetapi munculnya korupsi di Indonesia memberi pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat dan menjadi suatu gejala masyarakat yang menular dengan begitu lancar dan cepat kepada masyarakat lain. Perkembangan ini kemudian membuat suatu penyakit di masyarakat, sebagaimana penyakit di tubuh manusia begitu juga korupsi kemudian menjadi penyakit yang mudah menular kemana-mana.
Pada umumnya permasalahan korupsi terdapat hampir di semua negara di dunia, yang pada dasarnya mempunyai maksud yang sama yaitu mengandung arti yang kurang baik dan merugikan keuangan negara serta masyarakat.46 Indonesia juga mengalami masalah yang sama dan menjadi sangat meluas akibat kurangnya kontrol sosial dan hukum dalam mencegahnya.
Hal ini sebenarnya sudah dimulai sejak masa sebelum kedatangan penjajah Belanda di Indonesia, yaitu zaman kerajaan-kerajaan yang memerintah di Indonesia. Dimana pada masa ini raja-raja dahulu sudah terjadi kasus korupsi hanya saja bentuknya tidak sama dengan korupsi dinegara modern. Kemudian pada masa penjajahan Belanda masuk ke Indonesia, pengaruh kekuasaan Belanda
46
di Indonesia begitu rentan dan memberi pengaruh yang sangat sulit dikontrol karena tidak ada kontrol politik dari legislatif. Korupsi pada masa ini semakin berkembang dan semakin sulit diatasi. Kemudian semakin berkembang pada masa orde lama, orde baru dan sampai sekarang.
Ditinjau dari sejarah perundang-undangan pidana korupsi, bagaimanapun juga perlu dilihat jauh kebelakang yaitu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi hukum pidana yang berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi yang berlaku sejak 1 januari 1918.47 Di masa ini, bentuk-bentuk korupsi yang terjadi masih sangat sederhana, seperti terlihat dalam pasal-pasal KUHP.48
Istilah korupsi kemudian hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Tapi kehadiran korupsi di Indonesia itu sudah ada sejak masa penjajahan kolonial Belanda di Indonesia. Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dimana kemudian undang-undang ini dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya sejak tanggal 16 Agustus 1999 undang-undang ini digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31
47
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Rajagrafindo Persada , Jakarta, 2005, hal. 33
48
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan akan berlaku efektif 2 tahun kemudian yaitu pada tanggal 16 Agustus 2001 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001. Peraturan-peraturan ini lahir sesuai dengan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia juga dikenal pada beberapa masa, seperti pada masa era orde lama,49 orde baru dan era reformasi sampai sekarang.50
Perkembangan korupsi yang semakin pesat menuntut juga adanya permbaharuan hukum yang jauh lebih maju dan lebih bisa mengendalikan setiap perbuatan-perbuatan korupsi tersebut. Sejak tahun 1997 Negara Republik Indonesia mengalami krisis ekonomi yang disusul dengan krisis moneter. Kemudian disadari bahwa Negara republik Indonesia mengalami krisis multidemnsi sebagaimana dimuat dalam pertimbangan Ketetapan MPR (TAP)
49
Pada era orde lama, dibawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi. Yang pertaman adalah Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang dipimpin oleh AH Nasution dan dibantu oleh Prof. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Salah satu tugas PARAN saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan, istilah sekarang mungkin daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada PARAN akan tetapi langsung kepada presiden. Usaha PARAN akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas PARAN akhirnya diserahkan kembali pemerintah (Kabinet Juanda).PARAN ini kemudian diganti menjadi Operasi Budhi melalui Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963, dimana tugasnya menjadi lebih berat, yaitu membawa dan meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Kemudian PARAN dibubarkan dan diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR), namun tidak berkembang pesat. Lihat pada
http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-dari-dulu-hingga-kini Diakses pada Tanggal 28 Maret 2016.
50
MPR Nomor IV/MPR.1999. Krisis mencakup antara lain krisis krisis hukum, krisis integritas bangsa, krisis mental termasuk krisis kejujuran. Gerakan reformasi yang menumbangkan pemerintah Soeharto (orde baru) menuntut, antara lain ditegakkan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.51
Saat ini yang terjadi adalah korupsi menjadi satu hal yang berkembang semakin canggih. Perbuatan korupsi bukan makin surut dan berkurang, akan tetapi semakin marak dan canggih serta menyebar kesegala lapisan penyelenggara negara mulai dari kalangan elit sampai kepada pegawai terendah. Sesuatu yang baru yang dahulu cukup langka yaitu korupsi selain dulakukan oleh eksekutif dan yudikatif, sekarang sudah merambat ke pihak legislatif dengan parpolnya dan auditif, sehingga menjadi konprehensif dan sempurna kejahatan korupsi di Indonesia.52
Sampai sekarang, perbuatan korupsi sudah begitu meratanya di negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dan akibat yang bisa dilihat bersama saat ini adalah begitu sulitnya bernegara dalam rangka menyejahterakan masyarakat rakyat banyak betul-betul menjadi semakin keropos dan hanya tinggal tulang belulang yang sudah sangat rapuh. Kehidupan masyarakat kebanyakan semakin sulit dan kualitasnya menurun. Orang miskin betul menjadi berkurang, tetapi dilain pihak orang sengsara semakin bertambah. Komisaris dan Dewan Direksi Badan Usaha Milik Negara berlomba-lomba menaikkan gaji dan fasilitasnya dengan dalih peningkatan kinerja. Hampir semua elit birokrat di pemerintah memikirkan kesejahteraan dirinya sendiri dengan beberapa teknik canggih baik
51
Laden Marpaung, Op.cit, hal. 11 52
secara legal yang illegal maupun illegal untuk menaikkan penghasilannya. Tidak ketinggalan wakil-wakil yang terhormat diparlemen berlomba-lomba untuk memperjuangkan menaikkan penghasilannya, yang pendapatannya 40 jutaan rupiah tidak puas dan tidak risih untuk menuntut menjadi 80 jutaan.53
Melihat kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia yang masih sangat timpang, maka perlunya menyelesaikan masalah korupsi ini dengan segera. Hukum dan masyarakat harus bekerja sama dengan baik, dimana hukum harus mampu memberikan kepastian dan memahami setiap bentuk kejahatan korupsi serta mengikuti perkembangannya sehingga secanggih dan sehebat apapun usaha korupsi bisa ditindak dan diberantas. Sedangkan masyarakat juga harus mengambil peran penting dalam mengkawal undang-undang serta para penegak hukum dalam mengerjakan bagiannya. Selain itu, pendidikan moral juga perlu ditinggkatkan, melihat kemajuan dan perkembangan korupsi dari zaman sebelum Indonesia merdeka dan sampai sekarang yang semakin canggih.
2. Perkembangan Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Upaya demi upaya dilakukan pemerintah untuk memberantas tindak pidana Korupsi di Indonesia. Salah satunya dengan melahirkan hukum positif dan ternyata upaya itu telah dilakukan sejak berlakunya Wetboek van Strafrecht
(KUHP) khususnya Pada Bab XXVIII delik-delik yang dilakukan oleh pejabat. Namun sepertinya, pasal-pasal dalam KUHP tersebut tidak berdaya untuk memberantas Korupsi pada masa itu. Upaya demi uapaya terus berkembang dan
53
sampai sekarang upaya terus dikembangkan bagaimana agar masalah ini bisa diatasi dan diberantas dinegara Indonesia. Tapi hasil dari upaya yang dilakukan sampai sekarang bukannya menjawab tetapi korupsi semakin merajalela saja di Indonesia.
Perkembangan pengaturan perundang-undangan pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan proses pembaharuan hukum pidana pada umumnya. Sementara perkembangan dan proses pembaharuan hukum pidana itu sendiri, erat pula kaitannya dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia, terutama sejak proklamasi kemerdekaan sampai pada era pembangunan dan era reformasi saat ini. Dalam hubungan itu dikehendaki, agar hukum pidana peka dan responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.54 Lahirnya produk-produk hukum dan dilakukannya pembaharuan hukum yang dilakukan menunjukkan bahwa ternya korupsi itu berkembang sangat pesat. Bentuk-bentuknya juga semakin banyak dan canggih, kalau dahulu bentuk korupsi itu masih sangat sederhana, sekarang perkembangan itu hampir diseluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia terjadi korupsi.
Beberapa pengaturan dan dasar hukum masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah begitu banyak, berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pemberantasan korupsi:55
a. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
54
Elwi Danil, Op.cit, hal. 17 55
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tanggal 29 Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) khusus berlaku untuk kasus-kasus lama sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; e. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
f. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain landasan hukum tersebut, sebenarnya sudah banyak peraturan-peraturan yang muncul sebelumnya, berikut juga dibahas satu persatu.
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
kepustakaan dipahami sebagai korupsi. Misalnya kejahatan dalam jabatan, kejahatan penyuapan, penggelapan dan sebagainya, yang dalam perspektif perundang-undangan pidana kemudian diambil alih pengaturannya, dan dikualifikasikan sebagai jenis tindak pidana korupsi.56
Delik korupsi yang merupakan delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II KUHP, sedangkan delik korupsi yang ada kaitannya dengan delik jabatan seperti Pasal 209 dan 210 (orang yang menyup pegawai negeri atau lazim disebut
actieve omkopling), berada dalam bab yang lain, tetapi juga dalam Buku II KUHP
(tentang Kejahatan).57 Perincian delik-delik korupsi yang berasal dari KUHP telah disebut dalam Bab I Pendahuluan. Semua merupakan kejahatan biasa, artinya bukan kejahatan ringan atau pelanggaran sebagaimana dikenal dalam hukum pidana.
Ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana korupsi dalam KUHP ditemui pengaturannya secara terpisah dibeberapa pasal pada tiga bab, yaitu:58
1) Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, yakni pasal 209, 210 KUHP;
2) Bab XXI tentang perbuatan curang, yakni pada pasal 387 dan 388 KUHP; 3) Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan, yakni pada Pasal 415, 416, 417,
418, 419, 420, 423, 425, dan pasal 435.
Rumusan tentang tindak pidanan korupsi dalam KUHP ini dapat dikelompokkan kedalam menjadi empat kelompok delik, yaitu:
56
Elwi Danil, Op. cit, hal. 26 57
Ibid, hal. 38 58
1) Kelompok tindak pidana penyuapan; yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418, 419, dan Pasal 420 KUHP;
2) Kelompok tindak pidana penggelapan; yang terdiri Pasal 415, 416, dan Pasal 417 KUHP;
3) Kelompok tindak pidana kerakusan (knevelarij atau extortion); yang terdiri dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP;
4) Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan; yangterdiri dari Pasal 387, 388 dan 435 KUHP.
Adakalanya perbuatan korupsi itu bersifat pasif dan adakalanya bersifat aktif.59 Rumusan korupsi yang bersifat pasif dapat dilihat dalam Pasal 419 KUHP
yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang
pejabat; (1) Yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui, bahwa itu diberikan untuk menggerakkan dia supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; (2) Yang menerima hadiah, padahal diketahui bahwa itu diberikan sebagai akubat atau oleh karena dia telah melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Sedangkan rumusan dalam KUHP untuk korupsi yang bersifat
aktif dilihat dalam Pasal 418 KUHP yang berbunyi: “Seorang pejabat yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui dan sepatutnya harus diduga, bahwa itu diberikan, karena kekuasaan dan kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadia atau janji-janji
itu ada hubungannya dengan jabatannya,…”
59
KUHP telah merumuskan bagaimana upaya dalam menangani beberapa masalah korupsi. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, bentuk korupsi yang awalnya dirumuskan dengan masih sangat sederhana tersebut kemudian semakin berkembang bentuk-bentuknya dan perlu diatur kembali. Kemudian hal yang pelu dilakukan adalah bagaimana menanganinya, dan hal itu terlihat dengan munculnya peraturan-peraturan baru untuk memberantas kasus-kasus korupsi yang semakin berkembang tersebut.
b. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat (Angkatan Darat dan Laut)
Pada Tahun 1958 dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Prt/Peperpu/C 13/1958. Peraturan ini merupakan peraturan khusus yang dicanangkan oleh Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat yaitu Jenderal A.H. Nasution untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia dimana gejalanya sudah tampak pada tahun 1958. Peraturan ini berlaku mulai tanggal 16 April 1958 dan kemudian diikuti lahirnya peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Prt/Z.1./1/7 tanggal 17 April 1958.60
Menurut S.M. Amin dalam bukunya “Hukum dan Keadilan”, menyatakan
bahwa perkembangan masyarakat dalam usaha mengisi kemerdekaan, telah memperlihatkan gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan
60
yang merugikan kekayaan perekonomian negara. Gejala seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang baru diproklamasikan. Pada masa itu istilah korupsi menjadi sangat terkenal dalam masyarakat, dan terasa sangat mencemaskan. Sementara itu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP tidak dapat berbuat banyak untuk memberantas gejala baru yang dinamakan masyarakat korupsi. Dengan mengandalkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP saja untuk menanggulangi masalah korupsi, ternyata dirasakan kurang efektif. Akibatnya banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang ada di dalam KUHP.61
Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, diperlukan adanya keleluasaan bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi . kemudian atas dasar itulah, pada tanggal 9 April 1957, Kepala Staff Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan Peraturan Nomor Prt/PM-06/1957. Pada bagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami kemacetan.62 Hal yang terpenting yang perlu disoroti bahwa istilah korupsi pertama kali dipergunakan dalam peraturan ini sebagai istilah hukum. Dan kemudian memberikan pengertian seperti termuat dalam konsideran peraturan ini
61
Elwi danil, Op.cit, hal. 28 62
bahwa “korupsi adalah perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan nagara dan
perekonomian negara”.
Peraturan penguasa militer ini kemudian dirasa belum cukup efektif dalam menangani masalah korupsi, sehingga kemudian perlu dilengkapi dengan peraturan lain tentang penilikan harta benda. Keinginan ini lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957. Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara pada usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini, penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau benda dalam daerahnya, yang kekayaannnya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan.63 Jika dalam proses penilikan tersebut ditemukan adanya harta benda yang mencurigakan asal-usulnya, dimana apabila asal mulanya diperoleh dengan cara melakukan tindak pidana, maka penguasa memandang perlu melakukan penyitaan. Tapi yang menjadi masalah berikutnya adalah dalam melakukan penyitaan belum ada dasar hukum yang mendasari perbuatan penyitaan tersebut, sehingga kemudian dibentuklah Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM 011/1957.
Kemudian, disamping berlakunya ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut, memunculkan lahirnya Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958. Hal itu mengakibatkan ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut diganti dengan Peraturan Penguasa Perang
63
Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penubtutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda.64
Kemudian yang menjadi fokus dari peraturan ini ialah bentuk khusus dari perbuatan korupsi, yaitu yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan/atau kelonggaran-kelonggaran lain dari masyarakat. Hal ini terjadi karna masa pembentukan peraturan ini (1957-1958) adalah masa ramai pengambilalihan dan pengurusan perusahaan-perusahaan milik Belanda menjadi Perusahaan Negara. Selain diberlakukan di Angkatan Darat, kemudianperaturan tersebut pun diberlakukan di wilayah hukum Angkatan Laut dengan surat keputusan Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Z/1/1/7, tanggal 17 April 1958.65
Dalam peraturan ini dibedakan antara perbuatan korupsi pidana dengan pebuatan korupsi lainnya. Adapun yang dimaksud perbuatan korupsi pidana adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Tahun 1958, yaitu:66
a) Perbuatan seseorang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan ynag secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah, atau merugikan suatu badan yang
64
Dalam konsideran peraturan ini, khusunya pada butir a, dikatakan sebagai beriku: “bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menggunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya, bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan sipembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusustan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi.” Dengan dasar pertimbangan ini dapat kita lihat bahwa masih adanya bentuk dan usaha serta upaya hukum untuk menambah peraturan dan mencoba memperbaiki agar lebih efektif
lagi dalam memberantas korupsi.
65
Andi Hamzah, Op.cit, hal. 43 66
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat; b) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;
c) Kejahatan-kejahatan tercantm dalam Pasal 41 sampai Pasal 50 Peraturan Penguasa Perang ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP.
Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan korupsi lainnya dirumuskan dalam Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Tahun 1958, yaitu:67
a) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau atau orang lain atau suatu badan ynag secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah, atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat; b) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan
melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan.
Selain pengertian korupsi, dalam peraturan ini juga dibahas tentang bagaimana cara-cara penyitaan oleh Penilik Harta Benda, Harta Benda bagaimana yang akan disita, kemudian dalam hal ketentutan-ketentuan yang harus dilakukan dalam Pengusutan dan Penuntutan Perbuatan Korupsi Pidana serta pengaturan-pengaturan lainnya. Semua di upayakan untuk menjawab pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.
c. Undang-Undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Karena dalam keadaan mendesak dan memaksa, serta tidak memungkinnya dibentuk undang-undang, maka dibentuklah sebuah Peraturan
67
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), yaitu Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Nomor 72 Tahun 1960. Dan melalui Perpu inilah, kemudian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Pengertian korupsi menurut undang-undang ini adalah:68
1) Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negaraatau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat;
2) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;
3) Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 17 sampai 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 516, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
Sampai dengan berlakunya undang-undang ini, sebenarnya sudah tergambar betapa hukum pidana Indonesia telah mengalami perkembangan sedemikian rupa. Dan hal itu merupakan bentuk tanggapan hukum atas perkembangan perilaku manusia tersebut. Menurut Bambang Purnomo, pembaharuan yang diadakan dalam substansi Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya pemberantasan kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku terselubung, dan mempunyai sasaran di bidang politik, ekonomi, keuangan, dan sosial budaya.
68
Meski telah beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi, namun selama kurun waktu antara tahun 1960-1970 perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus berlangsung dengan hebat. Artinya selama kurun waktu tersebut sistem peradilan pidana tidak dapat berbuat banyak untuk menghadapkan para koruptor ke pengadilan.
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Jika ditinjau dari Yurisprudensi selama kurun waktu antara tahun 1960-1970, sangat sedikit delik korupsi yang dapat ditemukan. Namun berbeda halnya dengan kurun waktu 1971-1981, dimana ditemukan perkara korupsi dari yang terkecil sampai yang terbesar. Dalam Yurisprudensi tercatat perkara-perkara besar seperti kasus Robby Tjahjadi, Abu Kiswo, Letjen. Siswadji, Budiadji, Liem King Eng, dan Endang Widjaya, kemudian dua orang hakim senior, masing-masing JLZ, yang diadili di Pengadilan Negeri Surabaya, dan HG di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.69
Sebenarnya, dalam upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan perluasan rumusan tindak pidana korupsi itu sendiri. Dan untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat proses penyelesaian perkara-perkara korupsi ini juga agar semua berjalan lebih efektif dan efisien, maka perlu kembali dilakukan pembahuran hukum. Dan atas dasar tuntutan rakyat serta berkembangnya korupsi itu sendiri, kemudian presiden mengajukan rancangan undang-undang kepada
69
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dan melalui lembaga inilah kemudian lahir Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 19. Tepatnya pada tanggal 29 Maret 1971 undang-undang ini disahkan oleh Presiden Soeharto.
Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi. Dalam undang-undang ini juga diformulasikan tindak pidana korupsi dalam satu pasal, yaitu Pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat dan 5 sub ayat. Pada Pasal 1 dirumuskan tindak pidana korupsi sebagai berikut:70
a) Barangsiapa melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b) Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; c) Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210,
387, 388, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP;
d) Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya, atau oleh si pemberi hadiah atau kedudukan itu;
e) Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
70
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (2) dirumuskan, barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidanan tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, dan e pasal ini.
Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.71
Konsideran dalam undang-undang ini menegaskan latar belakang pemikiran pembuat undang-undang ini memposisikan undang-undang tersebut sebagai instrumen hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi. Pembuat undang-undang menegaskan bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementara undang-undang yang ada kurang mencukupi sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, diperlukan adanya langkah pembaharuan perundang-undangan pidana, sehingga dengan demikian dapat diketahui betapa pentingnya keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam upaya penanggulangan masalah korupsi tersebut.72
71
http://acch.kpk.go.id/tema/-/blogs/sejarah-panjang-pemberantasan-korupsi-di-indonesia?p_p_auth=k7zJmMbz Diakses pada Tanggal 28 Maret 2016.
72
e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 ini terjadi pada masa pemerintahan Habibie, dimana setelah kurang dari dua tahun masa pemerintahannya berjalan mereka sudah mampu menciptakan undang-undang yang akan dijadikan sebagai pengganti undang-undang sebelumnya. Desakan pembentukan undang-undang ini terjadi karena dulu masyarakat masih berpikir bahwa banyaknya korupsi yang terjadi karena hukumnya yang kurang baik, tetapi hal itu bisa juga dipengaruhi oleh sistem dan moral dari masyarakat yang mengerjakan sistem itu sendiri.
Pembentukan undang-undang ini dibentuklah Panitia Khusus (Pansus) untuk menyusun dan mempersiapkan undang-undang ini dengan matang. Hal yang menjadi perumusan utama didalam undang-undang ini adalah mengenai sanksi yang akan diberikan kepada pelaku (koruptor). Pada waktu itu, Tim yang dibentuk yang beranggotakan Barda Nawawi Arief, Loebby Loqman dan Andi Hamzah, Haryono dan Wahid.73 Mereka menciptakan minimum khusus, yang meliputi baik pidana penjara maupun pidana denda, pembedaan ancaman pidana bagi setiap delik sesuai dengan bobot delik itu serta kualifikasinya, dan juga penambahan peranan masyarakat.
Setelah itu, sekitar bulan Juli 1999 dibahaslah Rancangan Undang-Undang ini di DPR. Dan dalam pembahasannya kemudian ditambahkan tentang pidana
mati khusus untuk delik yang tercantum dalam Pasal 2 dalam “keadaan tertentu”
73
yang kemudian dijelaskan dalam penjelasan undang-undang ini yang dimaksud
dengan “keadaan tertentu” itu adalah seperti bencana alam nasional, keadaan
bahaya dan krisis moneter dan ekonomi. Selain itu, ditambahkan pula tentang akan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu dua tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan. Sementara itu, rumusan tentang pembalikan beban pembuktian ditolak, karena dipandang melanggar asas legalitas. 74 Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Dan menurut Andi Hamzah, bahwa undang-undang yang diberlakukan di Indonesia ini merupakan undang-undang yang paling keras dan berat di ASEAN.
f. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sekitar bulan Maret, kembali dibentuk Tim yang khusus untuk kembali membahas dan merumuskan undang-undang yang lebih baik untuk menangani masalah korupsi di Indonesia. Salah satu rumusan dalam tim ini adalah untuk merealisasikan masalah pembalikan beban pembuktian. Andi Hamzah sebagai salah satu Tim, merumuskan pembalikan beban pembuktian menjadi dua jenis, yaitu menyangkut pemberian (gratification) dalam jumlah satu juta rupiah ke atas, harus dilaporkan jika tidak dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Ini
74
berarti Penuntut Umum hanya membuktikan satu bagian inti delik, yaitu adanya pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Bagian lain, seperti berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya dibebankan kepada terdakwa.75
Perubahan lain yang dicantumkan dalam undang-undang ini ialah tentang minimum khusus yang hanya berlaku bagi delik korupsi yang nilainya lima juta
atau lebih. Dan penjelasan “keadaan tertentu” untuk menjatuhkan pidana mati
juga berubah menjadi yaitu bukan “waktu” yang menentukan namun
“peruntukan” uang untuk keadaan tertentu itu yang dikorupsi.
Demikianlah perubahan demi perubahan yang dilakukan untuk mencapai kepastian hukum yang terbaik. Namun, disamping hukum yang baik juga perlu adanya sistem yang baik dan moral para pelaku sistem yang baik pula. Karena yang terjadi saat ini adalah bukan berbicara apakah hukum sudah mampu mewakili setiap keadaan yang terjadi dalam korups, namun masalah utamanya adalah para pelakunya adalah orang yang seharusnya menegakkan hukum tersebut. Sehingga yang terjadi dalam masyarakat Indonesia adalah sulitnya mendapati kemajuan di negara ini, karena masyarakat miskin akan semakin miskin, dan yang kaya akan smakin kaya. Terjadilah kesenjangan sosial, perbedaan strata yang membuat sulitnya bangsa ini maju kedepan.
75
B. Peran Whistleblower dalam Mengungkap Kasus Korupsi di berbagai
Negara
1. Lahirnya Whistleblower di Berbagai Negara
Sejarah awal 1990-an banyak negara di dunia telah membuat peraturan perundang-undangan yang yang melindungi pegawai yang “mengungkapkan” untuk kepentingan publik maupun privat. Peraturan perundangan-undangan yang melindungi Whistleblower ini telah diatur dalam Undang-Undang Korporasi, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Konsumen dan Keuangan. Negara-negara ini antara lain Australia, Kanada, Perancis, India, Jepang, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.76
Lahirnya Whistleblower diberbagai negara seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang, dan negara-negara lainnya sebagain besar terjadi karena adanya krisis moral dan terjadinya skandal-skandal besar diberbagai perusahaan-perusahaan besar. Dimana skandal tersebut telah merugikan negara dan juga membuat bangkrut perusahaan-perusahaan besar tersebut yang tentunya sangat mengancam kelangsungan hidup pegawai-pegawainya.
Di Amerika misalnya, skandal-skandal yang terjadi di perusahaan-perusahaan besar seperti skandal Enron, Tyco International, Adelphia, Citigroup, Global Crossing, dan skandal-skandal lainya membuat kepanikan luar biasa di kalangan dunia usaha, karena akibat dari skandal tersebut adalah kerugianmiliaran dolar bagi para investor dan juga mengancam pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat pada masa itu.
76
Kemudian pada masa kampanye-kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat, dimana salah satu calon presiden yaitu Jimmy Carter berjanji untuk mendorong undang-undang yang melindungi Whistleblower yang berasal dari kalangan-kalangan pegawai pemerintahan federal dari tindakan balasan.
Sedangkan di Australia, lahirnya Whistleblower tidak dapat dipisahkan dari merebaknya penyelidikan terhadap kasus-kasus korupsi dan perang terhadap kartel-kartel yang melibatkan perusahaan multinasional. Terutama pada tahun 1990-an, hukum nasional Australia tidak memberikan ruang bagi pegawai untuk mengungkapkan informasi mengenai situasi dan kondisi di tempat kerja.77
Berdasarkan hal itulah sehingga lahirlah Whistleblower untuk menjawab setiap permasalahan tersebut. Serta menuntut juga adanya perlindungan khusus yang diberikan negara kepada para pengungkap fakta tersebut, agar dapat mengungkap tapi dengan rasa nyaman dalam dirinya.
2. Peran Whistleblower dalam Mengungkap Kasus Korupsi di Berbagai Negara
a. Whistleblower di Amerika Serikat
Peraturan tentang Whistleblower mulai diperkenalkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Reformasi Pegawai Negeri 1978 (Civil Service
Reform Act of 1978). Undang-undang ini merupakan bagian utama dari
undang-undang yang melindungi pegawai federal yang mengungkap informasi
77
(whistleblowing) terhadap kesalahan yang dilakukan oleh Pemerintah. Perlindungan yang diberikan dalam undang-undang ini kemudian semakin menguat dengan diundangkannya Whistleblower Protection Act pada 1989 atau yang dikenal dengan WPA. Dimana dalam Undang-Undang WPA ini melarang adanya pembalasan terhadap pegawai federal yang mengungkap terjadinya pelanggaran hukum dan perundang-undangan, mismanajemen, pemborosan anggaran, penyalahgunaan kekuasaan, atau bahaya khusus dan substansial bagi kesehatan publik.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Whistleblower, pengungkapan fakta dapat dilakukan terhadap pihak manapun. Proses pengungkapan akan
dilindungi, apabila pengungkapan tersebut “tidak secara khusus dilarang oleh
hukum, dan informasi tersebut secara khusus diperintahkan untuk dirahasiakan
demi kepentingan pertahanan nasional atau pelaksanaan urusan luar negeri”.78
Dan dengan diundangkannya Undang-undang perlindungan ini meningkatkan perlindungan terhadap Whistleblower. Terutama bagi Whistleblower yang mengalami pembalasan dari pihak yang dilaporkan, ia dapat melaporkan kepada lembaga yang bertugas untuk melaksanakan perlindungan terhadap Whistleblower
yaitu Kantor Penasihat Khusus (Office of the Special Counsel). Dan mereka juga berhak mendapatkan pemulihan, termasuk pembayaran kembali dan ganti kerugian atas kerusakan yang timbul setelah dilakukannya pengungkapan.
Selain Undang-Undang Perlindungan Whistleblower tersebut, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang Whistleblower, seperti
78
Undang-Undang Sarbanes-Oxley, dimana dalam undang-undang ini diatur satu macam tentang Whistleblower yakni melindungi pegawai perusahaan publik yang memberikan bukti adanya kecurangan. Dan dalam undang-undang ini juga diatur mengenai serangan balik kepada Whistleblower dan menyatakan serangan balik itu adalah perbuatan melawan hukum (bagian 1107). Kemudian The Federal Civil
False Claim Act (FCFCA) yang merupakan payung hukum bagi Whistleblower
tingkat federal (pusat) pada tahun 1986. Kemudian ada lagi ketentuan Qui Tam yang merupakan bagian dari Undang-Undang Federal Civil False Claim Act, dimana dalam undang-undang ini diatur bahwa masyarakat/pihak swasta diijinkan berbicara atas nama pemerintah terkait dengan adanya kecurangan, biasanya kecurangan yang dilakukan oleh kontraktor-kontraaktor pemerintah atau orang yang mendapatkan dana dari pemerintah untuk suatu proyek.79
Lembaga perlindungan saksi di Amerika Serikat yang disebut Witness
Security (WITSEC), pertama kali dibentuk oleh seorang jaksa yang bernama
Gerald Shur. Berikutnya Amerika Serikat membentuk program perlindungan saksi dengan regulasi Undang-Undang Reformasi Kemanan Saksi Tahun 1984 (Witnes
Protection Act 1984). Pada regulasi ini Amerika Serikat memberikan
perlindungan terhadap perlindungan fisik saksi dan yang berada dalam risiko melalui penempatan tempat tinggal baru dan rahasia dengan perubahan nama dan perincian identitas baru.80
79
Nurul Ghufron, Whistleblower Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Radja, Surabaya, 2014, hal. 106
80
Beberapa peran Whistleblower dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di Amerika Serikat sebagai berikut:
1) Sherron Watskin sang Pengungkap Skandal Enron (dikutip dari Sejarah Kasus Enron, yang ditulis oleh Hafika Hadiyanti dalam sebuah website wordpress.com)81
Enron adalah sebuah perusahaan “Houston Natural Gas” yang dibentuk
pada tahun 1985 oleh yang bergerak dibidang “InterNorth” (penyalur gas alam melalui pipa) dan juga melalui “Enron Online” (EOL) yaitu memasarkan produk
energi secara online, dimana EOL berhasil melaksanakan transaksi senilai $335 milyar pada tahun 2000. Enron adalah perusahaan yag cukup besar dengan pendapatan dari $2 milyar menjadi $7 milyar dengan karyawan yang juga tumbuh dari 200 orang menjadi 2.000 orang.
Kasus Enron menarik perhatian masyarakat Amerika Serikat pada akhir tahun 2001 ketika terungkap bahwa dalam laporan keuangan yang dilaporkan terdapat penipuan akuntansi yang sistematis, terstruktur, dan direncanakan secara matang. Kasus ini juga melibatkan kantor akuntan publik internasional, yaitu Arthur Anderson. Arthur Anderson yang berperan sebagai auditor terkenal dan konsultan manajemen Enron gagal untuk mendeteksi dan/atau mengungkapakan transaksi-transaksi keuangan Enron yang dilakukan dengan cara mengalihkan aset-aset perusahaan kepada entitas bertujuan khusus (special purpose entity), sehingga menyebabkan nilai perusahaan tampak lebih besar daripada yang seharusnya.
81
Manipulasi ini telah berlangsung bertahun-tahun, sampai Sherron Watskin, salah satu eksekutif Enron yang tak tahan lagi terlibat dalam manipulasi itu mengungkap skandal korporasi yang terjadi di Enron kepada publik. Sherron Watkins menjadi seorang Whistleblower dan Keberanian Watskin inilah yang membuat semuanya menjadi terbuka. Manajemen Enron telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 milliar.
Proses pengusutan juga atas kasus ini membuahkan suatu penemuan yang menarik, yaitu kisah pemusnahan ribuan surat elektronik dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan audit Enron oleh petinggi di firma audit Arthur Andersen. Pada tanggal 12 Oktober 2001 Arthur Andersen menerima perintah dari para pengacara Enron untuk memusnahkan seluruh materi audit, kecuali berkas-berkas yang paling dasar.
2) Chintya Cooper sang Pengungkap Kasus Worldcom (dikutip dari “Kasus
Skandal Akuntansi Pada Worldcom”)82
Chintya Cooper, seorang internal audit yang mendapat pujian dan dielu-elukan oleh masyarakat ketika ia mengungkap kasus Worldcom. Chintya ooper telah menjadi agent of change yang sukses, dimana ia berhasil melaporkan praktik-praktik yang tidak etis yang dilakukan oleh Worldcom ketika perusahaan tersebut gagal mencapai laba ekspektasian.
Worldcom telah melakukan manipulasi untuk beban jaringan sebagai pengeluaran modal tujuannya untuk memperoleh pendapatan lebih. Beben jaringan adalah beban yang dibayar oleh Worldcom kepada perusahaan lain untuk jaringan telekomunikasi, seperti biaya akses dan biaya pengiriman pesan bagi Worldcom. Dengan memindahkan akun beban kepada akun modal, Worldcom mampu menaikkan pendapatan atau laba. Worldcom mampu menaikan laba karena akun beban dicatat lebih rendah, sedangkan akun aset dicatat lebih tinggi karena beban kapitalisasi disajikan sebagai beban investasi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penyajian beban jaringan sebagai pengeluaran modal ditemukan oleh internal auditor Cynthia Cooper. Mei 2002 Auditor Cynthia Cooper mendiskusikan masalah tersebut kepada kepala keuangan Worldcom Scott D. Sullivan dan controller perusahaan saat itu David F. Myers. Cooper melaporkan masalah tersebut pada kepala komite audit Max Bobbitt,
82
sekitar 12 Juni. Yang kemudian Max Bobbitt meminta kepada KPMG selaku eksternal auditor saat itu untuk melakukan investigasi.
Kepala keuangan worldcom diminta untuk mengkoreksi salah saji/salah pengklasifikasiannya. Setelah berdiskusi lebih lanjut Scott D. Sullivan dipecat pada saat Worldcom mengadakan pengumuman. Pada hari yang sama David F. Myers mengundurkan diri. Dilaporkan bahwa Sullivan tidak pernah mengkonsultasikan penyajian tersebut kepada Artuhr Anderson selaku auditor eksernal pada tahun 2001, dan Arthur Anderson pun menyatakan bahwa Sullivan tidak pernah berkonsultasi dengannya.
Pertanyaan yang lebih berat dilyangkan kepada KAP Arthur Anderson, beberapa pengamat menyatakan bahwa Arthur Anderson tahu mengenai salah saji yang dilakukan pihak Worldcom. Karena seharusnya Arthur Anderson bertugas untuk mengaudit kesalah semacam itu, apalagi kesalah ini sangat material. Beberapa pengamat juga menyatakan bahwa Arthur Anderson seharusnya lebih peka terhadap kondisi keuangan Worldcom, yang dapat mengakibatkan manajemen perusahaan melakukan hal diluar kewajaran praktek akuntansi.
Selain Sherren Watkins dan Chintya Cooper, daftar Whistleblower di Amerika Serikat lainnya adalah Jeffrey Wigand. Dia merupakan salah satu
Whistleblower yang sangat terkenal di Amerika Serikat sebagai pengungkap
kecanduan pada pengguna. 83 Meskipun bukan pengungkap kasus korupsi, namun kehadiran Jeffrey Wigand perlu diperhitungkan sebagai salah satu sejarah
Whistleblower di Amerika Serikat, dimana manipulasi kadar nikotin yang
dilakukan oleh perusahaan ini bisa merugikan banyak pihak.
Selain itu masih banyak tokoh-tokoh lainnya dalam kasus yang berbeda-beda, seperti yang baru-baru ini berkembang Edward Snowden.84 Dimana ia sedang diburu oleh kepolisian Amerika Serikat karena membocorkan dua program rahasia bandan intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA). Dua program tersebut merupakan program pengumpulan rekaman telepon pelanggan Verizon dan penyadapan data ke server perusahaan raksasa internet Amerika Serikat seperti Google, Facebook, Microsoft, Apple dan sebagainya. Dua program ini adalah program yang mengancam privasi warga negara Amerika Serikat.
Kemudian ada juga Coleen Rowley of the FBI85 yang merupakan agen khusus dengan FBI. Dia mengungkapkan kelambanan dan kesalahan FBI yang mungkin menyebabkan terjadinya serangan teroris pada 11 September 2001 di World Trade Center dan Pentagon. Selain mereka masih banyak lagi tokoh-tokoh
Whistleblower di Amerika Serikat yang sangat membantu bahkan ada juga yang
membuka aib pada lembaga tertentu.
83
Abdul Haris Semendawai, et.al, Op.cit, hal. xiii 84
https://m.tempo.co/read/news/2013/06/22/116490429/edward-snowden-whistle-blower-atau-pengkhianat Diakses pada Tanggal 20 Maret 2016.
85
b. Whistleblower di Australia
Perlindungan terhadap Whistleblower berkembang pada awal 1980-an, ketika dilakukan penyelidikan besar-besaran terhadap kasus-kasus korupsi di Australia. Pada waktu itu sangat sulit melindungi Whistleblower, dikarenakan belum ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan terhadap
Whistleblower.
Dikaji dari perspektif sejarahnya, di Australia komisi kerajaan pada tahun 1983 telah memanfaatkan eksistensi informan untuk melawan kejahatan terorganisir. Pada saat itu, pemberian perlindungan saksi dilakukan dengan model perlindungan secara penuh seharian (24 Jam), pemberian identitas baru, dan lain sebagainya. Pada tahun 1988, sebuah komisi gabungan parlemen melakukan penyelidikan komprehensif dan melahirkan Undang-Undang Perlindungan Saksi pada Tingkat Persemakmuran pada tahun 1994, dan kemudian undang-undang tersebut berlaku pada beberapa negara bagian di wilayah ibukota Australia.86
Hakikat undang-undang tersebut pada asasnya berorientasi pada dimensi tentang hal-hal sebagai berikut:87
1) Membentuk program Perlindungan Saksi Nasional (National Witness
Protection Program) dan menetapkan kriteria ambang batas bagi
seseorang untuk dapat diterima sebagai saksi dalam National Witness
Protection Program. Seorang saksi menjadi “peserta” ketika dirinya
diterima di dalam program;
2) Memberikan wewenang kepada Polisi Federal Australia untuk mengelola penempatan danpencabutan saksi dalam National Witness Protection
Program, termasuk penandatanganan nota kesepahaman, penciptaan
identitas baru dan pemulihan kembali identitas lama;
86 Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…,
Op.cit, hal. 178 87
3) Menetapkan mandat atas pembentukan register peserta yang sekarang atau dahulu berada dalam National Witness Protection Program, yang memuat informasi nama peserta dengan identitas baru, dan perincian pidana yang telah dijatuhkan kepadanya;
4) Menjaga integritas dokumen identitas Persemakmuran (nomor bekas pajak, paspor) asalkan dokumen identitas peserta dalam program perlindungan saksi subnasional tidak dapat diberikan kecuali disertai peraturan pelengkap dan petunjuk menteri dari negara bagian atau wilayah yang berhubungan dengan isu dokumen identitas tersebut;
5) Memberikan mekanisme untuk memastikan bahwa peserta tidak memanfaatkan identitas barunya untuk menghindari tanggung jawab perdata atau pidanya, dan menetapkan bahwa saksi tidak dapat dimasukkan dalam National Witness Protection Program sebagai uapaya pendorong atau penghargaan karena dirinya akan memberikan pembuktian atau kesaksian;
6) Menetapkan sanksi pidana terhadap pengungkap informasi peserta secara tidak sah dan menetapkan sanksi pidana terhadap peserta yang mengungkapkan informasi yang berhubungan dengan National Witness Protection Program.
Di Australia perlindungan untuk Whistleblower dapat dilihat dalam Undang-Undang Perlindungan Whistleblower Quennsland, 2000. Pada pada Bab II Bagian Nomor 7 (a) dimuat skema perlindungan khusus terhadap Whistleblower
apabila ada pegungkapan-pengungkapan tentang suatu perbuatan di sektor publik yang melanggar hukum, termasuk kelalaian, dan tidak pantas atau suatu bahaya terhadap kesehatan atau keselamatan umum atau bahaya terhadap lingkungan.88 Perlindungan hanya diberikan terhadap pengungkapan demi kepentingan umum merupakan suatu pengungkapan yang khas dan dirumuskan dalam kaitan dengan orang yang mengungkapkan, jenis informasi yang diungkapkan dan pihak yang terhadapnya dilakukan pengungkapan.
Kemudian di Australia muncul suatu asosiasi yang dikenal dengan
“Whistleblowers Australia” (WBA) yang bertujuan untuk menggalakkan
88
masyarakat berbicara tanpa rasa takut tentang adanya praktik korupsi, macam-macam bahaya bagi publik dan lingkungan, serta barbagai isu publik yang penting. WBA juga memberikan perlindungan kepada para peniup peluit tersebut karena resiko tinggi atas tindakan yang mereka lakukan.89
Dalam Undang-Undang Perlindungan Whistleblower terkhusus di Australia bagian Selatan terdapat tambahan poin perlindungan yang lebih tegas,
yakni adanya konsep “immunity” atau imunitas di depan hukum bagi para
pengungkap fakta, yakni tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana atau sipil. Dan pengungkap fakta juga wajib membantu proses investigasi terkait kasus yang diungkap bersama dengan Kepolisian atau pihak penyidik lainnya, dan jika tidak mau ia dikenanakan denda berdasarkan undang-undang tersebut.90
Berikut adalah para pengungkap fakta yang berasal dari Australia dalam mengungkap kasus-kasus korupsi:
1) John McLennan sang Pengungkap Fakta Surat-surat Westpac Banking Corporation, Australia
John McLennan merupakan mantan auditor efesiensi internal Westpac Banking Corporation di Australia. Dia pernah mengatakan bahwa “bank dan para pegawainya mencuri uang dari nasabah mereka. Mengambil komisi-komisi secara rahasia dan mengubah dan kesepakatan adalah tindakan mencuri. Mereka berusaha menutupinya dengan berusaha untuk mengakhiri dengan paksa publikasi
89
Ibid, hal 103 90
dari surat-surat itu. Saya tidak bisa memikirkan kasus yang lebih buruk dari
bobroknya moral korporasi”.91
Ditengah banyaknya tekanan yang datang kepada McLennan, ia tahu bahwa satu-satunya cara ia bisa melawan bank dan membeberkan semua praktik-praktik jahat dalam bank adalah dengan mengungkapkannya semua kesalahan itu melalui media. Ia kemudian memulai sebuah kampanye pribadi melalui media dengan pelaporan yang berani dari para jurnalis ternama di Australia (terutama Anne Lampe dari The Sydney Morning Herarld, yang pencarinnya akan kebenaran tidak pernah berhenti), ia menyodorkan dokumen-dokumen sebagai bukti kesengsaraan para peminjam dengan mata uang asing itu kehadapan ratusan ribu warga Australia.
John McLennan pernah menyatakan bahwa jika Commonwealth Bank
tidak mau bekerja sama, mereka akan berusaha menjatuhkan Mc Lennan dengan dalih pelanggaran hukum. Terhadap hal tersebut McLennan harus menimbang fakta bahwa ketidakadilan yang luar biasa telah terjadi di dan Commonwealth
Bank telah menetapkan keadilannya sendiri dengan menahan penemuan yang
penting. Dokumen-dokumen tersebut dikenal dengan sebagai dokumen-dokumen G dan terdiri dari semua dokumen kebijakan bank yang menunjukkan pengembangan, pemasaran, dan administrasi dari pinjaman mata uang asing. Dan dengan keadaan takut McLennan mengambil keputusan karena tidak mampu melihat kehidupan para peminjam karena ketidakadilan pemalsuan dokumen
91
tersebut. Kemudian McLennan mengungkap kebenaran dihadapan pengadilan dengan memberikan dokumen-dokumen asli kepada Hakim Marcus Einfeld.92
c. Whistleblower di Jerman
Perlindungan saksi diterapakan di Jerman pada tahun 1984, dengan Kantor Perlindungan Saksi yang pertama kali dibentuk di Hamburg. Kemudian tahun 1989 didirikan Kantor Perlindungan Saksi di Berlin, dengan tujuan pembentukan untuk melakukan Pemberantasan Kejahatan di bidang Kejahatan terorganisir di Kepolisian.
Perlindungan Saksi di Jerman diatur dalam undnag-undang, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Jerman (Strafprozessordnung/StPO), yang pada tahun 1998 diadakan perubahan khusus untuk masalah perlindungan saksi melalui Undang-Undang Perlindungan Saksi Dalam Proses Pemeriksaan Pidana Dan Perlindungan Terhadap Korban (Zeugenschutzgesetz/ZschG). Undang-undang ini menekankan pada hak-hak dalam proses pemeriksaan. Namun, ZschG
ini kurang mengakomodir hak-hak asasi secara khusu, seperti halnya hak-hak asasi dalam ancaman, yang seringkali merupakan saksi kunci atas suatu tindak pidana berat.93
Pada tahun 2001 Pemerintah kemudian mengesahkan Undang-Undang
Harmonisasi Perlindungan Saksi dalam Bahaya
(Zeugenschutzharmonisierungsgezetz/ZshG). Undang-undang ini mengatur
92
Quentin Dempster, Whistleblowers, Sidney, ABC Books for the Australian Broadcasting Corporation, 2001. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Elsam, Para Pengungkap Fakta, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2006. hal. 9
93
harmonisasi dari perundang-undangan negara bagian tentang perlindungan terhadap saksi dan undang-undang hanya mengatur tentang saksi secara umum. Dalam undang-undang iini juga tidak dibedakann antara saksi dan korban, dan juga tidak mengatur perlindungan saksi pelapor (Whistleblower).94 Undang-undnag ini dibuat dengan salah satu tujuan agar saksi yang menjadi kunci penting dari suatu tindak pidana yang bersifat ekstrim, dan menjamin perlindungan saksi tersebut, sehingga ia tidak enggan lagi dalam memberikan kesaksiannya.
Di Jerman tidak ada institusi atau komisi khusus yang berwenang untuk menangani pemberian perlindungan terhadap saksi. Penanganan pemberian perlindungan saksi dilakukan oleh Zeugenschutzdienststelle atau Kantor atau Unit Perlindungan Saksi dalam rangka melaksanakan tugasnya dibidang pencegahan dan penanggulangan bahaya. Kantor Perlindungan Saksi ini berada dibawah Inspektorat Jenderal Kepolisisan yang memiliki kewenangan yang cukup besar. Adapun tugas dan wewenangnya adalah sebagai berikut:95
1) Menerima permohonan untuk perlindungan terhadap saksi berdasarkan pertimbangan derajat bahaya yang mengancam saksi tersebut (Pasal 2 ayat 2);
2) Menjalankan program perlindungan saksi;
3) Membuat perjanjian yang berkaitan dengan tindakan-tindakan terhadap perlindungan saksi serta menjaga kerahasiaan akta tersebut, dengan tidak menutupi kemungkinan kepada Kantor Penuntut Umum untuk mengakses data-data terkait (Pasal 2 ayat 3);
4) Melakukan koordinasi dengan instansi lain seperti Kantor Penuntut Unum (Pasal 2), Kantor Umum dan Kantor Non Umum yang terkait (Pasal 4); 5) Memiliki hak untuk tidak memberikan informasi tentang data pribadi saksi
(Pasal 4 ayat 1);
94
Zenitha Dina, Mengenal Perlindungan Saksi Di Jerman, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2006, Hal. 1
95
6) Memerintahkan instansi lain seperti Kantor Umum dan Kantor Non Umum untuk tidak menyebarkan data pribadi saksi kepada pihak lain (Pasal 4 ayat 1,2, dan 3 ZhsG);
7) Memerintahkan Kantor Umum dan Non Umum untuk membuat dokumen penyamaran identitas maupun dokumen identitas yang baru (Pasal 5 ayat 1 dan 2 ZhsG);
8) Mencabut dokumen penyamaran identitas dari saksi apabila tidak diperlukan lagi ((Pasal 6 ZhsG);
9) Memiliki wewenang untuk menentukan tempat dan waktu kediaman dari saksi yang terlibat pula dalam persidangan selain persidangan pidana (Pasal 11);
10) Dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dalam proses pemeriksaan
pidana dan perlindungan terhadap korban
(Zeugenschutzharmonisierungsgezetz/ZshG) terhadap program
perlindungan saksi memang tidak disebutkan secara terperinci hak atas perlindungan lain selain hak untuk merahasiakanidentitas dan mengubah identitas.
Adapun perlindungan yang dapat diberikan adalah, sebagai berikut:96
1) Nasihat umum: melalui masukan umum, saksi akan diberikan teman bicara, yang kepadanya saksi dapat menceritakan keadaan bahaya yang sedang melandanya;
2) Bantuan untuk membela diri: saksi-saksi dapat memilih untuk tinggal ditempat kediamannya selama ini, akan dibekali pengamanan dari Kepolisisan yang berwenang untuk diri sendiri;
3) Pengawasan terhadap saksi dan perlindungan terhadap harta benda saksi: tempat kediaman dan tempat kerja serta harta benda juga dapat dijaga , bergantung pada tingkat bahaya yang mungkin datang;
4) Operatif untuk penyerang yang potensial: tindakan perlindungan terhadap saksi akan terlaksana secara efektif apabila Polisi mendapatkan informasi yang memadai;
5) Daerah tempat tinggal baru: tempat tinggal untuk jangka pendek dapat dipindahkan kehotol, namun apabila saksi harus dipindahkan dalam jangka waktu yang panjang saksi dapat dipindahkan keluar kota dan pemindahan ini juga harus disertai penyediaan tempat kerja baru, sekolah baru, dan finansial saksi juga harus terjamin;
6) Identitas baru: demi keselamatan saksi juga dapat diberikan identitas baru, dan apabila keluarga membutuhkan maka juga harus diberikan identitas baru;
7) Perubahan penampilan: pada kasus yang jauh sangat ekstrem untuk melindungi jiwa saksi, setelah saksi memberikan pernyataan perlu diberikan bantuan yang cukup besar, yang diantaranya dapat mengubah penampilan wajah saksi melalui operasi;
8) Perlindungan saksi yang juga merupakan tersangka: saksi yang pada saat bersamaan juga merupakan tersangka dan menjalani masa penahanan, dapat ditempatkan di ruangan terpisah atau ditempat lain untuk menghindari kemungkinan bahaya.
d. Whistleblower di Afrika Selatan
Dikaji dari perspektif sejarahnya, Whistleblower diatur dalam Pasal 3
Protected Dedosures Act Nomor 26 Tahun 2000 yang memberi perlindungan dari
accuputional detriment atau kerugian yang berhubungan dengan jabatan atau
pekerjaan. Kemudian dalam Strategi Nasional Pencegahan Kejahatan 1996 mengakui perlindungan saksi sebagai aspek krusial untuk mengamankan bukti
96
dari saksi-saksi yang rentan terintimidasi dalam peradilan dan mengakui bahwa perlindungan saksi merupakan titik lemah dari sistem penegakan hukum.97
Kemudian, tahun 2000 Undang-Undang Perlindungan Saksi Nomor 12 Tahun 1998, yang dibentuk untuk menggantikan sistem lama. Pada undang-undang tersebut hakikatnya mengatur tentang dimensi-dimensi sebagai berikut:98
1) Membentuk Kantor Perlindungan Saksi Nasional dibawah wewenang Menteri Hukum dan Perkembangan Konstitusi. Kantor tersebut dikepalai oleh direktur nasional dan memiliki kantor perwakilan pada sembilan provinsi di Afrika Selatan. Meskipun belum ada amandemen peraturan, namun pada tahun 2001 kantor tersebut diubah susunan menjadi bagian dari Lembaga Penuntutan Nasional dan semenjak itu dikenal sebagai Unit Perlindungan Saksi;
2) Mengatur fungsi dan tugas direktur, termasuk wewenang untuk menentukan penerimaan kedalam program. Keputusan direktur bedasarkan rekomendasi dari kepala kantor cabang dan petugas yang relevan dari lembaga penegak hukum serta Lembaga Penuntutan Nasional. Keputusan direktur untuk menolak suatu permohonan atau melepaskan seorang dari perlindungan dapat ditinjau ulang oleh Menteri Hukum dan Perkembangan Konstitusional;
3) Mendefinisikan jenis-jenis kejahatan yang dapat dijadikan dasar permohonan perlindungan oleh saksi, prosedur yang perlu ditaati dan orang-orang yang dapat mengajukan permohonan. Daftar tindak pidana tidak bersifat eksklusif karea direktur berwenang untuk menyetujui perlindungan bagi saksi dalam proses persidangan lainnya jika dianggap bahwa keamanan saksi tersebut memerlukan perlindungan;
4) Menentukan bahwa proses persidangan perdata yang tertunda karena saksi berada dalam perlindungan dapat ditangguhkan oleh hakim, dengan permohonan ex-parte, untuk mencegah pengungkapan identitas atau lokasi saksi atau untuk mencapai tujuan undang-undang. Kantor perlindungan saksi menjadi alamat yang ditujukan dalm proses persidangan yang melibatkan saksi tersebut;
6) Memberikan wewenang kepada Menteri Hukum dan Perkembangan Konstitusional untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau organisasi internasional yang mengatur kondisi dan kriteria relokasi saksi asing ke Afrika Selatan dan penerimaannya kedalam program perlindungan saksi di Afrika Selatan. Relokasi tersebut membutuhkan persetujuan menteri.
Pada negara Afrika Selatan, perlindungan saksi berada dalam Departemen Kehakiman dengan nama jawatan Perlindungan Saksi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Saksi Nomo 112 Tahun 1998. Pada dasarnya, tugas dan wewenang jawatan ini ini adalah melindungi saksi, melaksanakan tugas administrasi, membuat perjanjian dan membuat kesepakatan dengan departemen lainnya. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, jawatan perlindungan saksi ini memiliki hubungan khusus dengan institusi lainnya. Seperti Komisi Khusus, Direktorat Pengaduan Independen, Penuntut Umum, Departemen Lembaga Pemasyarakatan, Organisasi Publik Lainnya Dan Pejabat-Pejabat Keamanan.99
C. Peran Whistleblower dalam Mengungkap Kasus Korupsi di Indonesia
Whistleblower dapat berperan besar dalam mengungkap praktik-praktik
koruptif lembaga-lembaga publik, pemerintah, maupun perusahaan swasta. Tanpa adanya sistem pelaporan dan perlindungan Whistleblower, partisipasi publik untuk membongkar suatu dugaan tindak pidana atau pelanggaran menjadi rendah. Hal itu berarti praktik-praktik menyimpang, pelanggaran, atau kejahatan pun semakin berkembang subur. Oleh karena itu, peran Whistleblower di Indonesia perlu terus
99
didorong, disosialisasikan, dan diterapkan, baik di perusahaan, lembaga pemerintah, dan instansi publik lainnya.100
Di Indonesia, bukan berarti tidak ada perlindungan bagi Whistleblower,
namun yang menjadi masalah ditengah besarnya peran Para pengungkap fakta tersebut, maka ancaman dan serangan balik yang mereka terima pun masih banyak. Undang-udang belum memberi perlindungan penuh seperti di beberapa negara yang sudah dibahas sebelumnya. Memang untuk membangun dan mengembangkan peran Whistleblower itu membutuhkan waktu dan proses, namun harus disertai juga dengan perundang-undangan yang memberi dukungan penuh bagi mereka.
Ditengah minimnya perlindungan hukum di Indonesia, namun bukan berarti tidak ada yang berani mengungkap beberapa kasus-kasus besar di Indonesia. Memang perlawanan yang mereka dapatkan membuat orang lain yang punya kunci besar untuk mengungkap para mafia dan juga kejahatan-kejahatan terorganisir, sehingga memang sangat perlu segera memperbaharui hukum di Indonesia. Sehingga pada akhirnya, setiap orang bisa membeberekan dengan bebas dan tanpa ketakutan serta beban dalam dirinya.
Jika dilihat bagaimana kebebasan yang dimiliki oleh para pengungkap fakta di Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara lainnya, di Indonesia juga diharapkan adanya kebebasan seperti itu. Peran yang sangat besar dimiliki oleh
Whistleblower untuk membantu para penegak hukum untuk memperbaiki sistem
yang sudah terlalu lama rusak di negara ini.
100
Memang pada dasarnya seorang Whistleblower merupakan seorang martir. Ia sang pemicu pengungkapan skandal kejahatan yang kerap melibatkan atasan maupun koleganya sendiri.101 Namun negara juga harus berjuang melindungi mereka yang sudah memberikan hidupnya sebagai martir, dengan cara memberikan perlindungan yang terbaik.
Dalam negara Indonesia, dikenal satu lembaga yang berperan penting dan memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan kepada Whistleblower,
yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun lembaga ini juga belum mampu berbuat banyak sebagaimana yang diharapkan bersama-sama.
Ditengah-tengah kekurangan itupun, tidak membuat mereka takut, namun mereka sudah memberikan nyawa mereka sebagai martir hanya demi sebuah keadilan. Terkhusu dalam tindak pidana korupsi, banyak para pengungkap fakta pada akhirnya memilih berteriak, agar mereka didengar. Berikut adalah mereka sang pelapor yang berjasa besar dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia:
a. Agus Condro
Agus Condro adalah pelapor (Whistleblower) sekaligus pelaku (Justice
Collaborator) yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam
pengungkapan tindak pidana korupsi penerimaan travel chaque oleh anggota komisi IX DPR RI periode tahun 1999-2004. Berdasarkan kerjasamanya dalam melaporkan dan mengungkapkan perkara korupsi penerimaan travel chaque oleh anggota komisi IX DPR RI periode tahun 1999-2004 tersebut, oleh majelis hakim
101
dijadikan sebagai hal yang meringankan hukumannya menjadi 1 tahun dan 3 bulan. Hukumannya ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum yaitu 1 tahun 6 bulan.102
Mantan anggota DPT RI periode 1999-2004 dari Partai PDI Perjuangan tersebut mengungkapkan kepada publik bahwa dia dan beberapa koleganya menerima cek perjalanan sebagai suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2000an awal. Agus condro secara terbuka mengakui dia termasuk sebagai penerima cek dari seorang pengusaha untuk diduga untuk memenangkan calon deputi, Miranda Gultom. Pengakuan Agus inilah yang membedakan sikap dirinya dengan koleganya yang memilih bungkam, meski pada akhirnya divonis bersalah oleh pengadilan. Secara tidak langsung skandal yang melibatkan yang banyak melibatkan banyak pilitisi DPR ini dapat terkuak berkat pengakuan Agus beberapa tahun setelah penyuapan terjadi.103
Pada tanggal 4 Juli 2008 Agus Condro diperiksa oleh Penyidik KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan suap BI kepada kepada Hamka Yandu. Di dalam pemeriksaan tersebut, Agus Condro menyatakan bahwa dia tidak pernah menerima uang dari Hamka Yandu, tetapi ia mengakui bahwa ia pernah menerima uang Rp500 juta dalam bentuk 10 (sepuluh) lembar travel cheque (@Rp50 juta) dari Dudhie Makmun Murod. Uang itu diberikan sehari setelah pemilihan Deputi Gubernur BI di Komisi IX DPR RI yang dimenangi oleh Miranda Gultom.104
102
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower…, Op.cit, hal. 130 103
Nurul Ghufron, op.cit, hal. 3 104