• Tidak ada hasil yang ditemukan

09. Persoalan dalam Hidup Keluarga Katol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "09. Persoalan dalam Hidup Keluarga Katol"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Adinefo Irianto & Karolus

PERSOALAN-PERSOALAN DALAM HIDUP BERKELUARGA

I Pendahuluan

Salah satu tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Setiap orang berusaha untuk mengejar dan menggapai kebahagiaan. Demikian juga dengan keluarga. Tujuan manusia membangun keluarga adalah kebahagiaan. Dalam usaha mengejar kebahagiaan, keluarga berhadapan dengan persoalan-persoalan, yang jika tidak disadari dan diolah dengan bijaksana akan memicu terjadinya kehancuran dalam hidup berumah tangga. Perlu disadari bahwa, keluarga bahagia bukanlah keluarga yang tanpa persoalan-persoalan dalam dirinya. Keluarga yang bahagia adalah keluarga yang mampu mengolah persoalan-persoalan yang ada. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa persoalan-persoalan dalam hidup berumah tangga akan membuat ketegangan dan tidak jarang suami-istri terlibat dalam pertengkaran, dan lebih parahnya adalah pertengkaran bisa berujung pada perceraian. Keluarga dibangun bukan untuk menciptakan persoalan, tetapi keluarga berusaha menyadari dan mengolah persoalan-persoalan yang ada dalam dirinya. Persoalan-persoalan yang kerap kali dihadapi dalam merajut bahtera keluarga adalah persoalan ekonomi, pekerjaan, anak, pendidikan, perkawinan, seks, dan kesehatan. Persoalan-persoalan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini.

II Persoalan-Persoalan dalam Hidup Berkeluarga

Membangun keluarga berarti memiliki kesadaran akan adanya persoalan-persoalan yang akan dihadapi. Dengan kesadaran itu, orang mampu mencari jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidup. Keluarga tidak bisa bersembunyi dari persoalan-persoalan hidup yang menerpa dirinya. Berikut ini beberapa persoalan yang kami tawarkan untuk membuka kesadaran bagi mereka yang membangun sebuah keluarga.

1.1 Persoalan Ekonomi: Kebutuhan, Pekerjaan dan Penghasilan

“Masalah ekonomi sering kali menjadi penyebab pertengkaran keluarga dan tak jarang berujung pada perpisahan.”1 Ekonomi keluarga berkaitan dengan penghasilan dan pekerjaan,

mengenai keterpenuhan kebutuhan primer (juga sekunder bagi yang mampu).2 Keterpenuhan

1 http://tipspernikahan.com/menjaga-pernikahan/masalah-ekonomi-sumber-pertengkaran-keluarga/, diakses tanggal

13 April 2012

2 Contoh kebutuhan primer adalah makanan, tempat tinggal, pakaian, kebutuhan sehari-hari yang fundamental,

(2)

ekonomi keluarga menggambarkan suatu keluarga yang mandiri.3 Persoalannya justru terletak

pada ketidakterpenuhnya kebutuhan keluarga oleh karena pekerjaan dan penghasilan yang tidak memuaskan.4 Orang kadang sulit untuk menerima kenyataan hidup dengan penghasilan yang

sedikit.

Banyak orang beranggapan bahwa, “mempunyai pekerjaan berarti mempunyai masa depan yang cerah”. Anggapan ini banyak benarnya,5 karena dengan pekerjaan orang bisa

memenuhi kebutuhannya dan juga bisa mempersiapkan masa depannya dengan menabung. Pekerjaan membuat orang bisa melakukan banyak hal, di antaranya orang bisa membeli mobil, bisa rekreasi dan lain sebagainya. Pekerjaan juga membantu orang untuk mengembangkan dirinya dan juga membuat orang diakui dalam masyarakat. Akan tetapi, pekerjaan juga bisa menjadi persoalan. Pertama, medan kerja suami atau istri berada di luar pulau. Hal ini membuat mereka jarang bertemu untuk membangun relasi yang intim. Prasangka-prasangka buruk bisa muncul dari salah satu pasangan, misalnya cemburu, adanya perselingkuhan, dan lain-lain.

Kedua, suami yang tidak memiliki pekerjaan sama sekali (nganggur). Ketiga, suami sibuk dengan pekerjaannya di kantor, akibatnya perhatian kepada anak berkurang. Ketiga persoalan tersebut dapat menyebabkan kekacauan dalam hidup berkeluarga.6 Selain itu, pekerjaan juga bisa

menjadi sumber konflik dalam keluarga, terutama bagi pasangan suami-istri yang sama-sama memiliki pekerjaan. Persoalan-persoalan yang muncul, antara lain: pekerjaan siapa yg lebih diprioritaskan, siapa yang mengurus rumah tangga (memasak, belanja, dan lain-lain), siapa yang menyelesaikan pekerjaan yang masih menumpuk, masalah mencari waktu liburan karena kesibukan, tidak memiliki waktu untuk orang lain, dan siapa yang merawat anak.7 Apabila hal

semacam ini tidak diolah dengan baik, tidak menutup kemungkinan suatu keluarga akan berantakan.

1.2 Perkawinan: Kawin campur dan seks

3 Keluarga mandiri yang dimaksud adalah keluarga yang tidak menggantugkan dirinya kepada orang lain, terutama

tidak bergantung kepada orangtua.

4 Lihat keluh-kesah seorang ibu dalam

http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Suami-Lesu-Istri-Jemu, diakses 16 April 2012

5 Kadang-kadang ada orang yang memiliki pekerjaan,tetapi tidak memiliki masa depan yang baik. Lihat saja para

mantan atlit dan olahragawan atau olahragawati Indonesia.

6 Bdk. http://www.lifestyle.kompasiana.com/urban/2011/11/15/jika-ada-masalah-keluarga-kemana-harus-pergi/,

diakses pada tnggal 16 Maret 2012, jam 19:30 WIB.

(3)

Gereja Katolik mengenal yang namanya kawin campur. Kitab Hukum Kanonik 1983 membedakan kawin campur menjadi dua, yakni kawin campur beda Gereja dan kawin campur beda agama. Di tengah pluralitas agama, Gereja tidak mampu membendung terjadinya perkawinan campur. Di satu sisi, Gereja menghargainya terjadinya perkawinan campur, dan sisi lain Gereja bisa kehilangan identitasnya jika perkawinan campur tidak menghayati iman kristiani dengan benar. Ada beberapa pasangan dari kawin campur yang tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang muncul karena perbedaan iman, anak tidak didik sesuai dengan iman kristiani, terjadinya perceraiannya, dan lain sebagainya. Hal ini memberi gambaran bahwa perkawinan campur bisa menimbulkan persoalan dalam kehidupan berkeluarga, terutama dalam menghayati iman Katolik dan mendidik anak-anak secara Katolik.8 Persoalan lain mengenai kawin campur

adalah masalah kesahan perkawinan, pencatatan sipil, harta benda, perceraian, status anak dan warisan.9 Dalam perkawinan campur, pasangan yang dari kristiani harus mampu berpegang teguh

pada imannya.

Dalam membina keluarga juga dibutuhkan tindakan seks. Tindakan seks menjadi wujud ekspresi cinta yang paling indah. Tujuan dari seks adalah prokreasi. Namun, seks sering dijadikan alat untuk tujuan tertentu, sehingga melahirkan bentuk-bentuk kekerasan, manipulasi, eksploitasi, perendahan martabat manusia. Itu terjadi baik dalam institusi keluarga maupun dalam relasi antar pasangan di luar institusi keluarga, misalnya istri dipasksa bersetubuh, penyiksaan, dan lain-lain. Dewasa ini, ada orang-orang merasa tidak perlu menikah untuk bisa menikmati seks.10 Seks bisa didapatkan di pinggir jalan atau di tempat-tempat yangg sengaja

dijadikan tempat prostitusi. Seks dianggap barang dagangan untuk mendapatkan penghasilan. Di sinilah, seks kehilangan keluhurannya.

Seks juga sering dianggap sebagai kebutuhan seperti layaknya orang makan. Orang hanya mencari kesenangannya semata, sehingga apabila pasangan tidak lagi memberikan kesenangan dan kepuasan, maka muncul tindakan untuk menyeleweng dan berpindah hati. Akibat yang timbul adalah suami-istri menghadapi gejala-gejala perselingkuhan, pergaulan dan komunikasi yang semakin bebas antara laki-laki dan perempuan, pornografi, perceraian, komersialisasi seks

8 http://gerejastanna.org/seks-dan-kasih-sayang/, diakses pada tanggal 16 Maret 2012, jam 19:30 WIB.

9 Lihat http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/PERKAWINANCAMPURANartikel.pdf, diakses tanggal 16

April 2012.

(4)

dan media massa yang terlalu bebas.11 Dunia seks semakin mengerikan apabila manusia tidak

menyadari keluhuran dari tindakan seks, yaitu untuk meneruskan kehidupan.

1.3 Anak Dan Pendidikan

Setiap keluarga Kristiani pastilah mengharapkan kehadiran anak-anak. Anak adalah anugerah dari Tuhan, yang merupakan bagian prokreasi manusia dalam kerja samanya dengan Tuhan. Kehadiran anak menambah kegembiraan dan kebahagiaan. Anak adalah penerus garis keturunan dan menjadi ahli waris. Anak adalah perlindungan orang tua di saat usia senja. Anak sangat diinginkan dalam hidup berumah tangga, sehingga tidak mengherankan apabila ada kegelisahan bagi pasangan suami-istri yang belum memiliki anak, atau yang tidak bisa memiliki anak. Tidak memiliki anak bisa menjadi bahan keributan dalam keluarga.

Kehadiran anak juga bisa menghadirkan permasalahan. Siapa yang harus memelihara anak dan siapa yang bertanggung jawab atas anak yang “nakal”, dan bagaimana memperlakukan anak yang cacat, dan lain sebagainya. Anak perlu mendapat perhatian, baik fisik (belaian, memberikan baju baru, dsb), psikologis (kasih sayang, meluangkan waktu untuk anak, dsb), dan spiritual (pembekalan dan pengenalan akan iman, dan semangat hidup). Namun, kadang kala orang tua kurang ada perhatian terhadap anak, terlalu membebankan anak dengan pekerjaan, anak-anak tidak memiliki hak atas ibu dan bapak.12 Kurang perhatian orang tua terhadap anak

bisa membuat anak merasa dirinya tidak berharga dan tidak dianggap sebagai anak. Yang lebih parahnya adalah mereka bisa lari dari rumah dan menjadi anak Tekyan13 yang harus hidup di

jalanan dengan segala risiko dan bahaya.

Hal lain yang menjadi persoalan dalam hubungannya dengan kehadiran anak adalah Kehamilan yang tak terduga. “Bagi beberapa ibu yang bekerja, kehamilan yang tidak direncanakan atau yang tidak diinginkan, secara emosional akan membuat mereka tergoda untuk melakukan aborsi atau adopsi.”14 Adopsi yang dimaksud di sini adalah orang memberikan anak

kepada orang lain karena si pemberi tidak mau memiliki anak. Dengan kata lain, kehadiran anak tidak diinginkan, sehingga dibuang atau dititipkan kepada orang lain. Hal semacam ini tentu sangat meresahkan manusia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

11 KWI, Pedoman Pastoral Keluarga, (Jakarta: Obor,2011), hlm. 21-70.

12 G. Wade Rowaltt Jr dan Mary Jo Rowatt, Bila Suami-Istri Berkerja, Yogyakarta: Kanisius,1990, hlm. 46-52 13 Untuk lebih mengenal dan memahami kehidupan anak Tekyan lihat Kirik Ertanto, Tekyan atau Anak Haram

Keluarga, dalam “Di Tengah Hentakan Gelombang: Agama dan Keluarga Dalam Tantangan Masa Depan”, Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei, 1997, hlm. 51-75.

(5)

1.4 Kesehatan

Banyak dari pasangan suami-istri yang takut apabila ditinggal mati oleh pasangan hidupnya. Mereka tidak ingin orang yang mereka cintai pergi meninggalkan mereka. Tidak mengherankan ketika ada pasangan hidup atau salah satu anggota keluarga yang sakit, maka anggota keluarga yang lain akan merasa cemas dan gelisah. Belum lagi apabila yang sakit adalah tulang punggung keluarga. Siapakah yang harus bekerja dan menanggung biaya pengobatan? Siapa yang harus merawat yang sakit siang dan malam? Bagaimana jika yang sakit tidak mau berobat? Dan banyak pertanyaan lain yang berkaitan dengan persoalan kesehatan dalam keluarga. Selain itu, usia senja juga menjadi lahan subur bagi berkembangnya penyakit pada pasangan suami-istri. Usia senja dan penyakit membuat manusia tidak mampu lagi bekerja. Hal ini bisa menjadi penderitaan, sama halnya apa yang dikatakan dalam Familiaris Consortio, “ada juga penderitaan akibat memburuknya kesehatan, berkurangnya tenaga secara berangsur-angsur, rasa direndahkan karena terpaksa tergantung dari orang lain, rasa bersalah …..”15 Di sinilah

kepedulian anak sangat dibutuhkan. Mereka adalah pemerhati dan perawat orang tua. Di sinilah tanggung jawab anak-anak bagi orangtua.

III Penutup

Keluarga bagaikan sebuah bahtera yang sedang mengarungi samudra untuk mencari pelabuhan hidup. Dalam mengarungi samudra, bahtera harus terombang-ambing menghadapi gelombang dan berbagai rintangan. Bahtera yang sampai di pelabuhan hidup adalah bahtera yang mampu mengendalikan diri di tengah lautan. Bahtera yang sampai di pelabuhan hidup itulah keluarga yang bahagia. Keluarga yang bahagia ialah keluarga yang mampu mengolah berbagai problem/konflik yang muncul. Sesungguhnya, keluarga tanpa masalah tidak pernah benar-benar ada. Suami-istri bukanlah pasangan malaikat. Keduanya adalah manusia yang kadang berbeda karakter dan sering kali berbeda pendapat. Persoalan-persoalan yang ada dalam hidup berkeluarga adalah hal-hal yang semakin mematangkan suatu keutuhan keluarga.

15 Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana SJ, Jakarta: Departemen

(6)

Daftar Pustaka

Buku

KWI. Pedoman Pastoral Keluarga. Jakarta: Obor, 2011

P, Suwito, Pr. Panduan Kesejahteraan dan Kebahagiaan Keluarga. Malang: Obor, 2006

Paulus, Yohanes II. Familiaris Consortio. diterjemahkan oleh R. Hardawiryana SJ. Jakarta:

Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993.

S, A. Made Tony, dkk (eds.). IDi Tengah Hentakan Gelombang: Agama dan Keluarga Dalam

Tantangan Masa Depan. Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei, 1997.

Wade, G. Rowatt Jr dan Mary Jo Rowatt, Bila Suami-Istri Berkerja, Yogyakarta: Kanisius,1990,

hlm. 13-20

Internet

http://gerejastanna.org/seks-dan-kasih-sayang/, diakses pada tanggal 16 Maret 2012, jam 19:30

WIB.

http://tipspernikahan.com/menjaga-pernikahan/masalah-ekonomi-sumber-pertengkaran-keluarga/, diakses tanggal 13 April 2012

http://www.lifestyle.kompasiana.com/urban/2011/11/15/jika-ada-masalah-keluarga-kemana-harus-pergi/, diakses pada tanggal 16 Maret 2012, jam 19:30 WIB.

http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/Suami-Lesu-Istri-Jemu, diakses 16 April

2012

http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/PERKAWINANCAMPURANartikel.pdf, diakses

Referensi

Dokumen terkait

Ketika driver memiliki distributive justice yang tinggi cenderung memiliki persepsi yang positif pada perusaan sehingga akan tetap bekerja dan tidak banyak mengeluh karena

Dari uraian tersebut, maka dapat disimpul- kan ada tiga tindakan pencegahan yang dilakukan toko produk pangan yang menjadi responden da- lam penelitian ini yaitu kebijakan

Secara garis besar ada dua kelompok yang layak dan berhak menjadi ahli waris, pertama yaitu kelompok orang-orang yang sudah ditentukan dalam Hukum dan Undang-undang yang

Menurut penuturan dari narasumber, dengan adanya pelaksanaan ritual musikal totobuang ini potensi dan ketrampilan dari setiap anggota komunitas haur dapat

Kerugian ekonomi akibat penyakit rabies yang diperhitungkan pada manusia adalah biaya kesehatan masyarakat berupa biaya yang dikeluarkan oleh korban gigitan anjing rabies atau

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan antara pola komunikasi keluarga dengan frekuensi kekambuhan klien perilaku kekerasan sehingga perawat dapat

Berdasarkan uraian diatas, bahwa aspek kompetensi sosial adalah aspek prosocial orientation (perilaku prososial) yang terdiri dari kedermawanan (generosity), empati

Input yang digunakan pada program analisa biaya dalam pengambilan keputusan beli-sewa backhoe adalah untuk database program, perhitungan biaya kepemilikan,