• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Demokrasi dalam Pemilu Serenta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tantangan Demokrasi dalam Pemilu Serenta"

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

28

KO M PA S, M I N G G U, 3 0 A G U S T U S 2 01 5

Politik uang mewarnai pemilu atau pilkada di Indonesia

Pemilu atau pilkada yang akan datang terbebas dari praktik politik uang

Penerima uang dalam pemilu atau pilkada akan memilih kandidat yang memberi uang

Keterangan:

Jajak pendapat diselenggarakan oleh Litbang ”Kompas” pada 19–21 Agustus 2015 dengan jumlah responden 519 orang berusia minimal 17 tahun, tersebar di 12 kota besar di Indonesia. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan penelitian + 4,4 persen.

85,7 %

8,5 %

5,8 %

72,1 %

6,4 %

21,6 % 14,5 %

8,5 % 77,1 %

Yakin Tidak Yakin

Tidak Tahu/Tidak Jawab Sumber: Litbang Kompas

INFOGRAFIK: SALOMO

SE

NI

PUISI

HASTA INDRIYANA

Ayam Tangkap

Di semak salam koja dan daun pandan Kutangkap kau, segumpal daging Berlumur asam sunti, batang serai yang Serasa merica

Kutunggu kau di simpang Ulee Kareng Di samping kedai kopi arabika di serambi Mekah bertanah merah

Ayo berdendang menyanyikan bungong Jeumpa yang liriknya meletus-letus Seperti suara gegap dari hutan yang jauh

Banda Aceh, 2009-2015

I

ndonesia pasca otoritarianisme diwarnai dengan munculnya re-organisasi elite masa lalu yang hendak menjaga dominasi dalam era demokrasi baru (Hadiz & Robison, 2004). Hal tersebut berimplikasi pada maraknya perilaku predator politik yang dilakukan elite, baik dalam tingkat politik nasional maupun politik lokal.

Perilaku predator politik yang fenomenal adalah perilaku politik uang, yang menggurita di setiap level pemerintahan melalui skema political budget cycle(Farhan, 2013). Perilaku politik uang, terutama dalam pemilu itulah yang kemudian menjaga eksistensi dan menyuburkan patronase dan klientelisme dalam era demokrasi.

Hasil penelitian kolaboratif yang diselenggarakan oleh Coral Bell School of Asia Pacific Affairs di Australian National University dan Politics and Government Research Center di Universitas Gadjah Mada tahun 2013-2014 ini melihat adanya relasi politik uang dalam pemilu yang kemudian menyuburkan praktik patronase dan klientelisme dalam demokrasi lokal. Patronase dimaknai sebagai bentuk distribusi materi atau keuntungan politik yang dilakukan oleh politisi kepada pemilih atau pendukungnya. Sedangkan klientelisme dipahami sebagai karakter relasi antara politisi dengan pemilih atau pendukung (hal 4).

Modus politik uang

Praktik politik uang dalam kajian buku ini dicontohkan dalam bentuk dana aspirasi dan pengerahan proyek pemerintah terhadap geografi maupun segmen konstituen tertentu (pork barrel), aksi jual-beli suara (vote buying), aksi dagang suara (vote trading), dan pemberian bantuan kepada kelompok sosial tertentu (club goods). Kedua pemahaman beserta varian contoh politik uang itulah yang kemudian digunakan sebagai perspektif analisis dalam memetakan dan mengelaborasi praktik politik uang di 19 daerah sampel penelitian.

Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam buku ini terletak pada dua premis penting. Pertama, sejauh mana aspek timbal balik (re c i p ro c a l trust) antara politisi dan pemilih itu terjaga sampai hari H pemilu digelar. Tidak ada jaminan 100 persen dari pemilih untuk tetap setia memilih politisi yang melakukan praktik politik uang. Kondisi ketidakpastian merupakan bagian dari ekses hubungan patrimonialisme baru di era demokrasi. Hubungan patronase kini bersifat egaliter, dinamis, dan rasional. Artinya, hubungan tersebut tidak mengikat pemilih dengan politisi tersebut, baik secara materi maupun afeksi.

Masyarakat memiliki kecenderungan untuk menjadi pemilih prag-matis. Indikasinya bisa disimak dari istilah ora uwek ora obos,wani piro,

cempedak dibawa bilik,ado kendak baru uak balek, dan ana duit ya dipilih. Munculnya berbagai macam ekspresi budaya politik lokal dari ma-syarakat tersebut sebenarnya juga terpengaruh pada sikap elite politisi maupun partai politik yang setelah mendapatkan kursi, justru melupakan ko n st i t u e n ny a .

Kedua, sejauh mana praktik politik uang itu terus-menerus efektif sebagai alat kampanye dalam ajang pemilu. Pemilu yang menganut sistem proporsional terbuka membuat kompetisi sengit dan saling sikut antarpolitisi kian kuat. Hal itu berimplikasi pada aksi jor-joran dalam penggelontoran uang baik dalam bentuk club goods, vote buying, maupun juga vote trading.

Dampak kompetisi terbuka tersebut memunculkan friksi, saling intrik, bahkan intimidasi sesama calon satu partai maupun beda partai melalui uang maupun kekerasan untuk saling berebut suara publik. Kejadian yang sering terjadi di lapangan adalah munculnya swing voters yang kemudian bisa berubah preferensi politiknya hanya karena menilai besaran ”uang cendol” yang mereka terima dari politisi.

Kondisi demikian menjadi titik kritis dalam memahami politik uang. Hanya kandidat yang memiliki kekuatan material dan karisma personal memadai bisa mendapatkan dan mempertahankan kursi kekuasaan. Sementara bagi kandidat politisi yang tidak memiliki kedua sumber daya tersebut bisa jadi hanya menjadi pelengkap penderita dalam pemilu ini.

Tiga pola

Kedua pertanyaan penting di atas digunakan dalam menganalisis kasus di 19 daerah dalam mempraktikkan patronase dan klientelisme melalui politik uang. Secara garis besar, temuan riset yang dihasilkan dalam bunga rampai tulisan di buku ini menghasilkan pola menarik.

Pola pertama, patronase dan klientelisme berbasis etnisitas dan agama. Pola tersebut berlaku dalam kasus Aceh (Bener Meriah dan Bireuen), Sumatera Utara (Medan), Sumatera Selatan (Palembang), dan Bangka Belitung. Pola kedua, patronase dan klientelisme berbasis makelar politik (b ro ke ra g e ), baik itu organisasi sosial maupun organisasi massa seperti dalam kasus Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat (Bekasi dan Cirebon), Jawa Tengah (Pati dan Blora), Jawa Timur (Jombang dan Madiun).

Pola ketiga adalah patronase dan klientelisme berbasis pelayanan konstituen (constituency services) dalam kasus Kabupaten Kapuas (Ka-limantan Tengah), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jayapura (Papua). Khusus mengenai broker politik, kajian Aspinall (2014) berjudul When Brokers Betray: Clientelism, Social Networks, and Electoral Politics in Indonesiamempertajam aspek broker politik pemilu dalam ketiga varian. Varian tersebut adalah activist broker, opportunist broker, juga pat -rimonial brokeryang dibedakan menurut sikap militan atau pragmatis broker dalam mendukung calonnya.

Ketiga pola patronase dan klientelisme tersebut merupakan intisari utama dalam buku ini. Politik uang dalam pemilu terjadi karena faktor mutualisme dan ketergantungan, baik dari sisi politisi maupun pemilih. Politisi ingin mempertahankan kursi jabatan dengan jalan instan dan cepat. Pemilih ingin dihargai hak dan keinginannya oleh politisi sehingga menjadikan suara sebagai alat penekan dan komoditas utama.

Kontribusi penting buku ini adalah menganalisis fenomena politik uang di Indonesia dalam pemilu yang selama ini hanya dilihat dari perspektif institusional. Melalui pendekatanb e h a v i o ra l , analisis politik uang menjadi dinamis mengenai peran dan aksi aktor, baik itu politisi, broker, ormas, maupun juga publik dalam memainkan peran.

Meski demikian, buku ini kurang berhasil menangkap adanya fe-nomena neo-populisme yang terjadi di Indonesia pasca desentralisasi. Kajian Mietzner (2015) dalam Reinventing Asian Populism melihat sosok Jokowi secara makro sebagai anomali dalam politik nasional Indonesia. Kemenangan dalam pemilu tersebut bukanlah karena politik uang, melainkan karena semangat melayani sebagai abdi publik.

Efek populisme dalam pemilu di era desentralisasi kini juga me-munculkan pemimpin populis daerah lainnya, seperti Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya) dan Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung). Oleh karena itulah, penerapan pemilu se-rentak yang dimulai akhir tahun 2015 menjadi tahun penting untuk melihat kontestasi awal antara po-litik uang berbasis patronase dan klientelisme dengan munculnya ge-lombang populisme ini. Sejauh ma-na tingkat pendalaman demokrasi masyarakat dipertaruhkan dalam membangun sistem politik dan pe-merintahan yang baik.

WASISTO RAHARJO JATI

Peneliti P2P LIPI

PUBLIK BICARA

Masih Beranikah Menebar Uang?

P

olitik uang hampir selalu adadalam pemilu atau pilkada. Tidak

hanya dalam proses menjelang pemungutan suara, tetapi hingga pasca pemungutan suara aroma politik uang masih terasa. Kapan Indonesia bisa terbebas dari praktik jual beli suara itu?

Pusat Riset Politik dan Pemerin-tahan Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menguraikan empat ben-tuk politik uang dalam tahapan pemilu atau pilkada (Politik Uang di Indonesia: 2015). Pertama, pemberian uang tunai dan jasa yang didistribusikan oleh po-litisi, baik yang berasal dari dana pri-badi maupun dana publik. Kedua, aksi jual beli suara atau vote buying. Ketiga, aksi dagang suara atau vote trading. Keempat, pemberian bantuan kepada kelompok sosial tertentu atau club goods.

Fakta bahwa politik uang (money politics) itu ada dan diyakini akan masih terus ada mendapat penegasan hasil jajak pendapat Litbang Ko m p a s . Hanya 8,5 persen responden yang masih ragu ada tidaknya politik uang dalam pemilu atau pilkada. Sebalik-nya, 85,7 persen responden mengaku yakin bahwa po-litik uang mewarnai pe-nyelenggaraan pemilu dan pilkada selama ini.

Meski transaksi jual beli

suara dalam pilkada biasa dilakukan antara para kandidat kepala daerah dan calon pemilih, sikap kritis masyarakat tampak cukup besar. Jajak pendapat mengungkapkan, tiga perempat responden (77,1 persen) tidak yakin rakyat akan memilih kandidat yang memberi uang. Bahkan, sekitar 90,5 persen responden—dari mereka yang mengaku pernah menerima uang—ti -dak yakin mereka yang menerima uang atau barang dalam bentuk apa pun akan begitu saja memberikan suaranya

ke-pada kandidat yang memberi uang.

Edukasi pemilih

Meski masyarakat memiliki kesa-daran kritis, mayoritas responden (72,1 persen) tetap meyakini bahwa politik uang masih akan mewarnai pilkada. Praktik bagi-bagi uang atau barang se-bagai cara atau strategi mendulang sua-ra dukungan akan masih ada.

Upaya untuk menyelenggarakan pe-milu ”bersih”atau meminimalkan po-litik uang sesungguhnya sudah

dilaku-kan banyak pihak. Namun, edukasi atau penyadaran publik, khususnya para ca-lon pemilih, untuk berpartisipasi aktif menciptakan pilkada ”bebas politik uang”perlu terus dilakukan.

Rakyat harus berani menentukan pilihan calon pemimpinnya yang sung-guh-sungguh berintegritas dan kapabel. Pemilih harus berani menolak dan ti-dak memilih calon pemimpin yang ha-nya mengandalkan uang. Sebab, politik uang merupakan bentuk perilaku yang membodohi rakyat. Segala sesuatu di-ukur dengan uang sehingga ”kursi ke-k u a sa a n ” sebagai kepala daerah pun dibeli dengan uang.

Rekam jejak perilaku dan karakter kepemimpinan yang baik kandidat menjadi parameter penting yang harus diketahui calon pemilih sebelum me-nentukan pilihannya. Sebab, lambat la-un politik uang diyakini akan tumbang ketika rakyat sadar dan memilih kan-didat yang berintegritas serta memiliki rekam jejak kepemimpinan yang ter-bukti sarat prestasi.

Berdasarkan hasil jajak pendapat, uang bukan jaminan bagi para kon-testan mendulang suara bagi dirinya. Para calon kepala daerah yang akan berkompetisi akan berhadapan dengan sikap kritis masyarakat yang terus tum-buh.(ARI/LITBANG KOMPAS)

B U KU

Tantangan Demokrasi

dalam Pemilu Serentak

OLEH WASISTO RAHARJO JATI

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Judul:Politik Uang

di Indonesia: Patro-nase dan Klientelis-me pada Pemilu Le-gislatif 2014

Editor: Ed wa rd Aspinall dan Mada S u k m a j at i

Pe n e r b i t : Pe n e r b i t

PolGov, Yogyakarta

Cetakan: 1, 2015 Tebal: xviii + 562

halaman

ISBN:

978-602-71962-0-9

D ATA

B U KU

HASTA INDRIYANA

Pepes Belida

Belida yang pipih

Dari cokelat kali Pelembang Dibelit daun pisang dililit rempah Yang dilumat dilumurkan di sekujur

Daun selasih di sampingnya Disimpangkan

Aku menatapnya. Kau menatapnya Sejenak kita susuri Musi seperti Membaca Sriwijaya yang dilayari Kapal dagang dan pelancong yang Tanahnya mencuat beton yang Menjulang dan mengangkang

Baiklah, pepes kita buka

Belida yang disayat, beberapa bagian Tubuhnya gosong

Entah siapa di antara kita memulai Mengelupasi kulit dan menempelkan Balutan bumbu di lidah kita yang Tak lelah-lelah berlayar ke mana-mana

Palembang, 2003-2015

HASTA INDRIYANA

Ng a l iwet

Biarlah ketel mungil ini Menampung nasi yang gosong Di dasarnya. Lembar-lembar salam Ikan asin, dan sejumput garam Telah diaduk sesaat setelah mendidih Setelah biji-biji beras mendedah

Kita yang jauh dari Jawa Telah berlidah Sunda

Memilih memanjakan lidah dengan Sambal lalapan. Memilih memanjangkan Kerasan di rantau

Alas daun pisang, cobek yang datar Dan alasan lain membikin kita betah Membikin kosa kata kita lentur selentur Leluhur bertutur

Cimahi, 2015

NI MADE PURNAMA SARI

Sanur

Sebelum sampai di Bali, Le Mayeur dinujum mimpi: Segala tanda hidup terdampar di semenanjung asing

Camar-camar melayang dari lain dunia Memburu kepiting kecil di celah karang

Menyelinap ke dasar bumi, mengendap jadi lumut Percaya ditakdirkan sebagai asal muasal

lahirnya zaman yang baru

Bagai dua karib lama

Ia saksikan seekor ikan berbagi maut bersama segugusan rumput laut di sela puing kapal yang karam

Bulan di langit menerangi masa kecilnya Di hutan musim dingin Belgia

Berpuluh-puluh tahun jauhnya dari situ

Bulan yang itu juga

Mengingatkan pada pesisir Italia

di mana layar dan temali bertaut mengenangkan harum asin angin Asia

Atau teluk Benggala, teluk tanah jajahan dengan seorang anak gembala membagi roti dan susu kepadanya

dengan satu kuli angkut terseok di jalan bawah menara dalam kanvas yang tak kunjung terselesaikan

Mimpi debu dikubur laut pasir

Ia seketika terjaga di antara gaung lonceng Kelasi kapal menambat sauh

usai bertahan melawan badai waktu

Denpasar, 2015

NI MADE PURNAMA SARI

Bayam Pasar Banjaran

Dua porsi bayam, asin seperti gerimis pagi hari Hijau melayu saat tersaji pada piringku

Sejak kapan ia lama dimasak Atau dipetik petani umur berapa; Apa peduli waktu?

Bagaimana masa muda si lalat mati Hinggap di sela daunnya

Gagal menyamar biji jagung dan irisan bawang putih; Apakah maut mau tahu?

Suatu hari, bila kudapat sebuah takdir

Jadi tumbuhan bayam di kebun tua di manapun atau liar di jalan-jalan di manapun

Kubiakkan diriku, sebanyak-banyaknya

Melawan usia waktu yang selalu pongah menatapku Menepis kerling maut yang mengintai hidup matiku

Daunku yang lebat, dipetik para petani Dihidang sebagai sarapan pagi, di sini

Daunku yang hijau lebat

Dulu menaungi kumpulan sarang semut Tidur berlindung di lelap akarku

Depok, 2015

Hasta Indriyanalahir di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, 31 Januari 1977. Buku puisinya berjudul Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta (2003) dan

Piknik yang Menyenangkan (2014).

Ni Made Purnama Sarilahir di Klungkung, Bali, 22 Maret 1989. Ia lulus dari Jurusan Antropologi Univer-sitas Udayana dan kini melanjutkan studi di Universitas Indonesia. Puisinya antara lain termuat dalam antologi dwibahasa Couleur Femme ( 2 01 0 ) .

ASIAN WATER COLOUR EXPRESSION II 2014

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini juga sama dengan hasil penelitian (Santoso, 2013) bahwa perputaran modal kerja tidak mempunyai pengaruh terhadap profitabilitas perusahaan. Perputaran

Berdasarkan penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan di kelas IV SD Negeri 3 Karanggude, diperoleh hasil bahwa penerapan model pembelajaran berbasis masalah dapat

You benefit from real-time insights and analytics that allow you to securely and quickly develop apps and services to enhance customer experiences, create new business models, and

Berdasarkan Berita Acara Evaluasi Dokumen Penawaran dan Kualifikasi, 22 Maret 2017 yang menghasilkan Calon Pemenang dan berdasarkan Dokumen Penawaran dan Kualifikasi Jasa

Sehubungan dengan Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi pada LPSE Kabupaten Deli Serdang untuk Paket Pekerjaan Jasa Konsultansi Pengawasan Jasa Konstruksi Rehabilitasi

Dalam bahasa Jerman adalah kase, sedangkan di Perancis fromage serta Spanyol dan Italia menamakan produk ini sebagai queso dan formaggio yang merupakan salah satu bahan pangan

Dari penelitian ini maka ditarik kesimpulan bahwa untuk terdapat hubungan yang nyata (signifikan) antara tingkat kebugaran terhadap keterampilan bermain bola basket,

[r]