• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI IDENTITAS NASIONAL INDONESIA 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSTRUKSI IDENTITAS NASIONAL INDONESIA 2"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 86 KONSTRUKSI IDENTITAS NASIONAL INDONESIA

Oleh H. Purwanta

ABSTRACT

This article discussed the construction of Indonesian national identity and it’s development in three historical periods (national movement, era of Soekarno and New Order). Through digging the historicity of the concept of national identity, we could understand what kind of descriptions that Indonesian gave to “self” and “the other” in those three historical periods. The topic is very important, especially when Indonesia has to face cosmopolitanism which is propagandized by multi national powers.

Pengantar

Ketika wacana kosmopolitanisme diproduksi dan dipropagandakan oleh para pendukung globalisasi melalui berbagai institusi multi nasional, salah satu akibat yang dirasakan oleh berbagai bangsa adalah semakin merosotnya kesadaran akan identitas nasional, terutama di kalangan generasi muda. Fenomena itu direspon secara beragam oleh berbagai negara. Di negara-negara maju respon yang menonjol adalah berkembangnya konservatisme. Di Amerika Serikat yang kebijakan pendidikan merupakan otonomi negara bagian, berkembangnya konservatisme antara lain dapat disimak dari pertemuan dewan pendidikan Texas. New York Times pada tanggal 12 Maret 2010 memberitakan:

(2)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 87 and presenting Republican political philosophies in a more positive light.

Pada kutipan itu, New York Times melaporkan bahwa setelah pertemuan tiga hari yang bergolak, Dewan Pendidikan Texas, pada hari Jumat menyetujui kurikulum Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang akan menggunakan pandangan konservatif pada buku teks pelajaran sejarah dan ekonomi, yaitu pandangan yang menekankan keunggulan kapitalisme Amerika, mengkaji komitmen para pendiri bangsa terhadap sistem pemerintahan yang sangat sekuler dan menyajikan filsafat politik Republikan dengan nuansa yang lebih positif.

Fenomena berkembangnya konservatisme yang lebih ekstrem terjadi di Jepang. Setelah mengkritik buku teks mata pelajaran sejarah yang beredar sebagai masochistic dan anti Jepang, pembaharuan dilakukan dengan menghapus semua hal yang dipandang mewacanakan kenegatifan bagi Jepang:

The most striking change was the near total erasure from textbooks of the comfort women issue that had been introduced in the early 1990s. In the previous 1997 editions, all seven junior high history textbooks on the market mentioned the issue; in the 2002 editions, three of these texts dropped all references and three others made very brief reference without using the controversial term ―comfort women.‖ Just one text retained the language and expanded discussion from the previous edition (Nozaki and Selden, 2009).

(3)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 88 semua tulisan dan tiga lainnya menyebut dengan sangat singkat tanpa menggunakan istilah kontroversial "jugun ianfu". Hanya satu buku teks yang mempertahankan bahasa dan memperluas diskusi dari edisi sebelumnya.

Apabila gerakan konservatisme muncul di Amerika Serikat dan Jepang, bagaimana respon wacana kosmopolitanisme di Indonesia? Tulisan ini merupakan kajian awal untuk melihat dinamika konstruksi identitas nasional Indonesia.

Pengertian Identitas Nasional

Identitas nasional terdiri dari dua kata, yaitu “identitas” dan “nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang dapat dimaknai sebagai ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Ditinjau dari perspektif asal usul, identitas bermula dari pernyataan diri atau pemberian. Identitas yang merupakan pernyataan diri hanya berlaku pada manusia. Melalui refleksi panjang, akhirnya manusia menyadari siapa dirinya, baik ciri fisik maupun kepribadian. Kesadaran akan identitas tersebut kemudian dinyatakan kepada pihak lain ketika bersosialisasi. Di lain pihak, identitas yang berasal dari pemberian adalah penamaan yang dilakukan manusia terhadap segala sesuatu yang diketahuinya.

(4)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 89 Sartono Kartodirdjo berpedapat bahwa identitas nasional memiliki ciri pokok: historisitas, keunikan dan partikular. Selanjutnya dia menjelaskan:

Historisitas sebagai ciri utama sebenarnya inheren pada identitas sebagai tumpuan pengalaman kolektif, tidak lain karena pengalaman itu berakumulasi lewat proses historis atau perkembangan. Proses itu terjadi secara unik yaitu bagaimana sebenarnya terjadi dan menghasilkan produk yang kita kenal sebagai identitas. Hasil itu mau tidak mau merupakan hal yang khusus atau partikularitas. Subyektivitas menonjol apabila identitas itu ditempatkan dalam hirarkhi identitas-humanitas-universalitas (Kartodirdjo dalam Depdikbud, 1990: 56).

Berdasar pada pandangan Kartodirdjo tentang ciri pokok identitas nasional, dapat diambil pemahaman bahwa sejarah memiliki peran sentral dalam menarasikan pengalaman kolektif yang menjadi sumber bagi lahirnya identitas nasional. Dengan kata lain, sejarah memiliki tanggungjawab untuk mewacanakan identitas nasional melalui eksplanasi tentang pengalaman kolektif yang dilakukannya dalam historiografi yang berupa sejarah nasional.

Identitas Nasional Indonesia

Pada masyarakat Indonesia, identitas nasional telah terkistralisasikan sebagai Pancasila, seperti disampaikan Soekarno pada pidato dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Dia menjelaskan pandangannya tentang Pancasila sebagai berikut:

(5)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 90 berjoang sejak 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan, untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun... Tetapi saya sendiri mengerti seinsaf-insafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjoangan (Bahar dkk, 1992: 71).

Pandangan Soekarno tersebut tidak jauh berbeda dengan pengkajian akademik tentang Pancasila sebagai cita cita kolektif bangsa Indonesia. Oleh karena sifat identitas adalah selalu berubah, maka Pancasila sebagai ideologi terbuka sangat memungkinkan untuk dilakukan reinterpretasi agar sesuai dengan kondisi aktual yang dihadapi bangsa Indonesia.

Seperti bangsa Asia pada umumnya, konstruksi identitas nasional Indonesia diawali dengan perlawanan terhadap kolonialisme Barat. Kategorisasi Toynbee terhadap respon masyarakat Islam terhadap kebudayaan Barat, kiranya dapat pula digunakan untuk memahami proses konstruksi identitas bangsa-bangsa Asia ketika berhadapan dengan kolonialisme Barat. Toynbee (1972) membagi respon menjadi dua, yaitu Zealotisme dan Herodianisme.

(6)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 91 baik, terutama dibidang ilmu dan teknologi untuk kemudian digunakan memukul Barat. Pola Herodianisme inilah yang dilakukan oleh masyarakat di Indonesia, terutama pada masa pergerakan yang mengkonstruk identitas nasional.

Kategorisasi pola nasionalisme yang dikemukakan oleh Toynbee masih secara garis besar. Apabila dicermati lebih mendalam, representasi nasionalisme dapat berbentuk berbagai macam. Hobsbawn (1992: 171-172) mengklasifikasi bentuk nasionalisme menjadi tiga, yaitu: elite-elite lokal terdidik yang meniru “penentuan nasib sendiri” Eropa; xenophobia anti Barat yang populer; serta semangat tinggi alami dari suku-suku yang suka berperang. Dari sudut pandang ini, representasi nasionalisme Indonesia lebih banyak pada usaha memperoleh hak “penentuan nasib sendiri” melalui gerakan kooperatif dengan pemerintah kolonial dan anti Barat dalam arti non-kooperasi.

Secara internal identitas nasional dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu civic nation dan ethnic nation atau sering pula disebut nation state (Gismar, 2008: 209). Kai Nielsen (dalam Ronald Beiner, ed., 1999: 121-122) membedakan kedua kategori tersebut dengan menilai sifatnya:

(7)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 92 Civic nation, by contrast, the story continuous, rooted in a civic conception of nation, is a good or at least a benign or acceptable form of nationalism. Civic nation, like the United States, Canada, Denmark, Australia, or Sweden are principle open to anyone. They are not exclusionary. With a civic nationalism there is in principle at least an equal access for everyone to the cultural goods of and in civic nation.

Pada kutipan di atas dijelaskan oleh Nielsen bahwa nasionalisme yang baik adalah nasionalisme kewarganegaraan (civic nationalism) sedangkan nasionalisme yang buruk nasionalisme etnis (ethnic nationalism). Nasionalisme etnik berakar pada konsepsi etnik tentang "bangsa", yaitu bahwa keanggotaan dalam negara berdasarkan keturunan. Di negara seperti Jerman, dimana konsepsi bangsa adalah etnik, siapapun yang memiliki kewarganegaraan Jerman adalah karena keturunan Jerman.

Di pihak lain, civic nation berakar pada konsepsi yang baik atau setidaknya sebagai bentuk yang dapat diterima dari nasionalisme. Civic nation, seperti Amerika Serikat, Kanada, Denmark, Australia, atau Swedia keanggotaannya terbuka bagi siapa saja. Mereka tidak eksklusif. Dengan civic nationalism setidaknya secara prinsip terdapat akses yang sama bagi semua orang terhadap kebudayaan dan kewargaan negara.

(8)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 93 yang termasuk civic nation lebih banyak ditujukan untuk mendesiminasi identitas nasional yang dipahami oleh para elite kepada masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, melalui kewenangan baru yang diperoleh, pemerintah nasional berusaha mentransformasi masyarakat dari identitas sosial yang telah ada sebelumnya menjadi identitas nasional. Dari sudut pandang ini, identitas nasional menjadi civics education atau program pendidikan kewargaan negara.

Berdasar kategori di atas, Indonesia termasuk dalam kategori civic nation. Dengan demikian, identitas nasional yang dibangun lebih banyak pada pembentukan sistem yang mampu menjamin terbangunnya masyarakat adil dan makmur. Dari sudut pandang ini, berbagai peristiwa sejarah sejak proklamasi kemerdekaan sudah seharusnya dipandang sebagai eksplorasi kreatif para pemimpin nasional Indonesia dalam usaha menciptakan sistem yang adil bagi seluruh masyarakat anggotanya, tanpa membedakan ras, etnik atau suku, agama maupun golongan.

Sebagai civic nation, identitas nasional Indonesia sangat mempertimbangkan kondisi sosio-kultural masyarakat. Indonesia adalah masyarakat yang beragam atau plural, baik dari segi ras, agama, suku maupun adat istiadat. Kesadaran bahwa pluralitas merupakan realitas menumbuhkan keyakinan bahwa identitas nasional sangat menghormati pluralitas tersebut. Pluralisme berkembang menjadi karakter yang menonjol dalam dinamika konstruksi identitas nasional periode pergerakan kebangsaan Indonesia dan berpuncak pada lahirnya semboyan Bhineka Tunggal Ika.

(9)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 94 berdirinya berbagai organisasi modern yang berlingkup terbatas dengan orientasi memajukan kebudayaan dan status etnik.

Ketika masyarakat Indonesia secara formal telah berubah status melalui proklamasi kemerdekaan, wacana identitas nasional juga mengalami perkembangan. Pada periode pergerakan, “self” diidentifikasi sebagai kaum terjajah yang bersatu padu melawan “the other” sebagai penjajah. Di pihak lain, pada periode pasca proklamasi kemerdekaan, identifikasi “self” lebih banyak menarasikan diri sebagai bangsa merdeka yang mandiri atau berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Di pihak lain “the other” dikonsepsikan sebagai kekuatan nekolim atau neo kolonialisme dan imperialisme. Nkrumah (1965), salah satu sahabat Soekarno dan presiden Ghana pertama, menjelaskan neo kolonialisme sebagai berikut:

(10)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 95 Neo-colonialism is also the worst form of imperialism. For those who practice it, it means power without responsibility and for those who suffer from it, it means exploitation without redress. In the days of old-fashioned colonialism, the imperial power had at least to explain and justify at home the actions it was taking abroad. In the colony those who served the ruling imperial power could at least look to its protection against any violent move by their opponents. With neo-colonialism neither is the case.

Pada kutipan di atas Nkrumah menjelaskan bahwa inti dari neo-kolonialisme adalah bahwa Negara yang tunduk padanya, secara teoritis, merupakan negara independen dan memiliki semua perlengkapan kedaulatan internasional. Pada kenyataannya sistem ekonomi dan dengan demikian juga kebijakan politiknya diarahkan dari luar. Metode dan bentuk arahan itu dapat terrepresentasi dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, dalam kasus ekstrim pasukan kekuasaan neo-kolonialis mungkin melakukan patroli di wilayah negara neo-kolonial dan melakukan kontrol terhadap pemerintahnya. Lebih sering, bagaimanapun, kontrol negara neo-kolonialis dilakukan melalui sarana ekonomi atau moneter. Negara neo-kolonial dapat diwajibkan untuk mengambil produk yang dihasilkan dari kekuatan imperialis dengan mengesampingkan produk pesaing dari tempat lain. Kontrol atas kebijakan pemerintah di negara neo-kolonial dapat dijamin dengan pembayaran terhadap biaya menjalankan negara, dengan ketentuan pegawai negeri dalam posisi di mana mereka bisa mendikte kebijakan, serta melakukan pengendalian moneter terhadap perdagangan valuta asing melalui pengenaan sistem kontrol perbankan yang dikendalikan oleh kekuatan negara neo-kolonialis.

(11)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 96 kekuasaan negara kolonialis setidaknya bertanggung jawab untuk menjelaskan dan menjustifikasinya di negara induk terhadap berbagai kebijakan yang diambil di negeri jajahan. Dalam koloni mereka, para pegawai yang melayani kekuasaan kolonial yang berkuasa setidaknya bisa melihat perlindungan pemerintah kolonial terhadap setiap tindakan kekerasan oleh lawan-lawan mereka. Dengan neo-kolonialisme semua itu tidak terjadi.

Selain memanifestasikan kecurigaan terhadap negara bekas penjajah, model representasi identitas nasional lainnya adalah pengembangan hubungan baik dengan negara bekas penjajah. Dalam konteks ini, “self” sebagai bangsa yang sedang berkembang atau development country. Di pihak lain “the other” digambarkan sebagai negara sosialis-komunis yang dinegasikan menjadi negara anti pembangunan, anti demokrasi dan anti agama. Bangsa Barat yang sebelumnya digambarkan sebagai kekuatan nekolim, berubah status sebagai developed countries yang menjadi guru, pembimbing dan pelindung bagi negara berkembang. Representasi identitas nasional semacam itu sangat menonjol pada kasus anggota Commonwealth dan berbagai negara satelit Amerika Serikat sepanjang periode Perang Dingin. Malaysia dan Singapura dengan Inggris serta Jepang dan Korea Selatan dengan Amerika Serikat merupakan contoh dari terjalinnya hubungan baik tersebut.

(12)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 97 Berbeda dengan era sebelumnya, pada era globalisasi dewasa ini, berkembang pandangan bahwa identitas nasional justru menuntut adanya homogenitas budaya global yang oleh Ernest Gellner disebut

sebagai “universal high culture”. Gellner (1983: 35-36) menjelaskan

universal high culture” yang menjadi ciri khas masyarakat industri sebagai berikut:

Let us recapitulate the general and central features of industrial society. Universal literacy and a high level of numerical, technical and general sophistication are among its functional prerequisites. Its members are and must be mobile, and ready to shift from one activity to another, and must possess that generic training which enables them to follow the manuals and instructions of a new activity or occupation. In the course of their work they must constantly communicate with a large number of other men, with whom they frequently have no previous association, and with whom communication must consequently be explicit, rather than relying on context. They must also be able to communicate by means of written, impersonal, context-free, to-whom-it-may-concern type messages. Hence these communications must be in the same shared and standardized linguistic medium and script.

(13)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 98 berkomunikasi dengan cara tertulis, impersonal, konteks bebas, menulis pesan untuk orang yang mungkin memiliki perhatian. Oleh karena itu komunikasi ini harus dalam medium linguistik yang berstandar dan bentuk tulisan sama.

Homogenitas kebudayaan global itu dipandang sebagai hasil dari representasi identitas nasional, karena:

All this being so, the age of transition to industrialism was bound, according to our model, also to be an age of nationalism, a period of turbulent readjustment, in which either political boundaries, or cultural ones, or both, were being modified, so as to satisfy the new nationalist imperative which now, for the first time, was making itself felt. Because rulers do not surrender territory gladly (and every change of a political boundary must make someone a loser), because changing one's culture is very frequently a most painful experience, and moreover, because there were rival cultures struggling to capture the souls of men, just as there were rival centre of political authority striving to suborn men and capture territory: given all this, it immediately follows from our model that this period of transition was bound to be violent and conflict-ridden. Actual historical facts fully confirm these expectations (Gellner, 1993: 40).

(14)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 99 sangat menyakitkan, dan terlebih lagi, karena ada budaya saingan, seperti halnya ada saingan pusat otoritas politik yang berjuang untuk membujuk penduduk melakukan perlawanan dan menaklukkan wilayah. Masa transisi ini pasti akan penuh dengan kekerasan dan konflik.

Tidak jauh berbeda dengan Gellner, Giddens mendefinisikan modernitas dalam empat lembaga dasar. Kapitalisme yang dicirikan oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi terhadap modal, upah buruh, dan sistem kelas turunan dari karakteristik ini. Industrialisme melibatkan penggunaan sumber tenaga fosil dan mesin untuk memproduksi barang, yang mempengaruhi transportasi, komunikasi, dan kehidupan sehari-hari. Pengawasan yang mengacu pada supervisi terhadap kegiatan masyarakat dalam bidang politik. Karakteristik keempat adalah kontrol atas alat-alat kekerasan oleh negara (Gidden, 1990: 59).

(15)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 100 Dengan berlandas pada peran besar industrialisme dalam membentuk homogenitas budaya modern semua bangsa, keunikan identitas nasional bukan lagi hanya warisan budaya lokal, tetapi lebih disebabkan oleh intensitas perengkuhan terhadap modernitas. Tilaar menjelaskan bahwa identitas nasional merupakan proses perpaduan unsur-unsur manusia baik sebagai subyek, obyek maupun super-jek. Selanjutnya dia menguraikan:

Semakin tinggi perpaduan tersebut misalnya pada titik-titik mendekati puncak segitiga tersebut dapat kita anggap terbentuknya identitas masyarakat yang lebih luas, yaitu identitas suatu bangsa...Seperti kita telah lihat faktor sejarah suatu masyarakat, tradisi serta tantangan yang dihadapi oleh masyarakat tertentu akan ikut menentukan identitas seseorang di dalam masyarakat atau masyarakat bangsanya. Identitas merupakan entitas yang terus menerus bergerak maju-mundur di dalam kerucut vertikal. Inilah yang dimaksud oleh Benedict Anderson misalnya dengan komunitas yang dibayangkan (imagined community) berupa suatu bangsa. Jadi pengertian identitas suatu bangsa merupakan suatu konstruksi yang terus menerus berubah dan tidak pernah telah lengkap dan sempurna...Perbedaannya ialah ada bangsa yang mempunyai identitas yang sedikit-banyaknya lebih solid dibandingkan dengan bangsa yang lain (Tilaar, 2007: 73).

Penutup

(16)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 101 suatu bangsa dan mengembangkan bangsa itu menjadi unggul. Di Amerika Serikat dan Jepang usaha mengkonstruksi identitas nasional dilakukan dengan jalan mengembangkan kebanggaan generasi muda terhadap sejarah bangsanya.

Di Indonesia konstruksi identitas nasional mulai berkembang sejak zaman pergerakan nasional. Pada masa itu “self” digambarkan sebagai masyarakat Indonesia yang bersatu padu untuk melawan

penjajahan Belanda sebagai “the other”. Ketika kemerdekaan telah

dicapai terjadi perkembangan yang menarik. “Self” digambarkan

sebagai bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri, berdikari atau

mandiri, sedang “the other” digambarkan sebagai kekuatan neo

kolonialisme dan imperialisme atau nekolim. Pada masa pemerintahan Orde Baru, konstruksi identitas nasional mengalami perubahan secara

mendasar. “Self” digambarkan sebagai bangsa berkembang atau

development country, sedang “the other” digambarkan sebagai

ideologi sosialis-komunis yang anti pembangunan dan anti agama. Dalam konteks ini, kekuatan Barat yang pada masa Soekarno ditempatkan sebagai kekuatan neo kolonialisme dan imperialisme atau nekolim, pada masa Orde Baru digambarkan sebagai sahabat dan pembimbing bagi kemajuan Indonesia.

(17)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 102 DAFTAR ACUAN

Buku/Paper

Bahar, Saafroedin, dkk. (1992). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara RI.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1990). Seminar Sejarah Nasional V: Sub Tema Pengajaran Sejarah. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional.

Gellner, Ernest. (1993). Nations and Nationalism. Ithaca: Cornell University Press.

Gidden, Anthony. (1990). The Consequences of Modernity. California: Stanford University Press.

Gismar, A. Malik, “Mencari Politik Budaya dan Kewarganegaraan yang Pas” dalam Komarudin Hidayat dan Putut Wijanarko, peny.. (2008). Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Jakarta: Mizan.

Hobsbawn, Eric J.. (1992). Nasionalisme menjelang abad XXI. Yogyakarta: Tiara Wacana

Kartodirdjo, Sartono. (2005). Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Kompas.

Nielsen, Kai, “Cultural Nationalism, Neither Ethnic nor Civic” dalam Ronald Beiner, ed.. (1999). Theorizing Nationalism. New York: SUNY.

Nkrumah, Kwame. (1965). Neo-Colonialism, the Last Stage of

imperialism. Diunduh dari

(18)

SPPS, Vol. 26, No. 3, April 2011

Page | 103 Nozaki, Yoshiko and Mark Selden. (2009). “Japanese Textbook

Controversies, Nationalism, and Historical Memory: Intra- and Inter-national Conflicts dalam Asia-Pacific Journal, Vol 24-5-09, June 15, 2009

Pusat Bahasa. (2008) Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Tilaar, H.A.R.. (2007). Mengindonesia etnisitas dan identitas bangsa Indonesia: tinjauan dari perspektif ilmu pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Toynbee, Arnold. (1972). A Study of History. London: Oxford University Press and Thames and Hudson Ltd.

Internet

http://www.merriam-webster.com/dictionary/image? show=0&t=1286555314

Referensi

Dokumen terkait