1
Manajemen Keuangan Sektor Publik
Ujian Tengah Semester
Dosen Pengampu: Abdul Halim, Prof., Dr., M.B.A., Ak., CA.
Garbayu Tri Handoyo
16/402014/PEK/21549
Kelas STAR BPKP batch VI
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Program Magister Akuntansi
2 Soal 1:
Jelaskan dengan baik mengenai persoalan mendasar dalam Manajemen Keuangan Publik atau Pemerintah disertai literatur yang memadai!
Manajemen Keuangan Publik adalah segala aktivitas finansial yang dilakukan
pemerintah mulai dari perencanaan, pengalokasian dan/atau penggunaan, hingga
pengendalian, dalam rangka mendukung pencapaian tujuan bernegara. Menurut Graham
2011, Manajemen Keuangan adalah instrumen yang digunakan sektor publik dalam
mengelola uang dengan sistematis, efisien, transparan, dan sesuai dasar hukum dengan tiga
aspek mendasar yaitu memperoleh uang (resource allocation), menggunakan uang
(controlled delivery) serta melaporkan penggunaannya (accountability). Senada dengan hal di
atas, hal yang fundamental dalam manajemen keuangan publik adalah bagaimana untuk
memperoleh uang atau pendanaan, How to get? serta bagaimana dalam mengalokasikan dan
membelanjakannya, How to allocate/spend? termasuk diantaranya adalah mengelola aset
(Halim, 2016).
Sumber dana yang mendominasi pendapatan negara adalah pendapatan pajak. Selain
pajak, terdapat penerimaan negara bukan pajak, dan pendapatan dari hibah. Alokasi
anggaran baik pendapatan maupun belanja dirumuskan Pemerintah bersama lembaga
perwakilan rakyat dalam suatu instrumen keuangan yaitu APBN. Pemerintah selaku
manajemen dalam organisasi publik yaitu negara merencanakan penerimaan pendapatan
dan menganggarkan belanja yang akan dilaksanakan untuk memakmurkan rakyat. Penentuan
kebijakan fiskal dan asumsi makro ekonomi menjadi barometer dalam menentukan jumlah
pendapatan negara yang ditargetkan. Kebijakan defisit APBN menentukan pula sumber
pembiayaan yang akan dirumuskan untuk menutupi kekurangan tersebut. Lain halnya dengan
3 penggunaan kepada DPR. Problema pendapatan negara terutama pendapatan pajak selalu
mewarnai persoalan umum keuangan negara setiap tahunnya. Optimalisasi pendapatan
dalam negeri menjadi kunci dalam mendukung upaya pencapaian tujuan keuangan negara.
Namun tidak hanya optimalisasi dalam mendapatkan sumber utama pendanaan. Melainkan
optimalisasi sesuai value for money adalah kunci berikutnya untuk persoalan alokasi dan
penggunaan dana.
Penggunaan dana dari alokasi yang telah ditetapkan tersebut adalah dalam rangka
memberikan pelayanan untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam aspek
belanja problematika yang sering terjadi adalah penyusunan komposisi dalam mencapai
tujuan kemakmuran rakyat serta proses belanja negara dengan mekanisme pengadaan
barang dan jasa (PBJ). Proporsi yang tepat terhadap berbagai sektor yang menunjang tujuan
umum yaitu layanan dasar kepada masyarakat seperti kesehatan, pendidikan sebagai upaya
memajukan kesejahteraan umum. Penyerapan anggaran menjadi problematika tersendiri
yang berkaitan secara langsung dengan proses pengadaan barang dan jasa.
Hal-hal tersebut diatas menunjukkan kompleksitas dalam pengelolaan keuangan
negara atau manajemen keuangan publik dalam siklus anggaran (budget cycle), dimana pada
setiap bagian merupakan rangkaian yang saling berkaitan dalam menjalankan amanat UUD
45. Penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tujuan umum pelayanan terhadap
masyarakat semestinya dapat berjalan proporsional dengan pembangunan negara, baik
pembangunan infrastruktur penunjang maupun pembangunan sumber daya manusia.
Referensi:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Halim, Abdul. 2016. Manajemen Keuangan Sektor Publik, Problematika Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah. Jakarta: Salemba Empat.
4 Soal 2:
Jelaskan proses penyusunan dan penetapan APBN dan bandingkan dengan proses penyusunan dan penetapan APBD berbasis peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai dasar awal persoalan utama Manajemen Keuangan Publik!
Proses penyusunan dan penetapan APBN diatur pada UU Nomor 17 Tahun 2003 BAB III Pasal
11 -15 dan PP 90 Tahun 2010.
1. Tahap Pendahuluan/Perencanaan
Penyusunan rancangan APBN sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara yang berpedoman pada
rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara. Dalam tahap ini
dirumuskan hal-hal meliputi:
a. penentuan kebijakan surplus beserta rancangan penggunaannya atau kebijakan
defisit beserta penetapan sumber-sumber pembiayaannya;
b. penentuan kebijakan fiskal beserta asumsi dasar ekonomi makro APBN (pertumbuhan
ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga SBI tiga bulan, harga minyak
internasional, dan lifting migas;
c. perkiraan penerimaan dan pengeluaran;
d. skala prioritas, dan;
e. penyusunan budget exercise.
2. Tahap Pengajuan, dan Pembahasan
Diawali dengan pidato presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota Keuangan.
Dilanjutkan dengan pembahasan antara menteri keuangan dan panitia anggaran DPR maupun
antara komisi-komisi dan departemen/ lembaga teknis terkait. Hasil pembahasan berupa UU
5 membiayai tugas umum pemerintah dan pembangunan, departemen/lembaga mengajukan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) kepada Kementerian Keuangan
dan Bappenas untuk kemudian dibahas menjadi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
dan diverifikasi sebelum proses pembayaran. Proses ini harus selesai dari Oktober hingga
Desember. Dalam pelaksanaan APBN dibuat petunjuk berupa Keputusan Presiden (Kepres)
sebagai Pedoman Pelaksanaan APBN.
3. Tahap Penetapan APBN
Penetapan RUU APBN oleh DPR dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan dilaksanakan, dengan terinci sampai dengan unit organisasi,
fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Apabila DPR tidak menyetujui rancangan APBN
yang diajukan, Pemerintah Pusat dapat menggunakan APBN sebelumnya.
6 Proses penyusunan dan penetapan APBD diatur pada UU Nomor 17 Tahun 2003 BAB IV Pasal
16-20 dan PP 58 Tahun 2005.
1. Tahap Pendahuluan/Perencanaan APBD
Penyusunan Rancangan APBD sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
kemampuan pendapatan daerah yang berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah
dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Dalam tahap ini dilakukan kegiatan
sebagai berikut:
1. Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
RKPD adalah penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang
mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah Pusat.
2. Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS)
Disusun oleh Kepala Daerah dengan dibantu Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD)
sebagai acuan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menyusun Rencana
Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Rancangan KUA disusun berdasarkan RKPD dan
pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri setiap tahunnya,
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan
pemerintah daerah,
b. prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran berkenaan,
c. teknis penyusunan APBD, dan
7 Rancangan KUA disampaikan kepala daerah kepada DPRD paling lambat pertengahan
bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan
RAPBD tahun anggaran berikutnya. Pembahasan dilakukan oleh TAPD bersama panitia
anggaran DPRD, selanjutnya untuk disepakati menjadi KUA paling lambat minggu
pertama bulan Juli tahun anggaran berjalan.
3. Penyusunan rancangan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Rancangan
PPAS tersebut disusun dengan tahapan sebagai berikut :
a. menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan;
b. menentukan urutan program untuk masing-masing urusan; dan
c. menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.
4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
Disusun berdasarkan nota kesepakatan yang berisi KUA dan PPAS. TAPD menyiapkan
rancangan surat edaran kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA SKPD sebagai
acuan kepala SKPD dalam menyusun RKA-SKPD. Rancangan surat edaran kepala daerah
tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD mencakup:
a. PPAS yang dialokasikan untuk setiap program SKPD berikut rencana pendapatan
dan pembiayaan
b. sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD dengan kinerja SKPD berkenaan
sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan;
c. batas waktu penyampaian RKA-SKPD kepada PPKD
d. hal-hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dari SKPD terkait dengan
prinsip-prinsip peningkatan efisiensi, efektifitas, tranparansi dan akuntabilitas
8 e. dokumen sebagai lampiran meliputi KUA, PPA, kode rekening APBD, format
RKASKPD, analisis standar belanja dan standar satuan harga.
5. Penyiapan Raperda APBD
Pembahasan dilakukan oleh TAPD untuk menelaah kesesuaian antara RKA-SKPD dengan
KUA, PPA, prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya, dan
dokumen perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator kinerja, kelompok
sasaran kegiatan, standar analisis belanja, standar satuan harga, standar pelayanan
minimal, serta sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD.
2. Tahap Penyampaian dan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD beserta
lampirannya kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun
anggaran sebelumnya dari tahun yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan
bersama. Pengambilan keputusan bersama DPRD dan kepala daerah terhadap rancangan
peraturan daerah tentang APBD dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran
yang bersangkutan dilaksanakan.
Dalam tahap ini dilakukan pula evaluasi Raperda tentang APBD dan Penjabaran APBD oleh
Gubernur yang dituangkan dalam surat keputusan. Raperda tentang APBD dan Penjabaran
APBD yang telah dievaluasi kemudian ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan disampaikan
kembali kepada Gubernur. APBD dapat dilakukan perubahan sesuai keadaan-keadaan yan
bersifat mendesak atau luar biasa.
3. Tahap Penetapan APBD
APBD dapat ditetapkan setelah melalui proses pembahasan di DPRD dan mendapat
pengesahan dari Gubernur. Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah
9 melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran
sebelumnya.
Sumber: info-anggaran.com
Perbandingan Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD
No. Uraian APBN APBD
1. Dasar Hukum UU No 17 Tahun 2003 PP No 90 Tahun 2010
UU No 17 Tahun 2003 PP No 58 Tahun 2005 2. Pihak Terkait Presiden
10 Perda APBD, dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD. 4. Evaluasi RKA-K/L ditelaah oleh
Kementerian Keuangan
Raperda APBD dievaluasi oleh Gubernur/Mendagri 5. Produk Hukum Undang-undang
Keputusan Presiden
Penerimaan Negara sangat bergantung saat ini pada pendapatan pajak. Berikan evaluasi problematika pendapatan negara dari pajak selama era reformasi (15 tahun terakhir ini)!
Sebagai salah satu sumber keuangan negara, pajak memiliki porsi amanah yang paling
besar dalam postur APBN. Tercatat tidak kurang 70% dari pendapatan dalam negeri adalah
penerimaan perpajakan. Penerimaan perpajakan menjadi hal yang paling mencolok untuk
disoroti sebagai wujud prestasi lembaga penghimpun dana pajak terkait. Reformasi telah
menjadi titik tolak perubahan yang mendasar dalam pengelolaan keuangan negara sejak
tahun 2003. Akan tetapi, setiap tahunnya realisasi penerimaan perpajakan seringkali tidak
mencapai target yang ditetapkan. Selain itu, tax ratio selalu menjadi tolak ukur utama prestasi
pengelolaan pajak di suatu negara termasuk Indonesia. Data menunjukkan tax ratio Indonesia
masih jauh di bawah rata-rata negara Asean, yakni sekitar 13%. Meskipun demikian,
problematika penerimaan perpajakan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan ditopang pula
11 Problematika Regulasi atau Peraturan
Perpajakan menjadi salah satu sektor yang sangat banyak memiliki peraturan.
Tercatat telah mengalami revisi paket UU Perpajakan di tahun 2000, 2002, 2006 dan terakhir
2009. Revisi ini diberlakukan dalam rangka menyesuaikan perkembangan kondisi
perekonomian dan kondisi masyarakat. Namun tidak pula menyisakan problema. Diantaranya
sering terjadinya perubahan peraturan di bawahnya seperti Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri Keuangan, atau Peraturan Direktur Jenderal yang menyebabkan kebingungan dari
para pengguna atau para wajib pajak. Terlebih lagi perubahan-perubahan peraturan yang
dilakukan tidak disertai dengan masa tenggat waktu, atau sosialisasi yang cukup lambat.
Sebagai contoh, PP 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak dengan
Peredaran Bruto Tertentu, atau perubahan atas Penghasilan Tidak Kena Pajak yang seringkali
berubah setiap tahunnya dan perubahan tersebut dilakukan di pertengahan tahun. Terdapat
pula perubahan peraturan yang bersifat kebijakan namun terkesan seperti tidak terencana
dengan baik. Pada tahun 2015 diberlakukan program Tahun Pembinaan Wajib Pajak dengan
memberikan insentif penghapusan atau pengurangan terhadap sanksi administrasi
perpajakan. Namun di tahun yang sama pula desas desus tax amnesty sudah tercium akan
diterapkan dan akan dilakukan penegakkan hukum di tahun 2016.
Hal-hal yang demikian menjadikan ketidakpastian hukum yang dirasakan oleh para
petugas pajak dan terutama tentunya oleh para wajib pajak. Perubahan peraturan yang
sangat dinamis akan mempengaruhi aspek lainnya seperti administrasi dan pelayanan.
Kondisi bisnis para wajib pajakpun dapat terganggu dengan adanya perubahan-perubahan
yang kurang terkelola dengan baik tersebut. Padahal pajak harus diterapkan dengan asas
12 Problematika Administrasi dan Pelayanan
Direktorat Jenderal Pajak memiliki dualisme fungsi yang cukup dilematis. Selain harus
menjalankan fungsi penegakkan hukum (law enforcement), di sisi lain harus menjalankan
fungsi pelayanan melalui administrasi perpajakan. Dengan banyaknya peraturan dan jenis
pajak, implikasi terhadap sarana pelaporan seperti formulir, prosedur, persyaratan dan
sebagainya turut memberikan sumbangsih terhadap rendahnya penerimaan pajak. Hampir
tidak ada formulir perpajakan yang simpel atau sederhana. Berbagai prosedur masih
dirasakan belum taxpayer friendly. Belum terintegrasinya secara sempurna basis data pajak
dengan data kependudukan dan perijinan usaha, menjadi salah satu hal yang menjadi
penyebab rendahnya jumlah wajib pajak terdaftar. Disamping itu kemudahan dalam proses
administrasi belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh para wajib pajak. Implementasi
e-billing, e-filing, e-registration dan e-spt yang telah ada, dapat diharapkan untuk
disosialisasikan dengan semakin gencar, dan pemerintah tidak hanya terpaku pada target
jumlah pencapaian secara angka, namun dengan kualitas data yang lebih valid.
Problematika Kepatuhan Wajib Pajak
Hingga tahun 2015, Wajib Pajak (WP) yang terdaftar dalam sistem administrasi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencapai 30.044.103 WP, yang terdiri atas 2.472.632 WP
Badan, 5.239.385 WP Orang Pribadi (OP) Non Karyawan, dan 22.332.086 WP OP Karyawan.
Hal ini cukup memprihatinkan mengingat menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga
tahun 2013, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja mencapai 93,72 juta orang. Artinya
baru sekitar 29,4% dari total jumlah Orang Pribadi Pekerja dan berpenghasilan di Indonesia
yang mendaftarkan diri atau terdaftar sebagai WP.
BPS juga mencatat bahwa hingga tahun 2013, sudah beroperasi 23.941 perusahaan
13 Mikro di Indonesia. Artinya, belum semua perusahaan terdaftar sebagai WP Badan. Jumlah
total 30.044.103 WP terdaftar yang tidak termasuk bendahara, joint-operation, perusahaan
cabang/lokasi, WP OP yang berpenghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP),
WP Non-Efektif, dan sejenis lainnya, sehingga wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh hanya
18.159.840 WP Wajib SPT. Jumlah WP Wajib SPT tersebut terdiri atas 1.184.816 WP Badan,
2.054.732 WP OP Non Karyawan, dan 14.920.292 WP OP Karyawan. Sayangnya, dari jumlah
18.159.840 WP Wajib SPT itu, baru 10.945.567 WP yang menyampaikan SPT Tahunan atau
60,27% dari jumlah total WP Wajib SPT. Jumlah WP yang menyampaikan SPT tersebut terdiri
atas 676.405 WP Badan, 837.228 WP OP Non Karyawan, dan 9.431.934 WP OP Karyawan.
Artinya, tingkat atau rasio kepatuhan WP Badan baru mencapai 57,09%, WP OP
Non-Karyawan 40,75%, dan WP Non-Karyawan 63,22%. Yang lebih memprihatinkan lagi, dari jumlah
tersebut hanya 1.172.018 WP Bayar, yang terdiri atas 375.569 WP Badan, 612.881 WP OP
Non Karyawan, dan 181.537 WP OP Karyawan.1
Dari hasil berbagai penelitian yang telah dilakukan, tingkat kepatuhan wajib pajak
berpengaruh kausalitas (sebab-akibat) terhadap penerimaan perpajakan. Sistem perpajakan
yang dianut Indonesia yakni self assesment system ini sendiri menjadi faktor utama yang
berperan kepada tingkat kepatuhan.
Problematika Organisasi dan Kelembagaan
Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi penghimpun pendapatan pajak memiliki
tugas dan tanggung jawab yang besar. Sayangnya tugas dan tanggung jawab yang besar
tersebut belum sepenuhnya didukung oleh organisasi dan tata kelembagaan yang memadai.
Hal tersebut dikarenakan DJP merupakan unit eselon I yang masih berada di bawah naungan
14 Kementerian Keuangan, dimana penerapan regulasi dan kebijakan harus dengan persetujuan
Menteri Keuangan. Bahkan dalam perekrutan sumber daya manusia harus melewati prosedur
dari Kementerian PAN-RB. Hingga tahun 2015 tercatat terdapat 35000 pegawai di seluruh
Indonesia untuk melayani 30 juta Wajib Pajak sementara jumlah penduduk Indonesia telah
mencapai 250 juta jiwa. Apabila dibandingkan dengan Jepang dengan penduduk 120 juta,
National Tax Agency Jepang memiliki jumlah pegawai sebanyak 60.000 pegawai. Belum lagi
apabila disandingkan dengan target penerimaan yang harus dicapai, setiap pegawai pajak
Indonesia harus mengumpulkan kurang lebih 26 miliar setiap tahunnya untuk membiayai
negara. Problematika ini menyebabkan organisasi tidak fleksibel dalam merespon dinamika
perubahan iklim atau kondisi yang ada.
Problematika Sistem Perekonomian
Sistem perekonomian yang dijalankan di Indonesia dewasa ini adalah sistem ekonomi
campuran yang lebih condong kepada kekuatan pasar. Bahkan, beberapa pengamat ekonomi
secara tegas mengatakan bahwa sistem ekonomi neoliberalisme. Dalam pandangan yang
lebih ekstrim lagi, perekonomian Indonesia masih berada dalam cengkeraman kolonialisme
baru atau neokolonialisme. Berbagai perusahaan asing masih bercokol kuat di Indonesia di
berbagai sektor. Berdasarkan data Institute for Global Justice, sektor ekonomi strategis yang
telah dikuasai asing diantaranya seperti perbankan 70 persen, pertambangan 85 persen,
otomotif 99 persen, perkebunan 60 persen, telekomunikasi 70 persen, jasa 70 persen, tanah
93 persen, dan minyak dan gas (migas) 88 persen (Republika, 11/12/1015). Sektor minyak
contohnya, perusahaan-perusahaan asing seperti Chevron, Total E&P, Conoco Philips, Medco
Energy, British Petroleum, Caltex, Exxon dan lain-lain menguasai ladang-ladang minyak dan
gas Indonesia. Di sektor lain juga demikian. Sektor tambang banyak dikuasi asing seperti
15 Senada dengan hal tersebut di atas, Prof Dr Pratikno (Rektor UGM) mengatakan hasil
riset menunjukkan hingga saat ini sekitar 80 persen aset negara telah dikuasi bangsa asing.
Kecuali sektor perkebunan dan pertanian dalam arti luas, asing baru menguasai 40 persen
(ciputranews.com). Hal ini menunjukkan bahwa amanat Pasal 33 UUD 45 tentang demokrasi
ekonomi atau ekonomi pancasila berbasis kerakyatan belum dijalankan secara penuh.
Ekonomi kerakyatan lebih mengutamakan nilai, dimana seluruh rakyat mendapat
kesempatan untuk berdemokrasi secara ekonomi mulai dari proses produksi, distribusi dan
konsumsi.
Evaluasi
Lebih kurang 15 tahun sudah perpajakan Indonesia berbenah mengikuti bergulirnya
reformasi negeri ini. Tercatat hanya pada tahun 2008 dengan dukungan kebijakan sunset
policy penerimaan pajak dapat melampaui target yang ditetapkan. Dari problematika yang
telah disebutkan, dapat dirumuskan bahwa problematika utama yang paling mempengaruhi
penerimaan perpajakan adalah tingkat kepatuhan wajib pajak. Tingkat kepatuhan wajib pajak
ini dipengaruhi pula oleh problematika lain diantaranya adalah sistem administrasi dan
pelayanan yang belum sepenuhnya optimal dengan kondisi Indonesia, penegakkan hukum
yang masih lemah terhadap tax evaders. Problematika organisasi dan tata kelembagaan
Ditjen Pajak memegang peranan pula dalam pengaruhnya terhadap penerimaan. Fleksibilitas
untuk menjalankan organisasi ini belum dimiliki oleh Ditjen Pajak karena masih berada di
bawah naungan Kementerian Keuangan. Secara kausalitas pelaksanaan administrasi dan
pelayanan sulit untuk optimal tanpa fleksibilitas organisasi tersebut. Solusi untuk mengatasi
problem tersebut adalah dengan membentuk suatu badan atau lembaga penerimaan negara
16 Selain solusi kontemporer tersebut, perlu dilakukan suatu rangkaian terobosan yang
tidak hanya tradisional atau berfokus kepada penerimaan negara dalam jangka pendek, akan
tetapi dapat membentuk suatu paradigma baru terhadap perpajakan di Indonesia.
Administrasi perpajakan di Indonesia tidak hanya dapat diukur secara matematis antara
target dan realisasi, atau dengan memperhitungkan tax ratio saja. Akan tetapi bagaimana
peran pajak yang begitu besar dalam rangka kegiatan state building. Hal inilah yang akan lebih
menunjukkan kontrak sosial antara rakyat dengan negara, sehingga terbentuklah suatu
paradigma kepercayaan terhadap pentingnya pajak dari rakyat.
Sebagai hulu dalam proses manajemen keuangan publik, pajak merupakan sumber
bahan bakar utama untuk menjalankan roda kehidupan bernegara. Fungsi budgeter pajak.
Pajak merupakan pemeran utama dengan kontribusinya yang dapat menjadi kontrol sosial
untuk kehidupan bernegara yang lebih baik. Untuk melakukan perubahan tersebut perlu
dilakukan reformasi kembali terhadap tata kelola administrasi perpajakan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membentuk UU atau payung hukum baru yang memungkinkan terwujudnya lembaga
penerimaan pajak yang lebih fleksibel dalam mengatur organisasinya, baik dalam
perekrutan pegawai, berperan dalam penyusunan peraturan perpajakan, serta
kebijakan yang diperlukan. Dengan fleksibilitas organisasi tersebut, upaya penegakkan
hukum, peningkatan administrasi dan layanan akan dapat semakin baik dan tentunya
akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
2. Meningkatkan peran serta lembaga negara dan pemerintah daerah terutama dalam
penguatan basis data perpajakan, sehingga administrasi pajak dapat menerapkan
kearifan budaya Indonesia yaitu gotong royong dengan pemerataan peran masyarakat
17 3. Mengembalikan sistem perekonomian Indonesia sesuai amanat Pasal 33 UUD 45,
dengan pajak sebagai salah satu instrumen ekonomi pendukung.
Dengan evaluasi tersebut diharapkan paradigma perpajakan dapat bergeser menjadi
paradigma baru yakni tidak hanya berkutat pada penerimaan pendapatan, namun
menjadikan pajak lebih membumi sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat
18
Soal No. 4
Pengaruh Pendaerahan Pajak Pusat (PBB P2) Terhadap Manajemen
Keuangan Publik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu wujud pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara.
Urgensi dan peran yang begitu besar guna menjalankan roda ekonomi dan pembangunan
bangsa, menjadikan pajak terus diupayakan untuk disempurnakan. Indonesia menjadi salah
satu negara yang kini menyadari betapa pentingnya peran pajak sebagai sumber utama dalam
pengelolaan keuangan negara. Dalam postur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
penerimaan perpajakan berkontribusi lebih dari 80% terhadap pendapatan dalam negeri.
Meski amanah penerimaan perpajakan semakin besar, dan realisasi penerimaan selalu naik
setiap tahunnya, namun senantiasa tidak mencapai target yang telah ditetapkan.
Mardiasmo (2011) mengklasifikasikan pajak menurut lembaga pemungutnya
membagi menjadi dua jenis pajak, yaitu pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh
pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara dan pajak daerah,
yaitu pajak yang dipungut olehpemerintah daerah untuk membiayai rumah tangga daerah.
Di Indonesia, pajak yang dipungut oleh pemerintah pusa terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh),
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) serta Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB). Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sendiri terdiri dari sektor Perkebunan,
Pertambangan, Kehutanan, serta Perkotaan dan Pedesaan. Dimulai tahun 2011, dua sektor
19 Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) telah lebih dahulu dialihkan pada
tahun 2010. Pengalihan PBB sektor Perkotaan dan Pedesaan atau lebih sering dikenal dengan
PBB P2 dan BPHTB ini merupakan bentuk pelaksanaan dari otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal. Berdasarkan karakter PBB yang identik dengan tanah/wilayah atau bersifat local origin
dan immobile, maka diharapkan dapat lebih optimal jika pengelolaannya diselenggarakan
oleh pemerintah daerah dimana objek pajak berada.
Sebagian besar daerah tingkat I maupun tingkat II, masih bertumpu pada dana yang
berasal dari Pemerintah Pusat atau dari APBN. Bahkan sebagian besar APBD tersebut terserap
untuk belanja/gaji pegawai sehingga bagian anggaran yang digunakan untuk pembangunan
sangatlah minim. Dalam rangka optimalisasi manajemen keuangan publik, perluasan basis
pendapatan asli daerah perlu ditingkatkan. Salah satunya adalah melalui pengalihan
kewenangan pengelolaan PBB P2 ini.
Tujuan pengalihan pengelolaan PBB P2 ini secara umum adalah untuk meningkatkan
akuntabilitas pemerintahan daerah. Pemerintah daerah akan dipacu untuk lebih berhati-hati
dalam melakukan manajemen keuangan daerah. Pendanaan yang sebagian besar dari
penerimaan asli daerah akan mendorong transparansi dan akuntabilitas, serta pengawasan
langsung dari masyarakat karena mereka harus membayar pajak daerah. Pemerintah daerah
juga diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola pajak sesuai fungsi budgetair dan
fungsi regulerend. Baik dalam penentuan target penerimaan PBB P2, atau menentukan tarif
serta kebijakan lainnya dengan berpedoman pada peratuan yang berlaku. Selain untuk
meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah, pengalihan PBB P2 juga bertujuan untuk
meningkatkan kinerja pemungutan pajak melalui peningkatan kualitas pelayanan kepada
20 Pelaksanaan pengalihan kewenangan ini merupakan salah satu bentuk upaya
perwujudan desentralisasi fiskal APBN. Untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang
berkelanjutan (fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktivitas
perekonomian masyarakat, kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan. Semakin besar kewenangan
daerah dalam mengatur keuangannya, diharapkan semakin besar pula pemerataan yang
terjadi sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat.
B. Permasalahan
Dengan beralihnya kewenangan PBB dari pusat ke daerah, tentunya berpengaruh pula
terhadap pengelolaan APBN. Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh pendaerahan pajak pusat (PBB) terhadap manajemen APBN?
2. Bagaimana pengaruh atau dampak pendaerahan pajak pusat (PBB P2) terhadap
21 BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Hukum, Filosofi, dan Teori
Hukum yang mendasari utama dalam pelaksanaan perpajakan di Indonesia adalah
pasal 23E UUD ’45 dengan bunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 tentang
keuangan negara, Penerimaan Negara dan Daerah termasuk di dalamnya hak negara untuk
memungut pajak, serta kewajiban menyelenggarakan tugas layanan umum merupakan ruang
lingkup keuangan negara. Pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan dalam
negeri yang sangat penting. Peran pajak terwujud dalam fungsi budgetair yaitu alat
penerimaan yang selanjutnya digunakan untuk pembiayaan pengeluaran negara. Fungsi
berikutnya adalah fungsi regulerend atau sebagai alat pengatur kegiatan perekonomian.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam undang-undang yang sama dijelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pada tahun 2009 telah disahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang ini berlaku secara efektif pada
22 dialihkannya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) menjadi pajak daerah. BPHTB dialihkan mulai
tahun 2010, sedangkan PBB P2 dialihkan bertahap diawali kota Surabaya pada tahun 2011
sebagai daerah percontohan. Pada tahun 2012 sebanyak 17 kabupaten/kota yang menerima
pengalihan, kemudian pada tahun 2013 disusul sebanyak 105 kabupaten/kota, hingga
pengalihan menyeluruh untuk seluruh daerah pada tahun 2014.
Bumi adalah permukaan bumi serta tubuh bumi yang ada di bawahnya meliputi tanah
dan perairan. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan, pedalaman, (termasuk
rawa-rawa,tambak perairan) serta laut wilayah republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi
teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk
dalam pengertian bangunan antara lain:
a. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan.
b. Jalan tol.
c. Kolam renang.
d. Tempat olah Raga
e. Galangan kapal, dermaga.
f. Taman mewah.
g. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak.
h. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Menurut Seri PBB Ketentuan Umum Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Bumi dan
Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa
yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. PBB dikenakan terhadap objek pajak
23 dibayar setiap tahun. Pengertian Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan
(PBB-P2) dalam peraturan Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No.213/PMK.07/2010 dan
No.58 tahun 2010 adalah pajak atas bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Pemerintah pusat mengalihkan semua kewenangan terkait pengelolaan PBB-P2
kepada kabupaten/kota. Kewenangan tersebut antara lain:
a. proses pendataan,
b. penilaian,
c. penetapan,
d. pengadministrasian,
e. pemungutan/penagihan dan
f. pelayanan.
Termasuk diantaranya adalah kewenangan untuk menentukan potensi dan target
penerimaan PBB P2, serta alokasi atas penerimaan juga sepenuhnya dilakukan oleh
pemerintah daerah.
Berdasarkan buku pedoman pengelolaan pengalihan PBB yang diterbitkan
Kementerian Keuangan, alasan pokok dari pengalihan PBB-P2 menjadi pajak daerah, antara
lain:
a. Berdasarkan teori, PBB-P2 lebih bersifat lokal (local origin), visibilitas, objek pajak
tidak berpindah-pindah (immobile), dan terdapat hubungan erat antara pembayar
24 b. Pengalihan PBB-P2 diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan sekaligus memperbaiki struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
c. Untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public services), akuntabilitas, dan
transparansi dalam pengelolaan PBB-P2. Keempat, berdasarkan praktek di banyak
negara, PBB -P2 atau Property Tax termasuk dalam jenis local tax.
B. Tujuan Pengalihan PBB
Tujuan Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai dengan
Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:
1. meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah,
2. memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru
(menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah),
3. memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan
memperluas basis pajak daerah,
4. memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah, dan
5. menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada
daerah.
C. Perbandingan Sebelum dan Sesudah Pendaerahan PBB P2
Suatu proses dilangsungkan tentunya untuk mencapai tujuan menuju arah yang lebih
baik. Diskresi tarif, dan kebijakan teknis lain terkait pengalihan PBB P2 ke daerah dilakukan
untuk optimalisasi dan memberikan kesempatan daerah dalam proses manajemen fiskalnya.
25 kewenangan yang dilakukan di tiap daerah. UU PDRD adalah landasan hukum tiap daerah
untuk melaksanakan pengelolaan PBB P2 nya. Untuk dapat mengetahui perbedaan subjek,
objek, tarif dan penghitungan PBB P2 setelah pengalihan dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 1: Perbandingan PBB pada UU PBB dengan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
UU PBB UU PDRD
NJOPTKP Setinggi-tingginya Rp12 Juta (Pasal 3 Ayat 3)
26 Sementara itu, perbandingan secara umum atas pendaerahan PBB P2 menjadi Pajak
Daerah ditunjukkan dalam tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Perbandingan Pengelolaan PBB-P2 sebelum dan sesudah adanya perubahan
Kebijakan PDRD
No. PBB P2 Sebelum Pendaerahan PBB P2 Setelah Pendaerahan 1. PBB P2 Ditetapkan Sebagai Pajak Pusat PBB P2 Ditetapkan Sebagai Pajak Daerah
2. Segala Kebijakan ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat
Segala Kebijakan ditetapkan oleh Daerah
3. Penerimaan PBB P2 dibagihasilkan 90%
untuk daerah 10 % untuk pusat
Daerah dapat tidak melakukan
pemungutan apabila potensi tidak
memadai atau disesuaikan dengan
kebijakan daerah
4. PBB P2 yang dibagihasilkan tidak
termasuk dalam komponen PAD
Seluruh penerimaan PBB P2 menjadi PAD
5. Daerah tidak memiliki tanggung jawab
atas optimalisasi pemungutan PBB P2
Daerah bertanggung jawab sepenuhnya
atas pemungutan PBB P2 secara:
a. Legal
b. Teknis Operasional dan Administrasi
c. Pemanfaatan
Masyarakat daerah dapat melakukan
27 D. Pengaruh Pengalihan PBB P2 Terhadap Pengelolaan Keuangan Negara
APBN adalah wadah bagi rencana pemerintah yang akan dilakukan dalam suatu kurun
waktu tertentu. Dalam APBN termuat perincian sumber pendapatan, serta alokasi belanja
pemerintah dalam rangka mencapai tujuan bernegara yaitu sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Untuk itu, dapat kita definisikan APBN adalah instrumen utama dalam manajemen
keuangan negara. Fungsi APBN adalah sebagai pedoman bagi pemerintah untuk mengatur
alokasi pendanaan dan pembelanjaan serta pembiayaan pembangunan, sebagai alat
pemerataan dan distribusi (transfer of payment), serta instrumen bagi pengendalian stabilitas
perekonomian negara. Dari sisi manajemen keuangan, APBN berfungsi sebagai pedoman
dalam sumber pendanaan serta alokasi belanja, alat kontrol masyarakat terhadap kebijakan
pemerintah, serta untuk menilau seberapa optimal pemerintah menggunakan dana
masyarakat.
Pajak dalam peranannya tidak hanya diposisikan sebagai sumber utama pendanaan,
namun memainkan peran penting dalam manajemen keuangan publik dalam rangka alokasi
pendanaan tersebut. Salah satunya adalah mekanisme dana bagi hasil. Dana Bagi Hasil (DBH)
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Sebelum pengalihan, DBH dari penerimaan PBB dibagi antara daerah provinsi,
daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah, yaitu:
1. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% (sembilan puluh persen) untuk
Daerah dengan rincian sebagai berikut:
a. 16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah provinsi yang
28 b. 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah
kabupaten/kota; dan
c. 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan.
2. 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada
seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB
tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:
a. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah
kabupaten dan kota; dan
b. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten
dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana
penerimaan sektor tertentu.
Pengalihan pengelolaan PBB P2 ke daerah merupakan potensi bagi peningkatan
penerimaan daerah. Dengan pengelolaan secara menyeluruh PBB P2 penerimaan
sepenuhnya akan menjadi milik pemerintah daerah. Hal ini seperti ditunjukkan pada gambar
di bawah ini.
Gambar 1: Perbandingan Penerimaan PBB-P2 Sebelum dan Setelah Pengalihan
29 Proses pengalihan kewenangan tersebut di atas tentunya berpengaruh terhadap
manajemen APBN. Sebelum dialihkan ke pemerintah daerah, kewenangan pemungutan
berada di pemerintah pusat yakni Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dibawah koordinasi
Kementerian Keuangan. Pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh DJP, yang secara otomatis
anggaran untuk melakukan tax collection menjadi beban APBN. Namun, hasil realisasi
penerimaan PBB yang diperoleh dikembalikan sebagian besar kepada pemerintah daerah
melalui dana bagi hasil yang telah disebutkan di atas. Ketimpangan manajemen yang terjadi
ini menjadi pemicu utama pengalihan PBB. Sebagai solusi win-win solution selain oleh karena
pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagai amanat undang-undang otonomi daerah.
Telah bergulir kurang lebih 3 tahun pengalihan pengelolaan PBB P2 tersebut. Secara
proporsi dalam sudut pandang manajemen keuangan publik lebih sesuai sehingga diharapkan
dapat berjalan optimal. Untuk memperoleh penerimaan daerah tambahan atau menjalankan
fungsi pendanaan (How to get the money?) segala kewenangan pengelolaan diserahkan
kepada daerah. Bagaimana dalam pengalokasian atau penggunaan dana tersebut (How to
allocate/spend the money?) untuk membiayai belanja daerah juga sepenuhnya dibawah
kendali pemerintah daerah. Untuk itu, pemerintah pusat dalam hal ini APBN tidak lagi
terbebani lagi untuk mendistribusi pendapatan negara. Setiap daerah secara leluasa dapat
mengatur proporsi untuk mengukur kemampuan daerah atas keperluan belanja daerah yang
disesuaikan dengan bertambahnya potensi penerimaan daerah melalui penerimaan PBB P2.
Dampak Terhadap Keuangan Pusat
Dampak proses pengalihan PBB dari pajak pusat menjadi pajak daerah terhadap
keuangan pemerintah pusat secara penerimaan tidak terlalu besar, karena sebelum dialihkan
PBB tercatat dalam penerimaan perpajakan namun juga dibagi-hasilkan ke daerah lewat
30 memberi sumbangan yang relatif tidak besar dibanding PBB sektor pertambangan,
perkebunan dan kehutanan.
Berdasarkan analisa dari Direktorat Jenderal Pajak, untuk melihat dampak peralihan
PBB terhadap keuangan negara, dilakukan dengan cara mengurangi penerimaan PBB dengan
perkiraan nilai PBB pedesaan dan perkotaan dalam pendapatan dan hibah pada APBN tahun
2010 - 2014. Adapun perkiraan nilai PBB tersebut didapatkan dari total realisasinya pada
tahun 2009, yaitu sebesar Rp 6.877,3 miliar, dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi tahun
2010 sebesar 5,8 persen. Berikut ini terdapat beberapa dampak dari pengalihan PBB P2
terhadap keuangan Pusat.
1. Penerimaan negara
Peralihan PBB tetap mengurangi penerimaan perpajakan. Berpindahnya administrasi
PBB ke daerah, diperkirakan akan mengakibatkan berkurangnya penerimaan
perpajakan tahun 2010-2014 rata-rata sebesar 0,79 persen. Bila sebelum dialihkan,
rata-rata proyeksi penerimaan perpajakan adalah sebesar Rp 1.035.627,92 miliar,
setelah PBB pedesaan dan perkotaan dialihkan rata-ratanya menjadi sebesar Rp
1.027.457,31 miliar. Sementara pendapatan dan hibah akan turun rata-rata sebesar
0,64 persen dari proyeksinya.
2. Surplus/Defisit Anggaran
Peralihan PBB pedesaan dan perkotaan berkontribusi tidak terlalu besar terhadap
penerimaan negara, namun cukup berarti dalam mempengaruhi besarnya defisit
APBN. Kebijakan tersebut, diperkirakan akan meningkatkan defisit pada tahun
2010-2014 dari proyeksi yang telah dilakukan, rata-rata sebesar 8,30 %. Meskipun bila
dilihat dari persentase akan terjadi peningkatan defisit, namun bila dibandingkan
31 APBN tahun 2010-2014 cenderung makin kecil, yaitu berkisar antara Rp 48.051,6 –
166.021,6 milar, atau rata-rata sebesar Rp 106.614,67 miliar.
3. Belanja Negara
Kemudian dari sisi belanja negara, nilai DBH sedikit berkurang karena komponen DBH
Pajak telah dikurangi oleh PBB terutama PBB perkotaan dan pedesaan.
Dampak atau pengaruh terhadap manajemen keuangan dari sisi pendapatan pajak
pusat lainnya adalah, Direktorat Jenderal Pajak dapat lebih fokus terhadap tugas penerimaan
negara dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
Dampak terhadap Keuangan Daerah
Pengalihan PBB P2 tentunya lebih banyak berpengaruh terhadap keuangan daerah.
Baik dari sisi fungsi sebagai sumber utama pendanaan maupun fungsi alokasi dan distribusi
terhadap belanja daerah. Untuk daerah tingkat I atau provinsi tentu mengurangi penerimaan,
dengan hilangnya proporsi dana bagi hasil sebesar 16,2 % penerimaan PBB. Bagi daerah
tingkat II kabupaten/kota dapat berdampak penambahan atau pengurangan penerimaan,
penambahan karena semua penerimaan PBB masuk rekening kabupaten/kota, sedangkan
pengurangan mungkin terjadi karena tidak ada lagi 6,5 % bagian Pusat yang dibagikan secara
merata kepada kabupaten/kota.
Akan tetapi implikasi pengalihan PBB P2 ini akan lebih banyak dari aspek sosial dan
ekonomi secara makro. Dengan kewenangan yang seluas-luasnya oleh daerah, maka
perubahan pelayanan, akan dapat disesuaikan dengan kearifan lokal masing-masing daerah.
Hal ini tentunya akan mendukung iklim kehidupan ekonomi yang lebih kondusif, sebagai
perubahan paradigma pajak yang tidak hanya sebagai alat budgetair namun mengedepankan
pula fungsi reguler. Pajak akan semakin dekat dengan masyarakat di daerah, sehingga kontrol
32 BAB III
PENUTUP A. Kesimpulan
Dengan pengalihan PBB P2 melalui UU Nomor 28 tahun 2009 ini, tentunya
kemampuan daerah untuk membiayai pembangunan dapat meningkat. Adanya diskresi tarif
dan perluasan basis serta kewenangan pengelolaannya, setiap pemerintah daerah dapat
memetakan potensi dan peluang untuk mengoptimalkan pendapatan daerah. Namun, upaya
pengalihan pengelolaan PBB P2 ini tidak hanya semata-mata untuk meningkatkan
kemampuan daerah untuk lebih mandiri dalam memperoleh pendanaan. Lebih dari itu,
diharapkan dengan pemahaman masing-masing daerah terhadap karakteristik serta seluk
beluk wilayahnya masing-masing dapat meningkatkan value for money pengelolaan
administrasi dan pelayanannya.
Pendaerahan PBB P2 berpengaruh terhadap manajemen pendapatan negara di
pemerintah pusat. Dengan adanya pengalihan ini pemerintah pusat dapat lebih efektif
mengumpulkan pendapatan pajak dari PPh, dan PPN, serta tidak dibebani lagi oleh biaya
pemungutan yang besar dari pengelolaan PBB. Selain itu, Pemerintah Daerah dapat leluasa
melakukan manajemen keuangan daerah khususnya menambah pundi-pundi pendapatan
melalui PBB P2, dan memperhitungkan belanja sesuai potensi yang dimiliki masing-masing.
Pengalihan PBB P2 ini merupakan amanah dari pemerintah pusat kepada daerah
sebagai upaya optimalisasi desentralisasi fiskal. Diharapkan setiap Pemerintah Daerah dapat
melaksanakan dengan sebaiknya guna bergotong royong mengumpulkan pundi-pundi
33 Referensi
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
4. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.07/2016 tentang Konversi Penyaluran
Dana Bagi Hasil (DBH) dan/atau Dana Alokasi Umum (DAU) dalam Bentuk Nontunai 6. Pedoman Umum Pengelolaan PBB P2, 2011, Kementerian Keuangan Republik Indonesia 7. Halim, Abdul. 2016. Manajemen Keuangan Sektor Publik, Problematika Penerimaan dan
Pengeluaran Pemerintah. Jakarta: Salemba Empat