1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan masalah yang ada pada disetiap negara, namun bagi negara berkembang kemiskinan menyebabkan terhambatnya proses pembangunan perekonomian.
Kemiskinan merupakan keadaan dimana seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai denga taraf hidupnya. Kesulitan, kebutuhan, dan kekurangan merupakan tiga hal yang sering dihubungkan dengan kemiskinan (Romi & Umiyati, 2018).
Berbagai upaya kebijakan yang dibuat pemerintah untuk menekan kemiskinan walaupun tetap mendapatkan hasil yang kurang maksimal. Dengan perkembangan industri dan teknologi saat ini tetap saja tidak dapat menuntaskan permasalahan kemiskinan secara mengakar (Hanifah &
Hanifa, 2021).
Indonesia dengan 34 provinsi merupakan salah satu negara berkembang dengan tingkat keparahan kemiskinan yang berbeda-beda disetiap daerahnya. Dari tahun 2019-2021 tingkat kemiskinan 5 provinsi di Pulau Jawa secara keseluruhan mengalami peningkatan di setiap tahunnya.
Grafik 1. Tingkat Kemiskinan di Pulau Jawa Tahun 2019-2021 Sumber : BPS (Data Diolah, 2022)
0 2 4 6 8 10 12 14
JATENG JABAR JATIM DKI BANTEN DIY
Tingkat Kemiskinan di Pulau Jawa Tahun 2019-2021 (%)
2019 2020 2021
2
Berdasarkan grafik 1 menunjukan bahwa kemiskinan meningkat pada setiap tahunnya.
Provinsi DIY dengan tingkat kemiskinan tertinggi dengan rata-rata peningkatan kemiskinan sebesar 0,55 persen. Disusul Jawa Tengah untuk persentase penduduk miskin 11, 79 persen pada tahun 2021 dengan rata-rata peningkatan sebesar 0,49 persen. Provinsi Jawa Timur dengan presentase penduduk miskin tertinggi selanjutnya sebesar 11,4 persen , lalu Jawa Barat sebesar 8,4 persen, Banten sebesar 6,66 persen dan DKI dengan persentase penduduk miskin terendah sebesar 4,72 persen. Peningkatan penduduk miskin selama 3 tahun terakhir ini dikarenakan adanya wabah covid-19 yang membuat beberapa lapangan usaha yang mengalami kerugian dan menyebabkan terjadinya pengurangan tenaga kerja. Pengurangan tenaga kerja dalam waktu yang bersamaan ini membuat tingkat kemiskinan mengalami peningkatan di setiap daerahnya dengan tingkat yang berbeda-beda. Peningkatan kemiskinan yang tinggi dapat menyebabkan timbulnya masalah sosial ekonomi lainnya seperti pengangguran, kriminalitas, daya beli masyarakat berkurang dan menurunnya kesejahteraan masyarakat.
Jumlah penduduk merupakan salah satu permasalahan mendasar dalam pembangunan perekonomian, dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkendali dapat menghambat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi itu sendiri untuk mensejahterakan rakyat dan mengurangi jumlah angka kemiskinan. Pertumbuhan jumlah penduduk dapat menjadi faktor pendorong atau penghambat bagi pengangguran Suhandi, Putri, & Agnisa (2018). Menjadi faktor pendorong sebab pertumbuhan jumlah penduduk akan menciptakan tenaga kerja dengan usia produktif, sedangkan jumlah penduduk menjadi penghambat karena dapat menurunkan produktivitas dan akan menambah tingkat pengangguran apabila tidak dibarengi dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan. Sehingga kaitannya dengan kemiskinan bahwa jumlah penduduk yang besar dapat memperparah tingkat kemiskinan. Pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat dapat menyebabkan pengurasan sumberdaya, kekurangan tabungan, kerusakan lingkungan dan dapat menimbulkan masalah sosial seperti kelaparan, keterbelakangan, dan kemiskinan.
Meningkatnya jumlah usia produktif yang cepat tidak disertai dengan ketersediaan lapangan pekerjaan dapat menybabkan tingkat pengangguran meningkat. Upaya untuk mengurangi tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri karena sama pentingnya. Apabila individu memiliki pemasukan pendapatan maka dapat digunakan untuk memenuhi keperluan pengeluaran untuk hidup, jika keperluan hidupnya sudah terpenuhi maka secara alami tingkat kemiskinan akan berkurang. Menurut BPS pengangguran adalah
3
individu yang tergolong angkatan kerja namun tidak bekerja dan atau sedang dalam mencari pekerjaan.
Tidak hanya jumlah penduduk dan pengangguran yang mempengaruhi tingkat kemiskinan, namun kualitas hidup manusia dapat diduga menjadi faktor yang bisa menyebabkan terjadinya kemiskinan. Kualitas hidup manusia bisa dilihat lewat Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
IPM adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara. Pembangunan manusia merupakan salah satu tujuan dari pembangunan ekonomi, sebab pembangunan manusia menjadi kunci dari sebuah negara dalam membentuk kemampuan untuk menyerap teknologi dan mengembangembangkannya agar terciptanya pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan (Sudirman & Sakinah, 2020). Kualitas sumber daya yang rendah akan berpengaruh pada produktivitas dan berpengaruh pada berkurangnya penghasilan.
Upah merupakan sumber pemasukan bagi para tenaga kerja sehingga apabila sumber pamasukan turun maka akan berpengaruh pada kesejateraan tenaga kerja (Hanifah & Hanifa, 2021). Kebijakan upah minimum diharapkan dapat membantu mengetaskan kemiskinan, sebab upah minimum bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM) diharapkan dapat menjamin tenaga kerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya serta mengantisipasi tindak eksploitasi dalam bekerja. Dengan kebijakan pemerintah melakukan peningkatan upah minimum diharapkan dapat memicu minat masyarakat dalam bekerja.
Kesejahteraan rakyat ditentukan oleh tingkat pendapatan, dengan penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) maka pendapatan masyarakat akan maksimum. Upah rendah dapat disebabkan oleh ketrampilan dan kualitas sumber daya manusia yang secara otomatis mempengaruhi tingkat produktivitas.
Berdasarkan penelitian Didu & Fauzi (2016), Silastri (2017), Usman & Diramita (2018), Ristika, Primandhana, & Wahed (2021), Afrida, Usman, & Abbas (2021), Sianipar, Masinambow, & Lapian (2022) dan Safuridar & Putri (2019) menunjukan bahwa jumlah penduduk berpengaruh negatif dan signifikan. Sedangkan hasil penelitian Suhandi et al. (2018), Sudirman & Sakinah (2020) dan Nabawi (2020) hanya menunjukan pengaruh negatif antara jumlah penduduk dengan kemiskinan. Penelitian Agustina, Syechalad, & Hamzah (2018) yang menunjukan bahwa jumlah penduduk berpengaruh negatif dan tidak signifikan. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Azizah, Sudarti, & Kusuma (2018), Damanik &
Sidauruk (2020), Yuliansyah (2021), dan Ritonga & Wulantika (2020) menunjukan jumlah
4
penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan. Pada penelitian Hilmi, Marumu, Ramlawati, & Peuru (2022), Wiradyatmika & Sudiana (2013) jumlah penduduk menunjukan pengaruh positif namun tidak signifikan terhadap kemiskinan. Sedangkan hasil penelitian Cahyani & Muljaningsih (2022) dan Aminah (2019) menunjukan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Lain halnya dengan hasil penelitian Mahsunah (2013) jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap kemiskinan dan Muliza (2020) menunjukan jumlah penduduk tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.
Penelitian yang dilakukan Agustina et al. (2018), Wiradyatmika & Sudiana (2013), I. K. A.
A. Putra & Arka (2016), Segoro & Pou (2016), Bintang & Woyanti (2018), Sari (2021), Ariyanti (2019), Fadlillah, Sukiman, & Dewi (2016),dan Syafri & Febrianti (2021) menunjukan bahwa pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan yang artinya setiap terjadi peningkatan jumlah pengangguran yang signifikan maka tingkat kemiskinan akan mengalami peningkatan. Berbeda dengan hasil peneltian yang dilakukan Ristika, Primandhana, & Wahed (2021), Sianipar, Masinambow, & Lapian (2022) dan Riva, Kadir, & Setiawan (2014) menunjukan pengangguran berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap kemiskinan. Sedangkan hasil penelitian Mahsunah (2013) dan Alhudori (2017) hanya menunjukan pengaruh positif antara pengangguran dengan kemiskinan. Lain lagi dengan penelitian Hilmi, Marumu, Ramlawati, & Peuru (2022), Hanifah & Hanifa (2021) dan Safuridar & Putri (2019) hasilnya menunjukan bahwa pengangguran memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kemiskinan. Penelitian Utami & Masjkuri (2018) menunjukan pengangguran berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan. Pada penelitian Usman & Diramita (2018), Cahyani & Muljaningsih (2022) dan Sayifullah &
Gandasari (2016) menunjukan bahwa pengangguran tidak berpengaruh terhadap kemiskinan.
Sedangkan hasil penelitian I. K. Y. D. Putra & Yasa (2018), Mukhtar, Saptono, & Arifin (2019), Safitri, Haya, & Hendri (2022) menunjukan pengangguran berpengaruh tidak signifikan terhadap kemiskinan. Berbeda dengan penelitian Yustie (2017) yang menunjukan pengaruh signifikan antara pengangguran terhadap kemiskinan dan Junita Sari (2017) hasilnya menunjukan pengangguran tidak berpengaruh dan tidak signifikan terhadap kemiskinan.
Menurut hasil penelitian Ristika et al. (2021) menunjukan IPM berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan, sedangkan peneliti Safuridar & Putri (2019) menunjukan IPM berpengaruh positif tidak signifikan terhadap kemiskinan. Hasil penelitian Alhudori (2017) IPM berpengaruh positif terhadap kemiskinan artinya setiap terjadi kenaikan IPM akan menyebabkan kenaikan pada tingkat kemiskinan juga. Berbeda dengan hasil penelitian yang
5
dilakukan Fadlillah et al. (2016), Mukhtar et al. (2019), Segoro & Pou (2016), dan Heriansyah, Nuraini, & Kusuma (2018) IPM berpengaruh negtif dan signifikan terhadap kemiskinan.
Penelitian Sudirman & Sakinah (2020) dan Sayifullah & Gandasari (2016) menunjukan IPM berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Sedangkan peneliti Sitanggang (2020) menunjukan IPM tidak berpengaruh terhadap kemiskinan dan hasil penelitian Yustie (2017) IPM berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.
Berdasarkan penelitian Utami & Masjkuri (2018), Riva et al. (2014), dan Hanifah & Hanifa (2021) menunjukan upah minimum berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan artinya apabila upah minimum mengalami kenaikan maka tingkat kemiskinan akan menurun dan begitu sebaliknya. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Sutikno, Rotinsulu, &
Tumangkeng (2019) menunjukan bahwa upah minimum memiliki pengaruh signifikan terhadap kemiskinan sehingga ketika upah minimum mengalami kenaikan maka akan diikuti oleh kenaikan tingkat kemiskinan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Tengah diantaranya jumlah penduduk, tingkat pengangguran, IPM dan upah minimum. Berdasarkan fenomena yang ada, provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ke dua dengan jumlah penduduk miskin tertinggi pada September 2021. Dengan melihat hasil dari para penelitian terdahulu maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai pengaruh jumlah penduduk, pengangguran, IPM dan upah minimum kabupaten/kota terhadap kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2017-2021.
1.2 Persoalan Penelitian
Dari uraian diatas dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruhjumlah penduduk terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah?
2. Bagaimana pengaruh pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah?
3. Bagaimana pengaruh upah minimum terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah?
4. Bagaimana pengaruh Indeks Pembangunan Manusia terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari uraian diatas maka tujuan yang ingin dari penelitian ini adalah sebagi berikut:
1. Menganalisis pengaruh jumlah penduduk terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah.
2. Menganalisis pengaruh pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah.
3. Menganalisis pengaruh upah minimum terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah
6
4. Menganalisis pengaruh IPM terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah 1.4 Manfaat Penelitian
Untuk secara umum diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti lain dalam kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan.
Selain itu diharapkan juga dapat menjadi informasi dan evaluasi bagi pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori
2.1.1 Kemiskinan
Keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok dalam hidunya seperti sandang, pangan, papan dan pendidikan merupakan salah satu definisi kemiskinan. Sebenarnya permasalahan kemiskinan bukan hanya tentang seberapa anyak jumlah penduduk yang miskin, namun ada beberapa dimensi lain yang perlu diperhatikan seperti tingkat kedalaman dan tingkat keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan lebih melihat jarak rata-rata pengeluaran dari penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan lebih mengindikasi tentang ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Penduduk miskin adalah penduduk yang mempunyai rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Gambar 4. Lingkaran Setan Kemiskinan (The Vicious Circle Of Poverty)
Dari lingkaran setan kemiskinan diatas dapat dilihat bahwa kemiskinan selalu berputar tanpa ujung dan pangkal. Dengan adanya ketidaksempurnaan pasar serta kurangnya modal membuat produktivitas menjadi rendah, rendahnya produktivitas mengakibatkan pendapatan yang diterima berkurang.
Rendahnya pendapatan berdampak pada rendahnya tabungan dan investasi, rendahnya investasi akan berakibat pada keterbelakangan (Kusdiyanti, 2015). Indikator-indikator kemiskinan yang digunakan
Ketidaksempurnaan pasar
Kekurangan Modal
Produktivitas rendah
pendapatan berkurang tabungan rendah
Investasi rendah
8
disuatu tempat belum tentu dapat digunakan di tempat lainnya. Karena struktur kemiskinan disetiap wilayah berbeda-beda.
Kemiskinan terbagi dalam berbagai macam dan indikator yang berbeda-beda. Jika melihat dari jenis pengukurannya kemiskinan dibedakan menjadi dua menurut Adawiyah (2020) yaitu:
1. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur menggunakan standar yang bersifat konsisten. Seseorang yang termasuk dalam kategori kemiskinan absolut yaitu ketika orang itu berada di bawah garis kemiskinan dan dirinya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling minimum.
2. Kemiskinan relatif adalah keadaan masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi akibat kebijakan pembangunan yang di buat pemerintah belum menjangkau keseluruh masyarakat yang menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan.
Menurut Sudirman, (2014) melihat kemiskinan dari sisi yang lebih komplek terbagi menjadi dua yaitu:
1. Kemiskinan makro melihat dari sisi ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Data yang digunakan untuk mengukur kemiskinan makro ini menggunakan data jumlah penduduk miskin secara nasional.
2. Kemiskinan mikro dihitung menggunakan 14 indikator pada basis rumah tangga. 14 indikator kemiskinan seperti lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, aset yang dimiliki dan lain-lainnya.
Kemiskinan juga dapat dilihat berdasarkan pada pola waktunya, menurut Nurwati (2008) yang dibedakan menjadi empat macam yaitu:
1. Persistent poverty jenis kemiskinan yang turun temurun.
2. Cyclical poverty merupakan jenis kemiskinan yang terjadi karena mengikuti pola siklus ekonomi.
3. Seasonal poverty kemiskinan yang terjadi karena musiman.
4. Accidental poverty terjadi karena adanya peristiwa bencana alam atau dampak dari kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Di Indonesia pengukuran kemiskinan dilakukan oleh BPS. Konsep yang digunakan adalah kemampuan seseorang atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasar. Pengeluaran per kapita per bulan dalam rumah tangga digunakan sebagai variabel yang akan dibandingkan dengan besarnya nilai garis kemiskinan untuk menentukan seseorang tersebut dalam kategori
9
miskin atau tidak miskin. Apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan seseorang dibawah garis kemiskinan maka orang tersebut masuk dalam kategori penduduk miskin. Perhitungan garis kemiskinan di dapat dari menjumlahkan garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan (GKNM). GKM adalah jumlah dari nilai pengeluaran 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi oleh penduduk yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. GKNM adalah penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi non makanan terpilih seperti sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Menurut BPS batas kemiskinan atau garis kemiskinan merupakan tingkat minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan dan kebutuhan pokok non makanan, dengan rumusan sebagai berikut,
GK = GKM + GKNM Keterangan:
GK : Garis Kemiskinan
GKM : Garis Kemiskinan Makanan GKNM : Garis Kemiskinan non Makanan 2.1.2 Jumlah Penduduk
Penduduk adalah sekelompok orang yang tinggal atau menempati suatu wilayah atau juga dapat diartikan jumlah penduduk adalah orang yang berdomisili di suatu wilayah geografis dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan menurut UUD tahun 1945 pada pasal 26 ayat 2
“penduduk Indonesia adalah warga negara Indonesia dan warga negara asing yang bertempat tinggal di Indonesia.” Di negara Indonesia apabila seseorang tinggal atau menetap di Indonesia dalam jangka waktu kurang lebih 6 bulan atau kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap dapat dikatakan sebagai penduduk. Sedangkan pengertian dari menurut Arfian (2018) penduduk adalah seseorang yang memiliki tempat tinggal di suatu tempat di wilayah tertentu.
Menurut Didu & Fauzi (2016)penduduk yaitu orang yang tinggal di suatu wilayah tanpa melihat status kewarganegaraannya. Di Indonesia untuk menghitung jumlah penduduk dilakukan dengan program sensus penduduk dalam jangka waktu tertentu, yang dilakukan secara bersama-sama. Karena dengan seiring berjalannya waktu terdapat perubahan-perubahan jumlah penduduk yang bisa bertambah ataupun berkurang.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jumlah penduduk yaitu,
10
1. Kelahiran, dengan kelahiran seorang anak akan menambah jumlah penduduk.
2. Moralitas/kematian, terjadinya kematian seorang individu akan mengurangi jumlah penduduk di suatu daerah.
3. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan tujuan untuk menetap.
Dengan tingkat pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya, maka ada beberapa cara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasinya.
a. Menggalakan program transmigrasi
b. Membuat program Keluarga Berencana (KB) c. Meningkatkan minat wajib belajar
d. Penciptaan dan pemerataan lapangan pekerjaan
Biasanya penduduk dikelompok atau di susun berdasarkan kriteria tertentu. Secara umum pengelompokan penduduk dilihat pada kriteria jenis kelamin, umur, angkatan kerja dan lain- lainnya. Komposisi penduduk atau pengelompokan penduduk ini digunakan sebagai acuan dasar dalam pembuatan kebijakan pembangunan.
1) Komposisi penduduk menurut usia dan jenis kelamin.
a. Struktur penduduk muda yang terdiri dari usia 15 tahun kebawa sampai usia 65 tahun.
b. Struktur penduduk tua yang terdiri dari usia 65 tahun sampai 15 tahun.
2) Komposisi penduduk menurut angakatan kerja
a. Penduduk yang berkerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun keatas.
b. Penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja, yaitu penduduk yang berusia 15 tahun keatas yang bekerja namun sementara tidak bekerja atau menganggur.
c. Penduduk yang bukan angkatan kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun keatas namun masih bersekolah, atau mengurus rumah tangga atau sedang melakukan kegiatan lainnya.
d. Penduduk yang punya pekerjaan tapi sedang tidak bekerja yaitu penduduk yang memiliki pekerjaan tapi selama seminggu yang lalu tidak bekerja seperti sakit, cuti, dan sebagainya.
3) Komposisi penduduk menurut rasio ketergantungan (Dependecy Ratio)
Perbandingan yang menunjukan besar beban tanggungan kelompok usia produktif atas kelompok usia tidak produktif. Dengan usia produktif 15 tahun sampai 65 tahun, sedangkan usia tidak produktif dibawah 15 tahun dan diatas 65 tahun.
11
Dengan jumlah penduduk yang semakin tinggi di suatu daerah, bisa menjadikan daerah tersebut menjadi kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk sendiri adalah jumlah rata-rata penduduk per satuan unit wilayah yang biasanya dengan satuan km2. Menurut BPS (2010) kepadatan penduduk dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Kepadatan penduduk kasar yaitu menunjukan banyaknya jumlah penduduk untuk setiap kilometer persegi luas wilayah.
2. Kepadatan fisiologis menunjukan banyaknya penduduk nutuk setiap kilometer persegi wilayah lahan yang ditanami
3. Kepadatan agraris menunjukan banyaknya penduduk petani untuk setiap kilometer persegi wilayah lahan yang ditanami.
2.1.2.1 Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap Kemiskinan
Apabila jumlah penduduk meningkat maka kemiskinan akan meningkat. Diketahui bahwa yang menyebabkan perubahan angka pada pertumbuhan jumlah penduduk ialah kelahiran (Fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan (migrasi). Kemiskinan terjadi disebabkan jumlah penduduk yang tinggi namun ketersediaan lapangan pekerjaan tidak mencukupi.
Jumlah penduduk bisa menjadi beban suatu negara dalam pembangunan, jika tidak disertai dengan kualitas pendudukan. Pada teori Maltus pertumbuhan penduduk yang sangat pesat dapat menyebabkan kemiskinan yang parah, berarti jumlah penduduk yang tinggi dapat menyebabkan tingkat kemiskinan meningkat, hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Azizah, Sudarti, & Kusuma (2018), Damanik & Sidauruk (2020), Yuliansyah (2021), dan Ritonga & Wulantika (2020) jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan. Hampir sama dengan penelitian Hilmi, Marumu, Ramlawati, & Peuru (2022), dan Hilmi et al. (2022) menunjukan jumlah penduduk berpengaruh positif dan tidak signifikan.
Berbeda dengan penelitian Didu & Fauzi (2016), Silastri (2017), Usman & Diramita (2018), Ristika et al. (2021), Afrida, Usman, & Abbas (2021), Sianipar, Masinambow, & Lapian (2022) hasilnya menunjukan berpengaruh negatif dan signifikan. Penelitian Mahsunah (2013) dan Muliza (2020) hasilnya menunjukan jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap kemiskinan.
Dari penjelasan di atas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan
12 2.1.3 Pengangguran
Pengangguran adalah orang yang tergolong dalam angkatan kerja namun belum mendapatkan pekerjaan atau tidak bekerja. Pengangguran menjadi salah satu faktor untuk melihat tingkat kemakmuran masyarakat. Tingkat kemakmuran yang semakin menurun akan menimbulkan masalah kemiskinan dan juga dapat membuat pendapatan masyarakat berkurang.
Ketika terjadi full employment atau penggunaan tenaga kerja secara penuh, pendapatan masyarakat dapat dikatakan maksimum. Dengan pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi dapat membuat beban untuk perekonomian itu sendiri yaitu dengan menciptakan atau menambah lapangan kerja untuk angkatan kerja yang baru. Angkatan kerja dikategorikan individu yang berusia 15 tahun sampai 65 tahun. Individu yang sedang tidak bekerja tetapi tidak juga mencari pekerjaan tidak termasuk dalam kategori pengangguran. Dengan jumlah pengangguran yang tinggi berarti jumlah penduduk miskin di wilayah tersebut tinggi.
Mengapa? Karena saat mereka tidak bekerja maka mereka tidak mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya, maka mereka akan mengurangi jumlah konsumsinya.
Pengangguran terbagi dalam empat jenis menurut Sopianti & Ayuningsasi (2011) berdasarkan sebab terjadinya:
1. Pengangguran siklikal (Cyclical Unemployment) terjadi karena maju mundurnya perekonomian di suatu negara.
2. Pengangguran struktural yang disebabkan perubahan struktur perekonomian.
3. Pengangguran friksional adalah pengangguran yang di karenakan sistem yang tidak dapat mempertemukan antara pencari kerja dan lowongan kerja.
4. Pengangguran teknologi disebabkan karena adanya peralihan dari tenaga kerja manusia menjadi mesin
Menurut Sopianti & Ayuningsasi (2011) pengangguran berdasarkan lama waktu bekerja terbagi menjadi 4 yaitu:
1. Pengangguran terbuka adalah keadaan seseorang yang sama sekali tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan.
2. Pengangguran tidak sepenuh waktu atau setengah pengangguran, jenis ini ditunjukan pada seseorang yang mempunyai pekerjaan namun jam kerjanya hanya sedikit atau tidak sesuai dengan standar jam kerja.
3. Pengangguran terselubung adalah pengangguran yang terjadi pada orang dengan produktivitas rendah.
13
4. Pengangguran musiman yaitu pengangguran yang tidak dapat bekerja ketika pergantian musim.
Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pengangguran menurut Ishak (2007) yaitu, 1. Jumlah tenaga kerja dan jumlah lapangan pekerjaan tidak seimbang.
2. Adanya kemajuan teknologi.
3. Ketrampilan dan pengalaman pemohon tidak sesuai kriteria.
4. Rendahnya tingkat pendidikan.
5. Persaingan pasar global.
6. Kesulitan mencari lowongan pekerjaan.
2.1.3.1 Pengaruh Pengangguran Terhadap Kemiskinan
Penggangguran menjadi salah satu unsur yang dapat digunakan untuk menentukan kemakmuran masyarakat melalui pendapatan. Masyarakat akan mendapat pendapatan yang maksimum jika penggunaan tenaga kerja pada tingkat penuh (full employment) dapat terjadi.
Cepatnya pertumbuhan jumlah angkatan kerja akan menambah beban perekonomian, karena harus menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan. Jika lapangan pekerjaan tidak dapat menampung semua angkatan kerja maka dapat dipastikan jumlah angka pengangguran akan semakin bertambah.
Sehingga apabila tingkat pengangguran meningkat maka tingkat kemiskinan mengalami peningkatan, hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mahsunah (2013), Agustina et al. (2018), Wiradyatmika & Sudiana (2013), Putra & Arka (2016), Segoro & Pou (2016), Bintang & Woyanti (2018), dan Sari (2021) menunjukan pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengangguran. Sedangkan hasil penelitian Ristika et al. (2021), Sianipar et al. (2022), Riva, Kadir, & Setiawan (2014) pengangguran berpengaruh positif dan tidak signifikan. Berbeda dengan hasil penelitian Usman & Diramita (2018), Cahyani &
Muljaningsih (2022), Junita Sari (2017), I. K. Y. D. Putra & Yasa (2018) yang menunjukan pengangguran tidak berpengaruh terhadap kemiskinan.
Dari pemaparan di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut H2 : Pengangguran berpengaruh positif terhadap kemiskinan 2.1.4 Indek Pembangunan Manusia (IPM)
Keberhasilan suatu negara dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta peningkatan kualitas hidup dapat dilihat menggunakan Indek Pembangunan Manusia (IPM). Kualitas
14
manusia disuatu negara dapat menjadi penentu dari keberhasilan pembangunan negara. IPM menggambarkan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil dari pembangunan ekonomi dalam mendapatkan pendapatan, kesehatan serta mendapat pendidikan yang layak (Yustie, 2017).
IPM terbentuk oleh 3 unsur dasar yaitu umur panjang, pengetahuan dan standar hidup layak.
Komponen umur panjang ditunjukan dengan angka harapan hidup, sedangkan pengetahuan ditunjukan dengan angka harapan lama sekolah lalu pada indikator standar hidup layak ditunjukan oleh kemampuan daya beli.
Menurut BPS (2014) manfaat dari IPM yaitu,
1. IPM sebagai indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangunan kualitas hidup manusia.
2. Dapat digunakan untuk menentukan peringkat atau level pembangunan suatu wilayah.
3. IPM digunakan sebagai salah satu penentu Dana Alokasi Umum (DAU), karena IPM sebagai ukuran kinerja pemerintah.
Menurut BPS untuk menghitung IPM dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut.
IPM = √𝑋1 + 𝑋2 + 𝑋33 Keterang:
X1 = Indeks harapan hidup X2 = Indeks tingkat pendidikan X3 = Indeks standar hidup layak
Sedangkan untuk setiap komponen digunakan rumus sebagai berikut, Indikator Kesehatan
I = 𝐴𝐻𝐻−𝐴𝐻𝐻𝑚𝑖𝑛
𝐴𝐻𝐻𝑚𝑎𝑘𝑠−𝐴𝐻𝐻𝑚𝑖𝑛
Keterangan :
I = Indeks harapan hidup AHH = Angka harapan hidup
AHH min = Angka harapan hidup terendah
15 AHHmak = Angka harapan hidup tertinggi Indikator Pendidikan
I =𝐻𝐿𝑆+𝑅𝐿𝑆
2
Keterangan
I = Indeks pendidikan
HLS = Harapan lama sekolah RLS = Rata-rata lama sekolah Indikator pengeluaran
I = 𝑃−𝑃𝑚𝑖𝑛
𝑃𝑚𝑎𝑘−𝑃𝑚𝑖𝑛
Keterangan
I = Indeks pengeluaran P = Angka pengeluaran
Pmin = Angka pengeluaran terendah Pmak = Angka pengeluaran tertinggi
2.1.4.1 Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Terhadap Kemiskinan
Pembangunan manusia bertujuan untuk menekan angka kemiskina agar tidak mengalami peningkatan. Fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi penduduk miskin bukan masalah yang besar sebab menurut mereka bekerja menggunakan tenaga. Tapi berbeda apabila fasilitas kesehatan dan pendidikan dapat tersedia serta terjangkaunya maka akan sangat membantu meningkatkan pendapatan dan produktivitasnya. Dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah akan berdampak pada produktivitas yang rendah dan akan berakibat pada penghasilan yang rendah. Berkurangnya penghasilan menyebabkan jumlah kemiskinan meningkat, kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia. Sehingga dapat dikatakan apabila IPM berkurang maka tingkat kemiskinan akan meningkat.
Menurut hasil penelitian Ristika et al. (2021) menunjukan bahwa ipm berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan, sedangkan Alhudori (2017) hanya menunjukan ipm berpengaruh positif terhadap kemiskinan yang artinya dengan menurunnya tingkat kemiskinan
16
maka indek pembangunan masyarakat juga menurun. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Heriansyah, Nuraini, & Kusuma (2018), Segoro & Pou (2016), Mukhtar, Saptono,
& Arifin (2019), Fadlillah, Sukiman, & Dewi (2016) bahwa ipm menunjukan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan. Sedangkan Sayifullah & Gandasari (2016) dan Sudirman & Sakinah (2020) menunjukan indek pembangunan manusia berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, berarti apabila tingkat kemiskinan menurun maka indek pembangunan manusia akan meningkat.
Dari penjelasan diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut
H3 : Indek Pembangunan Manusia berpengaruh negatif terhadap kemiskinan 2.1.5 Upah Minimum
Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang ditetapkan setiap tahun sebagai jaring pengaman bagi tenaga kerja disuatu wilayah. Upah minimum digunakan sebagai batas bawah nilai upah sehingga para pengusaha dilarang memberikan upah kepada pekerja dibawah nilai upah minimum.
Kebijakan upah minimum dibuat pemerintah untuk melindungi tenaga kerja dan menjamin kelangsungan usaha serta mendorong pertumbuhan lapangan kerja yang produktif. Upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak bagi tenaga kerja. Atau dapat dikatakan berdasarkan kondisi perekonomian dan ketenagakerjaan, yang meliputi paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah.
Menurut Pasal 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, upah minimum terdiri atas Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Menurut pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomer 36 Tahun 2021 Upah Minimum Provinsi adalah upah yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di suatu provinsi, UMP sendiri ditetapkan oleh Gubernur pada setiap tahun.
Upah Minimum Kabupaten/kota menurut pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomer 36 Tahun 2021 Gubernur dapat menentukan Upah Minimum Kabupaten/kota dengan beberapa syarat, yaitu:
a. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota bersangkutan selama 3 tahun terakhir lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuha ekonomi provinsi dengan data yang tersedia dalam periode yang sama.
17
b. Nilai pertumbuhan ekonomi dikurangi inflasi kabupaten/kota yang bersangkutan selama 3 tahun terakhir selalu positif dan lebih tinggi dari nilai provinsi dengan data yang tersedia dalam waktu yang sama.
Dengan syarat tersebut maka upah minimum kabupaten/kota haris lebih tinggi daripada upah minimum provinsi. Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota setalah penetapan upah minimum provinsi.
2.1.5.1 Pengaruh Upah Minimum Terhadap Kemiskinan
Upah minimum akan meningkatkan pendapatan para pekerja, sehingga dapat membantu mengentaskan kemiskinan. Upah salah satu sumber pendapatan, apabila upah berkurang maka kesejahteraan para pekerja akan berkurang pula yang tentunya akan berpengaruh pada tingkat kemiskinan.
Penelitian yang dilakukan Hanifah & Hanifa (2021), Riva et al. (2014) dan Utami &
Masjkuri (2018) menunjukan hasil upah minimum berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan, artinya apabila terjadi peningkatan upah minimum untuk tenaga kerja maka tingkat kesejahteraannya akan meningkat sehingga tingkat kemiskinan akan menurun. Berbeda dengan hasil penelitian Sutikno, Rotinsulu, & Tumangkeng (2019) yang menunjukan bahwa upah minimum berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.
Dari pemaparan diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut H4 = Upah minimum berpengaruh negatif terhadap kemiskinan 2.2 Model Penelitian
Dari hipotesis diatas dapat digambarkan model kerangka konseptual penelitian ini sebagai berikut :
JUMLAH PENDUDUK
PENGANGGURAN
INDEKS
PEMBANGUNAN MANUSIA
UPAH MINIMUM
KEMISKINAN
18
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data
Metode analisis pada penelitian ini adalah menggunkan metode kuantitatif. Metode kuantitatif yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk angka yang dapat dihitung secara matematik dan dianalisis secara statistik untuk melihat pengaruh antara pengangguran, jumlah penduduk, indeks pembangunan manusia dan upah minimum terhadap kemiskinan di Jawa Tengah.
Dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan data sekunder. Sedangkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengangguran, jumlah penduduk, ipm, upah minimum dan kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2019.
Sumber yang digunakan untuk mendapatkan data tersebut diantaranya Badan Pusat Statistika (BPS). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan dokumentasi.
3.2 Definisi Oprasional Variabel
No Konsep Definisi Indikator
Empiris
Skala Pengukuran 1. Kemiskinan Ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan.
Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita
Nominal
1. Pengangguran Orang yang sudah masuk dalam golongan angakatan kerja namun belum mendapatkan pekerjaan atau sedang mencari pekerjaan (BPS)
Jumlah Pencari Kerja
Rasio
2. Jumlah Penduduk Semua orang yang bedomisili di suatu tempat selama 6 bulan atau lebih dengan tujuan untuk menetap.
Jumlah Penduduk
Rasio
19 3. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)
Perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup.
Angka Harapan
Hidup, Angka Harapan Lama Sekolah, dan PNB (Pr
Rasio
4. Upah Minimum Upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur
Atas Dasar Harga Konstan
Nominal
3.3 Persamaan Model Regresi Data Panel
Persamaan pada penelitian ini adalah sebagai berikut, Yit = β0+ β1X1it + β2X2it + β3X3it + β4X4it + eit
Dengan:
Y = Kemiskinan β0 = Konstanta
β1 , β2, β3 = Koefisien regresi variabel bebas X1 = Jumlah penduduk
X2 = Pengangguran X3 = IPM
X4 = Upah minimum e = Standard error
i dan t = Komponen cross-section (kabupaten i) dan time series (tahun t) 3.4 Alat dan Tahapan Analisis
Penulis menggunakan metode regresi data panel dengan bantuan alat untuk mengelola adalah program E-Views. Dengan variabel dependen atau variabel terikatnya adalah kemiskinan, untuk variabel independen atau variabel bebasnya yaitu jumlah penduduk,
20
pengangguran, ipm dan upah minimum. Adapun tahapan dalam melakukan estimasi dengan model regresi data panel menurut Hidayat, Hadi, & Anggraeni (2018) sebagai berikut:
a. Uji Chow (Chow Test)
Uji Chow yaitu uji yang digunakan untuk menentukan model regresi yang tepat antara Commond Effect Model (CEM) atau Fixed Effect Model (FEM) . Jika hasil uji p-value kurang dari lima perse maka model regresi yag dipakai adalah Fixed Effect Model (FEM).
Sebaliknya apabila jika hasil dari uji p-value lebih dari lima persen maka model yang dipakai adalah Common Effect Model (CEM)
Jika P-value < lima persen : Ho ditolak Jika P-value > lima persen : Ho diterima b. Uji Hausman (Hausman Test)
Setelah menemukan model terbaik menggunakan pegujian uji Chow kemudian dilakukan uji Hausman. Uji Hausman adalah pengujian untuk menentukan Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect Model (REM) dalam menentukan model mana yang terbaik untuk digunakan pada regresi data panel. Jika nilai p-value kurang dari lima persen maka model yang akan digunakan yaitu Fixed Effect Model (FEM). Sedangkan jika nilai p-value lebih besar dari lima persen maka model yang dipilih yaitu Random Effect Model (REM).
Jika P-value < lima persen : Ho ditolak Jika P-value > lima persen : Ho diterima c. Lagrange Multiplier Test (Multiplier Test)
Multiplier Test merupakan pengujian yang digunakan untuk memiliki model regresi estimasi data panel yang tepat antara Random Effect atau Commond Effect. Pada uji Lagrange Multiplier Test yang harus diperhatikan yaitu apabila Uji Chow menemukan hasil Commond Effect sebagai model terbaik dan pada uji Hausman menemukan Random Effect sebagai model terbaik untuk estimasi data panel maka perlu dilakukan uji Lagrange Multiplier.
Jika P-value < lima persen : model estimasi Random Effect Jika P-value > lima persen : model estimasi Common Effect
21
Selanjutnya model tersebut akan di estimasi dan dilakukan uji statistik. Uji statistik dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat dan seberapa besar keterkaitan yang meliputi uji parsial (uji t), uji simultan (uji f) dan uji koefisien determinasi (R2).
Sebelum model diestimasi perlu dilakukan uji asumsi klasik agar sesuai dengan BLUE (Best, Liear, Ubiased Estimator) (Falah, Mustafid, & Sudarno, 2016).
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah variabel bebas dan variabel terikat berdistribusi secara normal atau tidak. Ketentuan dalam uji normalitas sebagai berikut:
Jika P-value < lima persen maka model estimasi tidak terdistribusi normal Jika P-value > lima persen maka model estimasi terdistribusi normal b. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dilakukan bertujuan untuk melihat apakah ada ketidaksamaan variasi untuk semua pengamatan dalam model apakah yang mempunyai variasi yang sama (homoskedastisitas) atau konstan (heteroskedastisitas). Pengujian dilakukan dengan membandingkan nilai Obs*R-squared Uji White, dengan ketentuan sebagai berikut:
Jika Chi-Square < lima persen maka model homoskedastisitas Jika Chi-Square > lima persen maka model heteroskedastisitas c. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas (independen) memiliki hubungan linear atau tidak. Ketentuan pada uji multikolinearitas sebagai berikut:
Jika nilai correlation matrics < 0,8 maka lolos multikolinearita
Jika nilai correlation matrics > 0,8 maka terdapat gejala multikolinearitas d. Uji Hipotesis
Dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji hipotesis ini menggunakan uji T dengan menggunakan aplikasi Eviews. Uji T dilakukan untuk melihat apakah variabel bebas secara individu mempengaruhi variabel terikat secara signifikan atau tidak yang dilihat juga dari nilai probabilitasnya. Jika nilai probabilitas variabel bebas kurang dari α lima persen maka variabel bebas dianggap berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
22 e. Koefisien Determinasi (R2)
R-squared adalah variasi total variabel terikat yang dijelaskan oleh variabel bebas yang nilainya dari nol sampai satu (Falah et al., 2016). Apabila hasilnya semakin mendekati angka satu maka semakin besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Estimasi Data Panel
Sebelum melakukan estimasi data panel terlebih dahulu menentukan model estimasi mana yang cocok untuk dilakukan uji hipotesis yaitu uji Chow, uji Hausman dan uji Langrange Multiplier. Dengan catatan uji Langrange Multiplier dilakukan apabila hasil uji Chow yang tepat digunakan yaitu fixed effect dan setelah dilakukan uji Hausman hasil yang digunakan yaitu random effect. Namun apabila pada hasil uji Chow dan uji Hausman model yang tepat digunakan adalah fixed effect, maka tidak perlu dilakukan uji Langrange Multiplier. Berikut hasil uji estimasi data panel:
a. Uji Chow
Uji ini dilakukan untuk melihat model mana yang tepat digunakan antara common effect dan fixed effect. Dengan hasil pengujian sebagai berikut,
Tabel 4.1
Hasil Estimasi Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 3.243116 (35,140) 0.0000
Cross-section Chi-square 106.876274 35 0.0000
Dari hasil uji Chow diatas untuk menentukan model common effect atau fixed effect dapat dilihat dari nilai probabilitas cross section F. Nilai probabilitas cross section diatas sebesar 0.0000 yang artinya kurang dari lima persen, maka model yang sesuai adalah fixed effect.
b. Uji Hausman
Uji Hausman dilakukan untuk melihat model mana yang tepat digunakan antara fixed effect dan random effect. Dengan hasil pengujian sebagai berikut,
Tabel 4.2 Hasil Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
24
Berdasarkan hasil uji Hausman diatas dapat dilihat bahwa nilai probabilitas cross section pada random effect sebesar 0.0000. Artinya nilai probabilitas kurang dari lima persen maka model yang yang sesuai adalah fexed effect. Setelah dilakukan uji Chow dan uji Hausman dapat disimpulkan bahwa model yang sesuai adalah fixed effect, sehingga uji Langrange Multiplier (LM) tidak perlu dilakukan.
4.2 Pembahasan Hasil Estimasi Model Fixed Effect
Model peneltian yang sesuai dalam penelitian ini adalah fixed effect model. Hasil estimasi fixed effect model peneltian ini ditunjukan tabel 4.3 dibawah ini:
Tabel 4.3
Hasil Estimasi Fixed Effect
Dependent Variable: Y Method: Panel Least Squares Date: 10/17/22 Time: 17:17 Sample: 2017 2021
Periods included: 5
Cross-sections included: 35
Total panel (balanced) observations: 175
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1319.703 230.2361 5.731956 0.0000
X1 1.46E-05 1.65E-05 0.885253 0.3776
X2 1.101695 0.818491 1.346008 0.1805
X3 -17.84276 3.469682 -5.142476 0.0000
X4 3.44E-05 1.30E-05 2.649756 0.0090
Effects Specification Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 50.421209 4 0.0000
25
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.988291 Mean dependent var 115.3245
Adjusted R-squared 0.985019 S.D. dependent var 66.05688 S.E. of regression 8.085221 Akaike info criterion 7.211536 Sum squared resid 8890.428 Schwarz criterion 7.916831 Log likelihood -592.0094 Hannan-Quinn criter. 7.497624 F-statistic 302.0665 Durbin-Watson stat 1.662931 Prob(F-statistic) 0.000000
4.2.1 Uji Hipotesis t (parsial)
a. Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap Kemiskinan
Berdasarkan hasil estimasi model fixed effect diketahui nilai t statistik variabel Jumlah penduduk sebesar 0,885253 lebih kecil dari nilai t tabel 1,974017, artinya variabel Jumlah Penduduk tidak berpengaruh terhadap tingkat Kemiskinan. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa dengan bertambahnya populasi jumlah penduduk dapat menyebabkan meningkatnya kemiskinan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahsunah (2013) yang memaparkan bahwa jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap kemiskinan. Tidak berpengaruhnya umlah pendudukterhadap tingkat kemiskinan, dikarenakan keberhasilan salah satu program kampung KB yang digalakan pemerintah. Program ini dilakukan guna untuk menekan laju pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin cepat. Sehingga penyebaran jumlah penduduk akan didominasi oleh usia-usia produktif dan akan banyak tersedia tenaga kerja yang dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dalam menekan tingkat kemiskinan. Dengan jumlah penduduk usia produktif yang mendominasi tidak akan mempengaruhi jumlah penduduk miskin, sebab pada usia produktif kesempatan kerja masih terbuka lebar sehingga mereka dapat mempersiapkan kehidupan yang layak dan sejahtera (Silastri, 2017).
26
Grafik 2. Kabupaten/Kota Dengan Jumlah Penduduk Terbanyak di Jawa Tengah Sumber : Badan Pusat Statistika (data diolah ,2022)
Pada grafik 2 diatas dari 35 kabupaten/kota yang berapa di Provinsi Jawa Tengah terdapat 5 kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak, mulai dari Kabupaten Brebes yang mengalami peningkatan jumlah penduduk pada tahun 2021 sebanyak 0,14 ribu orang.
Kemudian Kabupaten Cilacap juga mengalami peningkatan jumlah penduduk sebanyak 0,19 ribu jiwa pada tahun 2021. Kabupaten Banyumas mengalami peningkatan jumlah penduduk sebanyak 0,03 ribu jiwa, sedangkan Kabupaten Tegal meningkat 0,12 ribu jiwa pada tahu 2021.
Total jumlah penduduk Jawa Tengah mencapai 37,23 juta jiwa pada 2021 dan sebanyak 25,89 juta jiwa penduduk tersebut merupakan kelompok usia produktif. Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Tengah tahun 2021 jumlah penduduk yang bekerja pada usia 15 tahun keatas sebanyak 17.835.770 jiwa dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 69,58 persen. Hal ini dapat dikatakan bahwa sekitar 70 dari 100 orang penduduk usia 15 tahun keatas terlibat di pasar tenaga kerja dengan status bekerja atau sedang mencari kerja ataupun mempersiapkan perkerjaan. Secara keseluruhan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan jumlah penduduk, peningkatan ini dapat di sebabkan berbagai faktor salah satunya dengan tingkat pernikahan pada usia muda dan tingkat kelahiran pada setiap wilayah. Kebijakan pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan jumlah penduduk di provinsi Jawa Tengah dengan dibuatnya program kampung KB yang dilakukan di Kabupaten Demak,
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Kab. Brebes Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kota Semarang Kab. Tegal
5 Kabupaten/Kota Dengan Jumlah Penduduk Terbanyak di Jawa Tengah (ribu jiwa)
2020 2021
27
Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes. Program kampung KB ini terus digalakan pemerintah sebab dapat digunakan sebagai salah satu langkah provinsi Jawa Tengah dalam menekan laju pertumbuhan julah penduduk yang tinggi.
b. Pengaruh Pengangguran Terhadap Kemiskinan
Nilai variabel pengangguran diketahui t statistik sebesar 1.346008 yang nilainya lebih kecil dari nilai t tabel 1.974017, artinya pengangguran tidak berpengaruh terhadap kemiskinan. Hal ini dikarenakan dalam pengangguran terbuka terdapat beberapa kelompok pengangguran yaitu sebagian ada yang bekerja di sektor informal, ada yang berusaha mempersiapkan usaha dan ada yang sedang menunggu panggilan pekerjaan. Masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan belum tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sebab dalam satu keluarga belum tentu semua anggota keluarganya pengangguran semua sehingga masih dapat memenuhi kebutuhan satu keluarga. Dengan begitu apabila penggangguran meningkat belum tentu juga menambah tingkat pengangguran. Namun pada penelitian ini tingkat pengangguran meningkat dikarenakan adanya wabah covid yang melanda seluruh wilayah. Mengakibatkan tingkat pengangguran di Jawa Tengah mengalami peningkatan dari tahun 2020-2021. Perusahaan banyak melakukan pengurangan tenaga kerja pada masa covid karena kebijakan pemerintah yang menerapkan pembatasan kegiatan di luar rumah, kegiatan produksi perusahaan tetap berjalan namun dengan jumlah karyawan yang dibatasi. Sehingga untuk menekan biaya produksi perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja yang menyebabkan tingkat pengangguran meningkat.
Grafik 3. Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
0 2 4 6 8 10 12
kab Cilacap kab Banyumas kab Purbalingga kab Banjarnegara kab Kebumen kab Purworejo kab Wonosobo kab Magelang kab Boyolali kab Klaten kab Sukoharjo kab Wonogiri kab Karanganyar kab Sragen kab Grobogan kab Blora kab Rembang kab Pati kab Kudus kab Jepara kab Demak kab Semarang kab Temanggung kab Kendal kab Batang kab Pekalongan kab Pemalang kab Tegal kab Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2020-2021 (%)
2020 2021
28
Sumber : Badan Pusat Statistika (data diolah, 2022)
Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat menyebabkan terhambatnya tujuan pembangunan ekonomi yaitu mensejahterakan rakyat serta menekan angka kemiskinan (Agustina et al., 2018). Peningkatan angkatan kerja yang tidak terkendali dan tidak disertai dengan penciptaan atau perluasan lapangan kerja akan menembah baris pengangguran. Pada grafik 3 dapat dilihat bahwa jumlah pengangguran di kabupaten/kota di Jawa Tengah mengalami peningkatan dari tahun 2020-2021. Peningkatan jumlah pengangguran tahun 2021 masih dampak dari adanya pandemi corona. Akibatnya sebagian perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja menyebabkan jumlah pengangguran mengalami peningkatan sebesar 2,04 persen dari tahun sebelumnya. Kondisi covid yang mulai membaik pada tahun 2021 akhir menyebabkan jumlah pengangguran mulai berkurang, sehingga tingkat pengangguran di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2021 menjadi 5,96 persen. Pada tahun 2021 akhir tingkat pengangguran mulai berkurang disebabkan terbukanya kembali lapangan perjaan dan munculnya berbagai usaha baru. Hasil tersebut mendukung penelitian Usman & Diramita (2018), Cahyani & Muljaningsih (2022), Junita Sari (2017), Mukhtar et al. (2019), dan Sayifullah & Gandasari (2016) memaparkan bahwa pengangguran tidak berpengaruh terhadap kemiskinan. Namun hasil ini tidak sesuai dengan teori tingkat pengangguran meningkat maka akan menyebabkan tingkat kemiskinan meningkat pula. Hasil peneliti yang menunjukan pengaruh positif antara pengangguran terhadap kemiskinan ialah Agustina et al. (2018), Wiradyatmika & Sudiana (2013), I. K. A. A. Putra & Arka (2016), Segoro & Pou (2016), Bintang & Woyanti (2018), Sari (2021), Ariyanti (2019), Fadlillah et al. (2016), dan Syafri &
Febrianti (2021) menunjukan bahwa dengan bertambahnya jumlah pengangguran 1 persen akan menambah tingkat kemiskinan sebesar 1 persen. Tingginya tingkat pengangguran dapat menyebabkan timbulnya masalah sosial lainnya seperti kriminalitas dan kesenjangan. Untuk menekan tingkat pengangguran pemerintah dapat menggalakan industri informal seperti home industri selain itu pemerintah bisa membantu masyarakat untuk dapat mengakses layanan publik, membantu penempatan kerja dengan sistem kemitraa atau kerjasama dan perluasan kesempatan bekerja.
c. Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Terhadap Kemiskinan
Berdasarkan hasil estimasi model fixed effect diperoleh nilai t statistik variabel IPM sebesar 5.142476 lebih besar dari nilai t tabel 1.974017, artinya variabel IPM berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan. Hal itu ditunjukan dengan nilai koefisien sebesar (-17.84276)
29
sehingga setiap kenaikan IPM sebesar 1 angka indeks maka akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 17.84276 jiwa. Dengan tingginya nilai IPM menandakan bahwa pada dimensi angka harapan hidup ,kesehatan masyarakat wilayah tersebut tergolong baik dan diharapkan dapat menaikan produktivitas kerja. Sedangkan untuk dimensi pengetahuan diukur dari harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah, masyarakat disuatu wilayah yang memiliki harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah yang baik maka dapat menaikan kualitas dan ketrampilan yang dimiliki pada masyarakat tersebut. Dengan kualitas dan ketrampilan sumber daya manusianya yang baik maka diharapkan dapat memproduksi barang atau jasa yang lebih baik. Dari dimensi kehidupan yang layak diukur melalui rata-rata besarnya per kapita, suatu daerah dengan rata-rata pengeluaran per kapita yang tinggi menggambarkan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok dan non makanan juga tinggi. Perhatikan tabel dibawah ini yang meunjukan tingkat IPM di setiap wilayah kabupate/kota di Jawa Tengah.
Sumber : Badan Pusat Statistika (data diolah, 2022)
Grafik 4. IPM Kabuaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2021
Dari grafik 4 diatas dapat dilihat pada tahun 2021 terdapat 5 kabupaten/kota dengan tingkat IPM tertinggi. Pertama Kota Salatiga dengan nilai IPM tertinggi sebesar 83,60 ,disusul Kota Semarang dengan nilai IPM mencapai 83,55. Posisi ketiga ditempati Kota Surakarta dengan nilai IPM sebesar 82,62. Kota Magelang dan Kabupaten Sukoharjo dengan nilai IPM mencapai 79,43 dan77,30. Peningkatan nilai IPM menunjukan bahwa upaya pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat sesuai dengan tujuan pembangunan yang telah direncanakan
100 2030 4050 6070 8090
Kabupaten Cilacap Kabupaten… Kabupaten… Kabupaten… Kabupaten… Kabupaten… Kabupaten… Kabupaten… Kabupaten Boyolali Kabupaten Klaten Kabupaten… Kabupaten Wonogiri Kabupaten… Kabupaten Sragen Kabupaten… Kabupaten Blora Kabupaten… Kabupaten Pati Kabupaten Kudus Kabupaten Jepara Kabupaten Demak Kabupaten… Kabupaten… Kabupaten Kendal Kabupaten Batang Kabupaten… Kabupaten… Kabupaten Tegal Kabupaten Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
2021
2021
30
(Ristika et al., 2021). Tingkat IPM yang tinggi di setiap kabupaten/kota yang ada di Jawa Tengah dapat membantu menekan angka kemiskinan di setiap wilayah daerah tersebut. Dengan begitu menandakan bahwa pendapatan masyarakat termasuk tinggi. Apabila dari ketiga dimensi IPM tersebut mengalami kenaikan pada setiap tahunnya maka pembangunan manusia di wilayah tersebut dapat dikatakan berhasil. Hasil peelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Heriansyah et al. (2018), Segoro & Pou (2016), Mukhtar et al. (2019), dan Fadlillah et al. (2016) yang menunjukan bahwa IPM berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan. Meningkatnya nilai IPM membantu pemerintah dalam menekan angka kemiskinan sehingga perlu adanya upaya pemerintah untuk dapat meningkatkan nilai IPM.
Pemerintah dapat membantu masyarakat untuk dapat mengakses layanan pendidikan da kesehatan, serta pemeritah melayani masyarakat untuk mendapatkan pelatihan ketrampilan agar dapat berguna untuk menambah pendapatan.
d. Pengaruh Upah Minimum Terhadap Kemiskinan
Berdasarkan hasil estimasi fixed effect nilai t statistik upah minimum sebesar 2.649756 lebih besar dari 1.974017 artinya upah minimum berpengaruh terhadap kemiskinan. Nilai koefisien upah minimum sebesar 0,0000344 maka upah minimum berpengaruh positif terhadap kemiskinan. sehingga setiap kenaikan 1 rupiah upah minimum maka tingkat kemiskinan akan meningkat 0,0000344 jiwa. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis yang dibuat yaitu upah minimum berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Upah minimum yang akan meningkat setiap tahunnya diharapkan dapat mencegah para karyawan tidak terjebak dalam kemiskinan.
sebeb anggaran upah minimum sudah disesuaikan dengan kebutuhan hidup yang layak bagi pekerja. Upah juga dapat menunjukan produktifitas pekerja semakin tinggi di ikuti dengan tingkat upah.
Daerah 2019 2020 2021
Kota Semarang 2498587.53 2715000.00 2810025.00
Kab Demak 2240000.00 2432000.00 2511526.00
Kab Kendal 2084393.48 2261775.00 2335735.00
Kab Semarang 2055000.00 2229880.50 2302798.00
Kab Kudus 2044467.75 2218451.95 2290995.00
Kab Cilacap 1989058.08 2158327.00 2228904.00
Sumber : Badan Pusat Statistika (data diolah, 2022)
31
Tabel 1. Tabel Upah Minimum 6 Kabupaten/Kota Tertinggi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2019-2021
Berdasarkan tabel 1 diatas terdapat 6 kabupaten/kota yang memiliki tingkat upah minimum tertinggi di Jawa Tengah, upah minimum kabupaten Kota Semarang sebesar Rp 2.810.025 bertambah Rp 95.000 dari tahun lalu tahun 2020 yaitu sebesar Rp 2.715.000. Kab Demak juga mengalami peningkatan UMK sebesar Rp 79.526 menjadi Rp 2.511.526 pada tahun 2021.
Kenaikan UMK di Kab Kendal, Kab Semarang, Kab Kudus, dan Kab Cilacap masing-masing sebesar Rp 73.960 , Rp 72.918 , Rp 72.544 , Rp 70.577 pada tahun 2021 menjadi Rp2.335.735 , Rp 2.302.798 , Rp 2.290.995 , Rp 2.228.904. Upah sebagai sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan kesejahteraan tenaga kerja, tinggi rendahnya upah yang diterima juga dapat berpengaruh terhadap kinerja produktifitas tenaga kerja. Kualitas sumber daya manusia menjadi salah satu faktor terjadinya penduduk miskin. Dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah akan berpengaruh pada kinerja produktivitas menjadi rendah dan akan berakibat pada berkurangnya pendapatan yang diterima. Kualitas hidup manusia dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM). Tiga dasar yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup manusia yaitu kesehatan, pendidikan dan standar hidup yang layak. Hipotesis dalam penelitian ini menunjukan bahwa dengan bertambahnya upah minimum sebesar 1 rupiah dapat menurunkan 1 persen tingkat kemiskinan. Hipotesis ini sesuai dengan penelitian Hanifah
& Hanifa (2021), Riva et al. (2014), dan Utami & Masjkuri (2018) dengan peningkatan upah minimum diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan mengetaskan dari kemiskinan. Pemerintah dapat bekerjasama dengan pihak-pihak terkait lainnya agar dapat membuat kegiatan program latihan kerja agar tenaga kerja memiliki keahlian sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan. Pemerintah untuk dapat menetapkan kebijakan upah agar menaikan upah sesuai KHL setiap tahunnya.
4.2.2 Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar variabel bebas (independen) menjelaskan variabel terikat (dependen). Dari hasil estimasi model fixed effect didapat niali R-squared sebesar 0.988291 variasi nilai Y adalah sebesar 98% yang dijelaskan oleh variabel jumlah penduduk, pengangguran, indek pembangunan manusia, dan upah minimum. Sementara 2% sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya diluar model.