TESIS
PROKALSITONIN PADA ANAK DENGAN SINDROMA NEFROTIK RELAPS
DIAN ISMAWARDANI 117103005
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
PROKALSITONIN PADA ANAK SINDROMA NEFROTIK RELAPS
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang
Ilmu Kesehatan Anak / M.Ked (Ped) pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
DIAN ISMAWARDANI
117103005 / IKA
PROGRAM MAGISTER KLINIK-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2018
PERNYATAAN
TESIS
PROKALSITONIN PADA ANAK SINDROMA NEFROTIK RELAPS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, April 2018
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkatNya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K) selaku Dekan Fakultas KedokteranUniversitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitaskepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Studi MagisterKedokteran Klinik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), Sp.M (K) selaku KepalaProgram Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran UniversitasSumatera Utara, yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan yangberharga dalam penyusunan dan pelaksanaan penelitian.
3. Pembimbing utama DR.dr.Oke Rina Ramayani, Mked.Ped,SpA(K)dan dr.Yazid Dimyati, Mked.Ped,SpA(K) yang telah memberikan bimbingan,bantuan serta saran-
saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.
4. Dr. Supriatmo,Sp.A(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.
5. Dr. Selvi Nafianti,M.Ked(Ped),SpA(K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK-USU, dan dr. Karina Sugih Arto, ,M.Ked(Ped),Sp.A(K), sebagai Sekretaris Program Studi yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
6. Prof.dr.Atan Baas Sinuhaji,Sp.A (K), dr. Zulfikar Lubis SpPK(K), dr.Rita Evalina, M.Ked.(Ped), Sp.A(K), yang sudah memberikan banyak saran kepada saya.
7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dan staf yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peneliti dalam menjalani penelitian.
8. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H.
Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalampelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
9. Teman-teman saya dr.Senja Baiduri, dr.Dini Zuriana, dr.Nova Sagala Mked.Ped, SpA, dr.Wiwik Agustin Mked.Ped, SpA, dr.Krisnarta Sembiring, dan yang lainnya yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
10. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.
Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orang tua saya Ir. H.Budi Ismoyo dan Hj. Siti Khoiriyah , yang tidak pernah putus asa dan tidakpernah lelah memberikan doa, perhatian, semangat, dukungan materi dan tenaga,serta kasih sayang dan kepercayaan sehingga akhirnya tesis ini dapat sayakerjakan dan saya selesaikan, suami saya dr.
Zulkifli Rangkuti Mked.Surg, SpB, yang telah mendukung saya secara penuh, yang telah mendukung saya selama ini, terima kasih atas doa dan bantuannya selama masa pendidikan saya. Semoga segala kebaikan diberkati oleh Allah SWT. Kepada Ananda yang saya cintai dengan sepenuh hati Muhammad Aznan Kautsar Rangkuti dan Aisyah Kamilah Salsabila Rangkuti yang telah berkorban sehingga kehilangan waktu dan kebersamaandalam fase tumbuh kembang kalian. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepadaadik – adik saya.Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, April 2018
Dian Ismawardani
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan ii
Lembaran Pengesahan Tesis iii
Ucapan Terimakasih v
Daftar Isi viii
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
Abstrak xi
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Hipotesis 2
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum 2
1.4.2 Tujuan Khusus 3
1.5 Manfaat Penelitian 3
BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi 4
2.2. Patofisiologi 4
2.3. Diagnosis SN 6
2.4. Batasan SN 7
2.5. Gejala SN 8
2.6. Faktor Resiko Relaps 8
2.7. Kortikosteroid 11
2.8. Prokalsitonin sebagai marker infeksi dan
Faktor resiko relaps SNSS 14
2.9 Kerangka Teori 21
2.10 Kerangka Konsep 22
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian 23
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 23
3.3. Populasi dan Sampel 23
3.4. Perkiraan Besar Sampel 23
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1. Kriteria Inklusi 24
3.5.2. Kriteria Eksklusi 24
3.6. Persetujuan / Informed Consent 25
3.7. Etika Penelitian 25
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian 25
3.9. Identifikasi Variabel 27
3.10. Definisi Operasional 27
3.11. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 28 BAB 4. HASIL PENELITIAN
4.1. Data Demografis dan Karakteristik Sampel 29 penelitian
4.2. Titik potong kadar prokalsitonin sebagai 30 prediktor kejadian relaps
4.3. Hubungan kadar prokalsitonin dengan kejadian 30 Relaps
4.4 Hubungan jenis kelamin dengan kejadian relaps 33 4.5 Hubungan Neutrofil/limfosit ratio dengan 33
kejadian relaps
4.6 Hubungan jumlah leukosit dengan kejadian 34 Relaps
4.7 Hubungan usia dengan kejadian relaps 34
4.8 Faktor risiko kejadian relaps 35
BAB 5. PEMBAHASAN 37
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 42
Daftar Pustaka 45
Lampiran
DAFTAR TABEL
1. Tabel 4.1 Karakteristik sampel
2. Tabel 4.2 Hubungan kadar prokalsitonin dengan kejadian relaps
3. Tabel 4.3Akurasi kadar prokalsitonin untuk
memprediksi relaps pada pasien sindroma nefrotik
30 32
33
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 . jalur sinyal intraseluler penting dari podosit, dipengaruhi oleh berbagai jenis
imunosupresan
12
2. Gambar.2 produksi prokalsitonin saat terjadi peradangan dan pada kondisi normal
14
3. Gambar.3 Algorima PCT untuk pemberian antibiotik 16 4. Gambar.3 Algorima PCT untuk pemberian antibiotik 31
Prokalsitonin Pada Anak Sindroma Nefrotik Relaps
Dian Ismawardani1, Oke Rina Ramayani1, Yazid Dimyati1 Zulfikar Lubis2, Atan Baas Sinuhaji1, Rita Evalina1.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak1, Departemen Patologi Klinik2, Fakultas Kedoteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.
Abstrak
Sindrom Nefrotik merupakan penyakit glomerular kronis yang paling sering pada anak.
Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik (90%) merupakan sindrom nefrotik idiopatik. Anak- anak dengan SN memberikan respon dengan terapi kortikosteroid, namun, 80-90% akan kambuh sehingga terapi steroid akan diulangi. Respon terapi steroid saat terapi inisial, hematuria dan infeksi bermakna secara statistik sebagai faktor resiko kekambuhan pada sindrom nefrotik. Prokalsitonin serum merupakan marker infeksi yang sangat akurat dan spesifik pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Objektif
Untuk mengetahui hubungan prokalsitonin dengan kejadian relaps pada pasien sindroma nefrotik.
Metode
Penelitian cross sectional dilakukan di nefrologi anak Medan Sumatera Utara, pada bulan februari 2017 sampai februari 2018. Sampel diambil secara konsekutif sampling dengan sampel minimal sebanyak 42 orang. Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap,prokalsitonin, urinalisa. Data disajikan menggunakan uji chisquare untuk mengetahui hubungan prokalsitonin dengan kejadian relaps pada pasien sindroma nefrotik dengan P-value
<0,05 dianggap signifikan.
Hasil
Diperoleh 55 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Sebagian besar sampel pada penelitian ini adalah laki-laki (65.5%). Persentase relaps sindroma nefrotik pada penelitian ini cukup tinggi, mencapai 72.7%. dilakukan analisis dengan kurva receiver operating characteristics (ROC).
Total luas area di bawah kurva diperoleh 73.6% dengan nilai P= 0.007. terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar prokalsitonin cut off 0.065 ng/dL dengan kejadian relaps (nilai P= 0.002). Diperoleh rasio prevalens sebesar 8.308 (IK 95%= 1.993-34.636) yang menandakan bahwa anak dengan sindrom nefrotik yang memiliki kadar prokalsitonin ≥0.065 ng/dL memiliki risiko untuk mengalami relaps sebesar 8.308 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 ng/dL. Nilai prokalsitonin dengan cut off >
0.065 ng/dl memberikan akurasi terbaik(70.9%), di mana mampu memprediksi relaps dengan sensitivitas 67.5%, spesifisitas 80 %, positive predictive value 90 %, negative predictive value 48 %, positive likelihood ratio 3,4, negative likelihood ratio 0,5. kejadian relaps pada sindroma nefrotik tidak dipengaruhi oleh faktor demografis dan hanya berkaitan dengan kadar prokalsitonin
Kesimpulan
Dijumpai hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar prokalsitonin dan kejadian relaps pada sindrom nefrotik
Kata kunci : sindrom nefrotik relaps, infeksi, prokalsitonin
PROCALCITONIN IN CHILDREN WITH RELAPSED NEPHROTIC SYNDROME
Dian Ismawardani1, Oke Rina Ramayani1, Yazid Dimyati1 Zulfikar Lubis2, Atan Baas Sinuhaji1, Rita Evalina1
Paediatric Departement1, Clinical Pathology Departement2, Medical Faculty, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.
Abstract: Nephrotic syndrome is the most common chronic glomerular disease in children.
Most children with nephrotic syndrome (90%) are idiopathic nephrotic syndrome. Children with SN respond with corticosteroid therapy, however, 80-90% will recur so that steroid therapy will be repeated. The response of steroid therapy during initial therapy, haematuria and infection was statistically significant as a risk factor for recurrence in nephrotic syndrome. Serum procalcitonin is a very accurate and specific marker of infection in patients with normal renal function.
Objective: To identify the relationship of procalcitonin with relapse occurrence in patients with nephrotic syndrome.
Methods: A cross sectional study was conducted in paediatric nephrology division in Medan, North Sumatra from February 2017 to February 2018. Samples were taken in a consecutive sampling. Blood sampling was performed for complete blood examination, procalcitonin, urinalysis. Data were presented using chisquare test to determine the association of procalcitonin with relapse occurrence in patients with nephrotic syndrome and P-value <0.05 was considered significant.
Result: There were 55 samples that fulfilled the inclusion criteria. Most of the samples in this study were male (65.5%). The percentage of relapse of nephrotic syndrome in this study is 72.7%. an analysis is performed using the receiver operating characteristics (ROC) curve. The total area under the curve was 73.6% with P = 0.007. there was a statistically significant correlation between procalcitonin level cut off 0.065 ng / dL with relapse occurrence (P value = 0.002). The prevalence ratio of 8,308 (CI :95% range: 1,993-34,636) indicates that children with nephrotic syndrome who have procalcitonin levels of ≥0.065 ng / dL have a relapse risk of 8,308 times compared with children with procalcitonin less than 0.065 ng / dL. Procalcitonin with cut off value > 0.065 ng / dl gave the best accuracy (70.9%), which predicted relapse with sensitivity of 67.5%, specificity 80%, positive predictive value 90%, negative predictive value 48%, positive likelihood ratio 3,4 , negative likelihood ratio 0.5. the occurrence of relapse in nephrotic syndrome is not influenced by demographic factors and is associated only with procalcitonin in this study.
Conclusion :There was a statistically significant relationship between procalcitonin levels and relapse occurrence of nephrotic syndrome
Keywords : relapsed nephrotic syndrome, infection, procalcitonin.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindrom Nefrotik merupakan penyakit glomerular kronis yang paling sering pada anak. Insidensi sindrom nefrotik sebesar 2-7 per 100.000 anak per tahun dan prevalensi sebesar 12-16 per 100.000 anak.1 Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.2 Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik (90%) merupakan sindrom nefrotik idiopatik.3 Penyebabnya meliputi minimal change disease (85%), mesangial proliferation (5%), and focal segmental glomerulosclerosis (10%)4.Sindroma nefrotik sekunder yang berhubungan dengan penyakit sistemik diperkirakan sekitar 10% anak.5
Pasien dengan minimal change disease kebanyakan menunjukan respon pada pengobatan kortikosteroid. Kortikosteroid bermaanfaat untuk mempertahankan remisi selain untuk menginduksi.4 Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid adalah bentuk yang paling umum dari masa kanak-kanak sindrom nefrotik (NS). Anak-anak dengan SNSS memberikan respon dengan terapi kortikosteroid, namun, 80-90% akan kambuh sehingga terapi steroid akan diulangi.4,5,6
Respon terapi steroid saat terapi inisial, hematuria dan infeksi bermakna secara statistik sebagai faktor resiko kekambuhan pada sindrom
nefrotik.7 Prokalsitonin serum merupakan marker infeksi yang sangat akurat dan spesifik pada pasien dengan fungsi ginjal normal.8 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa PCT tidak hanya berfungsi sebagai marker infeksi yang valid tetapi juga sebagai mediator sitokin proinflamatori.9 Kombinasi CRP dan PCT dapat digunakan untuk menilai infeksi pada pasien SNSS dan memprediksi kejadian relaps.10 Akan tetapi Penelitian terkait dengan prokalsitonin sebagai marker infeksi dan faktor resiko relaps pada SNSS masih sangat terbatas.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan apakah kadar prokalsitonin dapat digunakan sebagai prediksi relaps pada anak penderita SN di RS Adam Malik Medan
1.3. Hipotesis
Terdapat hubungan antara kadar prokalsitonin sebagai marker infeksi yang dapat digunakan sebagai faktor resiko kejadian relaps pada SNSS
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kadar prokalsitonin dengan terjadinya relaps pada anak dengan sindroma nefrotik sensitif steroid di RS Adam Malik Medan
1.4.2 Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui prokalsitonin sebagai marker infeksi pada SNSS - Untuk mengetahui kadar prokalsitonin dalam serum yang dapat
digunakan sebagai prediksi relaps SNSS
- Untuk mengetahui variabel infeksi yang dapat menjadi faktor resiko relaps pada SNSS
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1 Di bidang akademik / ilmiah : meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai prokalsitonin sebagai marker infeksi yang dapat memprediksi kekambuhan pada pasien sindroma nefrotik
1.5.2 Di bidang pelayanan masyarakat : dengan mengetahui prokalsitonin dapat memprediksi kekambuhan pada pasien sindroma nefrotik, diharapkan akan meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap anak dan memperbaiki kualitas hidup anak.
1.5.3 Di bidang pengembangan penelitian : memberikan kontribusi ilmiah mengenai prokalsitonin sebagai faktor resiko yang dapat memprediksi kekambuhan pada pasien sindroma nefrotik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah kondisi klinis yang ditandai dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema dan hiperlipidemia..1,3 Sindroma nefrotik pada anak kebanyakan disebabkan oleh minimal satu kelainan idiopatik berdasarkan abnormalitas histologi yaitu nefrotik sindrom dengan kelainan minimal dan glomerulosklerosis fokal segmental yang di tandai perubahan permeabilitas selektive membran kapiler glomerulus sehingga kemampuan restriksi protein berkurang.3,4,5
2.2 Patofisiologi
Proteinuria merupakan konsekuensi dari dua mekanisme yaitu abnormalitas dari pasase protein transglomerular yang diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas sel dinding kapiler glomerulus dan hal ini mengganggu proses reabsorbsi oleh sel epitelial tubulus proksimal. Pada keadaan proteinuria terjadi perubahan integritas dari sawar filtrasi glomerulus.1,3,4 Sawar ini terdiri dari tiga lapisan yaitu endotelium, membran basal glomerulus, dan epitel glomerulus viseral yang terdiri dari podosit dan celah diafragma (slit diaphragm).3,11,12 Podosit dapat mempengaruhi struktur dan fungsi membran
basal glomerulus dan meregulasi integritas serta ketahanan sel endotel glomerulus. Penelitian terkini menunjukkan kelainan defek primer sindrom nefrotik idiopatik pada tingkat podosit, sel epitelial glomerulus viseral.
Kerusakan podosit dapat menyebabkan penyakit ginjal imun dan non imun.
Kerusakan podosit atau kelainan struktural yang diturunkan, menunjukkan tingginya kejadian proteinuria glomerular 3,10,11,12,13,14
Patofisiologi SN masih belum sepenuhnya dimengerti, terutama pada minimal change nephropathy (MCNS) yang merupakan jenis gambaran histologi SN yang terbanyak dialami penderita.3 Dari beberapa studi didapatkan MCNS memiliki varian abnormalitas respon imun yang luas.
Beberapa tahun belakangan di perkirakan MCNS disebabkan oleh respon imun yang menyimpang, dimana beberapa penelitian fokus terhadap sel T.15 Shalhoub, 1974, mendalilkan bahwa MCNS disebabkan oleh terganggunya fungsi sel T.15 Kultur Sel T yang di ambil dari pasien sindrom nefrotik dilaporkan mensintesis faktor yang menghasilkan proteinuria sementara saat disuntikkan pada tikus atau merusak sintesis glomerular podocyte glycosaminoglycans.3
Presentasi antigen ke limfosit T memicu respon imun yaitu tipe 1 (didominasi oleh interleukin 2) dan tipe 2 (didominasi oleh interleukin-4, Inerleukin-10 dan Interleukin-13). Sitokin tipe 1 mendominasi sel yang dimediasi imunitas dan sitokin tipe 2 pada gejala atopi dan sel B untuk
produksi IgG4 dan IgE. Adanya peningkatan kadar IgE dalam plasma, kadar IgG4 yang relatif normal dan hubungan dengan atopi, menunjukkan peran sitokin tipe 2 pada pasien dengan MCNS. Peningkatan produksi sitokin representative,terutama interleukin-4 (IL-4) juga dilaporkan saat studi in vitro dimana podosit mengekspresikan reseptor untuk IL-4 dan IL-13.16 IL-4 eksogen merusak intercellular junctions diantara sel-sel glomerulus tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup sel-sel. Diketahui sel epitel gromerulus manusia memiliki reseptor terhadap IL-4 dan IL-13. Pemberian IL4 dan IL13 terhadap sel epitel gromerulus secara invitro menyebabkan fosforilasi sinyal terhadap molekul STAT6, yang menurunkan resistensi elektris antar lapisan sel epitel glomerulus. Pengamatan tersebut menjelaskan bahwa produksi sitokin tipe 2 yang berlebihan dan aktivasi reseptor tersebut oleh sitokin dapat mengganggu permeabilitas glomerulus yang menghasilkan proteinuria.
4,5,15,17
2.3 Diagnosis SN
Diagnosis Sindroma Nefrotik berdasarkan keadaan klinis yang ditandai dengan gejala : 18
1. Proteinuria masif ( protein urin > 40 mg/ m2 lapang pandang besar (LPB) /jam atau > 50 mg/ kg BB/ 24 jam atau rasio albumin / kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/ mg atau dipstick ≥ +2).
2. Hipoalbuminemia ( albumin serum < 2.5 g/dl )
3. Sembab
4. Hiperkolesterolemia ( kolesterol serum > 200 mg/dl)
2.4 Batasan SN
Beberapa definisi atau batasan yang sering di pakai pada SN adalah :18
• Pengobatan Inisial : pemberian prednison dosis penuh
• Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2/LPB/3 jam) tiga hari berturut-turut dalam satu minggu
• Relaps : proteinuria ≥2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) tiga hari berturut-turut dalam satu minggu.
• Relaps jarang : relaps kurang dari dua kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau kurang dari empat kali dalam setahun.
• Relaps sering : relaps ≥ dua kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau ≥ empat kali dalam periode satu tahun.
• Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/ kg/ hari selama empat minggu.
• Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama empat minggu.
Beberapa penelitian jangka panjang ternyata menunjukkan respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respon klinis : 18
1. Sindroma nefrotik sensitif steroid (SNSS) 2. Sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS)
2.5. Gejala Sindroma Nefrotik
Pasien SN biasanya datang dengaan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Gejala lain dapat disertai dengan oligouria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang dan diare.18
2.6 Faktor resiko Relaps SNSS
Sindrom nefrotik idiopatik pada anak paling banyak disebabkan oleh MCNS dan memiliki tingkat relaps yang tinggi dengan hampir 50% anak menjadi SN dependen steroid. Fungsi dari sel T menyebabkan dikeluarkannya sitokin- sitokin tertentu, yang menyebabkan perubahan pada permeabilitas glomerulus dan relaps.19 Dari sebuah penelitian kejadian relaps dapat diprediksi secara signifikan dengan melihat dari interval waktu respon akan steroid dan waktu pertama kali relaps, jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama dan infeksi selama relaps yang pertama. Terutama pada Negara berkembang dimana relaps sering sekali di sebabkan oleh tingginya insidensi infeksi.7 Diperkirakan 52-70% kekambuhan pada anak-anak di negara berkembang terutama diikuti infeksi saluran pernapasan bagian atas,selain itu infeksi lain yang sering muncul yaitu infeksi kulit termasuk impetigo dan
selulitis, gastroenteritis akut atau disentri, infeksi saluran kemih dan peritonitis primer.16
Penelitian retrospektif yang dilakukan morani dkk, tentang spektrum infeksi pada 155 anak-anak dengan infeksi dan sindrom nefrotik primer yang baru didiagnosis, 60 (38,7%) anak memiliki satu atau lebih infeksi pada saat masuk dengan usia berkisar 1-15 tahun (rata-rata 5,22 tahun). Mayoritas pasien (36) berusia di bawah 5 tahun dan 24 (40%) di atas 5 tahun. Infeksi saluran pernafasan akut dan infeksi saluran kemih adalah infeksi yang paling umum ditemukan sebanyak 28 (46,6%) dan 15 (25%) kasus.20 Studi retrospektif yang dilakukan Yap dkk tahun 2000, terhadap 123 anak dari tahun 1974 sampai dengan 1999 untuk melihat prediktor SN dependent steroid. Studi tersebut menyebutkan bahwa usia, jenis kelamin, riwayat atopi, ras, riwayat hematuria, adanya infeksi saluran pernafasan sebagai penyerta dan hari yang diperlukan untuk remisi merupakan faktor resiko yang signifikan terjadinya sindrom nefrotik dependen steroid. Analisa univariat dan logistik regresi menunjukkan durasi waktu remisi lebih dari 9 hari atau lebih (P=0.02, OR= 3, 95% CI=1.2-7.9) dan adanya infeksi akut saluran pernafasan selama relaps (P=0.01, OR=3.4, 95% CI=1.3-8.8) merupakan prediktor yang signifikan.21
Penelitian Sarker 2012 dengan studi retrospektif berdasarkan data rekam medis menyebutkan bahwa kebanyakan pasien yang mengalami relaps sering berusia <5 tahun, berasal dari area pedesaan dan memiliki
sosial ekonomi menengah sampai rendah bila dibandingkan dengan relaps jarang. Mayoritas anak-anak yang memiliki riwayat atopi mengalami relaps sering, sementara kadar albumin serum dan protein serum yang rendah, adanya infeksi saluran kemih saat serangan awal didapatkan bermakna pada grup relaps sering.22 Studi di RS Hasan Sadikin oleh situmorang dkk dengan menggunakan metode cross-sectional dengan data retrospektif pasien NS relaps sering dan SN relaps jarang dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Jumlah sampel sebanyak 90 pasien yang terbagi dalam 2 grup dengan proporsi yang sama antara SN relaps jarang dan relaps sering. Analisa dengan bivariat didapatkan diagnosa awal pada usia ≤5 tahun (p<0.001) dan waktu yang diperlukan untuk remisi hingga terjadi relaps pertama kali ≤6 bulan (p<0.001) merupakan faktor resiko terjadinya relaps sering. Analisa multivariat menunjukkan waktu remisi ≤ 6 bulan (OR 37.113, CI 95%
(7.115−193.595)) lebih bermakna dibandingkan usia saat diagnosa awal ≤ 5 tahun (OR 8.0 CI 95% (2.402−26.645)) pada relaps sering.2
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mishra dkk tahun 2013 tentang prediktor terjadinya relaps pada SN, studi dilakukan dengan besar sampel 150 anak dengan SN episode awal yang di observasi selama 12 bulan pengamatan setelah terapi inisial. Hasil menunjukkan 61 anak (40.7%) tidak mengalami relaps dan 89 (59.3%) mengalami relaps. Prediktor yang dinilai signifikan adalah onset usia antara 1-3 tahun dibandingkan usia 4-6 tahun (p<0.03) dan 7-13 tahun (p<0.001). Resiko terjadinya relaps
didapatkan sebesar 2.99 kali pada kelompok usia 1-3 tahun dibandingkan usia > 6 tahun (p=0,001). Anak yang memiliki respon terapi antara 1 dan 2 minggu setelah inisial terapi memiliki 0.423 kali lebih rendah untuk terjadi relaps dibandingkan anak yang berespon setelah 4 minggu pemberian terapi awal (p,0.023). Insidens terjadinya relaps didapatkan pada anak yang mengalami infeksi dibandingkan yang tidak (p<0.001). penelitin ini menyimpulkan onset terjadinya penyakit saat usia lebih muda dan lamanya respon terhadap terapi prednison memiliki prediktor yang bermakna untuk terjadinya relaps.19
Penelitian di Indonesia seperti studi retrospektif yang dilakukan di RS Sanglah oleh Purnami tahun 2011-2012 pada anak dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi steroid. Didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik antara respon terapi terhadap terapi steroid inisial, infeksi dan hematuria saat anak terdiagnosa dengan kekambuhan pada sindrom nefrotik, dengan nilai OR masing-masing 6.875, 0.078; 0.125 dengan p<0.05. studi ini menyimpulkan bahwa respon terapi steroid saat terapi inisial, hematuria dan infeksi bermakna secara statistik sebagai faktor resiko kekambuhan pada sindrom nefrotik.23
2.7 Kortikosteroid
Glukokortikoid natural dan sintetik (sering disebut juga steroid) memiliki peran penting dalam pengobatan sindrom nefrotik. Glukokortikoid akan berikatan
dengan reseptor glikoprotein di sitoplasma membentuk dimers dan mengalami translokasi ke nukleus dimana akan berikatan dengan elemen glukokortikoid di Asam deoksiribonukleat (DNA) dan berinteraksi dengan faktor transkripisi lain. Reseptor glukokortikoid diekspresikan di podosit manusia dan efek glukokortikoid secara langsung pada podosit telah diidentifikasi pada pengobatan dengan deksamethason.24
Gambar 1 . jalur sinyal intraseluler penting dari podosit, dipengaruhi oleh berbagai jenis imunosupresan. Glukokortikoid (GC) akan berikatan dengan reseptor glukokortikoid (GRCP) di sitoplasma dan mengalami translokasi ke nukleus yang akan berikatan dengan elemen glukokortikoid respon di DNA atau berinteraksi dengan faktor transkripsi lainnya.
Sumber : Sconenberger E, Ehrich JH, Haller H and Schiffer M. The podocyte as a direct target of immunosupressive agents. Nephrol dial Transplant.
2011;26:18-2424
Sindrom nefrotik akan menyebabkan kebocoran protein dari pembuluh darah melalui glomerulus yang menyebabkan hipoproteinemia dan edema generalisata. Mayoritas anak dengan sindrom nefrotik berespon terhadap pengobatan steroid. Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan angka mortalitas pada anak SN dengan infeksi sebagai faktor penyebab kematian.
Review dari Cochrane menyebutkan dari 19 studi meliputi 6 studi metaanalisis, menyebutkan bahwa pemberian prednison selama 2 bulan dibandingkan dengan 3 bulan atau lebih pada episode pertama penyakit menunjukkan bahwa durasi terapi yang lebih lama signifikan mengurangi resiko relaps yang terjadi 12-24 bulan setelah remisi (RR 0.70; 95% CI 0.58 to 0.84) tanpa peningkatan efek samping. Ada hubungan berkebalikan antara durasi dan resiko terjadinya relaps (RR = 1.26 - 0.112 durasi; r² = 0.56; p = 0.03). Jumlah anak yang mengalami frekuen relaps dan rerata pasien per tahun juga secara signifikan menurun tanpa peningkatan resiko efek samping.25
2.8 Prokalsitonin sebagai Marker Infeksi dan Faktor Resiko Relaps SNSS
Selama proses peradangan, PCT diproduksi oleh dua alternatif mekanisme yaitu jalur langsung yang diinduksi oleh lipopolisakarida (LPS) atau metabolit toksik dari mikroba dan jalur tidak langsung yang diinduksi oleh berbagai macam mediator inflamasi seperti IL-6, Faktor nekrosis tumor-α (TNF-α), dll.
(Gambar 2)26
Gambar.2 produksi prokalsitonin saat terjadi peradangan dan pada kondisi normal. Sumber : Vijayan AL, vanimaya, Ravindran S, saikant R, etc.
Procalcitonin: a promising diagnosti marker for sepsis and antibiotic therapy.
Journal of Intensive Care .2017; 5:5126
Pada sebuah penelitian mengenai level serum PCT pada penyakit non infeksi didapatkan bahwa PCT meningkat secara progresif beriringan dengan tingkat kerusakan fungsi ginjal. Hal ini menunjukkan penurunan output urin akan menyebabkan menurunnya eliminasi PCT dari ginjal. Selain dikarenakan penurunan eliminasi filtrasi ginjal, terjadi peningkatan kadar PCT yang di produksi dari peripheral blood mononuclear cell (PBMC). TNF-α dan IL-1 diketahui merangsang produksi PCT dan juga PBMC untuk sintesis PCT.
PBMC dan sitokin proinflamasi seperti TNF- α dan interleukin IL-1 yang diaktifkan dianggap sebagai elemen kunci dari proses peradangan yang terjadi pada Chronic kidney disease (CKD) stadium awal, Renal Replacemen Therapy (RRT), dan atherosclerotic Cardiovascular Disease. Oleh karena TNF-a dan IL-1 terbukti menginduksi produksi PCT dan sintesis PCT dari PBMC, maka peningkatan sitokin proinflamasi yang diikuti oleh peningkatan pelepasan PCT dari PBMC aktif, dapat menjadi penghubung antara peradangan dan peningkatan kadar PCT pada penyakit non infeksi terutama CKD dan RRT. 8,27
Prokalsitonin merupakan marker infeksi bakterial yang banyak mendapat perhatian akhir-akhir ini. Ada banyak bukti penelitian yang mendukung manfaat prokalsitonin sebagai biomarker infeksi yang spesifik.
Prokalsitonin merupakan prehormon peptida dari kalsitonin yang dalam kondisi normal disekresikan oleh sel-sel-C kelenjar tiroid yang merespon hiperkalsemia atau sebagai hasil dari karsinoma tiroid medullar. Kondisi
seperti inflamasi terutama infeksi bakteri, sekresi prokalsitonin juga distimulasi oleh berbagai sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α. Produksi prokalsitonin diketahui mengalami penurunan pada infeksi virus kemungkinan disebabkan oleh peningkatan produksi interferon γ. Hal tersebut mengasumsikan prokalsitonin merupakan biomarker yang menjanjikan untuk diagnosis dan prognosis infeksi bakterial yang moderate dan berat serta petunjuk untuk pemberian terapi antibiotik.28
Gambar.3 Algorima PCT untuk pemberian antibiotik
Sumber : Sumber : Vijayan AL, vanimaya, Ravindran S, saikant R, etc.
Procalcitonin: a promising diagnosti marker for sepsis and antibiotic therapy.
Journal of Intensive Care .2017; 5:5126
Penelitian ashraf bakr dkk, tahun 2002 tentang produksi TNF-α dari sel mononuclear (MN) pada pasien SN menyebutkan ada korelasi positif antara produksi TNF-α dan tingkat proteinuria (r = 0,34, P = 0,013), hyperselularity mesangial (r = 0,42, P = 0,028), dan glomerulosklerosis (r = 0,46, P = 0,001). Dengan menggunakan kurva ROC, produksi TNF-α lebih besar atau sama dengan nilai cutt of 50 pg / ml dapat digunakan untuk memprediksi resistensi terhadap terapi steroid (prediktabilitas 93,2%).
Dengan melakukan analisis diskriminatif, produksi TNF-α Bisa digunakan untuk membedakan antara pasien dengan Steroid-Resistant (SR) MCNS, SR focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), dan SR diffuse mesangial proliferation (DMP) (prediktabilitas 100%). Dari penelitian ini disimpulkan, TNF-α dari PBMC mungkin terlibat dalam patogenesis proteinuria dan juga perubahan patologis yang terjadi pada SN29
Prokalsitonin memiliki beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan CRP dan LED sebagai marker biologi. Kadar normal prokalsitonin serum adalah <0.05 ng/mL. Kadar prokalsitonin dapat terdeteksi dalam 3-4 jam dan dalam 6-24 jam mencapai kadar tertinggi yang berarti lebih awal bila dibandingkan CRP dan LED. Peningkatan kadar prokalsitonin tidak terlihat pada kondisi inflamasi noninfeksi seperti polimialgia, inflamatory bowel disease, polyarteritis nodosa, lupus eritematosus sistemik, gout dan arteritis temporalis.28,30
Kadar prokalsitonin dapat meningkat sementara pada trauma berat seperti luka bakar berat atau bedah mayor. Beberapa terapi yang dapat menstimulasi sitokin seperti terapi antibodi sel-T, transfusi granulosit atau graft-versus-host. Banyak metode pemeriksaan telah dikembangkan untuk mengukur kadar prokalsitonin termasuk test cepat, semikuantitatif yang dapat memberikan hasil dalam waktu kurang atau 30 menit.30,31
Tabel.1 nilai rujukan kadar prokalsitonin dengan infeksi
Sumber : Chaudhury A, Sachin Sumant GL, Jayaprada R, Kalawat U, Ramana BV. Procalcitonin in sepsis and bacterial infections.J Clin Sci Res 2013;2:216-24.32
Studi sistematika review yang membandingkan PCT dan CRP sebagai marker infeksi bakterial didapatkan bahwa prokalsitonin lebih sensitif 0.88 (95% CI, 0.8-0.93) vs 0.75 (95% CI, 0.62-0.84), dan lebih spesifik 0.81 (95%
CI, 0.67-0.90) vs 0.67 (95% CI, 0.56-0.77), dibandingkan dengan CRP untuk
membedakan antara infeksi bakterial dengan inflamasi yang disebabkan oleh faktor noninfeksi. Nilai Q untuk marker prokalsitonin didapatkan lebih tinggi (0.82 vs 0.73) dibandingkan dengan CRP. Sensitivitas untuk membedakan infeksi bakterial dengan infeksi viral juga lebih tinggi pada prokalsitonin dengan nilai Q yang lebih tinggi (0.89 vs 0.83). Review ini menyimpulkan bahwa akurasi diagnostik PCT sebagai marker infeksi lebih tinggi bila dibandingkan dengan CRP pada pasien-pasien rawat inap dengan kecurigaan infeksi bakteri.30
Penelitian terkait dengan prokalsitonin sebagai marker infeksi dan faktor resiko relaps pada SNSS masih sangat terbatas. Penelitian tentang peran prokalsitonin dalam membedakan relaps minimal change nephropathy (MCN) dengan poteinuria yang terjadi bersamaan dengan infeksi pada anak. Data kadar prokalsitonin pada pasien MCN yang difollow-up dikumpulkan secara retrospektif pada saat relaps (grup I), selama proteinuria yang disertai dengan infeksi (grup II) dan saat remisi (grup III). Hasil ketiga grup ini secara prospektif dibandingkan dengan pasien yang sehat secara nefrologi dan memiliki infeksi yang sama seperti grup II (grup IV) dan kontrol (grup V).
Perbedaan yang cukup signifikan pada kadar prokalsitonin didapatkan diantara pasien grup I, II dan IV dan dua grup lainnya. Proteinuria berkurang (93%) dengan pemberian antibiotik pada grup II. Perbedaan level PCT signifikan antara grup I dan II. Prokalsitonin memiliki diagnostik prediktif yang lebih tinggi bila dibandingkan CRP pada pasien grup I (relaps) namun sama
baiknya dengan CRP untuk diagnostik prediktif infeksi dan infeksi yang berhubungan dengan proteinuria. Sensitivitas dan spesifisitas pada relaps dan status terkait infeksi untuk prokalsitonin adalah 0.472 dan 0.628 secara berurutan dan untuk CRP adalah 0.183 dan 0.762 secara berurutan. Nilai cut- off optimal untuk memprediksi kambuh atau proteinuria yang disebabkan infeksi oleh uji ROC pada penelitian ini untuk PCT 0.385 dengan sensitivitas 96.2% spesifisitas 49.1% sedangkan untuk CRP 2.065 dengan sensitivitas 53.9% dan spesifisitas 34% menunjukkan bahwa prediktabilitas diagnostik PCT lebih tinggi daripada CRP pada pasien yang kambuh, namun kurang lebih sama untuk PCT dan CRP pada pasien dengan infeksi dan proteinuria terkait infeksi. Penelitian ini menyimpulkan PCT dan CRP dapat di gunakan untuk membedakan proteinuria yg terjadi bersamaan dengan infeksi dari relaps pada sindrom nefrotik.10
2.9 Kerangka Teori
Sindrom Nefrotik Sekunder Ras
Sindrom Nefrotik Idiopatik
Durasi mencapai remisi Steroid treatment
Infeksi : Prokalsitonin
Leukosit Rasio neutrofil/limfosit
Kadar albumin
Sindrom Nefrotik Relaps Jarang
Sindrom Nefrotik Relaps Sering Sindrom Nefrotik
Jenis kelamin
HLA Usia
Sindrom nefrotik Relaps Sindrom Nefrotik
Remisi Sindrom Nefrotik
Sensitif Steroid
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
Sosio-ekonomi
hematuria
2.10 Kerangka Konsep
Sindrom Nefrotik
Sindrom Nefrotik Relaps
Sindrom Nefrotik Non Relaps ( Remisi)
Usia Jenis Infeksi
Kelamin
Hipoalbumin Hematuria
Prokalsitonin
Leukosit
Neutrofil/Limfosit Ratio
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan uji cross sectional untuk mengetahui hubungan prokalsitonin dengan kejadian relaps pada pasien sindroma nefrotik sensitif steroid
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan Sumatera Utara.
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan februari 2017 sampai februari 2018.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi target adalah anak berusia 1 sampai 18 tahun. Populasi terjangkau adalah populasi target yang terdiagnosa sindroma nefrotik. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
3.4. Perkiraan Besar Sampel
Sampel diambil secara konsekutif yang mana pasien dengan sindrom nefrotik sensitif steroid dilakukan pemeriksaan prokalsitonin saat datang ke poli. Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus besar sampel untuk data proporsi, yaitu:
N : jumlah sampel
Z1- : Level of significance, 0,05 = 1.96 Z1- : Power of the test (80 %) = 0.84
Po : proporsi sindroma nefrotik relaps = 80%= 0,8 Pa-Po : 15% = 0,15
Pa : 0,95
Dengan menggunakan rumus di atas maka didapat jumlah sampel minimal sebanyak 42 orang.
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi :
Anak usia 1 – 18 tahun yang telah di diagnosa sindroma nefrotik sensitif
steroid di RSUP HAM dan datang ke Poliklinik nefrologi untuk kontrol pada hari ke 3 dan sedang dalam fase remisi atau relaps dengan atau tanpa tanda infeksi atau riwayat infeksi
Kriteria eksklusi :
Pasien dengan SN resisten steroid
Pasien dengan SN kongenital
Pasien menolak informed consent
0
22 1
0 0
1
1 1
P P
Pa Pa
Z p
p n z
a
3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan / Informed Consent
Diperlukan informed consent karena data diambil dengan anamnesa dan pemeriksaan fisk serta penunjang (laboratorium prokalsitonin)
3.7. Etika Penelitian
Penelitian mendapat persetujuan oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian 3.8.1. Cara Kerja
1. Orang tua/ wali dan anak SN yang datang ke poli Nefrologi anak yang memenuhi kriteria inklusi diberikan penjelasan dan informed consent yang menyatakan setuju mengikuti penelitian ini. Orang tua/ wali diberikan penjelasan dalam bentuk tertulis dan bila setuju dapat menanda tangani formulir persetujuan untuk orang tua.
2. Data dasar diperoleh saat anak datang di poli rawat jalan. Pasien SN Saat datang di Poli dilakukan pengambilan data dasar umur, gender.
3. Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap,prokalsitonin dan pemeriksaan urinalisa.
4. Pasien di identifikasi sebagai SN Relaps atau Non Relaps
5. Data dimasukkan dalam tabel, kemudian dianalisis lebih lanjut terhadap hasil penelitian.
3.8.2.1. Pengukuran
Sampel dibagi menjadi 2 grup yaitu : a. SN Relaps
b. SN Non Relaps
Data yang terkumpul di analisa dengan membandingkan usia, jenis kelamin, kadar prokalsitonin, leukosit, neutrofil/limfosit rasio
3.8.2.2. Alur Penelitian
Gambar 3.1. Alur penelitian Anak SN usia 1-18 tahun
Eksklusi Anak SN usia 1-18 tahun yang memenuhi kriteria
inklusi
1.Darah lengkap 2.Urinalisa/dipstikUrin 3.Prokalsitonin serum
SN Relaps SN Non Relaps
(Remisi)
Analisis
3.9. Identifikasi Variabel
Variabel bebas Skala
Usia Nominal
Jenis Kelamin Nominal
Prokalsitonin Nominal
Leukosit Nominal
Neutrofil/limfosit rasio Nominal
Variabel tergantung Skala
Sindroma Nefrotik Nominal
3.10. Definisi Operasional
1. Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala : - Proteinuria berat > 40mg/h/m2
- Protein / creatinin ratio > 0.2 g/mmol - Hipoalbuminemia < 2.5 g/dl
- Hiperlipidemia dengan total cholesterol 170-200 mg/dl - edema
2. Sindroma nefrotik sensitif steroid adalah pasien yang mencapai remisi komplit dengan terapi steroid selama empat minggu
3. Non Relaps (Remisi) adalah proteinuria negatif atau trace (proteinuria
<4mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
4. Relaps adalah proteinuria ≥2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
5. Kadar prokalsitonin adalah nilai serum prokalsitonin yang diambil saat pasien datang ke Poli RSHAM
3.11. Rencana Pengolahan dan analisis Data
Data yang terkumpul diolah, dianalisis, dan disajikan dengan menggunakan perangkat lunak komputer. Data disajikan sebagai data sederhana dari jumlah atau persentase menggunakan uji chisquare. Untuk menguji perbedaan statistik yang signifikans antara parameter berbeda, jumlah dan persentasi digunakan nilai probabilitas. P-value <0,05 dianggap signifikan.
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Data Demografis dan Karakteristik Sampel Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Divisi Nefrologi Anak RSUP H. Adam Malik Medan dalam kurun waktu Maret 2017 sampai Februari 2018. Dalam kurun waktu tersebut, diperoleh 55 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Distribusi karakteristik sampel pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Distribusi karakteristik sampel
Karakteristik n=55
Rerata usia, tahun (SB) 9.8 (4.03) Jenis kelamin, N (%)
Laki-laki Perempuan
36 (65.5) 19 (34.5)
Rerata leukosit, /µL (SB) 12 320.5 (5 597.46) Rerata neutrofil, % (SB) 62.8 (15.38)
Rerata limfosit, % (SB) 28.5 (13.18) Rerata prokalsitonin, ng/mL (SB) 6.4 (36.78) Relaps dari sindroma nefrotik, n (%)
Relaps Tidak relaps
40 (72,7) 15 (27.3)
Sebagian besar sampel pada penelitian ini adalah laki-laki (65.5%).
Persentase relaps sindroma nefrotik pada penelitian ini cukup tinggi, mencapai 72.7%.
4.2. Titik potong kadar prokalsitonin sebagai prediktor kejadian relaps Untuk menentukan titik potong kadar prokalsitonin sebagai prediktor relaps pada anak dengan sindroma nefrotik, dilakukan analisis dengan kurva receiver operating characteristics (ROC). Total luas area di bawah kurva diperoleh 73.6% dengan nilai P= 0.007.
Gambar 4.1. Kurva ROC kadar prokalsitonin dalam memprediksi kejadian relaps. a: kadar prokalsitonin 0.065 ng/dl
4.3. Hubungan kadar prokalsitonin dengan kejadian relaps
Dilakukan uji statistik untuk mengetahui hubungan kadar prokalsitonin serum dengan kejadian relaps sindroma nefrotik pada penelitian ini. Uji yang digunakan adalah uji chi square. Kadar prokalsitonin yang digunakan sebagai
a
cut off adalah kadar prokalsitonin dengan sensitivitas dan spesifisitas tertinggi (0.065 ng/dL), dengan sensitivitas tertinggi tetapi spesifisitas rendah (0.025 ng/dL), serta dengan spesifisitas tertinggi tetapi sensitivitas rendah (0.195 ng/dL).
Berdasarkan uji tersebut, terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar prokalsitonin cut off 0.065 ng/dL dengan kejadian relaps (nilai P= 0.002). Diperoleh rasio prevalens sebesar 8.308 (IK 95%= 1.993- 34.636) yang menandakan bahwa anak dengan sindrom nefrotik yang memiliki kadar prokalsitonin lebih dari atau sama dengan 0.065 ng/dL memiliki risiko untuk mengalami relaps sebesar 8.308 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 ng/dL.
Tabel 4.2. Hubungan kadar prokalsitonin dengan kejadian relaps
Kadar prokalsitonin Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
≥0.065 ng/dL 27 (67.5) 3 (20,0) 0.002 8.308 1.993- 34.636
<0.065 ng/dL 13 (32.5) 12 (80.0)
*Uji chi square
Tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar prokalsitonin cut off 0.025 ng/dL dengan kejadian relaps (nilai P= 0.084 OR : 0.353, IK 95% 0,089- 1,404)
Tabel 4.3. Hubungan kadar prokalsitonin dengan kejadian relaps
Kadar prokalsitonin Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
≥0.025 ng/dL 6(15) 5 (33.3) 0.084 2.4 0,089- 1,404
<0.025 ng/dL 34(85) 10 (66.7)
*Uji chi square
Berdasarkan uji tersebut, terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar prokalsitonin cut off 0.195 ng/dL dengan kejadian relaps (nilai P= 0.008, OR: 0.071 IK 95% 0.009-0.596)
Tabel 4.4. Hubungan kadar prokalsitonin dengan kejadian relaps
Kadar prokalsitonin Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
≥0.195 ng/dL 20 (50.0) 14 (93.3) 0.008 0.102 0.009- 0.596
<0.195 ng/dL 20 (50.0) 1 (6.7)
*Uji chi square
Tabel 4.5 . Akurasi kadar prokalsitonin untuk memprediksi relaps pada pasien sindroma nefrotik
Cut off PCT
Sensitivitas Spesifisitas PPV NPV PLR NLR Akurasi
>0,025 85% 33,3% 77,3% 45,5% 1,27 0,45 70,9%
>0,065 67,5% 80% 90% 48% 3,4 0,4 70,9%
>0,195 50% 93,3% 95,2% 41,2% 7,46 0,5 61,8%
Nilai prokalsitonin dengan cut off > 0.065 ng/dl memberikan akurasi terbaik(70.9%), di mana mampu memprediksi relaps dengan sensitivitas
67.5%, spesifisitas 80 %, positive predictive value 90 %, negative predictive value 48 %, positive likelihood ratio 3,4, negative likelihood ratio 0,5
4.4. Hubungan jenis kelamin dengan kejadian relaps
Hubungan jenis kelamin dengan kejadian relaps dianalisis menggunakan uji chi square. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara jenis kelamin dengan kejadian relaps pada anak dengan sindrom nefrotik (nilai P= 0.452).
Tabel 4.6. Hubungan jenis kelamin dengan kejadian relaps
Jenis kelamin Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
Laki-laki 25 (62.5) 11 (73,3) 0.452 0.606 0.163 – 2.249 Perempuan 15 (37.5) 4 (26.7)
*Uji chi square
4.5. Hubungan neutrofil/limfosit ratio dengan kejadian relaps
Uji Fisher’s exact dilakukan untuk mengetahui hubungan neutrofil/limfosit ratio dengan kejadian relaps pada sindroma nefrotik karena tidak memenuhi syarat uji chi square. Tidak diperoleh hubungan yang signifikan secara statistik antara kedua variabel tersebut (nilai P= 0.275).
Tabel 4.7. Hubungan neutrofil/limfosit ratio dengan kejadian relaps
N/L ratio Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
Tinggi 3 (7.5) 0 (0,0) 0.275 - -
Rendah 37 (92.5) 15 (100.0)
*Uji Fisher’s exact
4.6. Hubungan jumlah leukosit dengan kejadian relaps
Uji Fisher’s exact dilakukan untuk mengetahui hubungan jumlah leukosit dengan kejadian relaps pada sindroma nefrotik karena tidak memenuhi syarat uji chi square. Jumlah leukosit dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu di atas rerata dan di bawah rerata. Tidak diperoleh hubungan yang signifikan secara statistik antara kedua variabel tersebut (nilai P= 0.335).
Tabel 4.8. Hubungan jumlah leukosit dengan kejadian relaps
Jumlah leukosit Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
Di atas rerata 15 (37.5) 3 (20,0) 0.335 2.400 0.581- 9.908 Di bawah rerata 25 (62.5) 12 (80.0)
*Uji Fisher’s exact
4.7. Hubungan usia dengan kejadian relaps
Hubungan usia dengan jenis kelamin dianalisis dengan menggunakan uji chi square. Berdasarkan uji tersebut, tidak dijumpai hubungan yang signifikan secara statistik antara usia dengan jenis kelamin (nilai P= 0.247).
Tabel 4.9. Hubungan usia dengan kejadian relaps
Usia Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
1-9.8 tahun 17 (42.5) 9 (60,0) 0.247 0.493 1.650
>9.8 tahun 23 (57.5) 6 (40.0)
*Uji chi square
4.8. Faktor risiko kejadian relaps
Faktor risiko kejadian relaps pada anak dengan sindroma nefrotik pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji regresi logistik. Berdasarkan uji tersebut, diketahui bahwa kejadian relaps pada sindroma nefrotik tidak dipengaruhi oleh faktor demografis dan hanya berkaitan dengan kadar prokalsitonin.
Tabel 4.10. Faktor risiko kejadian relaps
Faktor risiko Konstanta Wald P*
Usia 0.909 1.016 0.615
Jenis kelamin 0.676 0.253 0.615
N/L ratio - 0.001 0.999
Leukosit 3.846 2.481 0.115
Prokalsitonin 8.737 7.892 0.005
* Uji regresi logistik
Uji tersebut menunjukkan bahwa anak dengan sindroma nefrotik yang memiliki kadar prokalsitonin lebih dari atau sama dengan 0.065 memiliki risiko untuk mengalami relaps sebesar 8.737 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 (nilai P=0.005).
BAB 5
PEMBAHASAN
Sindrom Nefrotik merupakan penyakit glomerular kronis yang paling sering pada anak.
Insidensi sindrom nefrotik sebesar 2-7 per 100.000 anak per tahun dan prevalensi sebesar 12-16 per 100.000 anak.1 Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.2. Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid adalah bentuk yang paling umum dari masa kanak-kanak sindrom nefrotik (NS). Anak- anak dengan SNSS memberikan respon dengan terapi kortikosteroid, namun, 80-90%
akan kambuh sehingga terapi steroid akan diulangi.
Sindrom nefrotik idiopatik pada anak paling banyak disebabkan oleh MCNS dan memiliki tingkat relaps yang tinggi dengan hampir 50% anak menjadi SN dependen steroid. Fungsi dari sel T menyebabkan dikeluarkannya sitokin-sitokin tertentu, yang menyebabkan perubahan pada permeabilitas glomerulus dan relaps.19
Penelitian ini dilakukan di Divisi Nefrologi Anak RSUP H. Adam Malik Medan dalam kurun waktu Maret 2017sampai Februari 2018. Dalam kurun waktu tersebut, diperoleh 55 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Sebagian besar sampel pada penelitian ini adalah laki-laki (65.5%). Persentase relaps sindroma nefrotik pada penelitian ini cukup tinggi, mencapai 72.7%. Walaupun tidak didapatkan hubungan yang signifikan secara statistik antara jenis kelamin dengan kejadian relaps pada anak dengan sindrom nefrotik (nilai P= 0.452).
Penelitian ini memiliki hasil samaseperti studi yang dilakukan oleh Ali dkk yang dilakukan pada anak dengan SN. Studi menyebutkan bahwa terjadinya relaps terutama didapatkan pada jenis kelamin laki-laki, dengan rasio laki-laki : perempuan 1.5:1.
Jumlah total sampel 80 orang dengan dengan kejadian relaps 228 dan mayoritas pasien dengan frekuens relaps sebanyak 62 (77.5%). Rerata usia subyek penelitain 1- 16 tahun dengan rerata usia 7.47 tahun.33Penelitian Sarker 2012 dengan studi retrospektif berdasarkan data rekam medis menyebutkan bahwa kebanyakan pasien yang mengalami relaps sering berusia <5 tahun.22 Sementara pada penelitian ini memiliki rerata usia 9.8 tahun.
Infeksi merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada pasien anak dengan SN.20 Selain itu, Infeksi merupakan faktor risiko terjadinya relaps.23,33Diperkirakan 52-70% kekambuhan pada anak-anak di negara berkembang terutama diikuti infeksi saluran pernapasan bagian atas, infeksi lain yang sering muncul yaitu infeksi kulit termasuk impetigo dan selulitis, gastroenteritis akut atau disentri, infeksi saluran kemih dan peritonitis primer.7,16 Usia, jenis kelamin, riwayat atopi, ras, riwayat hematuria, adanya infeksi saluran pernafasan sebagai penyerta dan hari yang diperlukan untuk remisi merupakan faktor resiko yang signifikan terjadinya sindrom nefrotik dependen steroid.20,21,33Namun pada penelitian ini tidak dibahas secara spesifik infeksi dasar yang menjadi pencetus terjadinya relaps.
Rerata nilai leukosit pada penelitian ini 12. 320,5 /µL, rerata neutrofil 62.8% dan limfosit 28.5 % secara berurutan. Tidak didapatkan hubungan yang signifikan secara statistik antara neutrofil/limfosit ratio dengan kejadian relaps pada sindroma nefrotik (nilai P= 0.275).hal ini berbeda pada hasil penelitian sebelumnya, leukosit memiliki
perbedaan yang bermakna pada pasien relaps sering dibandingkan dengan SN respons terhadap steroid. Nilai neutrofil didapatkan lebih tinggi pada pasien dengan SN relaps (p< 0.05). Sementara nilai limfosit didapatkan lebih rendah pada pasien dengan SN relaps (p<0.05). Namun, tidak disebutkan rasio antara neutrofil/limfosit pada penelitian tersebut.34
Penelitian terkait dengan prokalsitonin sebagai marker infeksi dan faktor resiko relaps pada SNSS masih sangat terbatas. Penelitian tentang peran prokalsitonin dalam membedakan relaps minimal change nephropathy (MCN) dengan poteinuria yang terjadi bersamaan dengan infeksi pada anak. Penelitian ini dilakukan oleh Sakallioglu dkk tahun 2012 yang merupakan pilot study terkait peran prokalsitonin pada MCN.Sensitivitas dan spesifisitas pada relaps dan status terkait infeksi untuk prokalsitonin adalah 0.472 dan 0.628 secara berurutan dan untuk CRP adalah 0.183 dan 0.762 secara berurutan. Nilai cut-off optimal untuk memprediksi kambuh atau proteinuria yang disebabkan infeksi oleh uji ROC pada penelitian ini untuk PCT 0.385 dengan sensitivitas 96.2% spesifisitas 49.1%.10
Sementara penelitian dilakukan memiliki kadar cutt off lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya. Kadar prokalsitonin yang digunakan sebagai cut offadalah kadar prokalsitonin dengan sensitivitas dan spesifisitas tertinggi (0.065 ng/dL), dengan sensitivitas tertinggi tetapi spesifisitas rendah (0.025 ng/dL), serta dengan spesifisitas tertinggi tetapi sensitivitas rendah (0.195 ng/dL).
Berdasarkan uji chi square, terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar prokalsitonin cut off 0.065 ng/dL dengan kejadian relaps (nilai P= 0.002).
Diperoleh rasio prevalens sebesar 8.308 (IK 95%= 1.993-34.636) yang menandakan
bahwa anak dengan sindrom nefrotik yang memiliki kadar prokalsitonin lebih dari atau sama dengan 0.065 ng/dL memiliki risiko untuk mengalami relaps sebesar 8.308 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 ng/dL.
Prokalsitonin merupakan marker infeksi bakterial spesifik dibandingkan dengan CRP dan LED. Kadar normal prokalsitonin serum adalah <0.05 ng/mL. Nilai ≥0.5-2 disebutkan memiliki kecenderungan untuk terjadinya infeksi bakteri sistemik.32sementara seperti yang telah disebutkan sebelumnya infeksi merupakan faktor risiko terjadinya relaps.23,33Kadar prokalsitonin dapat terdeteksi dalam 3-4 jam dan dalam 6-24 jam mencapai kadar tertinggi yang berarti lebih awal bila dibandingkan CRP dan LED. 28,30 nilai cut off didapatkan lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya10, dengan Total luas area di bawah kurva diperoleh 73.6% dengan nilai P=
0.007. Studi ini hanya terbatas membahas tentang kadar prokalsitonin pada anak dengan sindrom nefrotik yang mengalami relaps tanpa membandingkan dengan kadar marker lain seperti CRP dan LED. Nilai prokalsitonin dengan cut off > 0.065 ng/dl memberikan akurasi terbaik(70.9%), di mana mampu memprediksi relaps dengan sensitivitas 67.5%, spesifisitas 80 %, positive predictive value90%, negative predictive value48%, positive likelihood ratio3,4, negative likelihood ratio0,5
Uji tersebut menunjukkan bahwa anak dengan sindroma nefrotik yang memiliki kadar prokalsitonin lebih dari atau sama dengan 0.065 memiliki risiko untuk mengalami relaps sebesar 8.737 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 (nilai P=0.005).
Penelitian ini memiliki keterbatasan dimana studi merupakan design cross sectional dan secara spesifik tidak membahas infeksi spesifik yang mencetuskan
terjadinya relaps.Jumlah sampel yang relatif minimal hanya mencakup 55 subyek penelitian sehingga dapat memberikan bias hasil dan power yang kurang. Selain itu, penelitian ini tidak membandingkan marker infeksi lain seperti CRP dan LED seperti halnya pilot studi sebelumnya. Namun, penelitian ini merupakan studi pertama yang meneliti tentang hubungan antara kadar prokalsitonin dengan kejadian relaps pada pasien anak dengan sindrom nefrotik di RSHAM.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Rerata usia anak yang ikut serta dalam penelitian ini adalah 9.8 tahun.Kejadian relaps lebih tinggi pada anak dengan usia di atas 9.8 tahun sebanyak 23 orang (57.5%) sedangkan anak usia 1-9.8 tahun yang mengalami relaps sebanyak 17 orang (42.5%)
2. Sebagian besar sampel pada penelitian ini adalah laki-laki 36 orang (65.5%)dan perempuan yaitu 19 orang (34.5%). Kejadian relaps pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan, sebanyak 25 orang (62,5%) sedangkan pada anak perempuan sebanyak 15 orang (37.5%)
3. Total luas area di bawah kurva diperoleh 73.6% dengan nilai P= 0.007 pada kurva ROC untuk memprediksi relaps. Dan didapatkan nilai cut off point prokalsitonin untuk memprediksi relaps adalah 0.065 ng/dl dengan akurasi 70.9%, di mana mampu memprediksi relaps dengan sensitivitas 67.5%, spesifisitas 80 %, positive predictive value90%, negative predictive value48%, positive likelihood ratio3,4, negative likelihood ratio0,5
4. Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar prokalsitonin cut off 0.065 ng/dL dengan kejadian relaps (nilai P= 0.002). Diperoleh rasio prevalens sebesar 8.308 (IK 95%= 1.993-34.636) yang menandakan bahwa anak dengan sindrom nefrotik yang memiliki kadar prokalsitonin lebih dari atau sama dengan
0.065 ng/dL memiliki risiko untuk mengalami relaps sebesar 8.308 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 ng/dL
5. Neutrofil/limfosit ratio sebagai salah satu penanda infeksi bakteri tidak dijumpai memiliki kadar yang lebih tinggi pada kejadian relaps. Dimana hanya 3 orang (7.5%) dengan kadar neutrofil/limfosit ratio yang tinggi ( >10) yang mengalami kejadian relaps dan tidak diperoleh hubungan yang signifikan secara statistik antara kedua variabel tersebut (nilai P= 0.275).
6. Leukosit merupakan parameter hematologi untuk menilai kemungkinan infeksi.
Dijumpai kejadian relaps yang lebih tinggi pada sampel dengan jumlah leukosit di bawah rerata (12 320.5) sebanyak 25 orang (62.5%) dan tidak diperoleh hubungan yang signifikan secara statistik antara kedua variabel tersebut (nilai P= 0.335).
7. Kejadian relaps pada sindroma nefrotik tidak dipengaruhi oleh faktor demografis dan hanya berkaitan dengan kadar prokalsitonin.anak dengan sindroma nefrotik yang memiliki kadar prokalsitonin lebih dari atau sama dengan 0.065 memiliki risiko untuk mengalami relaps sebesar 8.737 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 (nilai P=0.005).
6.2. Saran
Study Kohort dengan jumlah sampel yang lebih besar di harapkan mampu
memberikan hasil yang lebih rinci dan akurat tentang peran prokalsitonin pada kejadian relaps / proteinuria pada sindroma nefrotik yang berhubungan dengan kejadian infeksi.