• Tidak ada hasil yang ditemukan

LUMEN VERITATIS Jurnal Teologi dan Filsafat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LUMEN VERITATIS Jurnal Teologi dan Filsafat"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

LUMEN VERITATIS

Jurnal Teologi dan Filsafat

https://journal.unwira.ac.id/index.php/LUMENVERITATIS

Original article doi: 10.30822/lumenveritatis.v11i1.702

Copyright ©2020 Giovanni A. L. Arum. This is an open access article distributed the Creative Commons Attribution- NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License

37

IMAJI BIBLIKAL SEBAGAI PENGHAYATAN IMAN PERSONAL DALAM PUISI-PUISI MARIO F. LAWI DAN

RELEVANSINYA BAGI PEWARTAAN MELALUI KARYA SASTRA

Giovanni A. L. Arum

Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandira Email: adityaarum2306@gmail.com

Abstract

Mario F. Lawi is one of the most popular young poet in the Indonesian Literary. He is well-known as the “biblical poet” who constantly explores biblical theme in a large number of his poems. This research elaborates biblical imagination as a form of a personal living faith and finds its relevance to the kerygmatic-preaching by the literature. This analysis uses the combination of three theories, i.e: the theory of intertextual semiotics by Michael Riffaterre from literature perspective, the theory of theological aesthetics by Hans Urs von Balhtasar from theology perspective and the concept of the kerygmatic-preaching from “The Letter of His Holiness Pope John Paul II to the Artists” by kergygmatic-preaching perspective. The result of this qualitative research i.e: 1) All of the biblical imagination in Mario’s poems have their references or allusions from the Bible text as their hipogram, 2) By theological aesthetics perspective, biblical imagination which is used by Mario in his biblical poems could be considered as a personal living faith, 3) The biblical imagination in Mario’s poems gives an altenative relevance to the kerygmatic-preaching ad intra (to the Christian readers) and ad exrtra (to the non-christian readers).

Keywords: Imaji Biblikal, Iman Personal, Pewartaan

Pendahuluan

Dalam ringkasannya tentang pengajaran Kristiani, De Principiis, Origenes dari Alexandria mengatakan bahwa “the task of the person seeking God is to place oneself within the biblical text and to

1 Origenes, De Principiis, in Die griechischen christlichen Schrifsteller der ersten drei Jahrhunderte Origenes Werke, Vol. 5, 4.2.4.

2 Ungkapan ini secara literal berarti “petualangan menuju Allah”. Pendapat Origenes ini bertumpu pada iman akan Kitab Suci sebagai Sabda Allah

yang hidup, sehingga dengan

mengkontemplasikan Sabda Allah dalam Kitab Suci, manusia mengangkat jiwanya kepada Allah.

write its inner meaning upon the soul.”1 Bagi Origenes, itenerarium mentis in Deum2 (petualangan jiwa menuju Allah) ditempuh melalui kegiatan membaca, meditasi dan kontemplasi makna terdalam dari Kitab Suci.3 Dengan demikian, bagi umat Kristiani,

Perjalanan jiwa menuju Allah ini disebut dengan perjalanan mistik. Untuk alasan ini, Origenes sering disebut sebagai bapa mistisisme Kristiani (the Father of Christian mysticism). Bernard McGinn, “The Biblical Mysticism of John of the Cross”, dalam Medieval Mystical Theology, 2018, Vol. 27:2, hlm.103.

3 Ibid.

(2)

38 perjumpaan kontemplatif dengan Allah

selalu bersumber dari kedekatan personal dengan Sabda Allah dalam Kitab Suci.

Sebagai Wahyu Ilahi yang tertulis, Kitab Suci tentu menjadi sumber yang memancarkan nilai-nilai transendental yang bersifat Ilahi, seperti:

kebenaran (verum), kebaikan (bonum) dan keindahan (pulchrum). Dalam konteks forma kebenaran (verum), Kitab Suci menjadi acuan dalam pengetahuan dan pengenalan akan Allah. Dalam Kekristenan, Kitab Suci dipandang sebagai norma normans (norma dari segala norma) yang menjadi rujukan bagi refleksi kebenaran-kebenaran teologis dalam terang iman. Selain itu, dalam konteks forma kebaikan (bonum), Kitab Suci adalah titik sentrum moralitas Kristiani. Kemudian, Kitab Suci juga menjadi sumber inspirasi yang menarik sensitivitas estetis manusia kepada Allah sebagai Sumum Pulchrum (Keindahan yang Tertinggi). Untuk menyentuh forma keindahan Kitab Suci ini, seni memainkan peran yang sangat penting.

Dalam historisitas kehidupan manusia, seni dan religiositas memiliki keterkaitan erat. Seni, pada masa lalu tak dapat dilepaskan dari ritual keagamaan.

Karya seni menjadi medium manusia semasa itu untuk mengungkapkan cita rasa religius mereka. Sebagai medium, karya seni merepresentasikan Yang Transenden. Dengan demikian, karya seni yang merangkum di dalamnya puisi, pertunjukan drama, tarian, dan lain sebagainya memiliki kekuatan untuk menghantar dan memampukan seseorang untuk ‘mendengar sabda melalui

4 Yasintus T. Runesi, “Kupu-Kupu di atas Bunga- Angin Menari melalui Padang: Menyimak Filsafat Seni Martin Heidegger”, dalam Lumen

matanya.’ Karya seni dalam bingkai religiositas memiliki kekuatan evokasi yang meski terkadang bergerak di luar tata tertib logika, namun secara personal mampu menggerakkan kecenderungan jiwa manusia menuju Realitas Tertinggi.4

Geliat sastra religius selalu inheren dalam dinamika perkembangan sastra. Mendiang Romo Mangun bahkan pernah mengatakan bahwa sastra pada hakikatnya adalah religius.5 Relasi dengan Yang Transenden selalu memiliki ruang antara yang dapat diisi dengan pelbagai bentuk ungkapan manusiawi, termasuk sastra. Dalam tataran filsafat metafisik, sastra yang menekuni aspek verbal dari seni menyentuh forma keindahan (pulchrum) sebagai salah satu sifat metafisik yang terpancar dari Yang Transenden. Dalam peta sastra religius ini, kemudian banyak penyair yang memilih untuk mendekatkan imaji puitis mereka dengan Kitab Suci dari tiap-tiap agama sebagai dokumen wahyu suci yang diyakini mampu mempertemukan manusia dengan Sang Pencipta.

Dalam beberapa tahun terakhir, kehadiran puisi-puisi dengan imaji biblikal cukup mewarnai dinamika perkembangan sastra Indonesia kontemporer. Salah satu penyair muda yang konsisten untuk menggarap puisi- puisi dengan imaji biblikal adalah Mario F. Lawi. Kehadiran Mario yang dengan tenaga estetis mampu mengolah narasi biblikal dengan orisinil, kemudian membuka ruang-ruang eksplorasi bagi penyair muda berhadapan dengan teks Kitab Suci.Penelitian ini akan menelusuri eksistensi imaji biblikal dalam puisi-puisi

Veritatis: Jurnal Teologi dan Filsafat, Vol. 10, No. 1, Mei-Oktober 2019, hlm. 45-46.

5 Y. B. Mangun Wijaya, Sastra dan Religiusitas, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 11.

(3)

39 Mario sebagai bentuk penghayatan iman

personal. Penelusuran ini akan bergerak dalam bingkai refleksi teologis Hans Urs von Balthasar tentang estetika teologis.6 Bahwasanya, kemampuan untuk menciptakan imaji-imaji puitik yang bersumber dari Kitab Suci bukan semata dihasilkan dari proyek akal budi yang otonom, melainkan digerakkan dengan cahaya Roh Kudus yang menerangi akal budi penyair. Sensitivitas estetis sebagai rahmat Allah dalam diri penyair menjadi daya kekuatan yang menggerakkan penyair untuk tertarik pada Sabda Allah.

Dalam konteks iman, tanggapan aktif terhadap rahmat inspirasi Roh Kudus ini terealisasi dalam kerja kreatif seorang penyair dalam menulis puisi.

Efek eksternal dari penghayatan iman personal ini tentu memiliki dimensi pewartaan nilai-nilai Injili kepada orang lain (ad alterum), khususnya bagi para penikmat puisi. Karena imaji biblikal merupakan ungkapan penghayatan iman personal, maka efek eksternal pewartaan yang ditimbulkannya juga menyapa tiap penikmat puisi secara personal. Sifat universalitas sastra dapat menjadi pintu bagi pewartaan Injili, baik bagi komunitas umat beriman Kristiani (ad intra), maupun bagi komunitas umat beriman non-kristiani (ad extra). Puisi- puisi yang memanfaatkan piranti sastra- religius berupa imaji biblikal, dapat mengarahkan orang untuk berjumpa dengan Kitab Suci sebagai sumber makna utama, yang daripadanya mengalir pelbagai makna yang secara personal diresepsi oleh penikmat puisi biblikal.

6 Bahasan tentang teolog Hans Urs von Balthasar dan karyanya The Glory of The Lord; A Theological Aesthetics akan dipaparkan dalam Bab II.

Kajian teori

1. Semiotika

Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna. Kata “semiotika” berasal dari kata Yunani semion yang berarti “tanda”.

Para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (1916), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercipta dalam kognisi seseorang) dan makna atau isi (yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). De Saussure menggunakan istilah signifiant (Ing.

signifier: penanda) untuk segi bentuk suatu tanda dan signifié (Ing. signified:

petanda) untuk segi maknanya.7 Ada beberapa ahli yang mengembangkan ilmu semiotika, seperti: Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Pierce, Julia Kristeva, Roland Barthes, Michael Riffaterre, dan lain-lain.

Semiotika Michael Riffaterre dikenal dengan semiotika intertekstual.

Hal ini didasarkan pada pemikiran Riffaterre bahwa teks tidak pernah mutlak berdiri secara otonom. Menurut Riffaterre, teks in sensu stricto sebagai teks sastra memiliki relasi dengan teks- teks lain sebagai acuannya. Dalam karyanya Semiotics of Poetry, Riffaterre secara khusus mengkaji semiotika dalam puisi. Ada empat hal pokok yang harus diperhatikan untuk memproduksi arti (makna), yaitu: (1) ketaklangsungan ekspresi puisi, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif, (3)

7 Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm.3.

(4)

40 matriks, model, varian-varian, dan (4)

hipogram.8

Penelitian ini akan menggunakan teori semiotika intertekstual Michael Riffaterre sebagai alat bantu untuk melihat relasi antara teks-teks puisi Mario F. Lawi dan teks Kitab Suci yang diacu oleh puisi-puisi tersebut. Dalam peta relasi intertekstual ini, peneliti akan menempatkan imaji biblikal yang terdapat dalam puisi-puisi Mario F. Lawi sebagai jalan penghubung untuk menemukan rujukan teks Kitab Suci sebagai teks acuan, atau dalam terminus technicus Riffaterre disebut sebagai hipogram. Relasi antara puisi-puisi Mario F. Lawi dan teks Kitab Suci inilah yang kemudian akan menegaskan puisi- puisinya sebagai puisi-puisi yang kaya akan imaji biblikal.

2. Estetika teologis

Mayoritas teolog berbicara tentang Allah sebagai Unum, Bonum, dan Verum.

Allah itu Maha Esa, Maha Baik dan Maha Benar. Masih tergolong minim hadirnya refleksi teologis yang melihat Allah sebagai yang Maha Indah, yakni: Allah dalam forma transendentalia Pulchrum (keindahan). Salah seorang dari yang sedikit itu adalah Hans Urs von Balthasar9. Teolog Katolik ini mendedikasikan pemikiran teologisnya bagi pengenalan akan Allah yang Maha Indah. Ia menulis tujuh rangkaian pemikiran dalam The Glory of The Lord;

8 Dr. Rina Ratih, M. Hum., Teori dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 5.

9 Hans Urs von Balthasar adalah seorang imam dan teolog Swiss yang lahir pada tanggal 12 Agustus 1905 di Lucerne Swiss. Karya-karya antara lain: “The Theology of Karl Barth:

Exposition and Interpretation”, “The Glory of The Lord; A Theological Astheics” (7 Vol), “Theo-

A Theological Aesthetics (1962), yang terdiri dari tujuh volume, yakni: I. Seeing the Form, II. Studies in Theological Style:

Clerical Styles, III. Studies in Theological Style: Lay Styles, IV. The Realm of Metaphysics in Antiquity, V. The Realm of Metaphysics in the Modern Age, VI.

Theology: The Old Covenant, dan VII.

Theology: The New Covenant.

Pada volume III “Studies in Theological Style; Lay Styles”, Balthasar secara khusus berbicara mengenai sastra dalam kaitan dengan refleksi teologisnya tentang keindahan (estetika). Ia mengangkat karya-karya para sastrawan yang dapat menghantar orang kepada refleksi teologis yang mendalam akan hakikat Tuhan sebagai “Summum Pulchrum.” Para sastrawan besar dunia yang karya-karya sastranya dielaborasi secara khusus dalam relasi dengan teologi oleh Balthasar adalah Dante Alighieri, St.

Yohanes dari Salib, Blaise Pascal, Johann Georg Hamann, Vladmir Solovyov, Gerard Manley Hopkins, dan Charles Pierre Péguy.10

Balthasar menyebut puisi-puisi St.

Yohanes dari Salib sebagai puisi mistik (mystical poetry), di mana kebijaksanaan mistik yang menjadi subjek dari puisinya mengalir dari cinta yang melampaui batas-batas pemahaman manusia. Puisi- puisinya menggunakan kekayaan imaji biblikal yang merangkum Kitab Kidung Agung, Mazmur, dan transposisi tema dari keempat Injil, khususnya prolog Injil

Drama: Theological Dramatic Theory” (5 Vol), dan “Theo-Logic” (3 Vol).

10 Hans Urs von Balthasar, The Glory of The Lord; A Theological Aesthetics, Vol. III “Studies in Theological Style: Lay Styles”, trans.by Andres Louth, et.all, (San Fransisco: Ignatius Press, 1986), hlm. Pengutipan selanjutnya akan disingkat AT., III, dan diikuti halaman yang dirujuk.

(5)

41 Yohanes. Secara khusus, pengaruh Kitab

Suci nampak jelas dalam beberapa puisinya, seperti: “The Dark Night” dan

“The Living Flame”.11

Estetika Teologis perspektif Balthasar menjadi grand theory dalam penelitian ini yang menghubungkan dua applied theory, yakni: semiotika intertekstual Riffaterre sebagai basis pemikiran dari sisi sastra dan Ajaran Sosial Gereja yang terkandung dalam surat Paus Yohanes Paulus II sebagai basis pemikiran dari sisi pewartaan.

Dengan demikian, dalam kerangka teori estetika teologis, akan diteliti fungsi imaji biblikal dalam puisi-puisi Mario F. Lawi sebagai bentuk penghayatan iman personal dan mencari efek pewartaan yang muncul dari penggunaan imaji- imaji biblikal dalam puisi-puisinya.

3. Ajaran sosial gereja

Pada tanggal 4 April 1999, Paus Yohanes Paulus II menulis Surat Apostolik Letter of His Holiness Pope John Paul II to the Artists perihal seni dan pewartaan. Ada beberapa pokok pemikiran dalam Surat Apostolik ini, yakni: 1) Seniman sebagai citra Allah Sang Pencipta, 2) Panggilan khusus seniman-seniwati, 3) Panggilan kesenian adalah melayani keindahan, 4) Seniman- seniwati dan kepentingan umum, 4) Kesenian dan misteri Sabda menjadi daging, 5) Perjanjian yang subur antara iman dan kesenian, 6) Sejarah kesenian dan Kekristenan (Awal mula, Abad Pertengahan, Humanisme dan Renaissance), 7) Menuju dialog yang dibarui dalam semangat Konsili Vatikan II, 8) Gereja memerlukan kesenian, 9) Benarkah kesenian memerlukan Gereja?

11 AT., III, hlm. 67.

12 Paus Yohanes Paulus II, Op.Cit., art. 1.

10) Seruan kepada seniman-seniwati, 11) Roh Pencipta yang artistik, dan 12)

‘Keindahan’ yang menyelamatkan.

Paus Yohanes Paulus II menegaskan relasi erat antara Gereja dan kesenian.

Paus menekankan panggilan khusus seniman-seniwati untuk mewartaan keindahan Allah melalui karya seni. Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Sang Seniman Ilahi menyalurkan kepada seniman manusiawi percikan kebijaksanaan-Nya sendiri yang serba mengatasi, serta memanggil perajin seni itu supaya ikut serta dalam kekuasaan karya ciptaan-Nya”.12

Dalam refleksi yang matang, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa dalam konteks pewartaan, Gereja membutuhkan seni.

Untuk menyampaikan amanat yang oleh Kristus dipercayakan kepadanya, Gereja memerlukan keseninan. Kesenian harus memungkinkan ditangkap, dan sedapat mungkin mempunyai daya tarik, dunia roh, dunia yang tak kelihatan, kenyataan Allah.

Oleh karena itu kesenian harus menerjemahkan ke dalam istilah-istilah penuh makna kenyataan, yang dalam dirinya tidak dapat dikatakan. Kesenian mempunyai kecakapan yang unik: mengangkat salah satu aspek amanat, dan menerjemahkannya ke dalam warna-warni, bentuk-bentuk dan suara- suara, yang memperkaya intuisi mereka yang

memandang atau

mendengarkan. Itu dilakukannya tanpa menghampakan amanat

(6)

42

sendiri nilai transendennya dan sinar misterinya.13

Refleksi Paus Yohanes Paulus II ini menjadi dasar untuk pola pewartaan yang relevan melalui karya seni, khususnya puisi. Dalam Surat Apostolik ini, Paus juga mengutip beberapa sastrawan besar dunia untuk mendukung gagasannya tentang panggilan suci para seniman- seniwati untuk mengabdi pada Keindahan Sejati. Ketika membahas tentang panggilan kesenian untuk melayani keindahan, Paus mengutip pernyataan seorang penyair termashyur dari Polandia, yakni Cyprian Norwid tentang daya keindahan yang menyemangati setiap orang untuk berkarya.14

Dengan konsistensi penggarapan tema-tema biblikal dalam puisi-puisinya, Mario sedang menghayati panggilan khususnya sebagai seorang seniman Kristiani yang menimba inspirasinya dari Kitab Suci sebagai sumber utama yang penuh makna. Puisi dengan imaji biblikal adalah medium pewartaan refleksi nilai- nilai Kitab Suci melalui estetika verbal yang gaung pewartaannya dapat diterima oleh banyak orang, khususnya bagi mereka yang tertarik dengan karya sastra.

Imaji biblical dalam puisi-puisi Mario F. Lawi

1. Imaji biblikal

Term “imaji” secara etimologis berasal dari kata Latin “imago” yang berarti gambaran. Istilah “imaji”

13 Ibid., hlm. 23-34.

14 Ibid., hlm. 10.

15 H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi; Suatu Telaah Filsafat Postmodern, (Yogyakarta:

Kanisius, 2001), hlm. 21.

berkaitan erat dengan “imajinasi”. Secara umum, yang dimaksudkan dengan istilah imajinasi adalah daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindraan).

Karena imajinasi adalah suatu daya, maka ia berkaitan langsung dengan manusia yang memiliki daya tersebut.

Secara umum pula, dapat dipahami bahwa hanya manusialah yang memiliki daya itu, bukan makhluk hidup infrahuman lainnya.15

Selama ini, secara umum telah terjadi argumentum ad populumdalam penggunaan istilah imajinasi yang sering dipadankan dengan ilusi, khayalan, dan fantasi. Sesungguhnya, term “fantasi” itu lebih berkaitan dengan daya untuk membayangkan sesuatu, khususnya hal yang tidak real atau yang tidak mungkin terjadi. Fantasi juga dapat diartikan dengan khayalan. Kata “khayalan” ini digunakan sebagai terjemahan dari kata bahasa Inggris “illusion” yang sebenarnya dapat diterjemahkan sebagai ilusi. Ilusi adalah ide, keyakinan, atau kesan yang salah tentang sesuatu;

persepsi atau konsepsi yang keliru akan sesuatu.16 Akan tetapi, term “imajinasi”

tidak dapat dipahami sebagai gambaran yang keliru tentang kenyataan sebagaimana kata ilusi atau khayalan.

Dalam tataran filsafat pengetahuan, imajinasi justru berhubungan dengan aktus intelek yang menghasilkan gambaran objek yang mungkin dapat ada dan logis. Bahkan, imajinasi disebut sebagai roh kreatif intelek.17

16 W. L. Resse, Dictionary of Philosophy and Religion-Eastern and Western Thought, (New Jersey: Humanities Press, 1980), hlm. 246.

17 H. Tedjoworo, Op. Cit., hlm. 93.

(7)

43 Ignas Kleden dalam bukunya Sastra

Indonesia dalam Empat Pertanyaan;

Esai-esai Sastra dan Budaya memosisikan relasi imajinasi dengan pikiran (intelek) manusia sebagai berikut:

Imajinasi adalah kemampuan menciptakan imago, image, atau citra, tetapi sekaligus juga kondisi ketergantungan manusia kepada citra.

Rupanya akal dan pikiran manusia bukan saja sanggup menciptakan citra-citra yang dibutuhkannya, tetapi juga mutlak membutuhkan citra- citra tersebut sebagai tempat menggantungkan pengertian dan tanggapannya. Imajinasi, dengan demikian, bukan sekadar suatu keunggulan pikiran, tetapi juga alat bantu untuk pikiran itu sendiri, yang oleh pikiran itu

diciptakan untuk

menolongnya memahami atau menyusun sebuah ide atau konsep.18

Dalam konteks sastra, term

“imajinasi” diturunkan dari pengertian imagery dalam bahasa Inggris, yang berarti suatu penggunaan bahasa figuratif untuk menghasilkan gambaran, objek, aksi, perasaan, pemikiran, ide, atau pengalaman dalam pikiran pembaca atau pendengar. Imagery inilah yang paling sering digunakan oleh para penyair dalam karya-karyanya.19 Dengan demikian, dalam konteks puisi, imaji berhubungan erat dengan kemampuan estetis penyair dalam membangun ide atau gagasan

18 Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan; Esai-esai Sastra dan Budaya, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm.

445.

19 H. Tedjoworo, Op.Cit., hlm. 24.

20 Giovanni A. L Arum, “Lima Fungsi Imaji Biblikal dalam Komuni Karya Saddam HP”,

melalui penggunaan bahasa figuratif untuk menciptakan kesan bagi pembaca.

Dalam puisi, eksistensi imaji merupakan salah satu perangkat sastrawi yang penting. Keterampilan penyair untuk membentuk bangunan imaji yang disajikan dalam puisi dapat menjadi salah satu indikator tingkat kematangan seorang penyair.20 Selanjutnya, dalam kaitannya dengan Kitab Suci, perangkat khas sastrawi yang digunakan penyair untuk membangun ide atau gagasan melalui penggunaan bahasa figuratif untuk menciptakan kesan bagi pembaca dengan berlandaskan pada narasi-narasi dalam Kitab Suci disebut dengan imaji biblikal.

2. Puisi-puisi dengan imaji biblical dalam kumpulan puisi ekaristi Puisi “ruang tunggu, 1”

Ruang Tunggu, 121 Menahan godaanMu, Eva dan Ular bersihadap.

Kami mengelus-elus dada.

Entahkah senyum Ular Atau kerling Eva Menggetarkan belulang!

Surabaya, 2011

Puisi “Ruang Tunggu, 1”

merekonstruksi kisah terkenal dalam kitab Kejadian, yakni kejatuhan manusia ke dalam dosa (The Fall). Dalam puisi, Mario menghadirkan tokoh-tokoh kunci, seperti: Tuhan (yang ditunjuk dengan penggunaan partikel “-Mu” sebagai kata ganti kepemilikan orang kedua tunggal),

diterbitkan pada laman BACAPETRA.CO, Sabtu, 14 September 2019; diakses melalui https://www.bacapetra.co/lima-fungsi-imaji- biblikal-dalam-komuni-karya-saddam-hp/ pada hari Jumat, 20 September, pkl. 18.35 WITA.

21 Mario F. Lawi, Ekaristi, Op.Cit., hlm. 68

(8)

44 Eva, Ular, dan “kami”. Adam dan Eva

adalah prototipe manusia yang Tuhan tempatkan di taman Eden. Tidak jelas mengapa puisi tersebut berjudul “Ruang Tunggu, 1”.22

Penyair mungkin mengambil judul

“Ruang Tunggu” karena puisi tersebut ditulis ketika penyair sedang menunggu sesuatu, karena pada titimangsa ditulis

“Surabaya, 2011”. Ruang tunggu bandara dapat menjadi locus pembuatan puisi yang singkat ini. Namun, dapat saja judul puisi “Ruang Tunggu, 1” membuka efek hermeneutik bagi pembaca untuk mengasosiasikan locus peristiwa kejatuhan di taman Eden sebagai “ruang tunggu”, karena cuplikan kisah Adam dan Eva yang jatuh dalam godaan memakan buah terlarang akan berlalu.

Taman Eden dapat ditranslokasikan sebagai “ruang tunggu” yang bersifat sementara, karena mereka akan segera diusir dari taman tersebut.

Dalam puisi ini, hanya terdapat satu bait yang terdiri atas tiga kalimat.

Keterampilan berbahasa Mario memang nampak secara sintaksis, di mana ia membangun struktur narasi puisinya dengan satuan kalimat yang jelas secara gramatikal.23 Dalam puisi “Ruang Tunggu, 1” ini, kalimat-kalimatnya mengandung beberapa klausa, yakni sebagai berikut: kalimat pertama mengandung dua klausa, yaitu: “menahan godaanMu” serta “Eva dan Ular bersihadap.” Kalimat kedua terdiri atas satu klausa “kami mengelus-elus dada”.

Sementara itu, kalimat ketiga juga mengandung satu klausa “entahkah

22 Royyan Julian, Op. Cit., hlm. 87.

23 Abu Nabil Wibisana, Wawancara, (Selasa, 14 Januari 2020).

24 Ibid., hlm. 88.

senyum ular ataukah kerling Eva menggetarkan belulang!”24

Mario memanfaatkan tendensi psikis manusia yang cenderung melihat larangan sebagai godaan. Selain itu, dengan memanfaatkan citraan visual yang memperhadapkan tokoh Eva dan Ular, pembaca diarahkan untuk merasakan tegangan psikis dari narasi alternatif tentang peristiwa kejatuhan.

Tidak ada percakapan antara Ular dan Eva dalam puisi. Mario menangguhkan komunikasi untuk mempengaruhi refleksi personal pembaca. Senyum Ular atau kerling Eva adalah dua konsekuensi opositoris yang dihubungkan dengan frasa “menggetarkan belulang.”

“Senyum Ular” adalah denominasi dari keberhasilan ular dalam menggoda Hawa untuk memakan buah pohon pengetahuan. Sebuah keberhasilan biasanya membuat seorang senang atau bahagia. Senyuman adalah ekspresi yang menunjukkan rasa bahagia. Sementara itu, “kerling Eva” adalah denominasi dari konsekuensi Eva setelah memakan buah pohon pengetahuan, yaitu berubahnya pengetahuan dia atas sesuatu. Dosa menggeser status pandangan manusia terhadap yang Ilahi. Misalnya, ketelanjangan dilihat sebagai aib yang harus ditutup.25

Puisi “ekaristi”

Ekaristi26

Pagi yang cacat

Mengulurkan anamnesis.

Kami berdiri di jalanan

Menyaksikan diriMu dikorbankan.

25 Royyan Julian, Op.Cit., hlm. 93.

26Ibid., hlm. 77.

(9)

45

Di bawah salib, TubuhMu yang jasad,

Kami koyak kelak

Dengan rasa lapar paling purba.

Naimata, 2011

Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh hidup kristiani” (Lumen Gentium, art. 11). “Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejani serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarah kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paska kita” (Presbyterorum Ordinis, art. 5).27

Puisi ini menghidupkan narasi tentang Ekaristi sebagai perayaan sakramental untuk memaknai peristiwa Paskah Kristus. Mario menggunakan kekuatan imaji biblikal yang khas untuk pemaknaan Ekaristi, seperti:

“anamnesis”, “korban”, “salib”,

“Tubuh”, dan “rasa lapar”. Ketelitian untuk menghubungkan imaji-imaji khas ini menunjukkan tingkat pemaknaan Mario yang matang terhadap Ekaristi dalam kaitannya dengan peristiwa Paskah Kristus. Selain itu, dengan membangun sebuah kisah retroproyektif, Mario menghadirkan fragmen peristiwa Salib dan melakukan pemaknaan simbolik- sakramental tentang Tubuh Yesus yang dikorbankan di atas salib sebagai Tubuh yang akan menjadi santapan rohani bagi kehidupan umat manusia.

27 Paus Yohanes Paulus II (promulgator), Catechismus Chatolicae Ecclesiae, diterjemahkan oleh P. Herman Embuiru, SVD dalam Katekismus Gereja Katolik, (Ende:

Provinsi Gerejani Ende, 1995), No. 1324.

28 St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, Q. 76, a.1. Resp. translated by the Fahters of the

Dengan memosisikan diri dalam kumpulan orang yang “berdiri di jalanan”, Mario sedang memunculkan tegangan dua peristiwa, yakni “peristiwa Salib” dan “peristiwa Ekaristi”.

Tegangan ini secara semantik diperantarai dengan “anamnesis”. Bagi umat Katolik, kehadiran Yesus dalam peristiwa Ekaristi tidak hanya merupakan suatu kenangan retroproyektif umat yang merayakannya. Dalam Ekaristi, Yesus benar-benar hadir secara aktual (realis preasentia Christi). St. Thomas Aquinas mengatakan: “In the Holy Eucharist, Christ is present whole and entire (body, blood, soul, and Godhead or divinity) under the appearances or accidentals of bread and wine. The words of consecration (which constitute the ‘form’

of the sacrament of Holy Eucharist) bring the living Christ, God and man, truly present.28 Dengan demikian, kehadiran Yesus tidak hanya sekadar pengenangan kembali peristiwa salib, melainkan kehadiran real (realis praesentia) Kristus dalam rupa roti dan anggur. Peristiwa Salib telah menjadi peristiwa keselamatan. Imaji tubuh sakramental yang menunjuk pada Tubuh Kristus yang dikorbankan di atas salib telah berhasil menebus lapar purba manusia yang terpuruk akibat dosa.

Dengan menggunakan imaji

“Tubuh” dan “rasa lapar”, Mario membangun sebuah pemaknaan Ekaristi yang reflektif. Secara filosofis, Yasintus Runesi, dengan memijakkan refleksinya pada filosof Jean Luc-Marion

English Dominican Province, New York:

Benziger Brothers, 1948. Cf. Paul J. Glenn, A Tour of the Summa of St. Thomas Aquinas, (USA: Tan Books and Publishers Inc., 1978), hlm. 380.

(10)

46 menjelaskan peristiwa ‘makan’ dalam

komunio Ekaristik sebagai peristiwa keselamatan, di mana manusia sebagai penerima ‘Tubuh Ekaristik’ diubah dan diselamatkan oleh Si Pemberi, yakni Kristus sendiri. Yasintus menulis demikian:

Masuk lebih dalam, vertikalitas

mengindikasikan

ketergantungan tubuh yang inkarnatif dengan sebuah kenyataan misterius tak bernama di seberang sana tetapi akrab. Dalam kekristenan, kenyataan yang tak bernama itu justru dialami bukan sebagai sebuah kekurangan konstitutif atau sebagai sesuatu yang tunggal, bahkan bukan sebagai sesuatu yang statis, tetapi sebagai pemberian yang berlimpah. Kristus adalah pemberian itu sekaligus pemberi. Pemberi yang memberi diterima oleh penerima melalui tindakan paling manusiawi, yakni makan.

Makan tidak hanya jalan melaluinya kita menerima ketergantungan kita satu dengan yang lain dan pada dunia. Lebih jauh, melalui makanan yang dimakan, kita mengasimilasi dunia ke dalam diri kita, membawa kenyataan luar masuk ke dalam diri. Dalam tindakan makan, dunia dan kehidupan menyatu dalam tubuh. Tetapi berkebalikan dengan itu, dalam komunio ekaristik, kita tidak mengubah hostia ke dalam tubuh kita, sebaliknya kita

29 Yasintus Runesi, “Vertikalitas dan Epifani:

Tubuh dalam Pelajaran dari Orang Samaria”

(prolog) dalam Giovanni A. L Arum, Pelajaran

diubah ke dalam Tubuh- Nya yang tak berhingga:

penerima menerima pemberian Sang Pemberi, dan pemberian yang diterima itu mengubah sang penerima.29

3. Relasi intertekstual imaji biblical dengan narasi biblis

a. Relasi imaji biblical dalam puisi

“ruang tungg, 1” dan narasi kejatuhan manusia dalam kitab kejadian

Imaji biblikal dalam puisi “ruang tunggu, 1”

Hipogram dalam Kitab Suci Menahan godaanMu,

Eva dan Ular besihadap.

“Adapun ular ialah yang paling cerdik di antara segala binatang di darat yang dijadikan oleh Tuhan Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu:

“Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?”

Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu:

“Buah pohon- pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.” Tetapi ular

dari Orang Samaria, (Kupang: Perkumpulan Komunitas Sastra Dusun Flobamora, 2019), hlm.

18-19.

(11)

47

itu berkata kepada perempuan itu:

“Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu

memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”

(Kej. 3:1-5) Kami mengelus-elus

dada.

Entahkah senyum Ular Atau kerling Eva Menggetarkan belulang!

“Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.” (Kej. 3:7)

“Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.

Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang

perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia

itu. Lalu

berkatalah manusia itu:

“Inilah dia, tulang dari tulangku dan

daging dari dagingku. Ia akan dinamai

perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” (Kej.

2:21-23)

b. Relasi imaji biblical dalam puisi

“ekaristi” dan kisah Paskah dalam Injil

Imaji biblikal dalam

puisi “ekaristi” Hipogram dalam Kitab Suci Pagi yang cacat

Mengulurkan anamnesis.

Kami berdiri di jalanan

Menyaksikan diriMu dikorbankan.

“Sambil memikul salib-Nya Ia pergi ke luar ke tempat yang bernama Tempat Tengkorak, dalam bahasa Ibrani:

Golgota. Dan di situ Ia disalibkan mereka dan bersama-sama

dengan Dia

disalibkan juga dua orang lain, sebelah- menyebelah, Yesus di tengah-tengah. Dan Pilatus menyuruh memasang juga tulisan di atas kayu salib itu, bunyinya:

“Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi.” Banyak orang Yahudi yang membaca tulisan itu, sebab tempat di mana Yesus disalibkan letaknya dekat kota dan kata-kata itu tertulis dalam bahasa Ibrani, bahasa Latin dan bahasa Yunani.”

(Yoh. 19: 17-20).

Di bawah salib, TubuhMu yang jasad,

“Sesudah itu Yusuf dari Arimatea- ia murid Yesus, tetapi

(12)

48

sembunyi-sembunyi karena takut kepada orang-orang Yahudi- meminta kepada Pilatus, supaya ia diperbolehkan menurunkan mayat Yesus. Dan Pilatus meluluskan

permintaannya itu.

Lalu datanglah ia dan menurunkan mayat itu.” (Yoh. 19: 38) Kami koyak kelak

Dengan rasa lapar paling purba.

“Dan ketika mereka sedang makan. Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-

mecahkannya lalu memberikannya kepada murid- muridNya dan berkata: “Ambilah, makanlah, inilah tubuhKu.” (Mat. 26:

26)

“Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama- lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah dagingKu, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yoh.

6:51).

4. Imaji biblical sebagai penghayatan iman personal

a. Roh Kudus sebagai inspirator utama penyair

Dalam terang iman, dipahami bahwa segala inspirasi yang muncul dalam akal budi manusia tentang yang baik, benar dan indah merupakan karya Roh Kudus.

Peziarahan jiwa menuju Hakikat

30 Ibid., hlm. 105.

31 Paus Yohanes Paulus II, Op.Cit., art.15.

Keindahan selalu menjadi suatu jalan melalui akal budi.30 Paus Yohanes Paulus II dengan tegas mengatakan bahwa Roh Kudus menjadi Pelaksana Seni misterius bagi alam semesta. Tiap inspirasi yang sejati membawa serta getaran “nafas”

Roh Ilahi yang menjangkau kepiawaian manusiawi dan mendorong proses kreatif dalam menciptakan karya seni yang bernilai. Roh Kuduslah yang menerangi batin dan membangunkan daya-daya budi dan hati untuk merancangkan ide dan memberinya bentuk dalam karya seni.31

Roh Kuduslah yang memberikan inspirasi artistik kepada seniman- seniwati. Meski sering kali orang mengatakan bahwa ada hal-hal tertentu yang menginspirasi dan menggerakkan daya artistik dalam dirinya, namun, dalam terang iman, tiap inspirasi itu digerakkan oleh getaran “nafas” Ilahi yakni Roh Kudus sendiri.32 Dengan refleksi yang indah, Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan relasi antara inspirasi artistik yang diperoleh seniman-seniwati dan getaran nafas Ilahi Roh Kudus sebagai Roh Pencipta, demikian:

… nafas Ilahi Roh Pencipta menjangkau kepiawaian manusiawi

dan mendorong

kekuatannya yang kreatif.

Roh itu menyentuhnya

dengan semacam

penerangan batin, yang memadukan citarasa kebaikan dan keindahan, dan Ia membangunkan daya-daya budi dan hati, yang memampukannya untuk merancangkan idea dan memberinya bentuk dalam karya kesenian.

Maka memang tepatlah berbicara, bahkan

32 Ibid.

(13)

49

sekadar sebagai analogi, tentang “saat-saat rahmat”, sebab manusia mampu mengalami secara tertentu Nan Mutlak yang sama sekali melampaui segalanya.33

Mario memiliki refleksi personal yang cukup matang dan kritis tentang upaya seorang pekerja seni dalam menjawabi panggilan artistik dari Allah.

Secara pribadi, Mario tidak mau terjebak dalam refleksi yang keliru mengenai panggilan dan talenta yang sering menjadi momok bagi penyair yang malas untuk berjuang dan menempa diri.

Baginya, tugas seorang penyair adalah bagaimana ia menjawab panggilan itu.

Hal ini mengandaikan adanya usaha yang berkanjang untuk tekun berkarya.34 Dengan demikian, panggilan bukan hanya mengenai keterberian dari Tuhan (Gabe), melainkan juga serentak tanggung jawab untuk tekun berkarya (Aufgabe).

Refleksi personal Mario ini sejalan dengan refleksi Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostoliknya, The Letter of His Holiness Pope John Paul II to Artists yang merefleksikan panggilan kesenian untuk melayani Keindahan (pulchrum) dengan mengacu pada makna perumpamaan Injil tentang talenta- talenta (Bdk. Mat. 25: 14-30). Paus Yohanes Paulus II mengatakan demikian:

Di situlah kita disentuh satu pokok yang hakiki. Mereka yang menangkap dalam diri mereka semacam percikan ilahi, yakni panggilan artistik – sebagai penyair, pengarang, pemahat, arsitek, ahli musik,

33 Ibid.

34 Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).

35 Paus Yohanes Paulus II, Op.Cit., art.3.

pemain sandiwara dan selanjutnya– sekaligus merasakan kewajiban supaya jangan menghamburkan talenta itu, tetapi mengembangkannya, untuk mengabdikannya terhadap sesama mereka dan umat manusia secara keseluruhan.35

Merujuk pada perumpamaan Yesus tentang talenta, dapat dipahami bahwa Tuhan memang memberikan kepada setiap orang talenta dengan jumlah yang berbeda. Namun, jika direfleksikan dengan lebih mendalam, narasi utama yang diangkat oleh kisah perumpamaan tersebut adalah perjuangan tiap hamba dalam menggandakan talenta yang diberikan oleh tuannya. Dengan demikian, kita dapat mengerti mengapa hamba ketiga yang memiliki satu talenta dan menguburkan talenta itu dalam tanah akhirnya dicampakkan oleh tuannya dengan perkataan keras: “Hai kamu, hamba yang jahat dan malas…” (Bdk.

Mat. 25: 26). Dalam konteks berpuisi, bagi Mario Tuhan sudah jelas memberikan talenta kepada tiap penyair, namun tugas penyair yang utama adalah bagaimana bekerja untuk menggandakan talenta itu.

Majalah Tempo edisi 5 Januari 2015 ketika menaikkan profil Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2014, menempatkan nama Mario F. Lawi sebagai Tokoh Sastra di bidang puisi dengan buku puisi Ekaristi dinobatkan sebagai Buku Puisi Terbaik Tempo 2014. Profil ini dibuka dengan kalimat “Puisi Mario F. Lawi mengawinkan Alkitab dan mitologi Sawu. Menulis puisi baginya adalah menghidupkan iman”.36 Dengan

36 Majalah Tempo, “Mengharap Hujan, Menikam Lambung Tu(h)an”, edisi 5 Januari 2015.

Sebagaimana diakses dari laman https://majalah.tempo.co/read/laporan-

(14)

50 meyakini bahwa menulis adalah suatu

cara menghidupkan iman personalnya, maka sebenarnya Mario sedang memaknai panggilannya sebagai seorang penyair Kristiani. Menulis puisi, bagi Mario, bagaikan beribadah di Gereja yang menjadi caranya menghidupi yang ia imani. Iman Mario melebur dalam puisi-puisinya.37

b. Imaji biblikal membahasakan secara artistik kekayaan sabda Allah

Puisi-puisi dengan imaji biblikal yang diangkat melalui refleksi atas Sabda Allah yang hidup menunjukkan gerak aktif akal budi dan kehendak manusia untuk membahasakan kekayaan Sabda Allah. Dalam jurnal The Bible Today, Carroll Stuhnueller C.P mengomentari puisi-puisi biblikal yang hadir dalam jurnal sebagai “pengisi halaman-halaman yang kosong” dan “bumbu penyedap”

bagi kekayaan rasa dari Sabda Allah. Ia mengatakan demikian:

Poetry may seem like fillers to complete a partially empty page. It can also be viewed as the spice and flavoring, sprinkled and blended in sparingly, yet all important for tasting the richness of the Word of God.38

Banyak puisi dengan imaji biblikal tidak hanya menyalin secara tekstual narasi Kitab Suci, melainkan memberi ruang penafsiran dan pemaknaan

khusus/147203/mengharap-hujan-menikam- lambung-tuhan# Senin, 3 Februari 2020, pkl.

18:50 WITA.

37 Stefanus P. Elu, “Mario F. Lawi: Meleburkan Iman dalam Puisi”, HIDUP KATOLIK.com edisi 25 Maret 2015. Sebagaimana diakses dari laman https://media.iyaa.com/article/2015/03/3393657_

8553.html pada hari Rabu, 5 Februari 2020, pukul 17:40 WITA.

personal. Mario kerapkali menggunakan imaji-imaji biblikal yang telah dimaknai secara personal untuk membangun suatu narasi baru dalam puisinya. Misalnya, pada puisi “Nazarenus, 2”, tentu saja kita tidak dapat menemukan kesaksian narasi biblis tentang kisah Yesus yang kembali ke Nazaret untuk menemui ibu-Nya setelah peristiwa salib. Namun, Mario merekonstruksi narasi alternatif dengan tetap menjaga alusi biblikal yang kuat untuk membangun pemaknaan personalnya tentang cinta Yesus terhadap ibu-Nya, status psikologis kemanusiaan Yesus dan juga hancurnya hati seorang ibu yang menyaksikan Anaknya wafat di kayu salib.

Mario melakukan pembacaan ulang atas narasi biblis secara sadar untuk mengungkapkan maksud tertentu.39 Mario menganggap konsistensi dalam menggarap puisi-puisi biblikal adalah salah satu cara untuk menolak hegemoni dalam dunia sastra, di mana publik pembaca haus akan kesegaran. Baginya, negara-negara dengan tradisi sastra yang kuat dan berkanjang, justru memiliki kekuatan dalam menjaga konsistensi.

Menurutnya, dengan mengeksplorasi kedalaman tematik, seperti tema biblikal, seorang akan menemukan adanya ‘blind spots’ yang akan mampu diangkat dalam khazanah puisi.40 Misalnya, ia mengeksplorasi tokoh ‘keledai’

tunggangan Yesus menjadi sebuah puisi dengan eksplorasi kisah yang kaya dan

38 Carroll Stuhlmueller C.P, “The Rhytmic Touch of Poetry” dalam The Bible Today, Vol. 24, No.

4, July 1986, hlm. 212.

39 Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).

40 Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).

(15)

51 penajaman sisi psikologis humanis yang

kuat. Penggalan menarik puisi “Keledai yang Mulia” yang mengeksplorasi narasi Si Keledai dan Yudas Iskariot, demikian:

“Tak lagi kubutuhkan tunggangan, Tuan.

/Keledai belia tak berlapik yang kemarin/

Dibawa seorang sahabatku telah kukembalikan/ Kepada Si Penambat.

Telah tiba/ Saat aku berdiri di atas kaki- kakiku. / Akan kuminta Iskariot sahabatku untuk/ Menggantikanku menuntunmu sampai tujuan.”// (Bait ke- 14).41

c. Imaji biblikal mempertemukan horizon pemahaman dan pengalaman iman personal akan sabda Allah

Sebagaimana pengakuan St.

Yohanes dari Salib tentang puisi-puisinya yang mengolah pengalaman personal dan pemahaman iman yang bersumber pada Kitab Suci, demikianlah puisi-puisi dengan imaji biblikal tentu mempertemukan horizon pemahaman dan pengalaman yang mengacu pada pemaknaan personal terhadap Kitab Suci.

Misalnya, puisi “Ekaristi” yang merenungkan kembali peristiwa pengorbanan Yesus di salib menunjukkan refleksi personal Mario tentang perayaan Ekaristi yang ia hidupi. Mario menghubungkan Tubuh Kristus dan “rasa lapar” yang dipertemukan dalam jamuan keselamatan. Di bawah salib, / TubuhMu yang jasad, / Kami koyak kelak/ Dengan rasa lapar paling purba. //42

41 Mario F. Lawi, Keledai yang Mulia dan Puisi- Puisi Lainnya”, (Yogyakarta: Shira Media, 2019), hlm. 4.

42 Mario F. Lawi, Ekaristi, Op.Cit., hlm. 77.

43 Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).

44 Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).

Imaji biblikal yang diangkat Mario dalam puisi-puisinya tidak hanya merupakan bentuk tambal-sulam alusi ayat-ayat Kitab Suci dalam puisi.

Baginya, puisi, sebagaimana juga segala bentuk tulisan, merupakan jalinan pelbagai teks yang disatukan penulis dalam karyanya. Dalam menciptakan puisi-puisnya, Mario berjumpa dengan pelbagai khazanah pembacaan untuk memperkaya pembacaannya terhadap Kitab Suci.43 Mario memiliki ketekunan membaca yang baik dan memiliki akses ke pelbagai bacaan yang dekat dengan penafsiran Kitab Suci. Khazanah pembacaan yang kaya ini sangat berpengaruh terhadap Mario dalam membangun imaji dengan pembacaan yang khas dan kaya. Misalnya, dalam puisi-puisi yang menyinggung daerah- daerah historis dalam Kitab Suci, seperti Kapernaum, Nazaret, dan lainnya, Mario melakukan pengkajian terhadap literatur- literatur tentang aspek historisitas daerah- daerah tersebut.44

Dalam esainya yang berjudul:

“Alkitab di Mata Penyair”, setelah menyelidiki secara mendalam dan serius puisi-puisi biblikal Mario melalui penelitian tesis magisternya, Royyan Julian menyatakan bahwa Mario mempertemukan horizon epistemik yang kaya dan refleksi personal yang kuat sehingga menjadikan Alkitab sebagai

‘Firman yang terus bergema’.45 Royyan menulis demikian:

45 Royyan Julian, “Alkitab di Mata Penyair”, Pustaka Puitika edisi Januari 2016. Sebagaimana diakses dari laman https://pustakapuitika- online.blogspot.com/2016/01/alkitab-di-mata- penyair.html pada hari Rabu, 5 Februari 2020, pkl. 17:48 WITA.

(16)

52

Kontekstualisasi Alkitab adalah tradisi yang terus dijalankan oleh cendekiawan Gereja selama berabad-abad.

Pembacaan ulang teks Alkitab oleh Mario adalah salah satu cara memancarkan makna Kitab Suci. Dengan segala keahlian, gudang pengetahuan, dan refleksi- intuisi yang dimilikinya, Mario telah meramu teks Alkitab sesuai dengan konteks di mana ia hidup.

Terlepas dari pertanyaan apakah puisi-puisi tersebut mampu menjadi sebuah

“pedoman alternatif” bagi umat manusia, setidaknya Mario telah menunjukkan intensitasnya

mentransformasikan Alkitab ke dalam dialek yang lain.46

Relevansi imaji biblical dalam puisi- puisi Mario F. Lawi sebagai penghayatan iman personal bagi pewartaan melalui karya sastra

1. Pewartaan ad Intra

a. Imaji biblical sebagai jembatan alternative menuju pemaknaan Kitab Suci

Mario memandang Kitab Suci sebagai sumber makna. Dalam kaitannya dengan terminologi semiotika Roland Barthes, Mario mengungkapkan bahwa Kitab Suci merupakan “petanda”

(signified) dan penafsiran manusia terhadap sumber makna itu, entah tafsiran teologis ataupun tafsiran puitik adalah

“penanda” (signifier). Dengan demikian, Mario sendiri memahami dan memaknai posisi mediator seorang penyair dalam hal mengarahkan dan menarik pembaca

46 Ibid.

untuk sampai pada sumber makna yang utama. Dalam konteks puisi-puisi dengan imaji biblikal, maka peran penyair adalah menyediakan “kunci penanda” melalui metafora sebagai tafsiran atau pembacaan artistik yang mengarahkan pembacanya untuk tiba pada Kitab Suci sebagai acuan penanda utamanya.47

Melalui puisi-puisi yang memanfaatkan imaji biblikal, pembaca Kristiani dapat mendekatkan diri dengan narasi Kitab Suci yang dirujuk oleh imaji tersebut. Gema biblikal yang direkonstruksi dalam imaji biblikal dapat membawa pembaca Kristiani untuk meresapkan Sabda Allah dalam kesadaran personal pembaca. Dengan demikian, imaji biblikal dapat menjadi jembatan bagi pembaca untuk bergerak kembali kepada Kitab Suci dan menyelami maknanya dalam penghayatan hidup personal.

Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan makna terdalam dari Kitab Suci sebagai sumber inspirasi artistik yang mengalirkan aliran-aliran inspirasi dan menyulut imajinasi para seniman-seniwati demikian:

Begitulah Kitab Suci menjadi semacam “kamus amat besar” (Paul Claudel) dan

“atlas ikonografik” (Marc Chagall); daripadanya digali kebudayaan dan kesenian kristiani… Naskah kitabiah telah menyulut imajinasi para pelukis, para penyair, para pakar musik, para pengarang skenario dan para pencipta film. Tokoh seperti Ayub, sekedar satu contoh, beserta pertanyaan-pertanyaannya yang cukup hangat dan selalu relevan tentang penderitaan, masih membangkitkan

47 Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).

(17)

53

minat-perhatian, yang bukan melulu falsafi tetapi sastrawi dan artistik juga… Sabda kitabiah telah menjadi gambaran, musik dan puisi, yang mengundang misteri

“Sabda yang telah menjadi daging” dalam bahasa kesenian.48

Banyak informan yang

mengafirmasi bahwa mereka biasa membandingkan puisi-puisi biblikal Mario dengan teks Kitab Suci yang diacu oleh imaji-imaji biblikalnya. “Tole et lege”49 dapat hadir sebagai seruan persuasif dalam puisi-puisi biblikal.

Suara untuk menarik orang mengambil dan membaca Kitab Suci serta menemukan makna utamanya dapat hadir melalui puisi-puisi biblikal. Yasintus Runesi mengatakan bahwa puisi, sebagaimana juga karya sastra pada umumnya, dapat memberikan suara untuk memanggil orang membaca Kitab Suci tanpa memaksa. Gerakan ini timbul dari kesadaran responsif pembaca karya sastra.50

Kekuatan Mario untuk

mengkesplorasi secara puitik narasi Kitab Suci menjadikan pemaknaan personalnya sangat kuat dan berkesan bagi pembaca yang memiliki sensitivitas estetis yang mumpuni. Ita Siregar, seorang sastrawan dan penulis perempuan yang beberapa kali meresensi buku puisi Mario di media cetak nasional mengatakan bahwa puisi- puisi Mario sangat khas dan personal.

Sebagai seorang yang memimpin

48 Paus Yohanes Paulus II, Op.Cit. art. 5.

49 Tolle et Lege adalah seruan Tuhan kepada St.

Agustinus melalui suara seorang anak kecil yang berarti “ambilah dan bacalah!” Pengalaman iman ini disampaikan oleh St. Agustinus dalam karyanya yang termahsyur Confessiones. St.

Agustinus, Confessiones, trans.by Henry

Komunitas Gereja dan Sastra Kristen Jakarta, dengan kedekatan personalnya terhadap pembacaan Kitab Suci dan sastra, Ita Siregar sendiri mengakui kedalaman ‘penafsiran’ dan pemaknaan Mario terhadap narasi Kitab Suci.

Menurutnya, puisi-puisi Mario dapat memberikan getaran personal yang mengharukan dan membawanya sampai pada penemuan makna yang mendalam terhadap kekayaan Kitab Suci.51

b. Imaji biblical sebagai medium kontemplatif menuju pemaknaan personal terhadap relasi dengan Allah

Pembaca Kristiani melalui jalan kontemplasi imaji dapat mengarahkan dirinya secara personal menuju Allah.

Setiap orang dianugerahi sensitivitas estetis yang dapat menghantar dirinya kepada perjumpaan personal dengan Allah. Karena imaji biblikal merupakan bentuk penghayatan iman personal, maka efek pewartaan yang ditimbulkan juga bersifat personal. Puisi merangsang daya refleksi pembaca untuk mencerap nilai- nilai yang ditawarkan dalam karya tersebut. Dengan demikian, semakin peka daya sensitivitas estetis seorang pembaca yang didukung oleh kedekatan personalnya dengan Kitab Suci, maka semakin tinggi daya refleksi personalnya untuk menemukan Tuhan dalam keindahan puisi dengan imaji biblikal.

Sebagai seorang penyair yang peka terhadap epifani keindahan yang hadir dalam pengalaman pembacaannya

Chadwick, (USA: Oxford Univesity Press, 1992), hlm. 152.

50 Yasintus Runesi, Wawancara, (Senin, 25 November 2019).

51 Ita Siregar, Jawaban Kuesioner Ad Intra, Pertanyaan A, No. 3, 7, 9. Sebagaimana dikirim pada hari Kamis, 16 Januari 2020.

Referensi

Dokumen terkait

Daerah Angkatan Diklat teknis Perencanaan Pembangunan Daerah Tahun

Segi pertama, adalah hubungan keadilan yang disebut dengan keadilan distributif, yaitu masyarakat bangsa dan negara wajib memberikan atau membagikan kepada warganya apa

: SEKOLAH TINGGI ILMU PELAYARAN (STIP) JAKARTA : SEKOLAH TINGGI ILMU PELAYARAN (STIP) JAKARTA

Menyadari akan hal tersebut maka sangat diperlukan upaya-upaya dalam rangka meningkatkan kinerja pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat.Upaya yang

Penentuan kriteria ini berdasarkan standar menurut Spurr (1951) dan Husch (1963) yang menyatakan bahwa model pendugaan volume pohon yang baik adalah persamaan yang mempunyai

Mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang akan menjelaskan serta mendiskusikan konsep-konsep dasar pemasaran sesuai dengan syariah islam, serta bagaimana melakukan praktik

Produk yang berkualitas dapat diraih perusahaan dengan mengeluarkan biaya kualitas yang baik, sama seperti hal nya dengan perusahaan meubel MANDIRI JAYA Tasikmalaya

Pada proses flokulasi terjadi tumbukan dan penggabungan partikel yang telah mengalami pengurangan muatan menjadi mikroflok kemudian menjadi gumpalan yang lebih besar sehingga