• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari berbagai aturan dibidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumberdaya dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (FAO 1997 in Cressidanto 2010). Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas akibat penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo dan Suadi 2006).

Menurut Sinaga (2010), pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan persaingan dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan milik bersama (common property) yang setiap orang berhak memanfaatkannya (open access). Persaingan yang dilakukan oleh pelaku perikanan terlihat dari usaha yang dilakukan menggunakan teknologi yang terus berkembang dan dieksploitasi secara terus menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan yang ada semakin menipis.

Pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari (Boer dan Azis 2007).

2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Pengertian pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan adalah pengelolaan yang mengarah kepada bagaimana sumberdaya ikan yang ada saat ini mampu memenuhi kebutuhan sekarang dan kebutuhan generasi yang akan datang. Pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan tidak melarang aktivitas penangkapan

(2)

yang bersifat ekonomi atau komersial, tetapi menganjurkan dengan persyaratan bahwa tingkat pemanfaatan tidak melampaui daya dukung lingkungan perairan atau kemampuan pulih sumberdaya ikan (MSY), sehingga generasi mendatang tetap memiliki aset sumberdaya ikan yang sama atau lebih banyak dari generasi saat ini.

2.3. Sistem Perikanan Laut

Perikanan merupakan semua kegiatan yang terorganisir berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari tahap praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. menurut Charles (2001) in Mallawa (2006), mengatakan bahwa sistem perikanan merupakan sebuah kesatuan yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu, 1) Sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan biofisik; 2) Sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur nelayan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan lingkungan sosial ekonomi yang terkait dalam sistem ini; 3) Sistem perikanan pengelolaan perikanan yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rezim pengelolaan perikanan dan riset perikanan. Sehingga, dalam pengelolaan sumberdaya perikanan harus memperhatikan ketiga komponen tersebut.

Keanekaragaman jenis ikan dan alat tangkap serta tingginya populasi penduduk yang terjadi mengakibatkan sulitnya menerapkan pengembangan sistem perikanan yang sesuai untuk keberlanjutan sumberdaya ikan serta potensi perikanan lainnya di Indonesia. Sistem perikanan yang kompleks dapat didekati dari perspektif keragaman yang terdiri dari empat jenis keragaman dalam sistem ini, yaitu keragaman spesies, keragaman genetik, keragaman fungsi dan keragaman sosial ekonomi (Adrianto 2002).

2.4. Surplus Produksi

Menurut Sparre dan Venema (1999) pada umumnya hasil tangkapan (C) per trip upaya penangkapan (f) atau CPUE, dapat digunakan sebagai indeks kelimpahan

(3)

relatif. Metode surplus produksi mendasarkan diri pada asumsi bahwa CPUE merupakan fungsi dari f, baik bersifat linier seperti pada model Schaefer maupun bersifat eksponensial seperti pada model Fox. Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut fmsy atau effort MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/MSY) (Sparre dan Venema 1999). Dari model ini dapat diperoleh estimasi besarnya kelimpahan atau biomassa dan estimasi potensi dari suatu jenis atau kelompok jenis (species group) sumberdaya ikan (Widodo et al. 1998 in Syakila 2009).

Model surplus produksi merupakan model yang sangat sederhana dan murah biayanya (Widodo et al. 1998 in Syakila 2009). Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit, sebagai contoh tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan atau produksi yang biasanya tersedia disetiap tempat pendaratan ikan, dan upaya penangkapan (Sparre dan Venema 1999). Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005 in Sulistiyawati 2011). Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model surplus produksi banyak digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis.

Model surplus produksi dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total berdasarkan spesies dan hasil tangkapan per trip upaya (catch per trip effort/CPUE) per spesies atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre dan Venema 1999). Namun, jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal amat sulit ditentukan. Oleh sebab itu, penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi dengan berbagai

(4)

informasi tambahan. Model ini dapat dipergunakan dalam menganalisis sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, demersal kecil, demersal besar, udang dan krustasea lainnya, serta moluska (Widodo et al. 1998 in Syakila 2009). Persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai berikut (Sparre dan Venema 1999) : (1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap

relatif

(2) Distribusi ikan menyebar merata

(3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam.

Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi menurut Sparre dan Venema (1999) adalah :

(1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium

Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu) ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.

(2) Asumsi biologi

Alasan biologi yang mendukung model surplus produksi telah dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut :

a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang, dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen.

b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil. c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat

kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi

(3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap

Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian, upaya ini tidak selamanya benar sehingga kita harus memilih dengan tepat upaya penangkapan yang

(5)

benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.

2.5. Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan

Bila penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin. Hal tersebut yang dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Sehubungan dengan hal itu terdapat analisis total allowable catch (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan maximum sustainable yield (jumlah maksimum tangkapan lestari). Analisis surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch/TAC) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai tangkapan maksimum lestari suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode (Boer dan Aziz 1995). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (FAO 1995).

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) in Sulistiyawati (2011) telah mengeluarkan daftar potensi sumberdaya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Potensi sumberdaya ikan di Perairan Indonesia sebesar 6,25 juta ton per tahun. Potensi tersebut terdiri dari 4,4 juta ton per tahun yang berasal dari perairan teritorial dan perairan wilayah serta 1,85 juta ton per tahun dari perairan ZEEI.

2.6. Pola Musiman

Pola musim yang berlangsung di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh pola arus dimana terjadi interaksi antara udara dan laut (Nontji 1987 in Sulistyawati 2011). Angin yang dapat menentukan terjadinya gelombang dan arus permukaan air laut serta curah hujan yang dapat menentukan kadar salinitas air laut. Perubahan cuaca tersebut yang dapat mempengaruhi kondisi laut. Berdasarkan arah utama angin yang bertiup dari suatu daerah ke daerah lain, dikenal istilah musin timur dan musim barat. Di Indonesia terdapat empat musim yang dapat mempengaruhi

(6)

kegiatan penangkapan, yaitu musim barat, musin timur, musim peralihan awal tahun dan musim peralihan akhir tahun kedua. Pada bulan Mei hingga September terjadi musim timur sedangkan pada bulan November hingga Maret terjadi musim barat. Pada bulan April dan Oktober mengalami musim peralihan. Selama bulan Maret, angin yang bertiup adalah angin barat akan tetapi kecepatannya telah berkurang. Memasuki bulan April, arah angin sudah tidak menentu dan pada periode tersebut dikenal dengan musim peralihan. Siklus ini berlangsung kembali ketika memasuki bulan Oktober yang disebut dengan musim peralihan akhir tahun (Djufri 2002 in Sulistyawati 2011).

2.7. Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus) 2.7.1. Klasifikasi

Ikan kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang hidup soliter. Morfologi ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 2. Menurut Bloach (1791) in www. fishbase. org (2012), klasifikasi ikan kurisi adalah sebagai berikut :

Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Nemipteridae Genus : Nemipterus

Spesies : Nemipterus japonicus (Bloach, 1791) Nama FAO : Japanese threadfin bream

Nama Lokal : Ikan terisi (Jakarta) Ikan kurisi (Jawa)

Gambar 2. Morfometrik contoh ikan kurisi yang diamati

Panjang total = 20 cm 

(7)

2.7.2. Karakter morfologi

Ikan kurisi dicirikan dengan bentuk mulut yang letaknya agak ke bawah dan adanya sungut yang terletak di dagunya yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan makanan (Burhanuddin et al. 1994 in Siregar 1997). Ciri-ciri ikan kurisi menurut Fischer dan Whitehead (1974) in Siregar (1997) adalah berukuran kecil, badan langsing dan padat. Tipe mulut terminal dengan bentuk gigi kecil membujur dan gigi taring pada rahang atas (kadang-kadang ada juga pada rahang bawah). Rahang atas dan bawah ukurannya hampir sama dengan rahang bawah lebih menyembul. Bagian depan kepala tidak bersisik. Sisik dimulai dari pinggiran depan mata dan keping tutup insang. Selain itu, ikan kurisi memiliki 7-8 tulang tapis insang pada bagian lengkung atas dan 15-18 tulang tapis insang pada lengkung bawah, dengan jumlah total 22-26 tulang tapis insang (Hukom et al. 2004 in Harahap et al. 2008). Pada bagian dorsal dan lateral tubuh ikan kurisi terdapat gradiasi warna kecoklatan. Sirip kaudal dan sirip dorsal berwarna biru terang atau keunguan dengan warna merah kekuningan pada bagian tepi siripnya.

2.7.3. Biologi dan habitat

Habitat ikan kurisi meliputi perairan estuari dan perairan laut. Tipe substrat sangat mempengaruhi kondisi kehidupan ikan kurisi untuk dapat berkembang dengan baik, karena sedimen dasar laut mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup di dasar perairan. Kebanyakan ikan ini hidup di dasar laut dengan jenis substrat berlumpur atau lumpur bercampur pasir (Burhanuddin et al. 1984 in Siregar 1997). Hidup di dasar, karang-karang, dasar lumpur atau lumpur berpasir pada kedalaman 10-50 m (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005 in Sulistiyawati 2011). Selain itu, ikan kurisi biasanya hidup berasosiasi dengan karang (www.fishbase.org 2012).

Ikan kurisi bersifat dioecious yaitu organ reproduksi jantan dan betina terbentuk pada individu berlainan. Fertilisasi terjadi secara eksternal yaitu pembuahan telur oleh sperma yang berlangsung di luar tubuh induk betina. Ikan ini bersifat karnivora, makanan utamanya adalah nekton seperti krustacea (Daphnia spp.) dan sotong (Loligo spp.) (Allen 1985 in Harahap et al. 2008). Berdasarkan

(8)

pola rasio kelamin dengan ukuran panjang ikan, ikan kurisi digolongkan ke dalam kelompok yang terdiri dari ikan betina matang gonad lebih awal dan biasanya mati lebih dahulu daripada ikan jantan, sehingga ikan-ikan dewasa yang lebih muda terutama terdiri dari ikan betina, sementara ikan yang lebih besar ukurannya adalah ikan jantan. Menurut Sentan dan Tan (1975) in Brojo dan Sari (2002), laju pertumbuhan ikan kurisi betina di Laut Andaman lebih rendah daripada ikan jantan setelah tahun kedua. Hal ini terjadi karena untuk mencapai matang gonad, energi yang digunakan untuk pertumbuhan gonad lebih besar daripada untuk pertumbuhan tubuhnya. Beberapa peneliti menemukan ukuran maksimum ikan kurisi betina lebih kecil daripada ikan jantan (Chullasorn dan Marlosubloto 1986 in Brojo dan Sari 2002). Dugaan lain sehubungan dengan relatif sedikitnya jumlah ikan kurisi betina berukuran besar yang tertangkap, yaitu adanya migrasi ikan kurisi di sekitar Selat Sunda untuk memijah. Tempat pemijahan diperkirakan berada di sekitar daerah penangkapan utama di perairan bagian barat Pulau Jawa. Kebanyakan ikan akan berimigrasi untuk pemijahan setelah ovarium matang, dan akan kembali ke daerah penangkapan setelah memijah (Brojo dan Sari 2002).

Berdasarkan pengamatan Brojo dan Sari (2002) menyatakan bahwa ukuran pertama kali ikan betina matang gonad (Lm) adalah pada ukuran sekitar 17 cm (kisaran 15-18 cm) yaitu sekitar 63% dari panjang maksimumnya. Boorrvarich dan Vadhnakul in Brojo dan Sari (2002) memperoleh ikan kurisi pertama kali matang gonad pada ukuran antara 45-66% dari panjang maksimumnya. Menurut Food and Agricultural Organization (1972) in Siregar (1997), ciri-ciri khusus dari ikan kurisi adalah panjang tubuh tidak termasuk flagel pada sirip ekor maksimum 32 cm dan umumnya 12-25 cm. Ikan jantan tumbuh lebih cepat menjadi besar dibandingkan dengan ikan betina. Menurut Udupa in Brojo dan Sari (2002), ukuran pada waktu kematangan gonad pertama kali bervariasi diantara dan di dalam spesies. Menurut Sjafei dan Robiyani (2001) kelompok ikan kurisi yang tertangkap di Perairan Labuan diduga pada saat penelitian (April - Mei) merupakan masa perkembangan bagi populasi ikan kurisi dan juga ukuran mata jaring nelayan tepat untuk ukuran pada bulan tersebut.

Ikan kurisi ditemukan pada kedalaman lebih dari 100 m (Masuda 1984 in Harahap et al. 2008). Menurut Allen (1985) in Harahap et al. (2008), ikan ini

(9)

terdapat pada lingkungan laut pada kedalaman mencakup 100-330 m. Ikan kurisi merupakan hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan alat tangkap cantrang yang temasuk ke dalam kategori Danish Seine. Habitatnya di daerah karang dan area dasar berbatu-batu dengan kedalaman minimal 100 m. Menurut Myers (1991) in Harahap et al. (2008), menyatakan bahwa ikan ini ditemukan pada kedalaman 90 m sampai 360 m. Hukom et al. (2004) in Harahap et al. (2008) mengatakan bahwa ikan kurisi terdapat pada kedalaman lebih dari 100 m (antara 100-500 m).

2.7.4. Distribusi dan musim

Daerah penyebaran ikan kurisi hampir terdapat di seluruh perairan Indonesia, ke utara meliputi Teluk Siam dan Philipina (Pusat informasi Pelabuhan Perikanan 2005 in Sulistiyawati 2011). Distribusi ikan kurisi meliputi bagian utara sampai selatan Jepang, secara luas ditemukan di Indo Pasifik (Masuda 1984 in Harahap et al. 2008). Allen (1985) in Harahap et al. (2008) menyatakan bahwa ikan ini penyebarannya selain di Indo Pasifik juga terdapat di timur Afrika, Kepulauan Hawai, utara Ryukyu, Kepulauan Ogasawara, Australia selatan dan Atlantik Tenggara: Port Alfred, Afrika Selatan. Menurut Myers (1991) in Harahap et al (2008), penyebaran ikan ini meliputi Indo-Pasifik (Laut Merah ke Mangareva dan Hawai), Bonins, selatan Caledonia Baru. Di Indonesia ikan kurisi menyebar hampir di seluruh Perairan Indonesia (lihat Gambar 3).

(10)

Gambar 3. Daerah penyebaran ikan kurisi Sumber : http://www.fishbase.org (2012)

2.7.5. Alat tangkap

Ikan kurisi dapat tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik, cantrang, payang, jaring insang, rawai, pancing, sero, trawl, dan bubu (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005 in Sulistiyawati 2011). Alat tangkap yang digunakan di Perairan Selat Sunda untuk menangkap ikan kurisi adalah cantrang dan jaring rampus. cantrang merupakan alat tangkap yang dominan menangkap ikan kurisi di Labuan Banten.

Alat tangkap cantrang dalam pengertian umum digolongkan pada kelompok danish seine yang terdapat di Eropa dan beberapa di Amerika. Dilihat dari bentuknya alat tangkap tersebut menyerupai payang tetapi ukurannya lebih kecil. Cantrang merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal yang dilengkapi dua tali penarik yang cukup panjang yang dikaitkan pada ujung sayap jaring. Bagian utama dari alat tangkap ini terdiri dari kantong, badan, sayap, mulut jaring, tali penarik, pelampung dan pemberat (George et al. 1953 in Subani dan Barus 1989).

Gambar

Gambar 2.  Morfometrik contoh ikan kurisi yang diamati
Gambar 3.  Daerah penyebaran ikan kurisi  Sumber : http://www.fishbase.org (2012)

Referensi

Dokumen terkait

terjadi peningkatan nilai rerata pada siklus ini tetapi peningkatan nilai rerata itu belum mampu merubah posisi kemampuan profesional guru. Atas dasar data yang

Pada kursus Electric Guitar ini sebaiknya dimulai pada usia 11 dan 12 tahun, dimana pada awalnya disesuaikan dengan kemampuan jari pada siswa tersebut dan

Lokasi kegiatan difokuskan ke SMA/SMK pada 2 kabupaten di DIY (Sleman dan Kulonprogo) serta Jawa Tengah (Kabupaten Sragen). Hasil kegiatan menunjukkan bahwa secara umum,

Berbagai persiapan dilakukan sebelum pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan (PPL) diantaranya melakukan observasi di lokasi yaitu di SMP Negeri 1 Mungkid Magelang.

Setelah melakukan analisis kepada para tokoh yang hadir dalam komik Volt dan menemukan seperti apa bentuk akulturasi yang terjadi dan darimana saja pengaruh yang

Data yang sudah diklasifikasikan berdasarkan kelompoknya, selanjutnya untuk melihat pengaruh antara pengaruh perspektif modernis terhadap perilaku nasionalisme pada siswa

Rajah di bawah menunjukkan graf jarak – masa bagi perjalanan sebuah kereta dari Bandar A ke Bandar C melalui Bandar B dan kemudian kembali ke Bandar A.. 172

1) Bakteri dengan kode isolat 3R tumbuh di atas permukaan medium, bentuk koloni circular , elevasi low convex , tepi entire dan struktur dalam finely granular. Bentuk