• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN AGROTEKNOLOGI UNIVERSITAS NUSA CENDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN AGROTEKNOLOGI UNIVERSITAS NUSA CENDANA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN AGROTEKNOLOGI UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL CABAI MERAH (Capsicum Annum L.) TERHADAP KOMBINASI

PERBEDAAN KOMPOSISI MEDIA TANAM DENGAN FREKWENSI PEMBERIAN PUPUK ORGANIK CAIR

KRINYUH (Chromolaena Odorata)

FELICIA ELVIRA LAKE 1604060054

(2)

LATAR BELAKANG

penyebab rendahnya produktivitas cabai di NTT, diantaranya adalah rendahnya kesuburan tanah media tanam serta komposisi media tanam itu sendiri.

Karakteristik media tanam sebagai tempat tumbuh yang terpenting menurut Acquaah (2002) dalam Susilawati (2007) adalah mempunyai kemampuan memegang air yang baik, mempunyai aerasi dan drainase yang baik, mempunyai pH yang sesuai dengan jenis tanaman, dan mengandung unsur hara untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Tanaman cabai adalah tanaman yang tidak menyukai banyak air dalam media tanammnya serta membutuhkan hara NPK yang optimal bagi pertumbuhan dan hasilnya. Media tanam yang dapat menyediakan hara serta yang tidak terlalu menyebabkan air tergenang merupakan media tanam ideal bagi tanaman cabai.

Cabai merah (Capsicum annum L. ) merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura penting yang dibudidayakan secara komersial. Cabai memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap juga memiliki nilai nilai ekonomis tinggi yang banyak digunakan baik untuk komsumsi rumah tangga maupun untuk keperluan industri makanan. Cabai merah merupakan salah satu komoditas pertanian ekonomis dengan harga yang sangat berfluktasi. Data BPS Indonesia (2015) menunjukkan bahwa produktivitas tanaman cabai di indosesia sebasar 3,3 ton ha-1, namun data BPS NTT (2015) menunjukkan bahwa produktivitas tanaman cabai di Nusa Tenggara Timur sebasar 1,54 ton ha-1. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa produkstivitas tanaman cabai di NTT tergolong sangat rendah.

(3)

Kebutuhan hara bagi tanaman cabai bisa diperoleh dari pupuk anorganik atau pupuk organik dengan takaran sesuai dengan kebutuhan tanaman padi (Wuryan, 2008).

Salah satu pupuk organik yang dapat dijadikan pupuk bagi kebutuhan tanaman cabe adalah pupuk organik cair limbah biomassa krinyu. Krinyu merupakan tumbuhan gulma bagi tanaman pertanian yang pertumbuhan sangat cepat. Oleh karena itu biomassa krinyu memiliki kandungan hara yang tinggi. Fermentasi biomassa krinyu menyebabkan pupuk organik cair (POC) krinyu dapat ditingkatkan kandungan haranya sehingga dapat dijadikan sebagai pupuk untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman, termasuk tanaman cabai.

Frekwensi pemberian POC krinyu berpengaruh terhadap dosis pemberian POC krinyu. Semakin cepat interval pemberian POC krinyu semakin tinggi dosis POC krinyu yang diberikan pada tanaman cabai.

Kombinasi media tanam dengan frekwensi pemberian POC krinyu akan berpengaruh terhadap kemampuan tanaman dalam menyerap hara yang diberikan.

Berdasarkan hal tersebut maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “ Respon Pertumbuhan dan Hasil Cabai Merah (Capsicum annum L.) terhadap Kombinasi Perbedaan Komposisi Media Tanam dengan Frekwensi Pemberian Pupuk Organik Cair Krinyu”.

(4)

Tujuan dari penelitian ini :

1. Untuk mengetahui pengaruh kombinasi perbedaan komposisi media tanam dengan frekwensi pemberian POC krinyu terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah.

2. Untuk memperoleh kombinasi perbedaan komposisi media tanam dengan frekwensi pemberian POC krinyu terbaik bagi pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah.

Manfaat penelitian :

Sebagai bahan informasi bagi petani lainya, dalam rangka pengembangan ilmu terutama pengembangan tanaman.

Hipotesis dari penelitian ini :

1. Kombinasi perbedaan komposisi media tanam dengan frekwensi pemberian POC krinyu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah.

2. Sekurang-kurangnya terdapat satu perlakuan kombinasi perbedaan komposisi media tanam dengan frekwensi pemberian POC krinyu yang efektif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah.

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

Adapun Klasifikasi Tanaman cabai merah

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Devisi : Spermatophyte Subdevisi : Angiosperma Kelas : Monocotyledonae Subkelas : Asteridae

Ordo : Solanales Famili : Solaneceae

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annum L.

(6)

Cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, karbohidrat, kalsium, vitamin A,B1 dan vitamin C. Sari cabai merupakan organ penguat tubuh termasuk jantung, mengeluarkan cacing, memperlancar peredaran darah, untuk sterilisasi serta dapat menambahkan kesuburan.

cabai dapat ditanam di dataran rendah maupun di dataran tinggi atau di pegunungan yang ketinggiannya tidak lebih dari 2.000 meter dpl yang lingkungannya tidak terlalu dingin dan tidak terlalu lembab. Temperature yang baik untuk tanaman cabai adalah 240- 270 C. Hampir semua jenis tanah yang cocok untuk budidaya tanaman pertanian, cocok pula bagi tanaman cabai merah. untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas hasil yang baik, cabai menghendaki tanah yang subur, gembur, kaya akan bahan organic, tidak muda becek, bebas cacing (nematoda) dan penyakit tular tanah, dengan kisaran PH Tanah yang ideal antara 5,5 - 6,8 (Darmawan dan Harpenas, 2010).

(7)

Pengaruh Media Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman

Salah satu faktor lingkungan penting yang harus diperhatikan dalam budidaya tanaman adalah media tanam. Media tanam merupakan faktor lingkungan yang menjadi tempat tumbuhnya tanaman. Oleh karena itu, media tanam yang digunakan harus sesuai dengan jenis tanaman yang akan ditanam di atasnya. Tanaman sayuran membutuhkan media tanam yang agak gembur dan mudah ditembusi akar, sementara tanaman lainya membutuhkan media tanam yang agak solid agar bisa menopang pertumbuhan tanaman yang agak besar. Media tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.

Media tanam yang baik harus memiliki syarat tertentu. (1). Mampu menyediakan ruang tumbuh bagi akar tanaman, sekaligus juga mampu menopang tanaman. (2). Memiliki porositas yang baik, artinya mampu menyimpan air sekaligus juga mempunyai drainase dan aerasi yang baik. (3). Menyediakan unsur hara makro dan mikro yang cukup bagi pertumbuhan dan hasil tanaman. (4). Tidak mengandung bibit hama dan penyakit sehingga tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang tumbuh dalam media tanam tersebut. Media tanam yang memiliki drainase dan aerasi yang bagus serta media tanam yang subur adalah media tanam yang bagus bagi pertumbuhan dan perkembaangan tanaman cabai.

(8)

Pengaruh Pupuk Organik Cair terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman

Pupuk organik cair atau (POC) merupakan salah satu jenis pupuk yang dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Selain mengandung hara makro, terutama hara N, P, dan K, pupuk organik cair mengandung pula hara mikro. Pupuk organik cair diolah dari bahan baku berupa kotoran ternak, kompos, limbah alam, hormon tumbuhan dan bahan- bahan alami lainnya yang diproses secara alamiah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Menurut Marliah, Hayati, dan Muliansyah (2012), pemupukan dengan menggunakan pupuk organik cair berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas tomat. Demikian pula dengan hasil penelitian Parman (2007) pada tanaman kentang.

Semua bahan tanaman atau tumbuhan dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan pupuk organik cair. Akan tetapi, bahan-bahan yang kandungan haranya cukup tinggi sangat baik untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan pupuk organik cair. Salah satu bahan tersebut adalah tumbuhan krinyu (Chromolaena odorata). Tumbuhan krinyu adalah tumbuhan gulma yang pertumbuhan dan penyebarannya sangat cepat. Biomassa krinyu mengandung 2,24 % N, 0,26 % P, dan 5,40 % K. Hasil penelitian Darmawan (2016) menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi kombinasi pupuk organik cair krinyu dengan Azolla sampai konsentrasi 480 cc L-1 meningkatkan pertumbuhan dan produksi buah tomat. Tinggi tanaman, Jumlah daun, bobot basah dan bobot kering brankasan, jumlah buah dan total buah tomat tertinggi ditemukan pada konsentrasi kombinasi pupuk organik cair krinyu dengan Azolla 480 cc L-1.

(9)

METODELOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi lahan penelitian Lahan kering Universitas Nusa Cendana.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2020 hingga Oktober 2020.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman cabai (Capsicum annum L.) varietas Dewata 43 F1, pupuk organic cair krinyu, pupuk kandang (kotoran sapi), tanah dan sekam padi.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah polybag, ember, neraca, cangkul, gembor, keranjang, meteran, bak persemaian, alat tulis dan kamera.

Penelitian ini menggunakan rancangan faktor tunggal dengan rancangan dasar adalah Racangan Acak Kelompok (RAK).

Paket perlakuan kombinasi antara media tanam dengan frekwensi pemberian pupuk organik cair (POC) krinyu sebanyak 10 perlakuan kombinasi. Masing-masing perlakuan kombinasi tersebut diulang sebanyak 5 kali. Adapun kombinasi perlakuan media tanam dengan pupuk organik cair adalah sebagai berikut :

k0 = MT tanah tanpa dipupuk POC krinyu

k1 = MT tanah + dipupuk POC krinyu 2 hari sekali k2 = MT tanah + dipupuk POC krinyu 4 hari sekali k3 = MT tanah + dipupuk POC krinyu 6 hari sekali

k4 = MT Tanah + sekam + dipupuk POC krinyu 2 hari sekali k5 = MT Tanah + sekam + dipupuk POC krinyu 4 hari sekali k6 = MT Tanah + sekam + dipupuk POC krinyu 6 hari sekali

k7 = MT tanah, sekam, dan pupuk kandang + dipupuk POC krinyu 2 hari sekali

k8 = Media tanam tanah, sekam, dan pupuk kandang + dipupuk POC krinyu 4 hari sekali

k9 = Media tanam tanah, sekam, dan pupuk kandang + dipupuk POC krinyu 6 hari sekali

(10)

Model Analisis Data

Model matematik percobaan faktor tunggal dalam Rangcangan Acak Kelompok (RAK) menurut Yitnosumarto (1993) adalah:

Yij= µ + αi+ Kj + έij, dimana :

Yij = Pengamatan satuan percobaan yang mendapat perlakuan ke-i pada kelompok ke- j

µ = Rata – rata umum.

ɑi = Pengaruh paket kombinasi perlakuan ke-i.

Kj = Pengaruh kelompok ke-j.

Έij = Pengaruh galat pada perlakuan ke-i, kelompok ke-j.

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila terdapat pengaruh yang nyata dari perlakuan yang diujicobakan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5%.

Pelaksanaan percobaan

Persiapan media tanam

Pembibitan cabai

Pemupukan

Pemeliharaan

Panen

Variabel Pengamatan

Pertambahan Tinggi tanaman

Pertambahan Jumlah Daun

Pertambahan Bobot Kering Biomassa Tanaman Cabe Tanpa Buah

Jumlah Cabang Produktif

Total Jumlah Buah Cabe

Total Bobot Segar Buah Cabe

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan umum

Selama masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai terdapat hama yang menyerang tanaman cabai.

Adapun hama yang menyerang adalah hama kutu putih. Pengendalian hama kutu putih (Pseudococcus viburni) tersebut dapat dilakukan secara mekanik tanpa penggunaan senyawa kimia. Panen pertama dilakukan pada umur 46 hari setelah tanam dengan jumlah buah pada setiap kelompok percobaan berbeda. Panen dilakukan sebanyak 6 x dengan interval waktu setiap 7 hari.

Pertambahan Tinggi Tanaman Cabai

Hasil analisis ragam pengaruh kombinasi perbedaan komposisi media tanam dengan frekwensi pemberian pupuk organik cair krinyu berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman cabai (lampiran 2b). Rerata pertambahan tinggi tanaman cabai dan hasil uji DMRT 5% akibat perlakuan kombinasi perbedaan komposisi media tanam dengan aplikasi pupuk organik cair krinyu tertera pada tabel 4.1.

(12)

Tabel 4.1. Rata-rata Pertambahan Tinggi Tanaman Cabai akibat Perlakuan Kombinasi Perbedaan Komposisi Media Tanam (MT) dengan Frekwensi

Pemberian Pupuk Organik Cair (POC) Krinyu (Chromolaena odorata)

Perlakuan Pertambahan tinggi tanaman

(cm per 56 hari)

K0 = Media tanam (MT) tanah tanpa POC 36,56 a

K1 = MT tanah dengan POC 2 hari sekali 45,32 de

K2 = MT tanahdengan POC 4 hari sekali 41,48 bc

K3 = MT tanahdengan POC 6 hari sekali 39,01 ab

K4 = MT tanah + sekam dengan POC 2 hari sekali 46,24 e K5 = MT tanah + sekam dengan POC 4 hari sekali 41,68 bc K6 = MT tanah + sekam dengan POC 6 hari sekali 40,84 bc K7 = MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan POC

2 hari sekali

48,19 e K8 = MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan POC

4 hari sekali

42,81 cd K9 = MT tanah + sekam + pupuk kandang denganPOC

6 hari sekali

41,32 bc

Keterangan : Angka- angka yang diikuti oleh huruf yang sama adalah berbeda tidak nyata pada uji DMRT (0,05).

(13)

kombinasi perlakuan K7. Berdasarkan pada tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa pertambahan tinggi tanaman cabai lebih cepat pada kombinasi perlakuan K7, namun perlakuan tersebut tidak berbeda dengan kombinasi perlakuan K4 dan K1 serta berbeda nyata dengan perlakuan lainya.

Tanaman cabai yang di tanam pada media tanam tanah dan di tambah sekam padi, serta diberi pupuk dengan pupuk kandang kotoran sapi dan diberi POC krinyu 2 hari sekali (K7) menyediakan hara yang lebih banyak di dalam media tanamnya sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan akar menjadi lebih baik dan tanaman lebih banyak menyerap air dan hara. Penyerapan hara dan air yang lebih banyak menyebabkan pembelahan sel apikal menjadi lebih cepat sehingga menghasilkan pertambahan tinggi tanaman yang lebih cepat pula.

Pemberian POC krinyu 2 hari sekali mungkin menyebabkan ketersediaan hara telah mencukupi untuk pertambahan tinggi tanaman cabai. Hal ini menyebabkan pertambahan tinggi tanaman cabai tidak berbeda antara kombinasi perlakuan K7 dengan perlakuan K4 dan K1.

Media tanam tanaman cabai pada kombinasi perlakuan K7 sama dengan media tanam pada kombinasi perlakuan K8 dan K9. Pemberian POC krinyu 4 hari dan 6 hari sekali menyebabkan ketersediaan hara menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan pemberian POC 2 hari sekali. Hara yang dapat diserap tanaman cabai pada kombinasi perlakuan K8, dan apalagi K9, akan lebih sedikit dibandingkan dengan pada kombinasi perlakuan K7. Pertambahan tinggi tanaman cabai pada kombinasi perlakuan K8 dan K9 lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan K7. Demikian pula pada kombinasi perlakuan media tanam tanah ditambah sekam dan media tanam tanah saja yang diberi POC krinyu 4 hari sekali dan 6 hari sekali. . Hara yang terkandung dalam media tanam akan lebih sedikit sehingga menyebabkan pertambahan tinggi tanaman cabai menjadi lambat.

Pertambahan tinggi tanaman cabai paling lambat terjadi pada perlakuan K0. Tanpa diberi pupuk kandang kotoran sapi, tanpa diberi sekam padi, tanpa diberi POC krinyu menyebabkan tidak ada penambahan hara ke dalam media tanam tersebut. Tanaman cabai kekurangan hara sehingga pertambahan tinggi tanaman cabai menjadi paling lambat.

(14)

Tabel 4.2.Rata-rata Pertambahan Jumlah Daun Cabai akibat Perlakuan Kombinasi Perbedaan Komposisi Media Tanam (MT) dengan Frekwensi Pemberian Pupuk Organik Cair (POC) Krinyu (Chromolaena odorata)

Perlakuan Pertambahan jumlah daun tanaman

cabai (helai per 56 hari) K0 = Media tanam (MT) tanah tanpa dipupuk POC 18,00 a

K1 = MT tanah dengan POC 2 hari sekali 39,67 de

K2 = MT tanah dengan POC 4 hari sekali 36,00 c

K3 = MT tanah dengan POC 6 hari sekali 29,67 b

K4 = MT tanah + sekam dengan POC 2 hari sekali 42,67 ef K5 = MT tanah + sekam dengan POC 4 hari sekali 37,33 cd K6 = MT tanah + sekam dengan POC 6 hari sekali 30,00 b K7 = MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan POC 2

hari sekali

43,00 f K8= MT tanah + sekam+ pupuk kandang dengan POC 4

hari Sekali

39,33 d K9= MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan POC 6

hari sekali

30,33 b

Keterangan :Angka- angka yang diikuti oleh huruf yang sama adalah berbeda tidak nyata pada uji DMRT (0,05).

(15)

Pertambahan Jumlah Daun Tanaman Cabai

Hasil analisis ragam pengaruh kombinasi perbedaan komposisi media tanam dengan frekwensi pemberian pupuk organik cair krinyu berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan jumlah daun tanaman cabai (lampiran 3b). Rerata pertambahan tinggi tanaman cabai dan hasil uji DMRT 5% akibat perlakuan kombinasi perbedaan komposisi media tanam dengan frekwensi pemberian pupuk organik cair krinyu tertera pada Tabel 4.2.

Berdasarkan Tabel 4.3 di atas menunjukan bahwa pertambahan jumlah daun tanaman cabai tercepat terdapat pada perlakuan kombinasi media tanam tanah ditambah sekam dan pupuk kandang serta di beri POC krinyu 2 hari sekali (K7) yang tidak berbeda dengan kombinasi perlakuan K4, namun berbeda nyata dengan perlakuan lainya. Menurut Gardner, Pearce dan Mitchell (1991), daun terbentuk dari primordia daun yang terbentuk bersamaan dengan terjadinya pembelahan meristem apikal.

Pertambahan jumlah daun pada perlakuan K7 lebih cepat di sebabkan karna tanaman cabai menyerap hara yang lebih banyak. Kombinasi perlakuan K7 dengan media tanam tanah, sekam, pupuk kandang serta pemberian POC krinyu 2 hari sekali menyebabkan total hara yang tersedia dalam media lebih banyak sehingga pertambahan jumlah daun tanaman cabai menjadi lebih cepat. Hal yang sama terjadi pula pada kombinasi perlakuan K4.

Walaupun pada perlakuan memiliki media tanam yang sama dengan kombinasi perlakuan K7, namun pemberian POC krinyu 4 hari sekali (K8) dan 6 hari sekali (K9) menyebabkan kandungan total hara dalam media tanam tersebut lebih sedikit sehingga hara yang dapat diserap oleh tanaman cabai menjadi lebih sediki pula dibandingkan dengan kombinasi perlakuan K7.

(16)

Proses pembetukan daun terhambat jika hara yang dibutuhkan tanaman berkurang. Tanaman yang kekurangan hara menghasilkan total fotosintat yang rendah. Primordia daun yang terbentuk tidak berkembang seluruhnya menjadi daun akibat kekurangan fotosintat sehingga pertambahan jumlah daun menjadi lambat.

Pertambahan jumlah daun tanaman cabai paling lambat terdapat pada perlakuan K0. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan tersebut hanya tanah sebagai media tanam tanpa diberi sekam, pupuk organik kotoran sapi, dan tanpa diberi POC krinyu. Hara yang diperoleh tanaman cabai hanya berasal dari tanah saja tanpa ada penambahan dari pemberian pupuk lainnya. Tanaman yang kekurangan hara tidak akan dapat melaksanakan aktivitas metabolisme yang optimal. Salah satu akibat yang ditimbulkan adalah pertambahan jumlah daun yang lambat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sitompul dan Gurito (1995), kekurangan hara dan air merupakan salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan tanaman, yang ditandai dengan berkurangnya pembentukan daun secara normal.

(17)

Tabel 4.3. Rata-rata Jumlah Cabang Produktif Tanaman Cabai akibat Perlakuan Kombinasi Perbedaan Komposisi Media Tanam (MT) dengan Frekwensi Pemberian Pupuk Organik Cair (POC) Krinyu

(Chromolaena odorata)

Perlakuan Jumlah cabang produktif tanaman

cabai (buah per Tanaman)

K0 = Media tanam (MT) Tanah tanpa POC 3,67 a

K1 = MT tanah dengan POC 2 hari sekali 9,33 b

K2= MT tanah dengan POC 4 hari sekali 7,67 b

K3 = MT tanah dengan POC 6 hari sekali 4,67 a

K4 = MT tanah + sekam dengan POC 2 hari sekali 12,33 c K5 = MT tanah + sekam dengan POC 4 hari sekali 8,00 b K6 = MT tanah + sekam dengan POC 6 hari sekali 5,33 a K7 = MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan POC 2 hari

sekali

15,00 d K8= MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan POC 4 hari

sekali

9,00 b K9= MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan POC 6 hari

sekali

5,67 a

Keterangan : angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama adalah berbeda tidak nyata pada Uji DMRT (0,05).

(18)

Jumlah Cabang Produktif Tanaman Cabai

Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan kombinasi perbedaan komposisi media tanam dengan frekwensi pemberian pupuk organik cair (POC) krinyu berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang produktif tanaman cabai (lampiran 4b). Rerata pengamatan jumlah cabang produktif tanaman cabai merah dan hasil Uji DMRT 5% akibat perlakuan kombinasi perbedaan komposisi media tanam dengan frekwensi pemberian pupuk organik cair (POC) krinyu tertera pada 4.3.

Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukan bahwa pengaruh perlakuan kombinasi perbedaan komposisi media tanam dengan frekwensi pemberian pupuk cair (POC) krinyuh terhadap jumlah cabang produktif tanaman cabai paling banyak terdapat pada perlakuan kombinasi media tanam tanah yang ditambahkan dengan sekam dan pupuk organik kotoran sapi yang dikombinasikan dengan pemberian POC krinyu 2 hari sekali (K7) yang berbeda nyata dengan jumlah cabang produktif tanaman cabai pada perlakuan lainnya.

Media tanam tanaman cabai yang terdiri atas tanah yang dicampur dengan sekam dan pupuk kandang kotoran sapi serta dikombinasikan dengan POC krinyu 2 hari sekali menyediakan hara yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai. Hara yang telah di serap tanaman cabai dimanfaatkan untuk meningkatkan aktivitas metabolisme yang salah satu di antaranya adalah untuk pembentukan cabang produktif tanaman cabai.

Pada perlakuan media tanam yang ditambahkan dengan sekam dan diberi pupuk organik kotoran sapi yang dikombinasikan dengan pemberian POC krinyu 4 hari sekali (K8) dan pemberian POC krinyu 6 hari sekali (K9) menghasilkan jumlah cabang produktif yang lebih sedikit di bandingkan dengan perlakuan kombinasi K7.

(19)

Demikian pula dengan total kandungan hara yang terdapat dalam media tanam tanah yang dikombinasikan dengan pemberian POC krinyu 2 hari sekali (K1), pemberian krinyu 4 hari sekali (K2), dan pemberian POC 6 hari sekali (K3) serta media tanam tanah yang ditambahkan sekam yang dikombinasi dengan pemberian POC krinyu 2 hari sekali (K4), pemberian krinyu 4 hari sekali (K5), dan pemberian POC 6 hari sekali (K6) yang lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan kombinasi K7. Kekurangan hara tersebut menyebabkan aktivitas metabolisme pembentukan cabang produktif tanaman cabai terganggu sehingga cabang produktif yang terbentuk lebih sedikit.

Jumlah cabang produktif tanaman cabai paling sedikit terdapat pada perlakuan media tanam tanah tanpa dipupuk POC (K0). Tanpa pemberian POC krinyu menyebabkan total hara media tanam tanah terbatas. Kekurangan hara menyebabkan tanaman cabai tidak dapat meningkatkan aktivitas metabolismenya untuk pembentukan cabang produktif. Rinzema (1996), menyatakan bahwa pembentukan cabang produktif tanaman, berhubungan dengan ketersediaan hara dalam tanah.

(20)

Tabel. 4.4. Rata-rata Pertambahan Bobot Biomasa Kering Tanaman Cabai Tanpa Buah akibat Perlakuan Kombinasi Perbedaan Komposisi Media Tanam

(MT) dengan Frekwensi Pemberian Pupuk Organik Cair (POC) Krinyu (Chromolaena odorata)

Perlakuan Pertambahan Bobot Kering

Biomasa Tanaman Cabai Tanpa Buah (g per 91 hari)

K0= Media tanam (MT) tanah tanpa POC 27,69 a

K1= MT tanah dengan POC 2 hari sekali 52,95 b

K2= MT tanah dengan POC 4 hari sekali 47,67 b

K3= MT tanah dengan POC 6 hari sekali 36,67 a

K4= MT tanah + sekam dengan POC 2 hari sekali 54,12 b K5= MT tanah + sekam dengan POC 4 hari sekali 48,91 b K6= MT tanah + sekam dengan POC 6 hari sekali 56,20 bc K7= MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan POC 2 hari

sekali

80,37 e K8= MT tanah + Sekam + pupuk kandang POC 4 hari sekali 73,18 de K9= MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan 6 hari sekali 66,57 cd

Keterangan : angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama adalah berbeda tidak nyata pada Uji DMRT (0,05).

(21)

Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukkan pertambahan bobot biomassa kering tanaman cabai tanpa buah paling cepat diperoleh pada perlakuan kombinasi media tanam tanah yang dicampur sekam dan pupuk organik kotoran sapi dengan frekwensi pemberian POC krinyu 2 hari sekali (K7) yang tidak berbeda dengan perlakuan kombinasi K8, namun berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pertambahan biomassa kering tanaman cabe tanpa buah yang tercepat pada perlakuan tersebut (K7) disebabkan karena pada perlakuan tersebut menyebabkan pertambahan tinggi tanaman (Tabel 4.1) dan pertambahan jumlah daun (Tabel 4.2) yang paling cepat pula. Perlakuan kombinasi K7 menyebabkan media tanam tersebut menyediakan total hara yan lebih banyak sehingga tanaman cabai akan menyerap hara yang lebih banyak pula. Penyerapan hara yang lebih banyak tersebut menyebabkan aktivitas fotosintesis menjadi lebih tinggi, lebih cepat menghasilkan fotosintat, serta lebih cepat pula terjadi akumulasi fotosintat di dalam organ tumbuh tanaman. Hal ini menyebabkan pertambahan bobot kering biomassa tanaman cabai tanpa buah pada perlakuan kombinasi tersebut menjadi lebih cepat.

Walaupun pertambahan tinggi tanaman (Tabel 4.1) dan pertambahan jumlah daun (Tabel 4.2) pada perlakuan kombinasi K8 lebih lambat dari perlakuan kombinasi K7, namun pertambahan bobot kering biomassa tanaman cabai tanpa buah pada perlakuan kombinasi K8 tidak berbeda dengan perlakuan kombinasi K7.

Pertambahan bobot kering biomassa tanaman menunjukkan adanya pertambahan bobot bahan kering atau terjadinya akumulasi fotosintat dalam organ tumbuh tanaman. Jumlah bahan kering yang dapat diakumulasi di dalam organ tumbuh tanaman antara perlakuan kombinas K8 tidak berbeda dengan perlakuan kombinasi K7. cabai dan pertambahan jumlah daun tanaman cabai lebih lambat dari perlakuan kombinasi K7.

(22)

Pertambahan bobot kering biomassa tanaman menunjukkan adanya pertambahan bobot bahan kering atau terjadinya akumulasi fotosintat dalam organ tumbuh tanaman. Jumlah bahan kering yang dapat diakumulasi di dalam organ tumbuh tanaman antara perlakuan kombinas K8 tidak berbeda dengan perlakuan kombinasi K7. Perbedaan perlakuan kombinasi K7 dengan perlakuan kombinasi K8 terletak pada frekwensi pemberian POC krinyu. Frekwensi pemberian POC krinyu 4 hari sekali akan menyebabkan total kandungan hara pada perlakuan kombinasi K8 akan lebih rendah dari perlakuan kombinasi K7. Hara yang diserap pada perlakuan kombinasi K8 hanya mampu meningkatkan pertambahan bobot kering tanaman dan tidak mampu meningkatkan pertambahan tinggi tanaman cabai (Tabel 4.1) dan pertambahan jumlah daun tanaman cabai (Tabel 4.3) sehingga pertambahan tinggi tanaman cabai dan pertambahan jumlah daun tanaman cabai lebih lambat dari perlakuan K7.

Pertambahan bobot kering tanaman cabai paling lambat terdapat pada perlakuan media tanam tanah tanpa pemberian POC krinyu (K0).

(23)

Tabel 4.5. Rata-rata Jumlah Buah Segar Tanaman Cabai akibat Perlakuan Kombinasi Perbedaan Komposisi Media Tanam (MT) dengan Frekwensi Pemberian Pupuk

Organik Cair (POC) Krinyu (Chromolaena odorata)

Perlakuan Jumlah Buah Cabai Segar

(buah per tanaman)

K0 = Media tanam (MT) tanah tanpa POC 237,20 a

K1 = MT Tanah dengan POC 2 hari sekali 426,00 cd

K2= MT tanah dengan POC 4 hari sekali 404,92 bcd

K3 = MT tanah dengan POC 6 hari sekali 384,00 b

K4 = MT tanah + sekam dengan POC 2 hari sekali 436,00 d K5 = MT tanah + sekam dengan POC 4 hari sekali 416,84 bcd K6 = MT tanah + sekam dengan POC 6 hari sekali 391,04 bc K7 = MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan POC 2 hari

sekali

587,68 g K8 = MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan POC 4 hari

sekali

552,44 f K9= MT tanah + sekam + pupuk kandang dengan POC 6 hari

sekali

494,00 e

Keterangan : angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama adalah berbeda tidak nyata pada Uji DMRT (0,05).

(24)

Berdasarkan pada Tabel 4.5 diatas menunjukkan bahwa jumlah buah cabai segar paling banyak terdapat pada perlakuan kombinasi media tanam tanah yang dicampur dengan sekam dan pupuk oranik kotoran sapi dengan frekwensi pemberian POC krinyu 2 hari sekali (K7) yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Jumlah buah cabai segar paling banyak pada perlakuan tersebut (K7) disebabkan karena pada perlakuan tersebut menyebabkan tanaman cabai memiliki jumlah cabang produktif yang paling banyak (Tabel 4.3) serta memiliki pertambahan jumlah daun yang paling cepat (Tabel 4.2).

• Jumlah buah dipengaruhi oleh proses penyerbukan dan proses pembentukan buah. Penyerbukan sangat ditentukan oleh banyak bunga yang terbentuk, sedangkan banyaknya bunga yang terbentuk dipengaruhi oleh jumlah cabang produktif. Sedangkan proses pembentukan buah sangat tergantung pada akumulasi fotosintat pada saat tersebut. Pertambahan jumlah daun tanaman cabai yang lebih cepat (Tabel 4.2) mencerminkan jumlah daun yang lebih banyak yang memungkinkan jumlah fotosintat yang dihasilkan yang lebih banyak. Semakin banyak fotosintat yang dihasilkan semakin banyak buah yang terbentuk atau semakin kecil kemungkinan buah yang gugur.

(25)

Perlakuan kombinasi tanah, sekam, dan pupuk organik kotoran sapi dengan pemberian POC krinyu 2 hari sekali (K7) menghasilkan total hara yang lebih banyak sehingga lebih banyak pula yang dapat diserap oleh tanaman cabai. Selain berpengaruh terhadap jumlah fotosintat yang dihasilkan, jumlah hara yang diserap berpengaruh pula terhadap aktivitas hormonal dalam proses penyerbukan dan pembuahan.

Semakin rendah jumlah cabang produktif tanaman cabai (Tabel 4,3) dan semakin lambat pertambahan jumlah daun tanaman cabai (Tabel 4.2) semakin sedikit jumlah buah cabai segar yang diperoleh. Jumlah buah cabai segar paling sedikit diperoleh pada perlakuan media tanam tanah tanpa pemberian POC krinyu (K0).

Hal ini disebabkan karena pada perlakuan tersebut diperoleh cabang produktif tanaman cabai yang paling sedikit (Tabel 4.3) serta pertambahan jumlah daun tanaman cabai yang paling lambat (Tabel 4.2). Penyebab terjadinya pembentukan cabang produktif paling sedikit serta pertambahan jumlah daun tanaman cabai paling sedikit disebabkan karena pada perlakuan K0 tersebut jumlah hara yang dapat diserap oleh tanaman vabai sangat sedikit. Wijayani dan Widodo (2005) menyatakan bahwa jumlah buah tanaman paling rendah diperoleh pada tanaman yang di tanam pada tanah yang tidak subur.

(26)

Tabel 4.6. Rata-rata Bobot Buah Segar Tanaman Cabai akibat Perlakuan Kombinasi Perbedaan Komposisi Media Tanam (MT) dengan Frekwensi Pemberian Pupuk Organik Cair (POC) Krinyu

(Chromolaena odorata)

Perlakuan Bobot Buah

(gram per tanaman)

K0 = Media tanam (MT) tanah tanpa POC 39,53 a

K1 = MT tanah dengan POC 2 hari sekali 71,00 cd

K2 = MT tanah dengan POC 4 hari sekali 67,49 bcd

K3 = MT tanah dengan POC 6 hari sekali 64,00 b

K4 = MT tanah + sekam dengan POC 2 hari sekali 72,67 d K5 = MT tanah + sekam dengan POC 4 hari sekali 69,47 bcd K6 = MT tanah + sekam dengan POC 6 hari sekali 65,17 bc K7 = MT tanah + sekam+ pupuk kandang POC 2 hari sekali 97,95 g K8 = MT tanah + sekam + pupuk kandang POC 4 hari sekali 92,07 f K9 = MT tanah + sekam + pupuk kandang POC 6 hari sekali 82,33 e

Keterangan : Angka –angka yang diikuti oleh huruf yang sama adalah berbeda tidak nyata pada Uji DMRT (0,05).

(27)

Berdasarkan pada Tabel 4.6 diatas menunjukkan bahwa bobot buah cabai segar paling berat terdapat pada perlakuan kombinasi media tanam tanah yang dicampur dengan sekam dan pupuk organik kotoran sapi dengan frekwensi pemberian POC krinyu 2 hari sekali (K7) yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.

Bobot buah cabai segar paling berat pada perlakuan tersebut (K7) disebabkan karena pada perlakuan tersebut tanaman cabai memiliki jumlah buah cabai segar (Tabel 4.5) paling banyak dan pertambahan jumlah daun (Tabel 4.2) paling cepat.

Bobot buah, menurut Tandisau, Darmawidah, dan Warda (2005), ditentukan oleh banyaknya buah dan besarnya buah yang terbentuk. Ketersedian hara yang lebih banyak pada perlakuan kombinasi K7 tersebut menyebabkan total fotosintat yang dihasilkan yang lebih banyak, yang ditandai oleh pertambahan jumlah daun yang lebih cepat (Tabel 4.2).

Fotosintat yang dihasilkan dipergunakan untuk proses pengisian buah sehingga buah yang terbentuk lebih banyak (Tabel 4.5) karena buah gugur menjadi lebih sedikit. Selain itu, ketersediaan fotosintat pada fase perkembangan buah menjadikan buah menjadi besar dan berat. Hal inilah menyebabkan bobot buah cabe segar menjadi lebih berat pada perlakuan tersebut.

Penurunan kandungan hara dalam perlakuan kombinasi komposisi media tanam dengan frekwensi pemberian POC krinyu menyebabkan terjadi penurunan bobot buah segar tanaman cabai. Penurunan kandungan hara tersebut akan berpengaruh terhadap metabolisme tanaman cabai sehingga kecepatan pembentukan daun tanaman cabai (Tabel 4.2), pembentukan cabang produktif tanaman cabai (Tabel 4.3), serta pembentukan buah cabai (Tabel 4.5) menurun.

(28)

Penurunan kecepatan pembentukan daun, penurunan pembentukan cabang produktif, dan penurunan pembentukan buah (jumlah buah) menyebabkan total bobot buah akan menurun pula. Walaupun komposisi media tanam sama dengan perlakuan kombinasi K7, namun frekwensi pemberian POC 4 hari sekali (K8) dan frekwensi pemberian POC 6 hari sekali (K9) menyebabkan kandungan hara menjadi semakin menurun.

Penurunan kandungan hara pada perlakuan kombinasi K8 dan perlakuan kombinasi K9 menyebabkan total bobot buah segar cabai menjadi lebih rendah dibandingkan dengan total bobot buah segar cabai pada perlakuan kombinasi K7.

Bobot buah cabai segar paling rendah diperoleh pada perlakuan media tanam tanah tanpa pemberian POC krinyu (K0). Media tanam tanah tanpa pemberian POC krinyu merupakan media tanam yang hanya mengandalkan hara dari dalam tanah saja. Padahal telah diketahui bahwa tanah di pulau Timor, menurut Duadja (1991), pada umumnya memiliki kandungan hara hara sangat sangat rendah.

(29)

Gambar

Tabel 4.1. Rata-rata Pertambahan Tinggi Tanaman Cabai akibat Perlakuan  Kombinasi Perbedaan Komposisi Media Tanam (MT) dengan Frekwensi
Tabel 4.2.Rata-rata Pertambahan Jumlah Daun Cabai akibat Perlakuan Kombinasi Perbedaan Komposisi Media Tanam (MT) dengan Frekwensi Pemberian Pupuk Organik Cair (POC) Krinyu (Chromolaena odorata)
Tabel 4.3.  Rata-rata Jumlah Cabang Produktif Tanaman Cabai akibat Perlakuan Kombinasi Perbedaan Komposisi Media Tanam (MT) dengan Frekwensi Pemberian Pupuk Organik Cair (POC) Krinyu
Tabel 4.5. Rata-rata Jumlah Buah Segar  Tanaman Cabai akibat Perlakuan Kombinasi Perbedaan Komposisi Media Tanam (MT) dengan Frekwensi Pemberian Pupuk
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kemampuan komunikasi matematis siswa berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi kelas VII SMP Negeri 1 Mojolaban

Sebagai agama yang bervisikan keadilan dan kemaslahatan, Islam sangat menekankan perlunya membangun masyarakat sejahtera. Teks-teks Islam yang menyerukan untuk

7 Hasil penelitian Utari pada juga menunjukkan pengaruh yang cukup signifikan dari pemberian spora jamur Beauveria bassiana pada konsentrasi yang berbeda terhadap

Akan tetapi tidak hanya disekolah umum saja disekolah Luar Biasa (SLB) juga diajarkan berhitung penjumlahan, namun di SLB terdapat beberapa perbedaan dalam cara

Freeman dan Long (1991; dalam Duff, 2008: 41) menyatakan bahwa ancangan longitudinal dengan mudah dapat dikarakterisasi setidak-tidaknya oleh tiga atribut paradigma

Menurut Solichin Abdul Wahab (1997;11), evaluasi dapat mengemban fungsi pembelajaran, dalam artian bahwa dengan mengidentifikasikan kegiatan-kegiatan yang berhasil

Persepsi masyarakat tentang menggunakan air minum isi ulang di Kecamatan Lengayang Kabupaten Pesisir Selatan berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan

Kesulitan pada level mikroskopis yang teridentifikasi adalah siswa mengalami kesulitan dalam memahami gambaran mikroskopis sehingga dalam menyelesaikan soal