• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/DPD RI/II/2013-2014

TENTANG

PANDANGAN DAN PENDAPAT

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PANAS BUMI

JAKARTA

2013

(2)
(3)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/DPD RI/II/2013-2014

TENTANG

PANDANGAN DAN PENDAPAT

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PANAS BUMI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa panas bumi merupakan sumber daya energi ramah lingkungan dan salah satu kekayaan alam terbarukan yang mempunyai peranan penting untuk menunjang pembangunan nasional berkelanjutan demi ter- wujudnya kesejahteraan rakyat;

b. bahwa potensi panas bumi perlu didorong dan ditingkatkan pemanfaatan- nya secara optimal dan komprehensif sehingga akan mengurangi keter- gantungan terhadap energi fosil;

c. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik In- donesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indone- sia Tahun 1945 adalah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pemben- tukan; pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;

d. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwaki- lan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Repub- lik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Panas Bumi;

e. bahwa pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud pada huruf d te-d te- te- lah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwaki- lan Daerah Republik Indonesia sebagai Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Un- dang tentang Panas Bumi untuk disampaikan dalam pembahasan Pembi-Panas Bumi untuk disampaikan dalam pembahasan Pembi- untuk disampaikan dalam pembahasan Pembi-dalam pembahasan Pembi- caraan Tingkat I bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan dan Penda- pat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Panas Bumi;

Mengingat : 1. Pasal 22D Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pem- bentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

(4)

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Maje- lis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwak- ilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Ne- gara Republik Indonesia Nomor 5043);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/

DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwaki- lan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-8 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang II Tahun Sidang 2013-2014 Tanggal 20 Desember 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAE- RAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UN- DANG TENTANG PANAS BUMI.

PERTAMA : Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Panas Bumi sebagai bahan pembahasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah.

KEDUA : Isi dan rincian pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud dalam dik- tum PERTAMA, merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari keputusan KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.ini.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 20 Desember 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

DR. LAODE IDA

(5)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

________________________________________________________________________

PANDANGAN DAN PENDAPAT

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

RUU TENTANG PANAS BUMI I. Pendahuluan

A. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta memperhatikan Peraturan Tata Tertib DPD RI, pada hari ini, DPD RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat, mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

B. Dalam penyampaian pandangan dan pendapat ini, DPD RI telah membentuk tim kerja untuk mendalami substansi dan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam RUU Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Dengan demikian, RUU tentang Panas Bumi diharapkan dapat menjadi landasan hukum (ius contituendum) yang kuat, berkepastian hukum (legally binding), berkerangka aturan yang jelas (regulatory framework) dan berdimensi spasial yang panjang, sehingga RUU Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi tidak hanya dipakai dalam kurun waktu yang singkat seperti berbagai UU yang mengalami perubahan dalam rentang waktu yang relatif singkat, namun diharapkan, Perubahan RUU Panas Bumi ini memiliki legacy regulasi (warisan hukum) yang dapat dipakai dalam jangka waktu yang lama.

C. Bahwa RUU tentang Panas Bumi harus menempatkan kepentingan nasional dan daerah di atas segala-segalanya. RUU Panas Bumi, tidak boleh bersifat sektoral dan dirancang atas kepentingan golongan dan kepentingan politik tertentu. Kepentingan utama RUU ini, harus dapat memberikan kontribusi, baik langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang diperoleh dari input utama dari berbagai sektor kehidupan yaitu energi termasuk energi panas bumi. Selain peningkatan kesejahteran, RUU ini harus menjaga keberlanjutan pembangunan dan memperkuat ketahanan energi yang bertumpu pada kemampuan dan daya saing energi nasional yang merupakan bagian dari strategi ketahanan energi (resiliensi energy) melalui pemenuhan kebutuhan energi nasional dan daerah dengan menerapkan kebijakan dari supply side policy menjadi demand side policy.

D. Atas dasar berbagai kepentingan dan pertimbangan yang disebutkan pada bagian pendahuluan ini, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dengan ini, menyampaikan pandangan dan pendapat atas RUU tentang Panas Bumi.

E. DPD RI menyampaikan pandangan dan pendapat ini, terutama yang terkait langsung dan tidak langsung dengan rencana pengusahaan panas bumi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain fokus pada kepentingan pengusahaan panas bumi, pandangan dan pendapat ini, juga memuat beberapa substansi pokok dalam rangka penyempurnaan penyusunan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi meliputi: Pertama, perubahan nomenklatur dari frasa pertambangan berubah menjadi frasa pengusahaan yang semula ekplorasi dan eksploitasi panas bumi diklasifikasikan sebagai pertambangan mengalami stagnasi

(6)

karena area panas bumi tidak diperbolehkan di kawasan hutan, baik hutan konservasi maupun hutan lindung, hal mana potensi panas bumi berada pada kawasan hutan konservasi dan hutan lindung; Kedua, terkait aspek kelembagaan dalam hal pengelolaan (beheerdaad), yaitu badan pengelola adalah BUMN dan swasta; Ketiga, Kewenangan Perizinan (regelendaad) oleh Pemerintah Pusat; Keempat, participating interset; Kelima, tentang jankawaktu pengeloaan.

II. Pandangandan PendaPat dPd RI teRhadaP Ruu tentang Panas BumI

Setelah melakukan kajian dan pembahasan secara komprehensif terhadap RUU Panas Bumi, yang merupakan RUU inisiatif Pemerintah RI, maka DPD RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat, sebagai berikut:

A. BagIan KonsIdeRan

Pada bagian konsideran lainnya dalam RUU Panas Bumi, konsideran bagian (c) yang menyatakan bahwa “potensi Panas Bumi di Indonesia sangat besar tetapi belum dimanfaatkan secara optimal sehingga perlu pengaturan pemanfaatan Panas Bumi yang komprehensif guna mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil”. Dalam kaitan optimasi pemanfaatan panas bumi yang disebutkan dalam konsideran (c) ini, DPD RI berpandangan bahwa pemanfaatan panas bumi harus ditempatkan sebagai pengganti atau substitusi energi dalam mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. DPD RI berpendapat bahwa optimasi pemanfaatan panas bumi melalui substitusi energi akan memberikan insentif investasi. Selain dijadikannya panas bumi sebagai substitusi energi, DPD RI berpendapat pula bahwa perlu mempertimbangkan strategi konservasi dan diversifikasi energi yang merupakan amanat pokok dalam UU Energi.

B. BaB I tentang Ketentuan umum

Dalam pasal 1 disebutkan definisi panas bumi adalah “sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapatdipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi”.

Dalam pandangan DPD RI, definisi panas bumi yang disebutkan pada pasal 1 RUU Panas Bumi yang secara deduktif, menggabungkan, sepanjang frasa “...bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi”, berpotensi menimbulkan ambiguitas dan penafsiran yang berbeda dari berbagai pihak, yang pada gilirannya dapat menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, frasa “...bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi” dihilangkan untuk menghindari tumpangtindih pengertian, terutama berbagai definsi yang relevan dalam Undang-Undang lain yang menyebutkan definisi mineral dan gas.

asas

Dalam bab ketentuan umum disebutkan berbagai asas antara lain asas optimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi dan asas keberlanjutan. DPD RI berpandangan bahwa asas optimalisasi ekonomi dan asas keberlanjutan adalah dua asas yang saling bertentangan. Optimalisasi sumber daya alam berlawanan dengan asas keberlanjutan. Jika suatu input sumber daya alam dikelola secara optimal, maka cadangan terbukti panas bumi akan segera habis dan asas keberlanjutannya tidak dapat dicapai, karena dalam prinsip keberlanjutan dikenal daya dukung (carrying capacity) atau maximum suistanability yield. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat asas optimalisasi sebaiknya dihilangkan dan hanya menerapkan asas keberlanjutan sumber daya alam untuk tercapai suatu pemanfaatan energi dalam jangka panjang dan menjamin suatu ketersediaan energi secara berkelanjutan. Hal ini menjadi penting karena selama ini, pemanfaatan sumber daya alam dianggap sebagai barang gratis, sehingga ekternalitas negatif dalam valuasi ekonomi sumber daya alam tidak pernah diperhitungkan, yang mengakibatkan tergerusnya sumber daya alam dan mengancam ketersediaan energi masa depan seperi yang terjadi pada industri hulu minyak, gas bumi dan pertambangan.

tujuan

Dalam pasal 4 disebutkan pada huruf (c) bahwa penyelenggaraan kegiatan panas bumi bertujuan meningkatkan pemanfaatan energi bersih yang ramah lingkungan guna mengurangi emisi gas rumah kaca. DPD RI berpandangan bahwa penggunaan istilah emisi gas rumah kaca tidak terkait langsung dengan pemanfaatan panas bumi, sebagaimana diketahui aktivitas panas bumi tidak berdampak signifikan pada pencemaran, baik pencemaran udara, tanah, maupun air yang disebabkan oleh ekstraksi karbon berlebihan. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat istilah emisi gas

(7)

rumah kaca diganti dengan energi yang rendah karbon. Energi rendah karbon lebih berhubungan dengan keamanan dan keselamatan manusia sebagai pengguna energi, sebagaimana pula telah dicantumkan dalam pasal 3 tentang asas dalam RUU ini yaitu asas keamanan dan keselamatan.

C. BaB II tentang PenyelenggaRan Panas BumI

Dalam bab penyelenggaraaan panas bumi dijelaskan penyelenggaraan dan kewenangan panas bumi oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. DPD RI berpandangan bahwa dalam prakteknya seringkali terdapat tumpangtindih penyelenggaraan dan kewenangan. Tumpang tindih penyelenggaraan dan kewenangan terkait dengan hak penguasaan dalam panas bumi sebagimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2): Penguasaan Panas Bumi oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

DPD RI berpendapat, meskipun di-era desentralisasi daerah perlu diberikan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam, namum untuk memberikan kepastian pengusahaan yang meliputi aspek kontraktual dalam pengelolaan sumber daya alam, maka diperlukan penyederhanaan tata kelola penguasaan dan pengusahaan sumber daya panasbumi. Penguasaan sumber energi panas bumi dikuasakan oleh negara ke Pemerintah Pusat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, sehingga dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat khususnya di daerah sumber energi tersebut dihasilkan.

Penguasaan sumber daya alam oleh Negara sesuai dengan prinsip prinsip kepemilikan dan penguasaan dalam sumber daya alam yang diterapkan di banyak negara dan kewenangan penguasaan dan pengusahaan (regelendaad) Panas Bumi oleh Negara merupakan “management right” sesuai dengan UUD 1945 dan sebagaimana halnya terjadi di sektor hulu migas.

D. BaB III tentang Pengusahaan Panas BumI haRga eneRgI Panas BumI

Sebagaimana diketahui, permasalahan utama pengembangan energi terbarukan termasuk energi panas bumi, yaitu harga jual yang terlalu murah dan tidak adanya insentif dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sehingga kurang menarik untuk dikembangkan, baik oleh investor maupun oleh Pemerintah Daerah.

Dalam hal harga panas bumi, disebutkan di RUU Panas Bumi pada Pasal 19 ayat (1) “Harga energi Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung ditetapkan oleh Pemerintah”, dan ayat (2) Ketentuan mengenai tata cara penetapan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

DPD RI berpandangan bahwa harga energi panas bumi yang ditentukan oleh Pemerintah berpotensi ditetapkan berdasarkan mekasnisme pasar atau penentuan melalui bisnis to bisnis. Untuk menghindari kemungkinan penentuan harga yang keliru seperti penetapan harga minyak dan gas bumi yang sebelumnya ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar dan terkoreksi oleh Mahkamah Konsititusi, DPD RI berpendapat, Pemerintah harus mempertimbangkan berbagai hal antara lain aspek kemudahan investasi, insentif fiskal dan pajak dan subsidi energi panas bumi. Selain penentuan dan mekanisme harga yang mempertimbangkan subsidi energi langsung untuk panas bumi, DPD RI berpendapat bahwa saatnya memprioritaskan kepentingan pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri dan mengkonsider energi panas bumi sebagai energi yang disubsidi selain bahan bakar fosil, dalam rangka mencapai tingkat ketahanan/resiliensi energi.

Selanjutnya, DPD RI juga berpendapat bahwa penetapan harga energi panas bumi harus melibatkan Pemerintah Daerah yang memiliki potensi panas bumi. Di sisi lain, Pemerintah Daerah harus mendapatkan perlakuan khusus terutama dari sisi pemanfaatannya.

Pengaturan pokok lainnya terkait dengn penentuan harga dan pemanfaatan energi panas bumi, diatur dalam Pasal 12 yaitu “Pengaturan harga energi Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Dalam pandangan DPD RI, permasalahan harga energi dan pemanfaatan pengusahaan panas bumi di daerah yang diatur dengan Peraturan Pemerintah berpotensi tidak dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh daerah.

(8)

Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, harga energi untuk pemanfaatan langsung harus dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah. Di sisi lainnya, harga energi yang terkait dengan pemanfaatan langsung energi panas bumi sebaiknya ditentukan langsung oleh Pemerintah Daerah melalui BUMD atau Badan Layanan Umum Daerah, dan tidak hanya dikelola oleh BUMN dan Badan Layanan Umum sebagaimana dijelaskan dalam pasal 22 yaitu: “pemanfaatan panas bumi hanya diberikan kepada BUMN dan Badan Layanan Umum”.

IzIn Panas BumI

Dalam bab pengusahaan panas bumi, klausul mengenai izin panas bumi disebutkan dalam Pasal 20 (1) yaitu: “Setiap pengusahaan Panas Bumi wajib memperoleh Izin Panas Bumi terlebih dahulu”, dan ayat (2) “Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, berdasarkan permohonan dari Badan Usaha”.

Dalam konteks perizinan yang lebih umum, DPD RI berpandangan bahwa, perlu mencermati permasalahan mendasar terkait izin setelah berlakunya otonomi daerah.

Selain perizinan yang harus diarahkan dalam rangka menciptakan kemudahan perizinan, sederhana (satu pintu), jangka waktu penyelesaiannya tidak lama serta berbiaya murah, terdapat pula kecenderungan mengembalikan kewenangan perizinan ke Pemerintah Pusat karena banyaknya masalah tumpang tindih perizinan pasca otonomi daerah diberlakukan. Kecenderungan kewenangan oleh Pemerintah Pusat secara jelas disebutkan dalam pasal 29 ayat (1) Menteri berwenang melakukan penghentian sementara, pencabutan, dan pembatalan Izin Panas Bumi yang dikeluarkan oleh gubernur atau bupati/walikota yang:a. tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan; atau b. berdampak negatif terhadap ekonomi, keamanan, dan/atau sosial secara nasional, dan ayat (2) Menteri dalam melakukan penghentian sementara, pencabutan, dan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.

Hal serupa dapat ditemukan pada implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU Pertambangan memberikan kewenangan kepada Menteri, Gubernur, Walikota dan Bupati dalam penerbitan wilayah kerja izin usaha pertambangan (IUP). Namun IUP harus berada dalam wilayah pertambangan (WP) yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan penetapan permintakatan tataruang nasional. Dalam UU Pertambangan juga membagi IUP menjadi dua yaitu IUP ekplorasi dan IUP Produksi. Pada titik ini, proses perizinan dapat ditarik kembali kewenangannya oleh Pemerintah Pusat secara sentralistik melalui mekanisme clean dan clear. Melalui mekanisme dan serfifikasi clear dan clean, Pemerintah dapat membatalkan ratusan bahkan ribuan IUP yang pernah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.

Dalam konteks perizinan, RUU Panas Bumi harus secara tegas membatasi atau membuka ruang bagi penyelenggara Pemerintahan di Daerah. Jika selama ini dipandang birokrasi perizinan di daerah tidak efektif dijalankan, maka DPD RI berpendapat disain perizinan sebaiknya dikembalikan kepada Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat menjadi penting memberi batas tegas kewenangan perizinan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam RUU ini.

Di segi lainnya, DPD RI secara tegas pula berpendapat bahwa mekanisme perizinan dalam RUU Panas Bumi harus memperhatikan aspek kemudahan, efisiensi dan tidak boleh menghambat investasi di daerah. Aspek kemudahan dan penciptaan iklim investasi antara lain dengan mempertimbangkan jangka waktu eksplorasi 5 tahun (termasuk perpanjangan dan studi kelayakan), maka jangka waktu pengusahaan panas bumi seharusnya adalah 40 tahun (5 tahun eksplorasi dan 35 tahun eksplotasi) dan bukan 30 tahun sebagaimana disebutkan dalam pasal 23 ayat 2 dan 7 dalam RUU Panas Bumi.

Selain kepentingan investasi dan kemudahan izin di daerah, RUU Panas Bumi harus secara jelas memperhatikan hal-hal yang dapat mengakibatkan tumpang tindih perizinan seperti yang terjadi pada izin usaha pertambangan dan tidak memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Pusat melalui kewenangan Menteri yang dapat mencabut, membatalkan izin pengusahaan panas bumi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.

IzIn Pemanfaatan Panas BumI Pada Kawasan hutan (lIndung, KonseRvasI dan PRoduKsI)

DPD RI berpandangan bahwa, meskipun nomenklatur “pertambangan” dalam UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi telah mengalami perubahan menjadi

(9)

nomenklatur “pengusahaan” dalam RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi yang merupakan jangkar perubahannya, maka dalam RUU Perubahan ini, tidak serta merta dapat menghilangkan konjungsi perizinan terkait pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria untuk non-kawasan hutan, yang dalam RUU ini disebutkan pada pasal 13 ayat 2, yaitu “Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan pada tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, kawasan perairan, dan/

atau Kawasan Hutan”, pasal 21 ayat (2) tentang perlunya izin kawasan hutan oleh penyelenggara pemerintahan di bidang kehutanan.

Dalam hal perizinan terkait pemanfaatan kawasan hutan konservasi dan penggunaan kawasan hutan produksi, DPD RI berpendapat bahwa pasal 21 ayat 2 perlu mencantumkan izin pinjam pakai untuk menggunakan kawasan hutan produksi atau kawasan hutan lindung; atau izin untuk memanfaatkan kawasan hutan konservasi.

Izin memanfaatkan kawasan hutan konservasi dilakukan melalui mekanisme sesuai dengan tata cara dan persyaratan penggunaan kawasan sebagaimana diberlakukan pada hutan lindung.

Namun demikian, konkretisasi tahapan perizinan ini, tetap mempertimbangkan aspek kemudahan dan tidak boleh di”birokratisasikan” yang seringkali tampak pada penyelenggara pemerintahan bidang kehutanan dalam prakteknya.

E. BaB Iv Penggunaan lahan

Terkait dengan pengadaan tanah untuk pengusahaan panas bumi disebutkan dalam pasal 34 ayat (3) RUU Panas Bumi bahwa “Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi dilakukan oleh badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, penyediaan tanah dilakukan dengan cara pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum”.

DPD RI berpandangan bahwa RUU ini tampak membedakan penyelesaian pengadaan tanah yang diusahakan oleh swasta dan pengadaan tanah yang diusahakan oleh Negara.

Tatacara pengadaan tanah untuk pembangunan, khususnya untuk pengusahaan panas bumi harus sedemikian rupa memperhatikan aspek sosial masyarakat, aspek ekonomi pembangunan daerah dan indigenous lokal. Dalam hal pengadaan tanah untuk pengusahaan panas bumi, DPD RI berpendapat bahwa untuk mencapai kepentingan sosial, ekonomi dan lingkungan sekaligus, pengadaan tanah harus dapat meminimasi hal-hal yang dapat berpotensi menimbulkan konflik lahan. Selain meminimasi konflik, DPD RI berpendapat bahwa pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan untuk pengusahaan panas bumi, perlu memperhatikan aspek sosial masyarakat melalui pengembangan kapasitas masyarakat.

Di sisi lainnya, perlu memperhatikan ganti lahan hak atas tanah, tanah ulayat dan kawasan, yang dinyatakan dalam Pasal 34 ayat (1) bahwa “Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat dan/atau Kawasan Hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang Izin Pemanfaatan Langsung atau pemegang Izin Panas Bumi yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemakai tanah di atas tanah Negara atau pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, dan Pasal 34 ayat 2: Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak.

DPD RI berpendapat, dalam hal penyelesaian penyelesaian sengketa tanah, ganti lahan hak atas tanah, tanah ulayat dan kawasan harus didasarkan pada kepentingan bersama dan menghindari kepentingan kelompok dan golongan. Selain menempatkan prinsip kepentingan bersama, DPD RI berpendapat bahwa frasa “ganti rugi yang layak”

dihilangkan untuk memberikan kepastian dan menghilangkan ambiguitas.

F. BaB v haK dan KewajIBan PaRtIcIPatIng InteRest (PI)

Dalam Bab V tentang Hak dan Kewajiban, pada bagian ketiga mengenai Hak Pemegang Izin Panas Bumi, Pasal 44 ayat (1), disebutkan:

“Pemegang Izin Panas Bumi yang berbentuk badan usaha swasta wajib menawarkan participating interest paling banyak sebesar 10% (sepuluh persen) kepada badan usaha milik daerah atau badan usaha milik negara paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak disetujuinya rencana pengembangan yang pertama kali”.

(10)

ayat (2)

“Pernyataan minat dan kesanggupan untuk mengambil participating interest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh badan usaha milik daerah atau badan usaha milik negara dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penawaran dari pemegang Izin Panas Bumi”.

DPD RI berpandangan bahwa participating interest yang dalam RUU Panas Bumi, belum dijelaskan dalam bab ketentuan umum. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat bahwa participating interest hendaknya terlebih dahulu didefinisikan dalam bab ketentuan umum untuk memberikan kejelasan pengertian sebagaimana didefinisikan dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 257/PMK.001/2011 dengan pengertian “hak dan kewajiban sebagai Kontraktor Kontrak Kerjasama, baik secara, langsung maupun tidak langsung pada suatu wilayah kerja”.

Selain kejelasan pengertian participating interest, DPD RI berpendapat bahwa participating interest yang diberikan kepada badan usaha milik daerah dan BUMN harus memperhatikan kemampuan keuangan negara dan daerah.

Sebagaimana diketahui PI membutuhkan dana yang cukup besar. PI menuntut BUMD dan BUMN memenuhi cash call (penyediaan sejumlah dana) yang mencakup biaya investasi dan risiko eksplorasi yang cukup besar, yang pada prakteknya pendanaanya sulit dipenuhi oleh BUMN dan BUMD.

Pada prinsipnya, DPD RI berpendapat untuk memenuhi kepentingan daerah maka diperlukan mekanisme pemungutan langsung oleh Pemerintah Daerah dengan memberikan porsi yang lebih ke daerah atas pajak-pajak pusat misalnya dengan pajak penghasilan. Kepentingan daerah untuk mendapatkan manfaat adanya usaha Panasbumi sesudah kegiatan usaha berhasil dapat diperoleh dengan cara lain, antara lain berupa production bonus yang dapat diatur dalam mekanisme PI.

InsentIf PajaK

Pada Pasal 46 disebutkan “Pemerintah dapat memberikan kemudahan fiskal dan nonfiskal kepada Badan Usaha untuk mengembangkan dan memanfaatkan Panas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

DPD RI memandang, permasalahan juga terkait dengan belum adanya kejelasan mengenai insentif pajak dan bea masuk sebagai bagian dari insentif fiskal, baik keringanan bea masuk terhadap teknologi panas bumi yang investasinya masih sangat mahal maupun keringanan pajak lainnya yang memungkinkan maksimasi pemanfaatan potensi panas bumi. Selain keringanan beamasuk dan pajak, juga tidak adanya jaminan resiko investasi seperti mekanisme cost recoevry dalam kontrak minyak dan gas bumi yang menyebabkan disinsentif investasi. Untuk kegiatan pengusahaan Panas Bumi yang menggunakan basis royalty, semua resiko pengembangan proyek panas bumi menjadi resiko pengembang. Pemerintah menerima manfaat royalty .

Dalam kaitan insentif pajak, DPD RI berpendapat, RUU Panas Bumi perlu secara tegas mengatur jenis pajak, insentif pajak terutama karena peraturan perpajakan yang seringkali berubah, yang dapat berdampak pada aspek kontraktual investasi. Selain ketegasan dalam aspek kontraktual, diperlukan standing position geothermal dengan bauran energi nasional, sehingga pengusahaan panas bumi tidak hanya dijadikan sumber pendapatan Negara sebagaimana Migas dan Minerba, namu Pengembangan Panas bumi perlu didorong sebagai bagian dari konservasi dan diversifikasi energi nasional mewujudkan ketahanan energi seperti diamanatkan dalam UU Energi.

G. BaB vI PemBInaan dan Pengawasan

Dalam bab pembinaan dan pengawasan, DPD RI berpandangan bahwa pengawasan dan pembinaan perlu dilakukan secara bersama sama oleh semua pihak dan berkesinambungan. Oleh karena itu, DPRI berpendapat dalam rangka meningkatkan pembinaan dan pengawasan, maka dalam RUU ini perlu mengatur tentang peran serta masyarakat dalam bab tersendiri. Pembinaan dan pengawasan tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah, namun masyarakat dapat diikut sertakan baik melalui program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan pengusahaan panas bumi maupun melalui partisipasi aktif masyarakat. Selain itu, RUU ini harus pula memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat sekitar, baik dalam bentuk pengembangan kapasitas masyarakat maupun program pemberdayaan lainnya.

Terkait peran masyarakat, DPD RI berpendapat pula, bahwa yang merupakan bagian terpenting dari peran masyarakat adalah feedback atau umpan balik yang memberi dampak positif kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain umpan balik, perlu memerhatikan indigeneous people yang dikenal sebagai masyarakat adat

(11)

sebagai perwujudan dari peran aktif masyarakat. Lebih dari peran aktif masyarakat, pendekatan indigeneous people sesungguhnya dapat diterapkan sebagai suatu pendekatan sosial yang selama ini dikesampingkan, selain pendekatan struktural dan pendekatan kuantitatif yang telah banyak dilakukan.

H. BaB vII data

Terkait data dan informasi panas bumi, DPD RI berpandangan bahwa, perlu memperhatikan keberadaan Badan Informasi Geospasial (BIG) yang telah dibentuk menurut ketentuan UU Informasi Geospasial. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, seluruh kepentingan akan ketersediaan, pengolahan dan penggunaan data terkait pengusahaan panas bumi harus dikoordinasikan dan disinkronisasikan dengan BIG.

Hal ini untuk menghindari adanya redundasi penggunaan dan pengolahan data. Selain itu, RUU ini perlu melakukan langkah-langkah yang progressif dalam mengoptimasi dan memaksimasi percepatan pengembangan sumber daya manusia bidang pengusahaan panas bumi baik melalui pendidikan dan pelatihan maupun pengalihan ilmu pengetahuan teknologi, khususnya yang terkait dengan kemampuan olah data dan diseminasi informasi panas bumi.

I. BaB vIII PenyIdIKan

Dalam pandangan DPD RI, yang perlu diperhatikan terkait penyidikan adalah kewenangan yang seringkali tumpangtindih antara Kepolisian Negara RI dan Penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dalam melakukan penyidikan tindak pidana dalam kegiatan usaha panas bumi. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat diperlukan koordinasi antara Kepolisian Negara RI dan PPNS dalam melakukan proses penyidikan tindak pidana.

J. BaB IX Ketentuan PIdana

DPD RI berpandangan, terkait ketentuan pidana dalam tindak kejahatan yang bersumber dari pengusahaan panas bumi harus dibedakan dengan ketentuan pidana yang telah banyak diatur dalam ketentuan UU lain terutama KUHAP. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat ketentuan pidana sebaiknya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku misalnya sanksi dan ketentuan dalam KUHAP atau mengikuti ketentuan yang diatur dalam RUU Panas Bumi dan meminimasi kemungkinan terjadinya penerapan pasal yang tumpangtindih.

K. BaB X Ketentuan PeRalIhan

Dalam Bab ketentuan peralihan disebutkan pada pasal 59 huruf (c) bahwa semua izin pengusahaan sumber daya Panas Bumi yang telah ada / sebelum berlakunya Undang- Undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin, dengan ketentuan harus melakukan Eksploitasi paling lambat 31 Desember 2014.

DPD RI berpandangan bahwa terdapat berbagai tahapan eksploitasi yang sedang berlangsung saat ini, sulit memenuhi tenggat waktu paling lambat 31 Desember 2014 yang ditetapkan dalam RUU ini. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, untuk menghindari kerugian biaya ekploitasi, maka perlu dipertimbangkan pengusahaan yang saat ini masih dalam tahap eksplorasi untuk diberikan masa tenggang eksplorasi sampai dengan 5 tahun.

L. BaB XI Ketentuan PenutuP

DPD RI berpandangan, bab ketentuan penutup yang umumnya mendalilkan bahwa:

“semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan undang- undang ini harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan”, belum sepenuhnya dapat memberikan kepastian hukum dalam pemberlakuan suatu undang-undang.

Dalam RUU Panas Bumi, pasal yang memuat klausul tenggat waktu penyelesaian suatu Peraturan Pemerintah (PP) bahkan ditiadakan. Dalam pandangan DPD RI peraturan perundangan undangan seperti peraturan pemerintah harus mempertimbangkan batas waktu penyelesaian misalnya dalam jangkan waktu dua tahun.

Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, RUU Panas Bumi perlu memuat klausul batas waktu penyelaian PP oleh Pemerintah. Hal ini penting untuk menghindari pasal

“kosong” yang seringkali ditemukan dalam berbagai RUU Inisiatif Pemerintah, yang bahkan sampai dengan 5 atau 10 tahun amanah penyelesaian suatu PP tidak dapat dipenuhi.

Dalam RUU Panas bumi terdapat 13 Pasal yang mengamanahkan PP, 12 pasal diantaranya menggunakan, sepanjang frasa diatur dalam peraturan pemerintah dan 1 pasal menggunakan sepanjang frasa diatur dengan peraturan pemerintah. Selain perlunya batas waktu penyelesaian PP, DPD RI berpendapat, DPD RI dan DPR RI, baik secara bersama sama maupun secara sendiri-sendiri, harus mengawasi dan memantau kinerja Pemerintahan dalam penetapan suatu Peraturan Pemerintah, sebagaimana fungsi pengawasan yang diamanatkan dalam UU MD3. Selain pengawasan, perlu dipertimbangkan sanksi kepada Pemerintah RI (Departemen ESDM RI) jika tenggat waktu penyelesaiaan suatu PP yang ditetapkan dalam RUU Panas Bumi melampaui batas yang ditentukan.

(12)

III. KesImPulan

A. Bahwa setelah melakukan kajian dan analisis terhadap substansi RUU tentang Panas Bumi, maka, DPD RI dengan ini menyatakan, bahwa RUU Panas Bumi yang merupakan RUU usul inisiatif Pemerintah RI, untuk dapat diteruskan ke tahapan pembahasan selanjutnya baik secara mutatis mutandis maupun dengan mentaati peraturan tentang pembentukan perundang-undangan dengan mempertimbangkan secara seksama atas Pandangan dan Pendapat yang telah disampaikan oleh DPD RI.

B. Demikian Pandangan dan Pendapat DPD RI tentang RUU Panas Bumi, semoga Tuhan YME senantiasa memberikan petunjuk dalam setiap upaya untuk memajukan bangsa dan Negara tercinta ini.

Jakarta, 20 Desember 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

DR. LAODE IDA

(13)

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RUU PANAS BUMI DARI PEMERINTAH

No Naskah RUU Panas Bumi

DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan

1. RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR… TAHUN…

TENTANG PANAS BUMI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR… TAHUN…

TENTANG PANAS BUMI 2. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Pasal 1

Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan :

1. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi.

2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap.

3. Wilayah kerja panas bumi, yang selanjutrnya disebut wilayah kerja adalah wilayah dengan batas batas koordinat tertentu untuk melakukan pengusahaan panas bumi.

4. Izin panas bumi adalah izin untuk melakukan pengusahaan Panas bumi pada wilayah kerja tertentu.

5. Izin pemanfaatan langsung adalah izin untuk melakukan pengusahaan panas bumi pada lokasi tertentu untruk pemanfaatan langsung.

6. Survey pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan geokimia untuk memperkirakan letak dan adanya sumber daya panas bumi.

7. Ekplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur ekplorasi yang bertujuan untuk memperoleh informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan panas bumi.

8. Studi kelayakan adalah kajian untuk memperoleh informasi secara rinci terhadap seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan atas suatu rencana usaha dan /atau kegiatan pemanfaatan Panas bumi yang diusulkan.

Dalam pasal 1 disebutkan definisi panas bumi adalah “sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi”. Dalam pandangan DPD RI, definisi panas bumi yang disebutkan pada pasal 1 RUU Panas Bumi yang secara deduktif, menggabungkan, sepanjang frasa

“...bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi”, berpotensi menimbulkan ambiguitas dan penafsiran yang berbeda dari berbagai pihak, yang pada gilirannya dapat menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, frasa “...bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi” dihilangkan untuk menghindari tumpang tindih pengertian, terutama berbagai definsi yang relevan dalam Undang-Undang lain yang menyebutkan definisi mineral dan gas.

asas

Dalam bab ketentuan umum disebutkan berbagai asas antara lain asas optimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya energi dan asas keberlanjutan. DPD RI berpandangan bahwa asas optimalisasi ekonomi dan asas keberlanjutan adalah dua asas yang saling bertentangan. Optimalisasi sumberdaya alam berlawanan dengan asas keberlanjutan. Jika suatu input sumberdaya alam dikelola secara optimal, maka cadangan terbukti panas bumi akan segera habis dan asas keberlanjutannya tidak dapat dicapai, karena dalam prinsip keberlanjutan dikenal daya dukung (carrying capacity) atau maximum suistanability yield.

(14)

No Naskah RUU Panas Bumi

DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan

9. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada suatu wilayah kerja tertentu yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi,pembangunan fasilitas lapangan dan penunjangnya, serta operasi produksi panas bumi.

10. Pemanfaatan langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan panas bumi secara langsung tanpa melakukan proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi jenis energi lain untuk keperluan nonlistrik.

11. Pemanfaatan tidak langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan panas bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik.

12. Badan Usaha adalah badan hukum yang berusaha di bidang panas bumi yang berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau perseroan terbatas dan didirikan berdasarkan hukum indonesia.

13. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah Negara republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

14. Pemerintah daerah adlah gubernur, Bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.

15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang panas bumi.

Oleh karena itu, DPD RI berpendapat asas optimalisasi sebaiknya dihilangkan dan hanya menerapkan asas keberlanjutan sumberdaya alam untuk tercapai suatu pemanfaatan energi dalam jangkapanjang dan menjamin suatu ketersediaan energi secara berkelanjutan.

Hal ini menjadi penting karena selama ini, pemanfaatan sumber daya alam dianggap sebagai barang gratis, sehingga ekternalitas negatif dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam tidak pernah diperhitungkan, yang mengakibatkan tergerusnya sumberdaya alam dan mengancam ketersediaan energi masa depan seperi yang terjadi pada industri hulu minyak, gas bumi dan pertambangan.

tujuan

Dalam pasal 4 disebutkan pada huruf (c) bahwa penyelenggaraan kegiatan panas bumi bertujuan meningkatkan pemanfaatan energi bersih yang ramah lingkungan guna mengurangi emisi gas rumah kaca. DPD RI berpandangan bahwa penggunaan istilah emisi gas rumah kaca tidak terkait langsung dengan pemanfaatan panas bumi, sebagaimana diketahui aktivitas panas bumi tidak berdampak signifikan pada pencemaran, baik pencemaran udara, tanah, maupun air yang disebabkan oleh ekstraksi karbon berlebihan. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat istilah emisi gas rumah kaca diganti dengan energi yang rendah karbon.

Energi rendah karbon lebih berhubungan dengan keamanan dan keselamatan manusia sebagai pengguna energi, sebagaimana pula telah dicantumkan dalam pasal 3 tentang asas dalam RUU ini yaitu asas keamanan dan keselamatan.

(15)

No Naskah RUU Panas Bumi

DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan

Pasal 5

(1) Penyelenggaraan panas bumi oleh pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dilakukan terhadap panas bumi yang berada pada lintas wilayah provinsi, kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi, dan wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas.

(2) Penyelenggaraan panas bumi oleh pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (20) dilakukan terhadap Panas Bumi yang berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi, kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi, dan wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

(3) Penyelenggaran Panas Bumi oleh pemerintah kabupaten/

kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dilakukan terhadap panas bumi yang berada dalam wilayah kabupaten/kota, Kawasan Hutan Produksi, Kawasan Hutan Lindung, dan Kawasan Hutan Konservasi, dan wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari wilayah laut kewenngan provinsi.

BaB II tentang PenyelenggaRan Panas BumI

Dalam bab penyelenggaraaan panas bumi dijelaskan penyelenggaraan dan kewenangan panas bumi oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/

Kota. DPD RI berpandangan bahwa dalam prakteknya seringkali terdapat tumpang tindih penyelenggaraan dan kewenangan.

Tumpang tindih penyelenggaraan dan kewenangan terkait dengan hak penguasaan dalam panas bumi sebagimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2): Penguasaan Panas Bumi oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

DPD RI berpendapat, meskipun di-era desentralisasi daerah perlu diberikan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam, namum untuk memberikan kepastian pengusahaan yang meliputi aspek kontraktual dalam pengelolaan sumberdaya alam, maka diperlukan penyederhanaan tata kelola penguasaan dan pengusahaan sumber daya panasbumi. Penguasaan sumber energi panas bumi dikuasakan oleh negara ke Pemerintah Pusat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, sehingga dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat khususnya di daerah sumber energi tersebut dihasilkan.

Penguasaan sumberdaya alam oleh Negara sesuai dengan prinsip prinsip kepemilikan dan penguasaan dalam sumber daya alam yang diterapkan di banyak negara dan kewenangan penguasaan dan pengusahaan (regelendaad) Panas Bumi oleh Negara merupakan “management right” sesuai dengan UUD 1945 dan sebagaimana halnya terjadi di sektor hulu migas

(16)

No Naskah RUU Panas Bumi

DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan

Pasal 12

Pengaturan harga energi panas bumi untuk pemanfaatan langsung diatur oleh peraturan pemerintah.

Pasal 19

(1) Harga energi panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Ketentuan mengenai tata cara penetapan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatus dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 20

(1) Setiap pengusahaan Panas Bumi wajib memperoleh Izin Panas Bumi terlebih dahulu.

(2) Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan hasil penawaran wilayah kerja.

Pasal 22

(1) Pemerintah dalam melakukan kegiatan ekplorasi, eksploitasi dan/

atau pemanfaatan dapat menugaskan badan layanan umum atau badan usaha milik negara yang berusaha di bidang panas bumi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan/

atau pemanfaatan yang dilakukan oleh pemerintah diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah Pasal 23

(1) Izin Panas Bumi diberikan untuk melakukan kegiatan Eksplorasi, Eksploitasi dan pemanfaatan.

(2) Kegiatan Ekplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak Izin Panas Bumi diterbitkan.

(3) Jangka waktu Eksplorasi sebagaimna dimaksud ada ayat (2) termasuk untuk kegiatan Studi Kelayakan.

Bab III tentang Pengusahaan Panas Bumi Harga Energi Panas Bumi

Sebagaimana diketahui, permasalahan utama pengembangan energi terbarukan termasuk energi panas bumi, yaitu harga jual yang terlalu murah dan tidak adanya insentif dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sehingga kurang menarik untuk dikembangkan, baik oleh investor maupun oleh Pemerintah Daerah.

Dalam hal harga panas bumi, disebutkan di RUU Panas Bumi pada Pasal 19 ayat (1) “Harga energi Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung ditetapkan oleh Pemerintah”, dan ayat (2) Ketentuan mengenai tata cara penetapan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

DPD RI berpandangan bahwa harga energi panas bumi yang ditentukan oleh Pemerintah berpotensi ditetapkan berdasarkan mekasnisme pasar atau penentuan melalui bisnis to bisnis. Untuk menghindari kemungkinan penentuan harga yang keliru seperti penetapan harga minyak dan gas bumi yang sebelumnya ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar dan terkoreksi oleh Mahkamah Konsititusi, DPD RI berpendapat, Pemerintah harus mempertimbangkan berbagai hal antara lain aspek kemudahan investasi, insentif fiskal dan pajak dan subsidi energi panas bumi.

Selain penentuan dan mekanisme harga yang mempertimbangkan subsidi energi langsung untuk panas bumi, DPD RI berpendapat bahwa saatnya memprioritaskan kepentingan pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri dan mengkonsider energi panas bumi sebagai energi yang disubsidi selain bahan bakar fosil, dalam rangka mencapai tingkat ketahanan/resiliensi energi.

Selanjutnya, DPD RI juga berpendapat bahwa penetapan harga energi panas bumi harus melibatkan Pemerintah Daerah yang memiliki potensi panas bumi. Di sisi lain, Pemerintah Daerah harus mendapatkan perlakuan khusus terutama dari sisi pemanfaatannya.

Pengaturan pokok lainnya terkait dengn penentuan harga dan pemanfaatan energi panas bumi, diatur dalam Pasal 12 yaitu

“Pengaturan harga energi Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Dalam pandangan DPD RI, permasalahan harga energi dan pemanfaatan pengusahaan

(17)

No Naskah RUU Panas Bumi

DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan

(4) Sebelum dilakukan pengeboran sumur Eksplorasi pemegang izin Panas Bumi wajib memperoleh izin lingkungan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Gubernur, atau Bupati//Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(5) Sebelum dilakukan tahapan Eksploitasi pemegang izin Panas Bumi wajib memperoleh izin lingkungan dari Menteri yang menyelanggarakan urusan pemerintahan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Gubernur, atau Bupati//Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(6) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk dalam studi kelayakan.

(7) Kegiatan ekploitasi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memilki jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak Ekploitasi mulai dilakukan.

(8) Kegiatan Eksploitasi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dimulai sejak studi kelayakan disetujui oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(9) Sebelum mulai pada tahapan Eksploitasi pemegang izin Panas Bumi wajib menyampaikan hasil studi Kelayakan kepada Menteri, gubernur, atau Bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk mendapatkan persetujuan

(10) Dalam hal Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangnnya memberi persetujuan Studi Kelayakan harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri.

panas bumi di daerah yang diatur dengan Peraturan Pemerintah berpotensi tidak dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh daerah.

Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, harga energi untuk pemanfaatan langsung harus dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah. Di sisi lainnya, harga energi yang terkait dengan pemanfaatan langsung energi panas bumi sebaiknya ditentukan langsung oleh Pemerintah Daerah melalui BUMD atau Badan Layanan Umum Daerah, dan tidak hanya dikelola oleh BUMN dan Badan Layanan Umum sebagaimana dijelaskan dalam pasal 22 yaitu: “pemanfaatan panas bumi hanya diberikan kepada BUMN dan Badan Layanan Umum”.

Izin Panas Bumi

Dalam bab pengusahaan panas bumi, klausul mengenai izin panas bumi disebutkan dalam Pasal 20 (1) yaitu: “Setiap pengusahaan Panas Bumi wajib memperoleh Izin Panas Bumi terlebih dahulu”, dan ayat (2) “Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, berdasarkan permohonan dari Badan Usaha”.Dalam konteks perizinan yang lebih umum, DPD RI berpandangan bahwa, perlu mencermati permasalahan mendasar terkait izin setelah berlakunya otonomi daerah.

Selain perizinan yang harus diarahkan dalam rangka menciptakan kemudahan perizinan, sederhana (satu pintu), jangka waktu penyelesaiannya tidak lama serta berbiaya murah, terdapat pula kecenderungan mengembalikan kewenangan perizinan ke Pemerintah Pusat karena banyaknya masalah tumpang tindih perizinan pasca otonomi daerah diberlakukan. Kecenderungan kewenangan oleh Pemerintah Pusat secara jelas disebutkan dalam pasal 29 ayat (1) Menteri berwenang melakukan penghentian sementara,pencabutan, dan pembatalan Izin Panas Bumi yang dikeluarkan oleh gubernur atau bupati/walikota yang:a.

tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;atau b. berdampak negatif terhadap ekonomi, keamanan, dan/

atau sosial secara nasional, dan ayat (2) Menteri dalam melakukan penghentian sementara, pencabutan, dan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.

Hal serupa dapat ditemukan pada implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

UU Pertambangan memberikan kewenangan kepada Menteri, Gubernur, Walikota dan Bupati dalam penerbitan wilayah kerja izin usaha pertambangan (IUP). Namun IUP harus berada dalam wilayah pertambangan (WP) yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan penetapan permintakatan tataruang nasional.

Dalam UU Pertambangan juga membagi IUP menjadi dua yaitu IUP ekplorasi dan IUP Produksi. Pada titik ini, proses perizinan

(18)

No Naskah RUU Panas Bumi

DPR RI Tanggapan DPD RI Usulan Perubahan

(11) Pemegang izin Panas Bumi dapat mengajukan perpanjangan izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling cepat 5 (lima) tahun dan paling lambat 3 (tiga) tahun sebelum izin Panas Bumi berakhir.

(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat (8) serta persetujuan Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 29

(1) Menteri berwenang melakukan penghentian sementara, pencabutan, dan pembatalan izin Panas Bumi yang dikeluarkan oleh Gubernur atau Bupati/

walikota yang :

a. Tidak sesuai dengan Peraturan Perundang- undangan atau b. Berdampak negatif

terhadap ekonomi, keamanan, dan/atau sosial secara nasional.

(2) Menteri dalam melakukan penghentian sementara, pencabutan, dan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.

dapat ditarik kembali kewenangannya oleh Pemerintah Pusat secara sentralistik melalui mekanisme clean dan clear. Melalui mekanisme dan serfifikasi clear dan clean, Pemerintah dapat membatalkan ratusan bahkan ribuan IUP yang pernah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.

Dalam konteks perizinan, RUU Panas Bumi harus secara tegas membatasi atau membuka ruang bagi penyelenggara Pemerintahan di Daerah. Jika selama ini dipandang birokrasi perizinan di daerah tidak efektif dijalankan, maka DPD RI berpendapat disain perizinan sebaiknya dikembalikan kepada Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat menjadi penting memberi batas tegas kewenangan perizinan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam RUU ini.

Di segi lainnya, DPD RI secara tegas pula berpendapat bahwa mekanisme perizinan dalam RUU Panas Bumi harus memperhatikan aspek kemudahan, efisiensi dan tidak boleh menghambat investasi di daerah. Aspek kemudahan dan penciptaan iklim investasi antara lain dengan mempertimbangkan jangka waktu eksplorasi 5 tahun (termasuk perpanjangan dan studi kelayakan), maka jangka waktu pengusahaan panas bumi seharusnya adalah 40 tahun (5 tahun eksplorasi dan 35 tahun eksplotasi) dan bukan 30 tahun sebagaimana disebutkan dalam pasal 23 ayat 2 dan 7 dalam RUU Panas Bumi.

Selain kepentingan investasi dan kemudahan izin di daerah, RUU Panas Bumi harus secara jelas memperhatikan hal-hal yang dapat mengakibatkan tumpang tindih perizinan seperti yang terjadi pada izin usaha pertambangan dan tidak memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Pusat melalui kewenangan Menteri yang dapat mencabut, membatalkan izin pengusahaan panas bumi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.

Izin Pemanfaatan PAnas Bumi Pada Kawasan Hutan (Lindung, Konservasi dan Produksi)

DPD RI berpandangan bahwa, meskipun nomenklatur “pertambangan” dalam UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi telah mengalami perubahan menjadi nomenklatur “pengusahaan” dalam RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi yang merupakan jangkar perubahannya, maka dalam RUU Perubahan ini, tidak serta merta dapat menghilangkan konjungsi perizinan terkait pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria untuk non-kawasan hutan, yang dalam RUU ini disebutkan pada pasal 13 ayat 2, yaitu “Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan pada tanah negara, hak atas tanah, tanah

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh perubahan penggunaan lahan hutan alam menjadi HTI (Hutan Tanaman Industri) Acacia crassicarpa terhadap sebaran partikel tanah gambut disajikan pada

(1) Selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 33, kontrak kerja konstruksi untuk kegiatan pelaksanaan dan pekerjaan konstruksi, dapat memuat ketentuan

Berdasarkan pendekatan yang menjadi pilihan dalam penelitian ini, pada penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu terpadu berbasis

Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah lumpur berminyak dari operasional waste pit PT Pertamina UBEP Tanjung sebagai bahan campuran dalam pembuatan bata beton

Apabila dikonfirmasikan dengan KKM, maka kemampuan menentukan unsur intrinsik cerpen melalui model pembelajaran inkuiri siswa kelas VIII B SMP Negeri 10 Kota Palopo, yaitu yang

Variabel LDR,NPL,IRR,ROA dan CAR secara bersama-sama memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap Efisiensi Biaya yang diukur dengan menggunakan metode DEA pada Bank

Skripsi dengan judul Analisis Pengelolaan Laboratorium dan Sistem Evaluasi Kegiatan Praktikum Fisika dalam Proses Pembelajaran (Studi Kasus pada SMP Pondok Modern

Dari Kecamatan Padang Barat diambil titik sampel mikrotremor tanah sebanyak 17 titik (warna kuning) dengan grid 600 m dan merupakan daerah yang sangat dekat