• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/DPD RI/IV/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/DPD RI/IV/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG

PANDANGAN DAN PENDAPAT

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG JASA KONSTRUKSI

JAKARTA

2013

(2)
(3)

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG

PANDANGAN DAN PENDAPAT

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG JASA KONSTRUKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa jasa konstruksi mempunyai peran penting di dalam pembangunan nasional serta mendukung pertumbuhan dan perkembangan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa pelayanan jasa konstruksi merupakan hal fundamental yang harus diatur oleh negara dengan mewujudkan pelayanan jasa konstruksi yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan dan keamanan bagi masyarakat;

c. bahwa pelaksanaan jasa konstruksi dalam mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi harus dapat menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;

pembentukan; pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;

e. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d diatas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi;

f. bahwa pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud pada huruf e telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi untuk disampaikan dalam pembicaraan Tingkat I bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan

(4)

Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/

DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke 14 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang VI Tahun Sidang 2012-2013 Tanggal 13 Juni 2012

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG- UNDANG TENTANG JASA KONSTRUKSI.

PERTAMA : Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Jalan sebagai bahan pembahasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah.

KEDUA : Isi dan rincian pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama, merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari keputusan KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.ini.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juni 2012

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

DR. LAODE IDA

(5)

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANG

PANDANGAN DAN PENDAPAT

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG JASA KONSTRUKSI

---- I. PENDAHULUAN

Sebagai salah satu lembaga negara dengan fungsi legislasi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22D ayat (2), jo.

Pasal 150 ayat (4) huruf b, jo. Pasal 254 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta memperhatikan Peraturan Tata Tertib DPD RI, maka pada hari ini Dewan Perwakilan Dearah (DPD) RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat terhadap RUU tentang Jasa Konstruksi.

Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis bagi pembangunan nasional.

Hal ini mengingat jasa konstruksi adalah komponen penting dalam pembangunan prasarana maupun sarana fisik yang akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pertumbuhan industri barang dan jasa melalui penyelenggaraan pekerjaan konstruksi turut pula didukung oleh peran jasa konstruksi yang secara nyata mendukung perekonomian nasional dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional serta kemajuan daerah.

Mengingat pentingnya keberadaan jasa konstruksi tersebut, Indonesia sejak tahun 1999 telah mengeluarkan regulasi di tingkat undang-undang yang mengatur mengenai jasa konstruksi yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999. Setelah sekian lama diimplementasikan, evaluasi menunjukkan adanya permasalahan baik menyangkut implementasi aturan di lapangan maupun permasalahan yang menyangkut regulasi itu sendiri terutama mengingat perkembangan zaman dan laju globalisasi ekonomi. Oleh sebab itu maka lahirlah tuntutan untuk merevisi regulasi lama yang akan menjadi penyempurnaan atas kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU tersebut.

Beberapa agenda penyempurnaan atas UU tersebut antara lain masalah lembaga, pengaturan, pengawasan, standar, quality assurance, keselamatan, kegagalan bangunan, kesetaraan pengguna jasa dan penyedia jasa, NSPK, arah perkembangan dan pertumbuhan konstruksi, pelaksanaan evaluasi, yang substansinya mengubah UU Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.

Sesuai dengan Undang – Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, maka dilakukan penggantian terhadap Undang-undang yang lama dan bukan merupakan perubahan atau revisi sebagaimana halnya beberapa UU yang lama cukup dilakukan perubahan bilamana pasal-pasal yang akan disesuaikan tidak mengganti substansi pengaturan sebelumnya.

(6)

tentang Jasa Konstruksi, maka DPD RI menyampaikan pokok-pokok pandangan sebagai berikut;

1. DPD RI berpandangan bahwa penyusunan rancangan undang-undang tentang Jasa Konstruksi ini bukanlah revisi atau perubahan atas peraturan sebelumnya yang dianggap sudah tidak selaras dengan dinamika persoalan penyelenggaraan jasa konstruksi. RUU tentang Jasa Konstruksi adalah pergantian atas undang-undang yang sebelumnya karena secara substansi pengaturan dalam RUU ini telah mengubah secara signifikan pengaturan tentang kelembagaan, pengaturan pengawasan, standar, quality assurance, keselamatan, kegagalan bangunan, kesetaraan pengguna jasa dan penyedia jasa, NSPK, arah perkembangan dan pertumbuhan konstruksi, pelaksanaan evaluasi yang mencakup berbagai aspek mulai dari aspek ekonomi, aspek sosial, budaya, hingga aspek keamanan dan kenyamanan.

2. DPD RI berpandangan RUU tentang Jasa Konstruksi ini hendaknya dapat dijadikan sebagai landasan yuridis bagi penyelenggaraan konstruksi dan usaha jasa penyelenggaraan konstruksi yang menjamin ketertiban dan kepastian hukum sehingga terwujudlah kegiatan Konstruksi Indonesia yang kreatif, inovatif dan berdaya saing serta mampu berkarya lebih optimal baik di dalam maupun luar negeri, upaya ini dimaksudkan untuk terus mendukung Pembangunan Infrastruktur yang berkelanjutan.

3. DPD RI berpendapat bahwa pelayanan jasa konstruksi merupakan hal fundamental yang harus diatur oleh negara dengan mewujudkan pelayanan jasa konstruksi yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan dan keamanan bagi masyarakat dan dikembangkan melalui pendekatan teknologi aplikatif yang ramah lingkungan dan berwawasan pembangunan berkelanjutan.

4. DPD RI berpendapat bahwa dalam upaya peningkatan kualitas pembangunan konstruksi, RUU tentang Jasa Konstruksi harus mampu mengurai masalah lemahnya daya saing usaha jasa konstruksi dalam konteks liberalisasi perdagangan, kesesuaian ASMET dengan CPC (Central Product Clasification), standar sertifikasi yang berdampak pada lemahnya kompetensi, standar keselamatan konstruksi, jaminan pekerjaan konstruksi, penegakan hukum masih lemah, kontrak yang menjamin kesetaraan antara pengguna dan penyedia jasa, arah perketumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi belum terarah, pemisahan yang tegas antara regulator (pemerintah) dan operator (LPJK) ;

5. DPD RI berpendapat bahwa RUU tentang Jasa Konstruksi haruslah memperhatikan keterlibatan aktif dan peran serta riil masyarakat. RUU tentang Jasa Konstruksi harus mampu mengakomodir adanya kesesuaian dan kesamaan perspektif antara pemerintah, swasta dan masyarakat luas. Salah satunya dengan mengedepankan pentingnya pembangunan konstruksi yang diarahkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat (communally accepted) dan melibatkan peran serta aktif masyarakat. Selain itu dalam mewujudkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, masyarakat harus diajak untuk berperan aktif dalam memberikan informasi; pendapat dan saran mengenai jasa konstruksi, pengawasan dalam pelayanan jasa konstruksi dan ikut memberikan sumbangan pemikiran atas berbagai masalah dan kendala dalam pembangunan dan penyelenggaraan jasa konstruksi.

6. Mengingat salah satu substansi pokok perubahan dalam RUU ini yakni terbentuknya Badan Akreditasi Nasional Baik di Tingkat Nasional maupun di tingkat provinsi, yang tugasnya menyelenggarakan sertifikasi kompetensi kerja dan sertifikasi badan usaha di bidang jasa konstruksi yang anggotanya di tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, haruslah memperhatikan kelayakan dan ketersediaan anggaran yang akan dibebankan kepada APBN dan atau APBD. DPD RI berpandangan bahwa Kelembagaan jasa konstruksi yang saat ini terwadahi melalui lembaga pengembangan jasa konstruksi memang dilematis keberadaannya mengingat peranan lembaga tersebut memainkan peran regulator dan operator sekaligus. Namun pemisahan tersebut yang kemudian melahirkan sebuah Badan baru haruslah memperhatikan kebutuhan fiskal dan kecukupan serta ketersediaan anggaran.

7. DPD RI berpandangan bahwa demi terlindunginya keselamatan masyarakat, pengaturan mengenai keselamatan konstruksi dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sejatinya harus diatur secara komprehensif terutama terkait dengan akibat/hasil yang ditimbulkan dari pekerjaan konstruksi yang disebabkan belum dipenuhinya syarat-syarat dan standar teknis keselamatan konstruksi, seperti standar keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan.

B. Pandangan dan Pendapat terhadap Bab/Pasal dan Materi Muatan Rancangan Undang- Undang

1. DPD RI berpendapat bahwa RUU ini adalah pengganti dari Undang-Undang yang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 apabila materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan

(7)

sebagian materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang lama.

2. DPD RI berpandangan bahwa sebaiknya konsiderans mengingat dalam diktum “Mengingat”

juga mencantumkan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana Undang- Undang Jasa Konstruksi sebelumnya karena mengingat Jasa Konstruksi merupakan bagian dari usaha perekonomian.

3. DPD RI berpendapat bahwa Bab I tentang Ketentuan Umum pada Pasal 1 RUU ini masih memerlukan penambahan nomenklatur yang nantinya dijabarkan dalam pasal-pasal batang tubuh yakni nomenklatur “Masyarakat pengembangan jasa konstruksi” atau “Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi” sebagaimana halnya butir 9 yang mengatur definisi

“Badan Akreditasi Jasa Konstruksi”. Hal ini mengingat Bagian Ketentuan Umum merupakan pasal yang memberikan penjelasan mengenai nomenklatur yang substansial di dalam suatu produk Undang-Undang atau nomenklatur yang sering dipakai di dalam keseluruhan pasal.

Meskipun RUU ini mengeliminasi kewenangan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang sebelumnya memiliki kewenangan khusus, seharusnya “Ketentuan Umum”

juga mencantumkan pengertian “Lembaga” dimaksud sebagaimana berulang-ulang disebutkan dalam batang tubuh RUU ini antara lain Pasal 44, Pasal 45, Pasal 58, dan Pasal 59.

4. Dalam hal pengaturan Asas sebagaimana diatur Bab II Pasal 2 RUU ini, DPD RI berpendapat bahwa RUU ini sudah mengakomodir prinsip-prinsip dan asas sesuai dengan prinsip pemberlakuan hukum yakni asas kepastian hukum, keadilan hukum dan asas kemanfaatan hukum. Selain itu, DPD RI berpandangan perlunya dipertimbangkan tambahan azas

“efisiensi berkeadilan.” Azas ini untuk menjamin pembangunan dan penyelenggaraan jasa konstruksi yang nantinya harus dilakukan secara efektif dan efisien.

5. DPD RI berpandapat bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (4) tentang pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan reputasi dan jejak rekam di samping pertimbangan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja; dan kinerja penyedia jasa.

6. DPD RI berpendapat bahwa kata “wajib” dalam Pasal 40 mengandung makna sanksionistik sehingga harus diatur sanksi yang akan ditetapkan bila mana kewajiban tersebut tidak terpenuhi. Padahal dalam ketentuan Pidana RUU ini tidak terdapat sanksi apa pun (sanksi administratif atau pidana) yang akan dikenakan bagi yang melanggar ketentuan atau norma tersebut.

7. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) khususnya pada kata “harus” tidak mengandung makna saknsionistik sehingga tidak dapat diatur pengenaan sanksi yang akan ditetapkan. Padahal dalam Ketentuan Pidana menurut RUU ini (Pasal 92) terdapat ketentuan sanksi pidana yang akan dikenakan bagi para pihak yang melanggar ketentuan ini. DPD RI mengusulkan penggantian redaksi “harus” menjadi kata “wajib” sehingga ada kesesuaian ketetapan sanksi pidana dengan norma yang diatur pasal-pasal dimaksud.

Kata “harus” pada pasal 43 Ayat (1) diusulkan menjadi; “...penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi standar keselamatan konstruksi.” Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011, untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, digunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, pihak yang bersangkutan dijatuhi sanksi. Sementara itu untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, digunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut.

8. DPD RI berpandangan bahwa Bab VI tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi Bagian Keempat, Pasal 44 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) terkait nomenklatur “Lembaga”

pada ayat (3), ayat (4), dan Ayat (5) tersebut berpotensi melanggar prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan karena tidak mengandung kejelasan rumusan “Lembaga”

mana yang dimaksud. Pada Bagian Penjelasan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) tersebut juga hanya tercantum kalimat “cukup jelas”. Sesuai dengan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011, dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang salah satunya meliputi kejelasan rumusan. DPD RI berpendapat Pasal 44 dan 45 ini harus menegaskan lembaga mana yang diberikan otoritas menunjuk dan menetapkan penilai ahli sebagaimana diatur pada bunyi diktum pasal-pasal tersebut.

9. DPD RI berpandangan bahwa kewajiban penilai ahli untuk melaporkan hasil penilaiannya kepada Lembaga dan instansi yang mengeluarkan izin membangun sebagaimana diatur Pasal 45 Ayat (2) khusus pada kata “Lembaga” berpotensi melanggar prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yakni Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 karena tidak mengandung kejelasan rumusan yakni rumusan “Lembaga” yang mana yang dimaksud.

Bagian Penjelasan Pasal 45 ternyata hanya tercantum kalimat “cukup jelas” padahal lembaga yang dimaksud belum secara normatif ditegaskan dan dijelaskan keberadaan dan pengertiannya.

(8)

melakukan proses alih teknologi.

11. Keberadaan “Lembaga Pengembangan” sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Ayat (1) belum tegas dan jelas khusus mengenai nama atau nomenklaturnya karena hanya menyebut lembaga pengembangan yang independen. Sementara pada ayat (2) menyebut istilah “Masyarakat jasa konstruksi.” DPD RI berpendapat bahwa jika memang pilihan namanya adalah “Masyarakat jasa konstruksi” seharusnya ayat (1) menyebut dengan tegas nomenklatur Masyarakat jasa konstruksi yang dimaksud. Istilah Masyarakat Jasa Konstruksi sebenarnya sudah diperkenalkan sebelumnya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

12. DPD RI berpandangan bahwa rujukan penyebutan pada pasal 58 ayat (2) tersebut menimbulkan ambiguitas makna. Hal ini karena istilah “Masyarakat jasa konstruksi”

pada Pasal 58 Ayat (2) tidak tercantum penyebutannya pada ayat sebelumnya (Ayat (1)) sehingga tidak tepat bila pada Pasal 58 Ayat (2) tersebut tercantum rujukan penyebutan “....

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

13. DPD RI berpandangan bahwa pengaturan mengenai lembaga pengembangan sebagaimana diatur Pasal 58 ayat (3) seharusnya memperhatikan Pasal 24 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi. PP tersebut telah mengamanahkan adanya Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang teridri atas Lembaga tingkat Nasional (berkedudukan di ibu kota Negara) dan Lembaga Tingkat Provinsi yang berkedudukan di ibu kota provinsi.

14. DPD RI berpendapat bahwa kata “dapat” pada pasal 58 ayat (3) mengandung makna fakultatif. Artinya, lembaga pengembangan di tingkat propinsi bisa didirikan bisa juga tidak.

Pengaturan semacam ini membutuhkan penjelasan lebih lanjut dalam hal mana propinsi dapat membentuk lembaga pengembangan. Dalam Penjelasan Pasal demi Pasal khusus Pasal 58 tidak dijelaskan lebih lanjut kondisi dan aturan pembentukan lembaga di tingkat propinsi.

15. DPD RI berpendapat bahwa Pasal 59 yang mengatur lembaga pengembangan seharusnya mencantumkan pula ayat khusus yang mengatur pertanggungjawaban Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi baik untuk tingkat nasional maupun propinsi.

16. Bab VIII tentang Kelembagaan khususnya Pasal 61 ayat (1) mengatur keberadaan Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional yang dibentuk oleh pemerintah. Pasal 61 Ayat (2) membuka kemungkinan adanya pembentukan Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Daerah. Artinya nomenklatur Badan tersebut seharusnya tidak hanya menyebut Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional tetapi juga harus diatur adanya Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Daerah beserta institusi pembentuknya.

DPD RI berpandangan bahwa ketentuan ayat (2) diubah menjadi; Penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja dan sertifikasi badan usaha di bidang jasa konstruksi dilakukan oleh Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional dan Daerah”. Diperlukan penambahan ayat baru yaitu Ayat (3); “Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional dibentuk oleh pemerintah dan Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Daerah dibentuk oleh pemerintah daerah.”

17. DPD RI berpandangan bahwa kata “dapat” pada Pasal 61 ayat (2) bersifat fakultatif dan tidak mengandung kejelasan pengaturan apa saja ukuran bagi daerah (provinsi atau kabupaten) dalam hal mana Badan tersebut dapat dimungkinkan terbentuk. Pada Penjelasan Pasal juga tidak diuraikan maksud kata “dapat” dibentuk di daerah provinis dan kabupaten/kota.

Dengan perubahan redaksional pasal 61 ayat (1) maka perlu diusulkan adanya penambahan ayat baru; (3) Syarat-syarat dan ketentuan mengenai pembentukan Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi di daerah provinsi dan kabupaten/kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

18. Perlu menambahkan satu poin khusus dalam tugas dan wewenang Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional sebagaimana diatur Pasal 64 yakni tugas “melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan sertifikasi yang dilaksanakan oleh unit sertifikasi.”

19. Forum Jasa Konstruksi sebagaimana diatur Pasal 70 RUU ini seharusnya didefinisikan di bagian salah satu diktum Ketentuan Umum bukan di bagian penjelasan pasal 70 dimaksud.

20. Penjelasan Pasal 70 terutama mengenai pihak yang menjadi bagian dari Forum Jasa Konstruksi seharusnya dimasukkan ke Batang Tubuh karena menyangkut hal ihwal yang bersifat norma. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Lampiran I butir 77 UU Nomor 12 Tahun 2011 bahwa “Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas.”

21. Ketentuan Pasal 71 RUU ini berpotensi mengabaikan prinsip Pacta Sun Servanda di mana perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi

(9)

bagaimana cara penyelesaian sengketa yang timbul akibat perjanjian.

22. DPD RI berpendapat bahwa ketentuan pidana seharusnya memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah. Pasal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastiaan pemidanaan karena hanya menyebutkan ketentuan Pasal 43 ayat (1) dimana Pasal tersebut tidak mengandung unsur sanksionistik dengan hanya menyebutkan kata “harus”. Haruslah diingat bahwa rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut.

23. DPD RI berpendapat bahwa rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Pasal 92 RUU ini pada dasarnya adalah pidana pelanggaran dan bukan pidana kejahatan sehingga pasal 92 haruslah memuat esensi pidana pelanggaran yang dimaksud. Hal ini mengingat adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sehingga rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai pelanggaran atau kejahatan.

III. REKOMENDASI

1. Penyusunan RUU ini perlu diselaraskan dengan prinsip pembentukan peraturan perundang- undangan sehingga memenuhi aspek kejelasan, ketegasan, kemanfaatan dan keadilan hukum sesuai dengan ketentuan dan panduan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. Butir konsideran pada RUU ini masih memerlukan perbaikan rumusan khususnya pada konsideran “Mengingat” yang memerlukan penambahan pasal dalam UUD 1945, yakni pasal 33 ayat (1) UUD 1945 sehingga lengkapnya berbunyi; “Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

3. Ketentuan Umum perlu penambahan definisi istilah yang dipergunakan berkali-kali dalam batang tubuh antara lain kententuan umum mengenai pengertian Masyarakat Jasa Konstruksi, Lembaga, Forum Jasa Konstruksi.

4. Perlu dipertimbangkan tambahan azas “efisiensi berkeadilan” pada Pasal 2 RUU ini.

Azas tersebut untuk menjamin pembangunan dan penyelenggaraan jasa konstruksi yang nantinya harus dilakukan secara efektif dan efisien.

5. Ketentuan Pasal 30 ayat (4) tentang pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan reputasi dan jejak rekam di samping pertimbangan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja; dan kinerja penyedia jasa. Pasal 30 ayat (4) direkomendasikan untuk diubah menjadi; Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan:

a. kesesuaian bidang;

b. keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja; dan c. kinerja penyedia jasa.

d. reputasi dan jejak rekam

6. Kata “wajib” pada Pasal 40 mengandung makna sanksionistik sehingga direkomendasikan perlunya diatur sanksi yang akan ditetapkan bila mana kewajiban tersebut tidak terpenuhi.

Ketentuan Pidana RUU ini belum mengatur sanksi apa pun (sanksi administratif atau pidana) yang akan dikenakan bagi yang melanggar ketentuan atau norma pasal 40 tersebut.

7. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) khususnya pada kata “harus”

direkomendasikan diubah menjadi kata “wajib” sehingga terdapat kesesuaian ketetapan sanksi pidana dengan norma yang diatur pasal-pasal dimaksud. Ketentuan Pidana RUU ini khususnya Pasal 92 telah mengatur sanksi yang akan dikenakan bagi yang melanggar ketentuan atau norma pasal-pasal dimaksud.

8. Pasal 44 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) terkait nomenklatur “Lembaga” yang berpotensi melanggar prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan karena tidak mengandung kejelasan rumusan “Lembaga” mana yang dimaksud harus diperjelas nomenklaturnya baik pada ketentuan umum maupun pada pasal-pasal dimaksud.

9. Keberadaan “Lembaga Pengembangan” sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Ayat (1) yang belum tegas dan jelas khusus mengenai nama atau nomenklaturnya direkomendasikan untuk diubah sehingga Pasal 58 Ayat (1) menjadi: Pelaksanaan peran masyarakat jasa konstruksi dalam pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh suatu lembaga pengembangan independen yang selanjutnya disebut dengan Masyarakat Jasa Konstruksi.

10. Pengaturan yang bersifat fakultatif akibat penggunaan kata “dapat” pada pasal 58 ayat (3) harus dibarengi dengan penegasan dan penjelasan lebih lanjut dalam hal mana propinsi dapat membentuk lembaga pengembangan dan dalam keadaan mana pula propinsi tidak dapat dibentuk lembaga pengembangan dimaksud.

(10)

tetapi juga harus diatur adanya Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Daerah beserta institusi pembentuknya. Pasal 61 ayat (1) diusulkan menjadi; Penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja dan sertifikasi badan usaha di bidang jasa konstruksi dilakukan oleh Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional dan “Daerah” yang dibentuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Selain itu, dengan adanya perubahan redaksional pasal 61 ayat (1) maka perlu diusulkan adanya penambahan ayat baru; ayat (3) “Syarat- syarat dan ketentuan mengenai pembentukan Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi di daerah provinsi dan kabupaten/kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”

12. Penjelasan Pasal 70 terutama mengenai pihak yang menjadi bagian dari Forum Jasa Konstruksi seharusnya dimasukkan ke Batang Tubuh karena menyangkut hal ihwal yang bersifat norma. Oleh sebab itu diusulkan adanya ayat (2) pada Pasal 70 tersebut sehingga lengkapnya berbunyi; “Masyarakat jasa konstruksi yang dapat mengikuti forum jasa konstruksi antara lain: asosiasi perusahaan jasa konstruksi; asosiasi profesi jasa konstruksi; asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha jasa konstruksi; masyarakat intelektual; dan organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dan berkepentingan di bidang jasa konstruksi dan/atau yang mewakili konsumen jasa konstruksi.”

13. Untuk menegakkan prinsip Pacta Sun Servanda, Pasal 71 Ayat (1) yang mengatur norma adanya “upaya prinsip musyawarah mufakat” dalam penyelesaian sengketa Pasal 71 Ayat (1) diusulkan berubah menjadi; “Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.”

14. Mengingat Pasal 92 RUU ini pada dasarnya adalah pidana pelanggaran bukan pidana kejahatan, maka DPD RI merekomendasikan sebaiknya Pasal 92 berbunyi; “Penyelenggara pekerjaan konstruksi yang melanggar ketentuan standar keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) yang mengakibatkan kegagalan bangunan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 20%

(dua puluh persen) dari nilai kontrak.” Selain itu Pasal 92 ini sebaiknya memuat ayat yang menegaskan esensi pidana pelanggaran sebagaimana diatur Butir 121 Lampiran I UU Nomor 12 Tahun 2011 sehingga perlu penambahan ayat baru; Ayat (2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah pelanggaran.

15. Setelah mencermati dan mengevaluasi pasal per pasal dalam RUU tentang Jasa Konstruksi ini, DPD RI berpandangan dan berpendapat bahwa RUU tentang Jasa Konstruksi ini sepatutnya dapat dilanjutkan ke tingkat pembahasan lebih lanjut sebagai bagian dan tahapan legislasi sesuai dengan peraturan perundangan dengan memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai keterlibatan DPD RI dalam pembahasan bersama antara DPR dan Pemerintah.

IV. PENUTUP

Demikianlah Pandangan dan Pendapat DPD RI tentang RUU tentang Jasa Konstruksi, semoga Tuhan YME senantiasa memberikan petunjuknya bagi setiap upaya kita semua untuk kemajuan bangsa dan Negara.

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 10 Juni 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

DR. LAODE IDA

(11)

SANDINGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

JASA KONSTRUKSI

JAKARTA

2013

(12)
(13)

1. Menimbang :

a. Bahhwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1045;

Menimbang :

a. bahhwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1045;

2. b. Bahhwa jasa konstruksi merupakan salah satu kegatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwuudnya tujuan pembangunan nasional;

b. bahhwa jasa konstruksi merupakan salah satu kegatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwuudnya tujuan pembangunan nasional;

Bahwa sektor jasa konstruksi merupakan kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia berupa bangunan fisik dan yang berkualitas guna menunjang terwujudnya pembangunan nasional;

bahwa jasa konstruksi merupakan kegiatan

masyarakat dalam

mewujudkan produk bangunan fisik dan berfungsi sebagai pendukung atau prasarana aktivitas sosial ekonomi masyarakat guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional;

3. c. bahwa berbagai peraturan perundang- undangan yang berlaku belum berorientasi baik kepada kepentingan pengembangan jasa konstruksi sesuai dengan karakteristiknya, yang mengakibatkan kurang berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal, maupun bagi kepentingan masyarakat;

c. Bahhwa penyelenggaraan konstruksi dan usaha jasa penyelenggaraan konstruksi harus menjamin ketertiban dan kepastian hukum;

Bahhwa penyelenggaraan konstruksi dan usaha jasa penyelenggaraan konstruksi harus menjamin ketertiban dan kepastian hukum;

4. d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c diperlukan Undang- Undang tentang jasa konstruksi;

d. bahwa peneyelenggaraan jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi masih terdapat kekurangan dan belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tatakelola yang baik dan dinamika pengembangan p e n y e l e n g g a r a a n konstruksi dan usaha jasa penyelenggaraan konstruksi;

d. bahwa peneyelenggaraan jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi masih terdapat kekurangan dan belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tatakelola yang baik dan dinamika pengembangan p e n y e l e n g g a r a a n konstruksi dan usaha jasa penyelenggaraan konstruksi;

5. e. bahwa berdasarkan

p e r t i m b a n g a n sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,

(14)

huruf c dan huruf d perlu membentuk Undang- Undang tentang Jasa Konstruksi;

6. Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Mengingat:

Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Sebaiknya mencantumkan pasal 33 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 sebagaimana undang-undang sebelumnya karena jasa konstruksi merupakan bagian dari usaha perekonomian.

Mengingat:

Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 (D) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

7. Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKIALAN

RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKIALAN

RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK dan

INDONESIA MEMUTUSKAN:

8. BAB 1 KETENTUAN Pasal 1UMUM

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi;

BAB 1 KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Jasa Konstruksi adalah layanan jasa pekerjaan konstruksi yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pembuatan, p r n g o p e r a s i a n , p e m e l i h a r a a n , penghancuran, pembuatan kembali dan pengawasan.

9. 2. pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan ata sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau peleksanaan beserta pengawasan

yang mencakup

pekerjaan artsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkup masing-masing beserta kelengkapanya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain;

2. pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan ata sebagian rangkaian kegiatan yang menghasilkan bentuk fisik atau pengembangan teknologi konstruksi yang meliputi pengkajian, perencanaan, p e r a n c a n n g a n , p e m b u a t a n , p e n g o p e r a s i a n , p e m e l i h a r a a n , penghancuran, pembuatan kembali dan pengawasan;

kata non fisik diganti dengan pengembangan teknologi

10. 3. pengguna jasa adalah orang perseoarangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yan memerlikan jasa konstruksi;

3. pengguna jasa adalah pemberi atau pemilik pekerjaan konstruksi yang memerlikan jasa konstruksi.

(15)

11. 4. penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang usahanya menyediakan jasa konstruksi;

4. penyedia jasa adalah pemberi layanan jasa konstruksi.

12. 5. kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam p e n y e l e n g g a r a a n pekerjaan konstruksi;

5. kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam p e n y e l e n g g a r a a n pekerjaan konstruksi.

kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur kesepakatan penyelesaian pekerjaan dan perikatan hukum

13. 6. kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan yang setelah diserakterimakan oleh penyedia jasa kepada penguana jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemnafaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa;

7. kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi tekis dan manfaat, sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi.

ditambah kegagalan bayar adalah keadaan pemberi kerja tidak mampu membayar jasa konstruksi yang telah selesai sebagian atau leseluruhan sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja.

14. 7. forum jasa konstruksi adalah sarana komunikasi dan konsultasi antara masyarakat jasa konstruksi dan pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah jasa konstruksi nasional yang bersifat nasional, independen, dan mandiri;

forum jasa konstruksi adalah sarana komunikasi dan konsultasi antara masyarakat jasa konstruksi dan pemerintah mengenai hal- hal yang berkaitan dengan masalah jasa konstruksi di daerah dan nasional yang bersifat kepentingan nasional, azas musyawarah- mufakat, penyelesaian masalah, dan independen 15. 8. registrasi adalah

suatu kegiatan untuk menentukan kompetensi profesi keahlian dan keterampilan tertentu, orang perseorangan dan badan usaha untuk menentukan izin usaha sesuai klasifikasi dan kualifikasi yang diwujudkan dalam sertifikat;

10. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap bentuk usaha orang perseorangan, badan usaha, profesi yang menyelengarakan usaha jasa konstruksi, serta asosiasi profesi dan asosiasi badan usaha dibidang jasa kinstruksi.

16. 9. perencana konstruksi adalah jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional dibidang perencanaan

Bab I tentang ketentuan umum pada pasal 1 RUU ini masih memerlukan penambahan nomenklatur yang nantinya dijabarkan dalam pasal- pasal batang tubuh yakni

(16)

jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau fisik lainnya;

nomenklatur “masyarakat pengembangan jasa konstruksi” sebagaimana halnya butir 9 yang mengatur definisi “badan akreditasi jasa konstruksi”. Hal ini mengingat bagian ketentuan umum merupakan pasal yang memberikan penjelasan mengenai nomenklatur yang substansial didalam suatu produk Undang-Undang atau nomenklatur yang sering dipakai didalam keseluruhan pasal.

17. 10. pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional dibidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu m e n y e l n g g a r a k a n kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain;

18. 11. pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional dibidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.

Pengawas konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli dan profesional dibidang jasa pengawasan konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal peleksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.

19. 6. keselamatan konstruksi

adalah keadaan

p e n y e l e n g g a r a a n pekerjaan konstruksi yang memenuhi standar keteknikan, keamanan, keselamatan, dan kesehatan tempat kerja, serta tata lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan hidup.

20. 8. kegagalan pekerjaan

konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja kontruksi baik sebagian maupun

(17)

keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa dan/

atau tidak sesuai dengan standar keselamatan kerja konstruksi.

21. 9. Badan Akreditasi dan

sertifikasi Jasa Konstruksi adalah badan yang melakukan akreditasi dan sertifikasi dibidang jasa konstruksi.

22. 11. Sertifikasi kompeteni kerja

adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi sesuai standar kerja kompetensi kerja nasional indonesia, standar internasional, dan/atau standar khusus.

23. 12. Aertifikasi usaha adalah

proses penilaian untuk mendapatkan pengakuan terhadap kalsifikasi dan kualifikasi atas kompetensi dan kemampuan usaha dibdang jasa konstruksi yang berbentuk usaha orang perseorangan atau badan usaha.

24. 13. Sertifikata adalah tanda

bukti pengakuan dari hasil kegiatan sertifikasi.

25. 14. Izin usaha adalah izin

yang diberikan kepada penyedia jasa untuk m e n y e l e n g g a r a k a n kegiatan jasa konstruksi.

26. 15. Menteri adalah menteri

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang pekerjaan umum.

27. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2

Pengaturan jasa

konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2

Penyelenggaraan jasa konstruksi berlandaskan pada asas:

a. kejujuran dan keadilan;

b. manfaat;

c. kesetaraan;

d. keserasian;

e. keseimbangan;

f. kemandirian;

g. keterbukaan;

h. kemitraan;

i. keamanan dan keselamatan;

j. kebebasan;

a. kejujuran dan keadilan;

b. manfaat;

c. keamanan dan

keselamatan;

d. keseimbangan;

e. keterbukaan;

f. kemitraan;

g. pembanguan berkelanjutan;

danh. berwawasan lingkungan.

perlu dipertimbangkan tambahan azas “efisiensi berkeadilan.” azas ini penting untuk menjamin pembangunan dan penyelenggaraan jasa

(18)

k. pembanguan berkelanjutan;

danl. berwawasan lingkungan.

konstruksi yang nantinya harus dilakukan secara efektif dan efisien.

28. Pasal 3

pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk

• Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokok, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;

• Mewuudkan tertib p e n y e l e n g g a r a a n pekerjaan knstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan

Pasal 3

pengaturan penyelenggaraan jasa konstruksi bertujuan untuk:

a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokok, andal dan berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas;

b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan

perundang-undangan yang berlaku; mewujudkan peningkatan peran masyarakat dibidang jasa konstruksi.

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

c. mewujudkan peningkatan peran masyarakat diidang jasa konstruksi;

d. menata sistem jasa konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan terbangun;

e. menjamin tata kelola penyelenggara jasa konstruksi yang baik; dan f. menciptakan integrasi

nilai seluruh layanan dari tahapan penyelenggaraan jasa konstruksi.

29. BAB III

USAHA JASA KONSTRUKSI Bagian Pertama Jenis, Bentuk, dan Bidang

Usaha Pasal 4

1. Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi yang masing- masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi.

BAB IV USAHA JASA

KONSTRUKSI Bagian Kesatu

Bidang, Bentuk, klasifikasi dan kualifikasi usaha

Paragraf 1 Bidang Usaha

Pasal 4

(1) Bidang usaha jasa konstruksi didasarkan pada klasifikasi produk konstruksi yang meliputi;

a. konstruksi gedung;

b. konstruksi bangunan sipil;

c. konstruksi khusus;dan

ditambah pada ayat (1) dan pengembangan teknologi konstruksi

(19)

30. 2. Usaha perencanaan konstruksi meberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyususnan dokumen kontrak kerja konstruksi.

(2) Ketentuan mengenai klasifikasi dan subklasifikasi produk konstruksi sebahagiaman dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

ditambah “pengembangan teknologi konstruksi”

31. 3. Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rankaian kegiatan atau bagian- bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.

Pasal 5

Bidang uasaha konstruksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) meliputi:

a. pengkajian;

b. perencanaan;

c. perancangan;

d. pembuatan;

e. pengoperasian;

f. pemeliharaan;

g. penghancuran;

h. pembuatan kembali; dan/

ataui. pengawasan 32. 4. Usaha pengawasan

konstruksi memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi.

Paragraf 2

Bentuk, klasifikasi dan kualifikasi usaha

33. Pasal 5

1. Usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha.

Pasal 16

Usaha jasa konstruksi berbentuk usaha orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

34. 2. bentuk usaha yang

dilakukan oleh

orang perseorangan s e b a g a i m a n a dimaksud pada ayat (1) selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil.

Pasal 17

(1) Klasifikasi usaha jasa konstruksi diatur sesuai dengan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dan pasal 15.

(20)

35. 3. bentuk usaha yang

dilakukan oleh

orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku perencana konstruksi

atau pengawas

konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya.

(2) Kketentuan mengenai klasifikasi usaha jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

36. 4. pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha.

Pasal 18

(1) Kualifikasi usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 terdiri atas:

a. usaha kecil; dan b. usaha menengah.

Ditambah poin c. koperasi

37. Pasal 6

Bidang usaha konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil dan/atau mekanikal dan/

atau elektrikal dan/atau tata lingkungan, masing-masing beserta kelengkapannya.

(2) Kualifikasi usaha badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 terdiri atas;

a. usaha kecil; dan b. usaha menengah; dan c. usaha besar.

Ditambah poin d. koperasi

38. Pasal 7

ketentuan tentang jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah.

39. Pasal 18

(1) Kualifikasi usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 terdiri atas:

a. usaha kecil; dan b. usaha menengah.

40. (2) Kualifikasi usaha badan

usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 terdiri atas;

a. usaha kecil; dan b. usaha menengah; dan c. usaha besar.

41. (3) Ketentuan lebih lanjut

mengenai kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah.

(21)

42. Pasal 19

(1) usaha orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 hanya dapat menyelenggarakan pekerjaan konstruksi yang:

a. berisiko kecil;

b. berteknologi sederhana;

c. berbiaya kecil.

43. (2) usaha orang perseorangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat menyelenggarakan

pekerjaan yang

sesuai dengan bidang keahliannya.

44. Pasal 20

usaha kecil atau menengah yang berbadan hukum dan yang tidak berbadan hukum hanya dapat menyelenggarakan pekerjaan konstruksi yang:

a. berisiko kecil sampai sedang;

b. berteknologi sederhana sampai madya; dan berbiaya kecil sampai sedang.

45. Pasal 21

Usaha besar atau badan usaha asing yang berbadan hukum dan perorangan asing, hanya dapat menyelenggarakan pekerjaan konstruksi yang:

a. berisiko besar;

b. berteknologi tinggi dan/

atauc. berbiaya besar.

poin a ditambah “berisiko besar dalam aspek keamanan dan keselamatan pengguna”.

46. Pasal 22

ketentuan mengenai kriteria risiko, teknologi dan biaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 20, dan pasal 21 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

47. Bagian Kedua Persyaratan Usaha,

Keahlian, dan keterampilan

Pasal 8

perencanaan konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus

Bagian Kedua Persyaratan, Izin, dan Sertifikasi Usaha

Paragraf 1 Persyaratan Usaha Pasal 23

Usaha jasa konstruksi yang dilakukan orang perseorangan dan badan usaha wajib memiliki izin usaha.

(22)

48. a. memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha dibidang jasa konstruksi;

Paragraf 2 Izin Usaha Pasal 24

Izin usaha hanya diberikan kepada usaha orang perseorangan atau badan usaha yang telah memeiliki serifikat sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi usaha serta telah teregistrasi.

49. b. memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi.

50. Pasal 25

(1) Izin usaha konstruksi baik kepada usaha orang perseorangan maupun badan usaha sebagaimana dimaksud pada pasal 24 diberikan oleh pemerintah daerah ditempat domisili usaha dan badan usaha.

51. (2) Ketentuan mengenai

pengaturan izin usaha jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.

52. Paragraf 3

Sertifikasi Usaha Pasal 26

(1) Sertifikasi klasifikasi dan kualifikasi usaha jasa konstruksi diberikan oeh badan akreditasi dan sertifikasi jasa konstruksi.

53. (2) Usaha orang

perseorangan dan badan usaha yang telah mendapat sertifikat, diregistrasi badan akreditasi dan sertifikasi jasa konstruksi.

54. (3) Data hasil sertifikasi dan registrasi terhadap usaha orang perseorangan dan badan usaha di bidang jasa konstruksi diumumkan melalui suatu sistem informasi jasa konstruksi.

55. Paragraf 3

Sertifikasi Usaha Pasal 26

(1) Sertifikasi klasifikasi dan kualifikasi usaha jasa konstruksi diberikan oeh badan akreditasi dan sertifikasi jasa konstruksi.

(23)

56. (2) Usaha orang perseorangan dan badan usaha yang telah mendapat sertifikat, diregistrasi badan akreditasi dan sertifikasi jasa konstruksi.

57. (3) Data hasil sertifikasi dan registrasi terhadap usaha orang perseorangan dan badan usaha di bidang jasa konstruksi diumumkan melalui suatu sistem informasi jasa konstruksi.

58. Bagian Ketiga

Badan Usaha asing dan Perseorangan Asing

Pasal 27

(1) Badan usaha asing dan perseorangan asing yang melakukan usaha jasa konstruksi diwilayah indonesia wajib:

a. memiliki sertifikasi usaha dan izin usaha di Indonesia;

b. membentuk kerja sama operasional dan/atau kerja sama modal dengan badan usaha nasional berkualifikasi besar yang telah di sertifikasi dan di registrasi;

c. mengutamakan lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing;

d. memiliki teknologi tinggi, mutakhir, efisien, berwawasan linkungan, serta memperhatikan kearifan lokal; dan

e. melakukan proses alih teknologi.

59. (2) kepemilikan saham

oleh badan usaha asing dan perseorangan asing dalam pembentukan kerja sama modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

60. Pasal 9

1. Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus memiliki serifikat keahlian.

(24)

61. 2.Pelaksana konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja.

62. 3.Orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai perencana konstruksi atau pengawas konstruksi atau tenaga tertentu dalam badan usaha pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian.

63 4.Tenaga kerja yan melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.

64. Pasal 10

ketentuan mengenai penyelenggaraan perizinan usaha, klasifikasi usaha, kualifikasi usaha, sertifikasi keterampilan,

65. Bagian Ketiga tanggung Jawab

Profesional Pasal 11

1. badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 harus b e r t a n g g u n g j a w a b

terhadap hasil

pekerjaannya.

66. 2. Tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai kaidah keilmuan,

kepatutan, dan

kejuuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap mengutamakan kepentingan umum.

67. 3. Untuk mewujudkan t e r p e n u h i n y a t a n g g u n g j a w a b sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditempuh melalui mekanisme pertanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

(25)

68. Bagian Keempat Pengembangan Usaha

Pasal 12

1. Usaha jasa konstruksi dikembangkan untuk wewujudkan struktur usaha yang kokoh dan efisien melalui kemitraan yang sinergis antara usaha yang besar, menengah dan kecil serta usaha yang bersifat umum, spesialis dan keterampilan tertentu.

69. 2. Usaha perencanaan konstruksi dan penawasan konstruksi dikembankan kearah usaha yang bersifat umum dan spesialis.

70. 3. Usaha pelaksanaan konstruksi dikembangkan kearah:

a. usaha yang bersifat umum dan spesialis;

b. usaha orang perseorangan yang berketerampilan kerja.

71. Pasal 13

Usaha mengembangkan usaha jasa konstruksi dperlukan dukungan dari mitra usaha melalui:

72. 1. perluasan dan peningkatan aksek terhadap sumber pendanaan, serta kemudahan persyaratan dalam pendanaan,

73. 2.pengembangan jenis usaha pertanggungan untuk mengatasi risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan.

74. BAB IV

PENINGKATAN PEKERJAAN KONSTRUKSI Bagian Pertama Para

Pihak 75. Pasal 14

Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari:

a. pengguna jasa;

b. penyedia jasa.

Pasal 28

(1) Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari:

a. pengguna jasa; dan b. penyedia jasa.

Pasal 28

(1) Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari:

a. pengguna jasa; dan b. penyedia jasa.

76. Pasal 15

1.Pengguna jasa

sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf a,

(2) Pengguna jasa dan penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

(2) Pengguna jasa dan penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

(26)

dapat menunjuk wakil untuk melaksanakan kepentingannya dalam pekerjaan konstruksi.

a. orang perseorangan; atau

b. badan a. orang perseorangan; atau b. badan

77. 2. penguna jasa harus memiliki kemampuan

membayar biaya

pekerjaan konstruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan/

atau keuangan bukan bank.

78. 3.Bukti kemampuan membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwujudkan dalam bentuk lain yang disepakati dengan mempetimbangkan lokasi, tingkat kompleksitas, besaran biaya, dan/

atau fungsi bangunan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara pengguna jasa dan penyedia jasa.

79. 4.jika pengguna jasa adalah pemerintah, pembuktian kemampuan untuk membayar diwujudkan dalam dokumen tentang ketersediaan anggaran.

80. 5. Pengguna jasa harus memenuhi kelengkapan yang disyaratkan untuk melaksankan pekerjaan konstruksi.

81. Pasal 16

1.penyedia jasa

sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf b terdiri dari:

a. perencana konstruksi;

b. pelaksana konstruksi;

c. pengawas konstruksi;

ditambah poin d. pengembang tekologi konstruksi

82. 2. Layanan jasa yang dilakukan oleh penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tiap-tiap penyedia jasa secara terpisah dalam pekerjaan konstruksi.

83. 3. Layanan jasa p e r e n c a n a a n , pelaksanaan dan pengawasan dapat dilakukan secara integrasi

(27)

dengan memperhatikan besaran pekerjaan atau biaya, penggunaan teknologi canggih, serta risiko besar bagi para pihak ataupun kepentingan umum dalam satu pekerjaan konstruksi.

84. Pasal 29

ketentuan mengenai pengikatan antara para pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 berlaku sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dinyatakan lain dalam undang-undang ini.

85. Bagian Kedua Pengikatan Para Pihak

Pasal 17

1. Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemeilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas.

Pasal 30

(1) pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi yang menggunakan pembiayaan yang bersumber dari keuangan negara, dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas.

86. 2. Pelelangan terbatas hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang dinyatakan telah lulus prakualifikasi.

(2) Pelelangan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang dinyatakan telah lulus prakualifikasi.

ditambah “yang telah menjalani verifikasi data awal dalam suatu sitem informasi..”

87. 3. Dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung.

(3) Penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung dalam keadaan:

a. penangan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat;

b. pekerjaan yang komplek yang hanya dapat dilaksanan oleh penyedia jasa yang sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang c. pekerjaan yang perlu hak;

dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara;

d. pekerjaan yan berskala dan kecil.

(28)

88. 4. Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa.

(4) Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan:

a. kesesuaian bidang;

b. keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja; dan

c. kinerja penyedia jasa.

ditambah poin d. Reputasi dan rekam jejak

89. 5. pemilihan penyedia jasa hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dan pasal 9.

(5) pemilihan penyedia jasa hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dan pasal 90. 6. Badan-badan usaha 25.

yang dimiliki satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan.

(6) Badan-badan usaha yang dimiliki satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan.

91. (7) Ketentuan lebih lanjut

mengenai kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa, mekanisme pemilihan penyedia jasa dan penetapan penyedia jasa dalam hubungan kerja jasa konstruksi yang menggunakan dana/

keuangan/anggaran negara diatur dalam peraturan pemerintah.

92. Pasal 18

1. Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup:

a. menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuan- ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dipahami;

b. menetapkan

penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan.

93. 2. Dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun dokumen penawaran berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan kepada pengguna jasa.

(29)

94. 3. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersipat mngikat bagi kedua pihak dan salah satu pihak tidak dapat mengubah dokumen tersebut secara sepihak sampai dengan penandatanganan kontrak kerja konstruksi.

95. 4. Pengguna jasa dan penyedia jasa m e n i n d a k l a n j u t i penetapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan satu kontrak kerja konstruksi untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang serta dilandasi dengan itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

96. Pasal 19

Jika pengguna jasa

mengubah atau

membatalkan penetapan tertulis, atau penyedia jasa mengundurkan diri setelah diterbitkannya penetapan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf b, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, maka pihak yang mengubah atau yang membatalkan penetapan, atau mengundurkan diri wajib dikenai ganti rugi atau bisa dituntut secara hukum.

97. Pasal 20

Pengguna jasa dilarang memberikan pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerjakan satu pekerjaan konstruksi pada lokasi dan dalam kurun waktu yang sama tanpa melalui pelelangan umum ataupun pelengan terbatas.

Pasal 31

Pengguna jasa dilarang memberikan pekerjaan

konstruksi untuk

pembangunan kepentingan umum kepada penyedia jasa yang terafiliasi tanpa melalui pelelangan umum atau pelelangan terbatas.

98. Pasal 21

(1) ketentuan mengenai pemilihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, dan pembatalannya sebagaimana dimaksud

(30)

dalam pasal 19 berlaku juga dalam pengikatan antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa.

99. (2) ketentuan mengenai tatacara pemilihan

penyedia jasa

sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, penerbitan dokumen dan penetapan penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

100. Bagian Ketiga Kontrak Kerja Konstruksi

Pasal 22

(1) Pengaturan hubungan kerja berdasarkan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (3) harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi.

Bagian Ketiga Kontrak Kerja Konstruksi

Pasal 32

(1) Pengaturan hubungan kerja berdasarkan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi.

101. (2) Bentuk kontrak kerja

konstruksi dapat mengikuti perkembangan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

102. (2) kontrak kerja konstruksi s e k u r a n g - k u r a n g n y a harus mencakup uraian mengenai:

a. para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak;

b. rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan dan batas waktu pelaksanaan.

c. masa pertanggungan

dan/atau masa

pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/

atau pemeliharaan yang menjad tanggungjawab penyedia jasa;

d. tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;

e. hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk

Pasal 33

(2) kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai:

a. para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak;

b. rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan dan batas waktu pelaksanaan.

c. masa pertanggungan dan/

atau masa pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/

atau pemeliharaan yang menjad tanggungjawab penyedia jasa;

d. tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;

e. hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang

ditambah dengan poin k

“kegagalan bayar”

Referensi

Dokumen terkait

Perceraian yang diajukan oleh suami terhadap istrinya disebut dengan talak, akibat hukum perceraian talak sesuai dengan Pasal 41 (c) Undang-Undang Perkawinan, pengadilan

Peran wali kelas dalam pelayanan bimbingan dan konseling (1) Membantu guru pembimbing dalam melaksanakan tugas-tugasnya, khusus dikelas yang menjadi tanggung jawabnya, (2)

Pengaruh perubahan penggunaan lahan hutan alam menjadi HTI (Hutan Tanaman Industri) Acacia crassicarpa terhadap sebaran partikel tanah gambut disajikan pada

Berdasarkan pendekatan yang menjadi pilihan dalam penelitian ini, pada penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu terpadu berbasis

Apabila dikonfirmasikan dengan KKM, maka kemampuan menentukan unsur intrinsik cerpen melalui model pembelajaran inkuiri siswa kelas VIII B SMP Negeri 10 Kota Palopo, yaitu yang

Variabel LDR,NPL,IRR,ROA dan CAR secara bersama-sama memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap Efisiensi Biaya yang diukur dengan menggunakan metode DEA pada Bank

Dari Kecamatan Padang Barat diambil titik sampel mikrotremor tanah sebanyak 17 titik (warna kuning) dengan grid 600 m dan merupakan daerah yang sangat dekat

pembabaran agama Buddha, seolah-olah tidak memikili ajaran tersebut ; Belum adanya pemahaman yang memadai dan jarang dibicarakan ; Kekacauan konseptual dalam lingkungan multi