INTISARI
Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik, Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) menyusun standar pelayanan kefarmasian di apotek untuk menyiapkan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Kenyataan yang ada pada saat ini, berdasarkan beberapa penelitian bahwa peran apoteker di apotek belum maksimal sehingga manfaat yang dirasakan oleh masyarakat untuk memperoleh pelayanan kefarmasian yang profesional masih kurang.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi Apoteker Pengelola Apotek di Kota Yogyakarta terhadap perannya dalam pelaksanaan pelayanan resep selama di apotek yaitu menyangkut skrinning persyaratan administratif, kesesuaian farmasetika, dan pertimbangan klinis, peracikan resep, penyiapan etiket, dan pengemasan obat, penyerahan obat dan informasi kepada pasien, konseling dan monitoring penggunaan obat.
Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dari angket yang disebarkan kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) di kota Yogyakarta.
Hasil menunjukkan bahwa: rata-rata Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Kota Yogyakarta yang melakukan skrinning persyaratan administratif, kesesuaian farmasetika, dan pertimbangan klinis resep selama di apotek adalah 72,7%; rata-rata Apoteker Pengelola Aportek (APA) yang melakukan peracikan resep, penyiapan etiket, dan pengemasan obat selama di apotek adalah 60,3%; rata-rata Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang melakukan penyerahan obat dan informasi kepada pasien selama di apotek adalah 78,9%; rata-rata Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang melakukan konseling selama di apotek adalah 76,4%; dan rata-rata Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang melakukan monitoring penggunaan obat adalah 37,9%.
ABSTRACT
As an effort so that all pharmacist can execute service of pharmacy better. Department of health cooperates with The Association of Indonesian Pharmacy Graduates ( ISFI), compose the service standard of pharmacist in drugstores to prepare pharmaceutical service to society. The fact which exists at the moment, based on some researches that the role of pharmacist in pharmacy are not yet optimal so that the benefit felt by sosiety to obstain profesional pharmaceutical service is still less.
The objective of reseach is to know the perseption of The Pharmacist to the role of pharmacist during the attendance in execution of prescription that is concerning skrinning of administrative regulation, according to farmasetic, and clinical consideration, recipe blend, preparation of label, and the packaging of drug, delivery of information and drug to patient, monitoring and counseling the usage of drug.
This reseach is including explorative and descriptive non-experimental reseach using qualitative approach. Data obstained from propagated questuonnaire to the Pharmacist in Yogyakarta.
The result indicates that the average or the Pharmacist in Yogyakarta city who conducts skrinning administrative, according pharmasetics, and consideration of prescription clinical during in drugstore is 72.7%; the average of the Pharmacist who conducts recipe blend, preparation of label, and the packaging of drug during in drugstore is 60.3%; the average of the Pharmacist who conduct delivery of information and drug to patient during in drugstore is 78.0%; the average of the Pharmacist who conducts counseling during in drugstore is 76.4%; and the averae of the Pharmacist who conducts drug monitoring is 37.9%.
PERSEPSI APOTEKER PENGELOLA APOTEK
DI KOTA YOGYAKARTA TERHADAP PERANNYA DALAM PELAYANAN RESEP SELAMA DI APOTEK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelas Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh: S u y o n o NIM: 028114154
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Halaman Persembahan
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Rob semesta
alam.
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Yang menguasai di Hari Pembalasan.
Hanya Engkaulah yang kami abdi, dan
hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan.
Kupersembahkan kepada:
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis,
berkat kasih dan sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “
Persepsi Apoteker Pengelola Apotek di Kota Yogyakarta terhadap Perannya dalam
Pelayanan Resep selama Kehadiranya di Apotek”. Penyusunan skripsi ini dengan
maksud untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari jasa banyak pihak, oleh
karenanya penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka. Ucapan
terima kasih penulis tujukan kepada:
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing yang dalam kepadatan
acaranya telah menyempatkan untuk terus membimbing dan mendorong
penyelesaian skripsi ini kepada penulis.
3. Bapak Edi Joko Santoso, S.Si., Apt yang telah banyak membantu,
mengarahkan, memberi masukan, juga motivasi walaupun beliau tidak sempat
meneruskan bimbingannya karena harus melanjutkan studi.
4. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. sebagai dosen penguji yang telah memberi
5. Ibu Aris Widayati , M.Si., Apt. sebagai dosen penguji dan atas kritik dan
saran yang telah diberikan.
6. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. yang telah memberikan saran dan referensi
dalam pembuatan skripsi ini.
7. BAPPEDA Propinsi DIY dan Kota Yogyakarta atas pemberian ijin penelitian
8. Bapak dan ibu yang telah mengatur dan memeliharaku, berkat perjuangan
kalianlah penulis dapat bertahan.
9. Kakakku Sugianto yang telah mengorbankan jiwanya untuk memberikan
motivasi dan nasehat.
10. Kakakku Hartono dan kakakku Sunarni, kalian sudah banyak membantu.
11. Sahabatku Joko Tri Cahyono yang memberiku banyak inspirasi untuk belajar
mandiri.
12. Teman-temanku Nana, Meggy, Rio, Parmanto, Heri, Irvan, Thomas, dan
Mu’min mubaligh yang telah membimbingku.
Dengan sadar penulis mengakui banyak kekurangan dalam menyusun
penelitian ini, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari semua
pihak demi menyempurnakan karya ini. Semoga dengan ridha Allah skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi praktisi farmasi, bagi dunia keprofesian, ilmu pengetahuan,
INTISARI
Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik, Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) menyusun standar pelayanan kefarmasian di apotek untuk menyiapkan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Kenyataan yang ada pada saat ini, berdasarkan beberapa penelitian bahwa peran apoteker di apotek belum maksimal sehingga manfaat yang dirasakan oleh masyarakat untuk memperoleh pelayanan kefarmasian yang profesional masih kurang.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi Apoteker Pengelola Apotek di Kota Yogyakarta terhadap perannya dalam pelaksanaan pelayanan resep selama di apotek yaitu menyangkut skrinning persyaratan administratif, kesesuaian farmasetika, dan pertimbangan klinis, peracikan resep, penyiapan etiket, dan pengemasan obat, penyerahan obat dan informasi kepada pasien, konseling dan monitoring penggunaan obat.
Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dari angket yang disebarkan kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) di kota Yogyakarta.
Hasil menunjukkan bahwa: rata-rata Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Kota Yogyakarta yang melakukan skrinning persyaratan administratif, kesesuaian farmasetika, dan pertimbangan klinis resep selama di apotek adalah 72,7%; rata-rata Apoteker Pengelola Aportek (APA) yang melakukan peracikan resep, penyiapan etiket, dan pengemasan obat selama di apotek adalah 60,3%; rata-rata Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang melakukan penyerahan obat dan informasi kepada pasien selama di apotek adalah 78,9%; rata-rata Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang melakukan konseling selama di apotek adalah 76,4%; dan rata-rata Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang melakukan monitoring penggunaan obat adalah 37,9%.
ABSTRACT
As an effort so that all pharmacist can execute service of pharmacy better. Department of health cooperates with The Association of Indonesian Pharmacy Graduates ( ISFI), compose the service standard of pharmacist in drugstores to prepare pharmaceutical service to society. The fact which exists at the moment, based on some researches that the role of pharmacist in pharmacy are not yet optimal so that the benefit felt by sosiety to obstain profesional pharmaceutical service is still less.
The objective of reseach is to know the perseption of The Pharmacist to the role of pharmacist during the attendance in execution of prescription that is concerning skrinning of administrative regulation, according to farmasetic, and clinical consideration, recipe blend, preparation of label, and the packaging of drug, delivery of information and drug to patient, monitoring and counseling the usage of drug.
This reseach is including explorative and descriptive non-experimental reseach using qualitative approach. Data obstained from propagated questuonnaire to the Pharmacist in Yogyakarta.
The result indicates that the average or the Pharmacist in Yogyakarta city who conducts skrinning administrative, according pharmasetics, and consideration of prescription clinical during in drugstore is 72.7%; the average of the Pharmacist who conducts recipe blend, preparation of label, and the packaging of drug during in drugstore is 60.3%; the average of the Pharmacist who conduct delivery of information and drug to patient during in drugstore is 78.0%; the average of the Pharmacist who conducts counseling during in drugstore is 76.4%; and the averae of the Pharmacist who conducts drug monitoring is 37.9%.
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii
HALAMAN PENGESAHAN……… iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……… iv
PRAKATA………. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… vii
INTISARI……….….. viii
ABSTRACT………. ix
DAFTAR ISI……….. x
DAFTAR TABEL……….. xiv
DAFTAR GAMBAR………. xv
DAFTAR LAMPIRAN……….. xviii
BAB I PENGANTAR……… 1
A. Latar Belakang……….. 1
1. Perumusan Masalah………... 4
2. Keaslian Penelitian……… 5
3. Manfaat Penelitian………. 5
B. Tujuan Penelitian………... 6
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA……… 7
B. Resep………. 9
C. Medication Error……….. 12
D. Pelayanan Resep.………... 15
E. Prosedur Tetap………... 18
F. Konseling dan monitoring………. 19
G. Peran Apoteker……….. 22
H. Apoteker Sebagai suatu Profesi...………. 25
I. Standar Profesi………..……….. 27
J. Keterangan Empiris……….. 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 29
A. Jenis dan Rancangan Penelitian……… 29
B. Batasan Operasional Penelitian………. 29
C. Bahan Penelitian……… 30
D. Alat Pengumpulan Data……… 30
E. Tatacara Pengumpulan Data……….. 30
F. Tatacara Analisis Hasil……….. 32
G. Kesulitan Penelitian……….. 33
BAB IV HASIL PENELITIAN ……….………... 34
A. Karakteristik dari Apotek dan APA………. 34
2. Lama rata-rata apotek buka perhari………... 39
3. Ada tidaknya apoteker pendamping di apotek……….. 42
4. Ada tidaknya prosedur tetap……….. 43
5. Ada tidaknya job description tertulis………. 48
6. Jumlah rata-rata resep yang masuk ke apotek tiap bulan dan jumlah dokter praktek di apotek……….………... 51
7. Jumlah asisten apoteker yang dimiliki apotek………... 54
8. Jumlah petugas lain………... 55
9. Rata-rata umur APA……….. 56
10. Pengalaman APA bekerja sebagai apoteker di apotek……… 58
11. Penuh tidaknya APA bekerja di apotek………... 60
12. Ada tidaknya pekerjaan lain disamping sebagai APA……… 61
B. Data Mengenai Pelayanan Resep……….. 62
1. Skrining resep……… 62
a. Skrining administrtif resep……… 63
b. Skrining kesesuaian farmasetik ………. 66
c. Pertimbangan klinis ……... 69
d. Apakah apotek melakukan komunikasi dengan dokter apabila ada keraguan terhadap resep?... 70
2. Peracikan, Pengetiketan, dan Penyerahan Obat……… 74
a. Prosedur HTKP (harga, timbang, kemas, penyerahan)……….. 74
b. Pengecekan………. 76
c. Pemeriksaan akhir kesesuaian resep dengan obat yang akan diserahkan pasien……… 77 3. Informasi dan Konseling………... 78
a. Informasi………. 78
b. Konseling……… 80
4. Monitoring………. 84
a. Monitoring terhadap pasien dengan penyakit TBC, asthma, diabetes, dan cardiovascular……….…. 84 b. Monitoring terhadap hasil konsultasi pasien……….. 86
C. Rangkuman pembahasan………... 87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 89
DAFTAR PUSTAKA……… 91
LAMPIRAN……….. 94
DAFTAR TABEL
Hal. Tabel I. Bentuk-bentuk Medication Error... 14
Tabel II. Taksonomi dan Kategori Medication Error... 15
Tabel III. Rata-rata APA yang melakukan pelayanan resep selama
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1. Struktur organisasi apotek... 19
Gambar 2. Pemilik sarana apotek... 36
Gambar 3. Bentuk kepemilikan apotek untuk apotek yang sarananya bukan milik APA... 37
Gambar 4. Jumlah rata-rata hari APA datang ke apotek berdasarkan kepemilikan sarana apotek... 38
Gambar 5. Lama jam APA di apotek berdasarkan kepemilikan sarana apotek... 38
Gambar 6. Lama apotek buka rata-rata per hari... 40
Gambar 7. Lama APA bekerja di apotek per hari... 40
Gambar 8. Jumlah hari buka apotek per minggu... 41
Gambar 9. Jumlah hari APA bekerja di apotek per minggu... 41
Gambar 10. APA punya Apoteker Pendamping atau tidak... 42
Gambar 11. Apotek punya prosedur tetap atau tidak... 44
Gambar 12. Skema alur pelayanan resep... 47
Gambar 13. Ada tidaknya job description tertulis di apotek... 51
Gambar 14. Jumlah rata-rata lembar resep yang masuk ke apotek per bulan... 52
Gambar 15. Apotek dengan lembar resep >60 per bulan dengan ada tidaknya praktek dokter ………... 53
Gambar 16. Jumlah dokter praktek di apotek... 53
Gambar 17. Jumlah AA yang dimiliki apotek...……… 55
Gambar 18. Jumlah petugas lain yang dimiliki apotek ……….…….. 56
APA………... 57
Gambar 20. Rata-rata umur APA... 57
Gambar 21. Jumlah hari APA bekerja di apotek berdasarkan pengalaman...…… 59
Gambar 22. Lama pengalaman APA bekerja sebagai apoteker di apotek... 59
Gambar 23. Penuh tidaknya APA bekerja di apotek………. 61
Gambar 24. Punya tidaknya pekerjaan lain disamping sebagai APA………... 62
Gambar 25. Jumlah hari APA bekerja di apotek berdasarkan punya tidaknya pekerjaan lain...……….. 62
Gambar 26. Petugas yang lebih sering melakukan skrining administratif resep ketika APA berada di apotek………. 65
Gambar 27. Petugas yang lebih sering melakukan skrining kesesuaian farmasetik ketika APA berada di apotek………...……… 68
Gambar 28. Petugas yang lebih sering melakukan pertimbangan klinis ketika APA berada di apotek……… 70
Gambar 29. Petugas yang lebih sering melakukan komunikasi dengan dokter jika ada keraguan ketika APA berada di apotek………... 72
Gambar 30. Petugas yang lebih sering melakukan usul penggantian obat dengan obat generik kepada dokter jika ada pasien yang tidak mampu ketika APA berada di apotek... 73
Gambar 31. Petugas yang lebih sering melakukan prosedur pemberian harga, penimbangan, pengemasan, penyerahan obat ketika APA berada di apotek... 75
obat dan pengetikan dengan jelas ketika APA berada di apotek……. 77
Gambar 33. Petugas yang lebih sering melakukan pemeriksaaan akhir kesesuaian
obat yang akan diserahkan kepada pasien ketika APA berada di
apotek……… 78
Gambar 34. Petugas yang lebih sering melakukan pemberian informasi ketika
APA berada di apotek……… 79
Gambar 35. Petugas yang lebih sering melakukan pemberian konseling tentang
sediaan farmasi dan pengobatan ketika APA berada di apotek ... 82
Gambar 36. Petugas yang lebih sering melakukan pemberian konseling kepada
pasien penyakit TBC, diabetes, asthma, cardiovascular ketika APA
berada di apotek... 83
Gambar 37. Petugas yang lebih sering melakukan monitoring kepada pasien
penyakit TBC, diabetes, asthma, cardiovascular...……… 85
Gambar 38. Petugas yang lebih sering melakukan monitoring terhadap hasil
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
Lampiran 1. Kuisioner Penelitian... 95
Lampiran 2. Tabulasi Data……... 102
Lampiran 3. Kondisi fisik apotek di kota Yogyakarta pasca gempa... 107
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
Pelayanan kefarmasian yang berlangsung di apotek telah mengalami tiga
tahap perkembangan. Tahap I, pelayanan kefarmasian dititikberatkan pada membuat,
meracik serta menyerahkan obat pada penderita. Tahap II, titik berat pelayanan
kefarmasian di apotek hanya pada penyiapan dan penyerahan obat saja, mengingat
industri farmasi berkembang pesat, ada banyak industri farmasi yang memproduksi
obat jadi. Tahap III, evaluasi perkembangan pelayanan kefarmasian dengan orientasi
produk (product oriented) menjadi orientasi kepentingan pasien (patient oriented).
Pelayanan ini bertujuan agar konsumen (pasien) memperoleh pengobatan yang
rasional melalui pemberian informasi. Di negara maju penelitian dan pengembangan
obat telah maju, sehingga timbul banyak permasalahan dalam penggunaan obat
(Siregar, 1994).
Masa depan perapotekan akan sangat diwarnai oleh kompetisi ketat.
Apoteker di apotek harus berkompetisi dengan sesama koleganya di apotek dan
dengan apoteker dari luar negeri yang bekerja di Indonesia. Tolok ukur keberhasilan
dalam kompetisi ini adalah kualitas pelayanan yang dapat memuaskan masyarakat
dalam upaya meningkatkan derajat hidupnya yang pada akhirnya akan bermuara
pada pengakuan dan image positif dari masyarakat (Hidayat, 1996). Apoteker harus
serta hadir di tengah-tengah masyarakat memanfaatkan ilmu, profesi serta
keberadaannya untuk masyarakat (Sukaryo, 1995).
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004
ditetapkan sebagai pedoman profesi apoteker dalam menjalankan profesi, untuk
melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi
profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian. Seperti yang tercantum juga dalam
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 pasal 21 ayat (1) bahwa setiap
tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi tenaga kesehatan. Disebutkan dalam standar pelayanan kefarmasian di apotek
pada dasarnya pelayanan di apotek terdiri dari pengelolaan obat, pelayanan obat
tanpa resep (OTR), pelayanan obat resep, dan pelayanan informasi, konseling,
monitoring, promosi, edukasi, pelayanan residensial (Anonim, 2004).
Pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker Pengelola
Apotek sesuai dengan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan
masyarakat. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis
dalam resep dengan obat paten (branded name/ merek dagang tertentu). Jika pasien
tidak mampu menebus obat yang ditulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi
dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat yaitu terjangkau oleh pasien
(Anonim, 1993).
Pelayanan resep dimulai proses skrining resep yang meliputi pemeriksaan
persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Kemudian
konseling, dan monitoring penggunaan obat (Anonim, 2004). Resep yang lengkap
harus ada nama, alamat dan nomor ijin praktek dokter, tanggal penulisan resep, tanda
tangan/ paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat
badan pasien, nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta, cara pemakaian yang
jelas, informasi lainnya (Anonim, 2004). Tinjauan kerasionalan obat meliputi
pemeriksaan dosis, frekuensi pemberian, adanya medikasi rangkap, interaksi obat,
karakteristik penderita atau kondisi yang menyebabkan pasien menjadi kontra
indikasi dengan obat yang diberikan (WHO, 1988).
Penyerahan obat kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker
disertai pemberian informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang
diserahkan kepada pasien, informasi penggunaan obat secara tepat, aman, rasional
atas permintaan masyarakat serta melakukan konseling kepada pasien dan tenaga
kesehatan (Anonim, 2004). Pemberian informasi kepada pasien merupakan
kewajiban profesi apoteker. Apoteker dapat dikenai sanksi pidana dengan denda
maksimal 10 juta rupiah apabila tidak melakukan tugasnya dalam memberikan
informasi kepada pasien sesuai dengan pasal 22 c Peraturan Pemerintah Nomor 32
tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Meskipun peran yang dimiliki apoteker di apotek sangat besar namun
sampai saat ini peran dan eksistensi apoteker belum tampak kelihatan. Merita pada
tahun 2002 telah melakukan penelitian dimana 37% pasien apotek Kota Yogyakarta
lebih dari separo pasien tidak pernah merasakan manfaat Apoteker Pengelola Apotek
dalam pemberian informasi obat. Pada penelitian yang dilakukan di DKI Jakarta
tahun 2003 (Purwanti, 2004) diketahui bahwa pelaksanaan standar pelayanan
kefarmasian di apotek tergolong kurang baik karena peran apoteker banyak
dilaksanakan oleh asisten apoteker, kehadiran apoteker di apotek kurang, dan
ketersediaan sarana di apotek seperti ruang untuk konsultasi tidak tersedia.
1. Perumusan masalah
Melihat latar belakang dan permasalahan di atas, maka di rumuskan
permasalahan sebagai berikut:
a. seperti apa persepsi Apoteker Pengelola Apotek terhadap perannya dalam
skrining persyaratan administratif, kesesuian farmasetika, dan pertimbangan
klinis resep selama di apotek?
b. seperti apa persepsi Apoteker Pengelola Apotek terhadap perannya dalam
peracikan resep, penyiapan etiket, dan pengemasan obat selama di apotek?
c. seperti apa persepsi Apoteker Pengelola Apotek terhadap perannya dalam
penyerahan obat dan informasi kepada pasien selama di apotek?
d. seperti apa persepsi Apoteker Pengelola Apotek terhadap perannya dalam
konseling selama di apotek?
e. seperti apa persepsi Apoteker Pengelola Apotek terhadap perannya dalam
2. Keaslian penelitian
Telah dilakukan penelitian tentang pelaksanaan standar pelayanan
kefarmasian di apotek di DKI Jakarta tahun 2003 oleh Purwanti (2004), FMIPA UI
dan Litbang DepKes RI Jakarta. Penelitian tersebut untuk mengetahui seberapa baik
pelaksanaan standar pelayanan farmasi di apotek di DKI Jakarta 2003. Penelitian
tersebut mewakili APA yang bekerja di apotek di DKI Jakarta.
Sedangkan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seperti apa
persepsi Apoteker Pengelola Apotek terhadap perannya khususnya dalam pelayanan
resep ketika Apoteker berada di apotek. Sampel yang digunakan adalah APA yang
bekerja di apotek di Kota Yogyakarta.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Dapat memberikan gambaran tentang seperti apa peran yang dilakukan Apoteker
Pengelola Apotek di Kota Yogyakarta saat berada di apotek.
b. Manfaat praktis
1. Dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi kenerja profesi apoteker serta
instansi terkait dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan yang
2. Dapat dijadikan bahan masukan bagi Dinas Kesehatan dalam perumusan
kebijakan berikutnya.
3. Dapat dijadikan bahan masukan bagi ISFI dalam rangka pembinaan anggotanya.
B. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui persepsi APA terhadap perannya dalam skrining persyaratan
administratif, kesesuian farmasetika, dan pertimbangan klinis resep selama di
apotek.
b. Untuk mengetahui persepsi APA terhadap perannya dalam peracikan resep,
penyiapan etiket, dan pengemasan obat selama di apotek.
c. Untuk mengetahui persepsi APA terhadap perannya dalam penyerahan obat dan
informasi kepada pasien selama di apotek.
d. Untuk mengetahui persepsi APA terhadap perannya dalam konseling selama di
apotek.
e. Untuk mengetahui persepsi APA terhadap perannya dalam monitoring
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Apoteker Pengelola Apotek
Apoteker adalah suatu profesi yang concerns, commits, dan competents
tentang obat (Sudjaswadi, 2001). Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan pasal 63 menyatakan bahwa pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan,
produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Lebih lanjut di
dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang
standar pelayanan kefarmasian di apotek menyebutkan bahwa apoteker adalah
sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan
kefamasian di Indonesia sebagai apoteker. Apoteker berkewajiban menyediakan,
menyimpan, dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang
keabsahannya terjamin (Anonim, 2002). Permenkes No. 1332/MENKES/SK/X/2002
menyebutkan bahwa apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan
penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien secara tepat, aman, rasional.
Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan
kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada
Tugas dan fungsi apotek adalah:
1. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah
jabatan;
2. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,
dan penyerahan obat atau bahan obat;
3. sarana penyalur sediaan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan
masyarakat secara meluas dan merata
(Anonim, 1980).
Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional (Anonim, 1992), dengan
demikian jelaslah bahwa apotek bukan sekedar tempat penjualan obat atau tempat
untuk menebus obat yang telah diresepkan oleh dokter, tapi juga merupakan tempat
dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi dan atau alat
kesehatan termasuk penyerahan obat keras tanpa resep dokter oleh apoteker/ obat
wajib apotek (OWA).
Apoteker Pengelola Apotek adalah apoteker yang telah diberi surat izin
apotek (SIA). Apoteker dapat dibantu oleh asisten apoteker dalam menjalankan
profesinya di apotek. Pada waktu menjalankan profesinya di apotek, Apoteker
pendamping juga dapat menggantikan Apoteker Pengelola Apotek pada jam-jam
tertentu pada waktu apotek buka (Anonim, 2002).
Berdasarkan PERMENKES No. 922/menkes/Per/X/1993 pasal 1, Asisten
apoteker adalah mereka yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten apoteker dengan
pengawasan apoteker. Tugas dari asisten apoteker adalah membantu Apoteker
Pengelola Apotek dalam pelaksanaan pengelolaan apotek yaitu :
a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,
penyimpanan, dan penyerahan obat atau bahan obat.
b. pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan sediaan farmasi lainnya.
c. pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan.
B. Resep
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004
resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Resep dapat juga
diartikan sarana komunikasi profesional antara dokter (penulis resep), APA
(penyedia/ pembuat obat), dan pasien. Resep ditulis dalam rangka memesan obat
untuk pengobatan penderita maka isi resep merupakan refleksi/ pengejawantaan
harus lengkap dan jelas atau komunikatif dan agar pengobatan berhasil, resepnya
harus benar/ rasional (Christina dkk, 2002).
Permenkes Nomor 26 tahun 1981 menyebutkan resep harus ditulis dengan
jelas dan lengkap. Kepmenkes Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan resep harus
memuat juga:
a. nama, alamat dan nomor izin praktek dokter, dokter gigi atau dokter hewan
b. tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat
c. tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep
d. tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
e. jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan
f. tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya
melebihi dosis maksimal.
Dalam hal salinan resep pada dasarnya salinan resep adalah resep juga.
Salinan resep selain memuat semua keterangan yang terdapat dalam resep asli juga
memuat:
a. nama dan alamat apotik
b. nama dan Nomor Surat Izin Pengelolaan Apotik
c. tanda tangan atau paraf apoteker pengelola apotek
d. tanda ’det’ atau ’detur’ untuk obat yang sudah diserahkan; tanda ’nedet’ atau
’ne-detur’ untuk obat yang belum diserahkan
Resep dapat dibedakan atas 4 bagian yaitu:
a. inscriptio
Terdiri dari identitas dokter (nama, No. Surat Izin Praktek, alamat), tempat
dan tanggal penulisan resep, serta tanda R/ sebelah kiri (pembuka resep atau
invocatio).
b. praescriptio
Bahasa Latin yang artinya perintah atau pesanan atau merupakan inti resep,
ialah bagian resep yang pokok, terdiri dari nama obat, bentuk sediaan obat, dan dosis
obat.
c. signatura
Bahasa Latin yang artinya tanda, ialah tanda yang harus ditulis di etiket
obatnya, terdiri dari nama penderita dan petunjuk mengenai obatnya (biasanya cara
pemakaiannya).
d. subscriptio
Bahasa Latin yang artinya tanda tangan atau paraf.
Resep yang jelas adalah tulisannya terbaca. Misalnya nama obatnya ditulis
secara betul dan sempurna/ lengkap. Nama obat harus ditulis yang betul, hal ini perlu
mendapat perhatian karena banyak obat yang tulisannya atau bunyinya hampir sama,
sedangkan isi dan khasiatnya berbeda.
Nama obat harus ditulis lengkap (sesuai yang tercantum dalam label),
karena keterangan pada tiap nama mempunyai arti sendiri. Bila tidak lengkap akan
Resep yang rasional adalah resep yang tepat dan aman. Resep yang rasional
harus memenuhi syarat yaitu setelah diagnosanya tepat maka kemudian memilih
obatnya tepat sesuai dengan penyakitnya dan aman digunakan, diberikan dengan
dosis yang tepat dalam bentuk sediaan yang tepat, diberikan pada waktu yang tepat,
dengan cara yang tepat, untuk penderita yang tepat (Christina dkk, 2002)
C. Medication Error
Menurut The US Pharmacopeia, medicaton error didefinisikan sebagai:
”any preventable event that may cause or lead to inappropriate medication use or
patient harm while the medication is in the control of the health care professional,
patient, or consumer” (Dwiprahasto, 2004).
Berbeda dengan adverse drug reaction, medication errors terjadi sebagai
akibat dari kesalahan manusia atau lemahnya sistem yang ada. Medication error
dapat terjadi dalam setiap langkah penyiapan obat mulai dari proses pemilihan obat,
permintaan melalui resep, pembacaan resep, formulasi obat, penyerahan obat kepada
pasien hingga penggunaannya oleh pasien atau petugas kesehatan (Dwiprahasto,
2004).
Menurut American Hospital Association, medication error antara lain
dapat terjadi pada situasi berikut:
a. informasi pasien yang tidak lengkap, misalnya tidak ada informasi tentang
riwayat alergi, penggunaan obat sebelumnya, serta faktor-faktor risiko yang
b. tidak diberikan informasi obat yang layak, misalnya cara minum atau
menggunakan obat, frekuensi dan lama pemberian hingga peringatan jika timbul
gejala efek samping;
c. miskomunikasi dalam peresepan, misalnya interpretasi farmasis yang keliru
dalam membaca resep dokter, kesalahan membaca desimal, pembacaan unit dosis
hingga singkatan peresepan yang tidak jelas (q.d atau q.i.d/ QD);
d. pelabelan kemasan obat yang tidak jelas sehingga beresiko dibaca keliru oleh
pasien; dan
e. faktor-faktor lingkungan, seperti ruang apotek/ ruang obat yang tidak terang,
hingga suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang dapat mengakibatkan
timbulnya medication error.
Pencegahan medication error dapat didekati dengan konsep-konsep human
error sebagaimana ditulis oleh Belay:
a. error awareness, dalam konteks ini maka setiap individu yang terlibat harus
menyadari bahwa medication error dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan
menimpa siapa saja.
b. lakukan pengamatan sistematik. Awal terjadinya medication error dapat berasal
dari individu dan juga sistem. Sistem yang buruk, yang tidak mendukung
mekanisme kerja yang baik atau tidak dijalankan atas dasar prosedur yang standar
juga dapat menjadfi sumber medication error. Sebagai contoh, buruknya sistem
c. gunakan data medication error sebagai alat untuk menyusun instrumen analisis
error
d. kembangkan kemauan untuk mendesain ulang sistem yang ada
e. gunakan simulasi yang memungkinkan
f. pengumpulan data secara otomatis untuk analisa error
g. lakukan evaluasi terhadap kinerja petugas
h. antisipasi error melalui sistem koding dan SOP yang lebih baik.
(Dwiprahasto, 2004)
Tabel I. Bentuk-bentuk Medication Error
Prescribing Transcribing Dispensing Administration
• kontraindi obat yang tidak jelas, salah menghitung dosis, salah memberi label, salah menulis instruksi, dosis keliru, pemberian obat di luar instruksi,
instruksi verbal dijalankan keliru
Administration error, kontraindikasi, obat tertinggal di samping bed,
extra dose, kegagalan mencek instruksi, tidak mencek identitas pasien, dosis keliru, salah menulis instruksi, patient off unit, pemberian obat di luar instruksi, instruksi verbal dijalankan keliru.
Menurut National Coordinating for Medication Error Reporting and
Prevention (NCCMERP) kategorisasi medication error adalah sebagai berikut:
Tabel II. Taksonomi dan Kategorisasi Medication Error
Tipe error Kategori Keterangan
No error A Keadaan atau kejadian yang potensial menyebabkan terjadinya
error
B Error terjadi, tetapi obat belum mencapai pasien
C Error terjadi, obat sudah mencapai pasien, tetapi tidak menimbulkan risiko:
a. obat mencapai pasien dan sudah terlanjur diminum/
digunakan
b. obat mencapai pasien, tetapi belum sempat diminum/ digunakan
Error No harm
D Error terjadi dan konsekuensinya pasien memerlukan monitoring, tetapi tidak menimbulkan risiko (harm) pada pasien E Error terjadi dan konsekuensinya pasien memerlukan terapi atau
intervensi serta menimbulkan risiko (harm) pada pasien yang bersifat sementara
F Error terjadi dengan konsekuensi pasien memerlukan perawatan atau perpanjangan perawatan di rumah sakit dan menyebabkan risiko (harm) yang bersifat sementara.
G Error terjadi dan menyebabkan risiko (harm) permanen
Error harm
H Error terjadi dan nyaris menimbulkan kematian (misal anafilaksis, henti jantung)
Error death I Error terjadi dan menyebabkan kematian pada pasien
D. Pelayanan Resep
Pada dasarnya sediaan farmasi yang berupa obat berdasarkan resep dokter
tidak dapat diganti dengan padanannya. Namun demikian pasien berhak untuk
memilih obat serta mendapatkan obat tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan dari apoteker (Anonim, 1999). Dengan mempertimbangkan faktor
ekonomi penerima pelayanan kesehatan/ pengguna, serta untuk melindungi yang
sehingga dapat membahayakan kesehatan atau jiwa, maka dapat dimungkinkan
penggantian sediaan farmasi yang berupa obat berdasarkan resep dokter dengan
padanannya berupa obat generik, sepanjang hal tersebut disetujui atau atas
sepengetahuan dokter yang mengeluarkan resep atau atas persetujuan pasien yang
bersangkutan. Penggunaan sediaan farmasi yang berupa obat yang tidak tepat dalam
hal ini adalah berkaitan dengan jumlah sediaan farmasi yang berupa obat yang harus
digunakan dalam pelayanan kesehatan yang bersangkutan (Anonim, 1998).
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/MENKES/SK/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek
menyebutkan pelayanan resep meliputi skrining resep, dan penyiapan obat.
1 Skrining resep meliputi:
a. Skrining persyaratan adminitratif 1) Nama, SIP dan alamat dokter 2) Tanggal penulisan resep
3) Tanda tangan/ paraf dokter penulis resep
4) Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien 5) Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta
6) Cara pemakaian yang jelas 7) Informasi lainnya
b. Skrining kesesuaian farmasetik
Bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
c. Skrining pertimbangan klinis
Adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu mengunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah.
Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
b. Pengetiketan
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
c. Pengemasan obat
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.
d. Penyerahan obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
e. Informasi obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian, cara penyimpanan, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
f. Konseling.
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan atau perbekalan kesehatan lainnya.
Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
g. Monitoring obat
E. Prosedur Tetap
Untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar apotek seharusnya memiliki prosedur tetap. Manfaat dari prosedur tetap adalah:
1 untuk memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat; 2 adanya pembagian tugas dan wewenang;
3 memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan lain yang bekerja di apotek;
4 dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; 5 membantu proses audit.
Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut:
1 tujuan : merupakan tujuan protap.
2 ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.
3 hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.
4 persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan.
5 proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar.
6 sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian.
(Anonim, 2004a)
Pelaksanaan proses pengorganisasian yang sukses akan membuat suatu
organisasi dapat mencapai tujuannya. Proses ini tercermin pada struktur organisasi,
dimana mencakup aspek-aspek penting organisasi dan proses pengorganisasian.
Dalam pengelolaan apotek yang baik, organisasi yang mapan merupakan salah satu
faktor yang dapat mendukung keberhasilan suatu apotek. Oleh karena itu dibutuhkan
adanya garis wewenang dan tanggung jawab yang jelas dan saling mengisi, disertai
dengan job description yang jelas pada masing-masing bagian di dalam struktur
Struktur organisasi apotek dapat digambarkan sebagai berikut:
Kasir Juru Resep
Karyawan Pembantu
Apoteker Pengelola Apotek (APA) Pemilik Sarana Apotek (PSA)
Tata Usaha Asisten Apoteker Pelayanan dan Peracikan
resep
Petugas Gudang Apoteker Pendamping
Bendahara
Gambar 1. Struktur organisasi apotek
F. Konseling dan Monitoring
Secara umum konseling adalah suatu teknik, ketrampilan yang digunakan
untuk membantu seseorang untuk mengatasi masalah mereka dengan menggunakan
sumber daya dari dirinya sendiri. Konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah
yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan
masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan (Anonim, 2004a).
Dalam pelayanan obat di apotek, konseling sangat dibutuhkan terutama
secara umum konsumen apotek sangat heterogen. Keanekaragaman konsumen tidak
hanya terbatas dari sisi umur, tetapi juga dari sisi pengetahuan, pendidikan, daya
tangkap, ekonomi, dan lain-lain.
Hal tersebut diatas membutuhkan kepekaan dari petugas dalam memahami
dan melayani konsumen agar mereka merasa diperhatikan dan diperlakukan dengan
baik. Oleh karena itu, apoteker perlu mempunyai kemampuan terutama dalam
memberikan konseling. Kemampuan tersebut antara lain:
a. mendengarkan secara aktif serta kemampuan komunikasi yang efektif.
Komunikasi, baik verbal maupun non verbal, menjadi kunci utama dalam
memberikan layanan yang bersifat tatap muka langsung. Dalam kaitannya
dengan layanan obat, petugas tidak hanya harus mampu mengkomunikasikan
cara memakai obat, dosis yang harus diminum, efek samping, dan lain-lain, tetapi
juga memberikan kesempatan kepada konsumen untuk bertanya apakah ada
hal-hal yang belum jelas. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk bertanya
adalah suatu langkah yang bijaksana mengingat konsumen apotek yang beraneka
ragam dan mempunyai daya tangkap yang berbeda-beda.
b. menghormati pelanggan dan masalahnya. Sikap ini sangat dibutuhkan untuk
menunjukkan bahwa konsumen adalah orang yang penting, sehingga mereka
pantas dihormati dan dilayani dengan baik.
c. menunjukkan rasa empati. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, konsumen
dirinya sendiri maupun keluarga, sehingga sikap yang ramah dan empatik akan
membantu konsumen dalam menghadapi masalahnya.
d. tunjukkan ketulusan dalam memberikan konseling. Dalam mendapatkan
pelayanan konsumen akan merasakan apakah petugas melakukan dengan tulus
atau sekedar formalitas. Petugas perlu memberikan waktu ekstra kalau memang
diperlukan sehingga konsumen merasa betul-betul dilayani dengan baik (Anonim,
2004c)
Monitoring dapat dilakukan dengan mempelajari secara seksama data-data
medik, proses pengobatan dan tujuan terapi, melakukan kunjungan rutin dan
berkomunikasi secara aktif atau melakukan telepon untuk mengetahui kemajuan
terapi pasien dan mendeteksi kemungkinan timbulnya masalah baru dalam terapi
obat, melakukan pencatatan tentang perubahan yang meliputi kesesuaian hasil terapi
dengan tujuan terapi, perubahan terapi maupun masalah yang timbul, melakukan
penilaian dan perencanaan kembali terapi obat pasien jika ditemukan masalah baru,
dan mendokumentasikan seluruh kegiatan dengan selalu menjaga kerahasiaan pasien
(ISFI, 2004).
Menurut standar pelayanan kefarmasian di apotek dalam Kepmenkes No.
102/MENKES/SK/IX/2004, Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat
melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis. Dalam melakukan
aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication
G. Peran Apoteker
Peran profesi apoteker telah mengalami perubahan yang cukup signifikan
dalam dua puluh tahun terakhir ini dengan berkembangnya ruang lingkup pelayanan
kefarmasian. Peran profesi apoteker yang digariskan oleh WHO (1997) yang dikenal
dengan the seven stars of pharmacist meliputi:
1. care-giver
Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis
analisis, teknis sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan
pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun
kelompok. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanan pada sistem pelayanan
kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan harus
bermutu tinggi.
2. decision-maker
Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, keefisienan dan
biaya efektif terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya sumber daya
manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur pelayanan, dll. Untuk mencapai
tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk kemudian
hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pelatihan dan pendidikan yang diperlukan.
3. communicator
Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan
berkomunikasi yang baik meliputi komunikasi verbal, nonverbal mendengar dan
kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai kebutuhan.
4. leader
Apoteker diharapkan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang
empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola keputusan.
5. manager
Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik,
anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam
tim kesehatan. Lebih lanjut lagi apoteker mendatang harus tanggap terhadap
kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.
6. life-long learner.
Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat belajar harus
selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan
ketrampilannya selalu baru ( up-date ) dalam melakukan praktek profesi. Apoteker
juga harus mempelajari cara belajar yang efektif.
7. teacher
Apoteker memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan melatih generasi
mendatang dengan tidak hanya membagi ilmu pengetahuan satu sama lain, tetapi
juga dalam kesempatan dalam memperoleh ilmu pengetahuan baru dan peningkatan
Fungsi pelayanan apoteker di farmasi komunitas pada saat ini seperti di
negara maju seperti di Amerika Serikat lebih ditekankan pada edukasi terhadap
pasien serta pemberian informasi yang tepat guna tentang khasiat, efek samping obat,
peringatan-peringatan yang terkait dengan penggunaan obat, aturan pakai, dan cara
pemakaian obat. Pemantauan serta penilaian terhadap hasil pengobatan, juga telah
menjadi bagian dari pelayanan apoteker. Dengan demikian pelayanan apoteker
mengalami perubahan dari drug oriented menjadi patient oriented (Donatus, 2000).
Peranan apoteker menurut fungsi apotek dibagi menjadi dua. Pertama, yaitu
sebagai unit kesehatan (non profit oriented). Apotek berfungsi memberikan
pelayanan kesehatan dengan menyediakan sediaan farmasi dan alat kesehatan di
bawah tanggung jawab apoteker. Seorang apoteker dalam menjalankan fungsi apotek
harus mengutamakan kepuasan konsumen (custumer satisfaction) antara lain dengan
memperhatikan kelengkapan sediaan obat dan barang yang dijual di apotek agar
diusahakan tidak ada resep atau permintaan konsumen yang ditolak karena
ketidaklengkapan sediaan (Anief, 1995).
Kedua, yaitu sebagai sarana bisnis (profit oriented). Apotek berfungsi
sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat memberikan keuntungan. Apoteker
harus mampu bertindak sebagai manajer dengan bekal ilmu manajerial yang
H. Apoteker Sebagai Suatu Profesi
Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan dan
keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang bersifat
teoritis dan praktek dan diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan kepada yang
bersangkutan diberi wewenang guna pemberian layanan kepada konsumen atau
kliennya.
Profesi dapat dikaji dari dua hal berikut (Harding dkk, 1993), yaitu:
1. memiliki ciri atau karakteristik tertentu
2. memiliki peran atau fungsi sosial dalam masyarakat
Menurut Harding dkk (1993), gambaran inti dari profesi adalah sebagai berikut ini:
1. ilmu pengetahuan khusus yang berasal dari pelatihan jangka panjang (specialized
knowledge and lengthy training) yaitu bahwa suatu profesi memerlukan
pendidikan/ pelatihan dalam jangka waktu tertentu/ lama, pengetahuan yang
diterimanya bersifat sangat khusus dan merupakan lulusan dari perguruan tinggi.
2. monopoli dalam praktek (monopoly of practice) yaitu bahwa hanya anggota
profesi yang berwenang untuk melakukan profesi tersebut, dan bagi yang tidak
berwenang dianggap ilegal.
3. pengaturan diri (self regulation) yaitu bahwa suatu profesi berwenang untuk
mengatur dirinya sendiri, namun dalam hal ini harus tetap dapat menerima atau
menghargai pendapat dari pihak lain.
4. orientasi pelayanan (serve orientation) yaitu bahwa suatu profesi harus bekerja
Menurut ISFI (2003) profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatang jelas.
2. pendidikan khusus berbasis ”keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi.
3. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian.
4. memiliki himpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom.
5. memiliki kode etik keprofesian.
6. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan.
7. mroses pembelajaran seumur hidup.
8. mendapat jasa profesi.
Ciri-ciri profesi menurut Hartini dan Sulasmono, 2006:
1. unusual learning, yaitu dididik dan menerima pengetahuan yang khas dan
merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di tempat lain
atau bidang yang berbeda.
2. pelayanannya bersifat altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan
mementingkan kepentingan orang lain).
3. telah mengucapkan sumpah.
4. memiliki kode etik.
5. memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk
dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992).
6. memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan peraturan
perundang-undangan lain).
8. memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional.
9. Bersifat otonomi dan independensi.
10. mertemu dan berinteraksi dengan klien atau penderita.
11. confidential relationship dalam pelayanannya (Sulasmono, 1997).
Berikut ini beberapa definisi tentang profesionalisme (Harding dkk, 1993):
1. suatu dasar kecendikiawanan untuk mempraktekkan suatu seni khusus.
2. suatu derajad kesejawatan yang tinggi.
3. suatu derajad kemerdekaan yang tinggi dalam mempraktekkan sesuatu sesuai
pengetahuan dan keputusan praktisi.
4. suatu hubungan universal antara praktisi dan klien atas dasar kepercayaan yang
tinggi.
5. suatu praktek yang sesuai dengan kode etik, dimana finansial adalah sekunder,
komersialisme tidak ada dan aktifitas non profesional dikurangi.
I. Standar Profesi
Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petuntuk
dalam menjalankan profesi secara baik. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan di dalam pasal 53 ayat (2) disebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam
melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati
Menurut Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan pada pasal 21 ayat (1) dijelaskan bahwa setiap tenaga kesehatan dalam
melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi kesehatan dan
pada ayat (2) disebutkan bahwa standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri. Pasal 24 ayat (1) dijelaskan
bahwa perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan
tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.
Penjelasan pasal 50 Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran menyebutkan bahwa yang dimaksud standar profesi adalah batasan
kemampuan (knowledge, skill and profesional attitude) minimal yang harus dikuasai
oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.
J. Keterangan Empiris
Peran Apoteker Pengelola Apotek selama ini dianggap banyak kalangan
belum optimal, karena kehadirannya di apotek kurang. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui persepsi Apoteker Pengelola Apotek terhadap perannya ketika hadir di
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah eksploratif dengan rancangan penelitian
deskriptif. Penelitian eksploratif adalah penelitian yang bertujuan untuk mencari
hubungan-hubungan baru yang terdapat pada suatu permasalahan yang luas dan
kompleks. Penelitian ini bertujuan pula untuk mengumpulkan data
sebanyak-banyaknya (Mardalis, 2006). Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan,
mencatat, dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang terjadi atau ada.
Penelitian ini tidak untuk menguji hipotesis atau tidak mempergunakan hipotesis,
melainkan mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan variabel-variabel
yang diteliti tanpa dianalisis/ non analitik (Mardalis, 2006).
B. Batasan Operasional Penelitian
1. Peran adalah kegiatan yang diharapkan dilakukan oleh Apoteker Pengelola
Apotek.
2. Pelayanan resep adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab profesi apoteker
dalam pekerjaan kefarmasian yang berkaitan dengan resep yang mengacu pada
Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar
3. Persepsi merupakan gambaran subyektif internal seseorang dalam bentuk
pendapat, harapan, dan lain-lain terhadap suatu hal yang dilihat, diduga, dan atau
dirasakan. Persepsi dalam penelitian ini merupakan gambaran subyektif internal
APA di Kota Yogyakarta terhadap perannya dalam pelayanan resep selama di
apotek.
C. Bahan Penelitian
Bahan penelitian ini adalah data yang terkumpul dari hasil pengisian
kuisioner oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) di apotek Kota Yoyakarta.
D. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data pada penelitian ini berupa angket/ kuisioner yang
berisi:
1. deskripsi karakteristik apotek
2. deskripsi karakteristik APA
3. deskripsi mengenai persepsi peran APA dalam pelayanan resep di apotek selama
kehadirannya di apotek
E. Tata Cara Pengumpulan Data 1. Penyusunan pertanyaan kuisiner
Kuisioner merupakan suatu instrumen pengumpul data dalam penelitian
sosial. Dengan kuisioner tersebut peneliti menggali informasi dari responden ( orang
Kuisiner yang digunakan dalam penelitian ini memuat sejumlah pertanyaan
yang ditujukan kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Kota Yogyakarta.
Pertanyaan disusun dengan mengacu pada keputusan menteri kesehatan nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek,
terutama pelayanan resep.
2. Pengukuran validitas
Suatu alat ukur dikatakan valid (benar atau sahih) jika alat ukur tersebut
tepat untuk mengukur konsep atau variabel yang diukur (Adi, 2004). Pengukuran
validitas dari penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan dari beberapa orang yang
dianggap berpengalaman, yaitu dosen pembimbing dan beberapa dosen fakultas
farmasi yang bekerja di apotek kemudian dilakukan uji percontohan kepada beberapa
Apoteker Pengelola Apotek di kabupaten Sleman.
3. Menentukan besarnya populasi
Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia,
benda-benda, tumbuhan, gejala atau peristiwa sebagai sumber data yang merupakan
karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian (Nawawi, 1995). Berdasarkan data
yang di peroleh dari Dinas Kesehatan, jumlah apotek di Kota Yogyakarta pada bulan
Juni 2006 adalah 114 apotek. Penelitian ini menggunakan sampel yaitu seluruh
Apoteker Pengelola Apotek yang ada di Kota Yogyakarta.
4. Penyebaran kuisioner
Penyebaran kuisioner dilakukan dengan memberikan kuisioner langsung
apoteker kemudian. Penyebaran kuisioner dilakukan pada bulan Juni dimulai pada
tanggal 14.
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan, diketahui bahwa jumlah apotek
di Kota Yogyakarta adalah sebanyak 114 apotek. Namun ada sebagian apotek yang
telah tutup karena rusak akibat gempa yaitu sebanyak 12 apotek. Ada 17 apotek yang
menolak untuk menerima kuisioner. Kuisioner yang disebarkan sebanyak 83 buah
tetapi tidak semua Apoteker Pengelola Apotek (APA) bersedia untuk menjadi
responden.
5. Pengumpulan kuisioner
Pengumpulan kuisioner dilakukan secara langsung atau satu minggu setelah
penyebaran kuisioner. Pengumpulan kuisioner ini selesai sampai tanggal 31 Juni
2006. Dari jumlah tersebut kuisioner yang dikembalikan sebanyak 58 buah. Sampel
yang digunakan adalah seluruh Apoteker Pengelola Apotek (APA) pada apotek yang
masih buka dan bersedia mengisi kuisioner.
6. Melakukan tabulasi data
Tabulasi dilakukan dengan cara melakukan perhitungan jawaban kuisioner
dari responden yang telah mengisinya, kemudian mengelompokkan masing-masing
jawaban tersebut dan menghitung persentasenya.
F. Tata Cara Analisis Hasil
Data yang diperoleh kemudian diolah dengan metode statistik-deskriptif
dijumlahkan lalu dipersentase dengan jumlah total 100%. Data disajikan dalam
bentuk tabel dan diagram.
G. Kesulitan Penelitian
Terdapat beberapa kesulitan pada penelitian ini, yaitu kurangnya partisipasi
responden pada uji validitas, sehingga berpengaruh pada jawaban responden pada
saat pengambilan data. Juga pada saat penyebaran kuisioner peneliti tidak bisa
mendampingi setiap responden sehingga ada kemungkikan kuisioner tidak diisi
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh dari 58 responden diolah dengan metode
statistik-deskriptif dimana jawaban yang sama dikelompokkan dan dihitung persentasenya
kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk diagram dan tabel. Berikut adalah hasil
dari perhitungan data.
A. Karakteristik dari Apotek dan APA
Karakteristik dari apotek meliputi pemilik sarana apotek, bentuk
kepemilikan apotek, lama rata-rata apotek buka per hari, jumlah hari buka apotek
selama seminggu, ada tidaknya prosedur tetap, ada tidaknya job description tertulis,
jumlah lembar resep rata-rata tiap bulan, jumlah AA, jumlah tenaga lain yang bukan
tenaga kefarmasian, dan jumlah dokter praktek yang ada di apotek.
Karakteristik dari Apoteker Pengelola Apotek (APA) meliputi usia,
pengalaman bekerja sebagai apoteker di apotek, penuh tidaknya bekerja sebagai
APA, ada tidaknya pekerjaan lain disamping sebagai APA, punya tidaknya Apoteker
Pendamping, jumlah hari bekerja di apotek selama seminggu, dan lama berada di
apotek perhari kerja.
1. Pemilik sarana apotek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang perubahan
disebutkan bahwa fungsi apotek adalah sebagai tempat pengabdian profesi seorang
apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. Pasal 3 menyatakan bahwa apotek
dapat diusahakan oleh:
a. lembaga atau instansi pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di pusat dan
di daerah;
b. perusahaan milik negara yang ditunjuk oleh pemerintah;
c. apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin kerja dari
Menteri Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/PER/X/2002
menyebutkan bahwa untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang
bekerjasama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap
dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang
merupakan milik sendiri atau pihak lain.
Kerja sama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dapat dibedakan
menjadi 2 bentuk kerja sama yaitu satu apoteker ikut menyertakan modal dan dua
apoteker sebagai APA tetapi tidak ikut menyertakan modal. Kerja sama bentuk yang
kedua ini apoteker dapat dianggap sebagai karyawan yang bekerja untuk pemilik
sarana apotek. Apoteker yang tidak ikut dalam penyertaan modal dalam pendirian
apotek ada kemungkinan mendapat pengaruh atau tekanan dari pemilik sarana apotek
dalam pengambilan keputusannya. Keikutsertaan PSA dalam pengambilan keputusan
tidak menjadi masalah asalkan tetap menghormati kode etik profesi apoteker. Sebagai
pekerjaan tersebut merupakan wewenang dari apoteker tetapi apoteker mungkin tidak
berani untuk menolak karena merasa dirinya hanya sebagai karyawan walaupun SIA
diberikan kepadanya. Kepentingan pemilik sarana apotek yang mungkin hanya
berorienasi pada keuntungan (profit oriented) akan bertentangan dengan kepentingan
APA yang tidak hanya berorientasi dalam mencari keuntungan tetapi juga kepada
kepentingan pasien (patient oriented). Ini akan menyebabkan peran APA di apotek
menjadi tidak optimal.
Pemilik sarana apotek
12%
14%
74%
milik APA
bukan milik APA
gabungan/ kerja sama dengan pihak lain
Gambar 2. Pemilik sarana apotek
Berdasarkan kepemilikannya atas sarana apotek, apotek di Kota Yogyakarta
dapat dilihat pada gambar 2, dan bentuk kepemilikan sarana apotek yang bukan
merupakan milik APA sendiri dapat dilihat pada gambar 3. Dari 58 apotek yang
disurvei 12 % apotek sarananya adalah milik Apoteker Pengelola Apotek, 74% bukan
antara Apoteker Pengelola Apotek dengan pihak lain. Sarana apotek yang bukan
merupakan milik Apoteker Pengelola Apotek adalah milik PSA perorangan sebanyak
64%, berupa koperasi 2%, sebanyak 12% merupakan PT, 22% adalah lain-lain
seperti CV atau Firma.
Bentuk kepemilikan apotek yang bukan milik APA
64% 2%
12% 22%
perorangan koperasi
PT lainnya
Gambar 3. Bentuk kepemilikan apotek untuk apotek yang sarananya bukan milik APA
Peneliti menduga ada hubungan antara bentuk kepemilikan sarana apotek
dengan frekuensi APA di apotek tetapi untuk membuktikan kebenarannya perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut. Dapat dilihat di dalam gambar 4, untuk apotek yang
merupakan sarananya adalah milik sendiri/ gabungan (punya modal), apoteker yang
datang tiap hari (6-7 hari) dalam seminggu lebih rendah dari pada apoteker yang
sarana apoteknya bukan milik sendiri. Sedangkan kehadiran APA kurang dari 4 jam
untuk apotek yang sarananya merupakan milik APA lebih tinggi dari pada yang
bukan milik APA (lihat gambar 5). APA yang bekerja pada apoteknya sendiri
mungkin beranggapan bahwa dia berhak untuk datang kapanpun tanpa adanya
sarananya bukan milik sendiri akan cenderung untuk datang sesuai jam kerja yang
telah ditentukan oleh PSA/ perusahaan tempat ia bekerja.
Rata-rata jumlah hari APA datang ke apotek berdasarkan kepemilikan sarana apotek
Gambar 4. Jumlah rata-rata hari APA datang ke apotek berdasarkan kepemilikan sarana apotek
Lama APA di apotek berdasarkan kepemilikan sarana apotek
33.3 40
) APA Apotek miliksendiri&
gabungan
Apotek bukan milik sendiri
Gambar 5. Lama jam APA di apotek berdasarkan kepemilikan sarana apotek
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
244/MENKES/PER/V/1990 yang mengatur tentang pengelolaan dan perizinan apotek
menyebutkan bahwa apotek dibuka tiap hari dari jam 8.00 sampai jam 22.00. Saat ini
tidak ada ketentuan yang menetapkan jam buka dan hari buka apotek. Apotek dapat
buka kapan pun tanpa ada batasan waktu dan hari tetapi Apoteker Pengelola Apotek
harus berada di apotek. Seperti yang tertulis dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1332 tahun 2002 pasal 19 bahwa APA harus berada di apotek selama apotek
buka dan APA harus menunjuk Apoteker Pendamping jika APA berhalangan
melakukan tugasnya.
Apotek dapat dibuka pada hari libur dan juga bisa dibuka selama 24 jam
sehari. Idealnya adalah apotek buka selama 24 jam dan tetap buka walaupun pada
hari libur dengan pertimbangan bahwa hal ini akan memudahkan masyarakat dalam
memperoleh layanan obat yang diperlukan.
Manfaat diketahui lama jam buka dan hari buka apotek dalam penelitian ini
adalah karena ada kemungkinan hubungan antara lama jam buka apotek dengan
jumlah resep yang masuk ke apotek. Lama jam buka dan hari buka apotek juga
menentukan berapa lama seharusnya Apoteker Pengelola Apotek berada di apotek.
Terlihat pada kedua gambar diatas bahwa apotek di Kota Yogyakarta
kebanyakan buka selama 10 sampai 14 jam sehari. Sedangkan APA berada di apotek
paling banyak antara 4 sampai 6 jam sehari. Jika dibandingkan antara lama jam buka
apotek dengan lama APA berada di apotek maka dapat diketahui bahwa ada jam-jam
Lama apotek buka rata-rata/ hari
Gambar 6. Lama apotek buka rata-rata per hari
Lam a APA bekerja di apotek perhari
27.6
Gambar 7. Lama APA bekerja di apotek perhari
Dapat dilihat pada gambar 8 di bawah bahwa apotek di Kota Yogyakarta
selama seminggu buka rata-rata adalah 6 hari atau 7 hari. Sedangkan pada gambar 9
dapat diketahui bahwa banyak APA yang datang ke apotek kurang dari 6 hari selama
seminggu. Dengan demikian kemungkinan pada hari-hari tertentu ada apotek di Kota