• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerjasama apotek di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menurut persepsi apoteker pengelola apotek yang tergabung dalam apotek jaringan dalam rangka peningkatan pelayanan kefarmasian.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kerjasama apotek di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menurut persepsi apoteker pengelola apotek yang tergabung dalam apotek jaringan dalam rangka peningkatan pelayanan kefarmasian."

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Misi praktek farmasi menurut buku Standar Kompetensi Farmasis Indonesia adalah menyediakan obat dan alat-alat kesehatan lain dan memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk menggunakan obat maupun alat kesehatan dengan cara yang benar. Ide penelitian berasal dari pernyataan Ketua BPD – ISFI DKI Jakarta Azwar Daris yang berjudul Peranan Farmasis (Apoteker) Menuju Indonesia Sehat 2010. Pernyataan yang menjadi topik penelitian adalah untuk Apoteker Pengelola Apotek diharapkan melakukan kerjasama yang baik dengan apotek sekitarnya dalam rangka meningkatkan pelayanan pada pasien.

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian observasional dengan rancangan penelitian deskriptif. Data diperoleh dari kuisioner yang diisi atau dijawab oleh Apoteker Pengelola Apotek yang apoteknya termasuk dalam suatu apotek jaringan di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebanyak 25 responden bersedia menjadi responden. Data dianalisis secara statistik deskriptif dalam bentuk persentase, jawaban yang sama dikelompokkan dan dihitung persentasenya serta ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel.

Dari penelitian diperoleh 36 % responden mendefinisikan apotek jaringan sebagai apotek di mana segala sesuatunya terkoordinir dengan suatu sistem kinerja, visi, misi, tujuan yang sama serta mempunyai suatu ciri khas yang menunjukkan identitas jaringannya. Mayoritas responden (76%) merasa tidak diperlukan peraturan tersendiri dalam hukum untuk mengatur apotek jaringan. Jawaban ini berhubungan dengan definisi apotek jaringan dimana apotek jaringan bukan bentuk apotek yang baru tetapi merupakan suatu sistem kerjasama atau bisnis. Sebanyak 92% responden yakin adanya hubungan antara apotek jaringan dengan peningkatan pelayanan kefarmasian.

Kata kunci: apotek jaringan, dan peningkatan pelayanan kefarmasian

(2)

ABSTRACT

Pharmacy’s mission acording to Standar Kompetensi Farmasis Indonesia book’s is to provide drugs and other medical tools and give service to society for using drugs or medical tools with correct way. The idea of research comes from ISFI DKI Jakarta chairman Azwar Daris that announce a paper with the title Peranan Farmasis (Apoteker) Menuju Indonesia Sehat 2010. A line that becomes research topic is for apoteker pengelola apotek was hoped to working together to the others pharmacies in society for increasing service to the patient.

This research is observational studies through descriptive research as the main method. Data obtained from questionnaires filled or answered by apoteker pengelola apotek which his/her pharmacy is a part of networking pharmacy in Daerah Istimewa Yogyakarta, 25 respondents agree to become respondents. Data was analyzed descriptively, as percentage, and presented in diagrams and tables.

From this research, it has been discovered that there were 36 % respondent that define networking pharmacy as a pharmacy where everything coordinated with same system, vision, mission, purpose and have uniqueness that show the identity of the network. Most respondent (76 %) feels didn’t need new regulations to rule networking pharmacy. This answer was connected with networking pharmacy definition where networking pharmacy was not a new model of pharmacy but a working together or business system. Most respondent (92%) sure there is connection between networking pharmacy with the pharmacy service increasing.

Key words: networking pharmacy, and pharmacy service increasing

(3)

KERJASAMA APOTEK

DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MENURUT PERSEPSI APOTEKER PENGELOLA APOTEK

YANG TERGABUNG DALAM APOTEK JARINGAN

DALAM RANGKA PENINGKATAN PELAYANAN KEFARMASIAN

SKRIPSI

Ditujukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Albert Basuki Sasongko NIM : 028114089

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

KERJASAMA APOTEK

DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MENURUT PERSEPSI APOTEKER PENGELOLA APOTEK

YANG TERGABUNG DALAM APOTEK JARINGAN

DALAM RANGKA PENINGKATAN PELAYANAN KEFARMASIAN

SKRIPSI

Ditujukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Albert Basuki Sasongko NIM : 028114089

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2007

(5)

KERJASAMA APOTEK

DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MENURUT PERSEPSI APOTEKER PENGELOLA APOTEK

YANG TERGABUNG DALAM APOTEK JARINGAN

DALAM RANGKA PENINGKATAN PELAYANAN KEFARMASIAN

disusun oleh : Albert Basuki Sasongko

NIM : 028114089

telah disetujui oleh :

(6)

KERJASAMA APOTEK

DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MENURUT PERSEPSI APOTEKER PENGELOLA APOTEK

YANG TERGABUNG DALAM APOTEK JARINGAN

DALAM RANGKA PENINGKATAN PELAYANAN KEFARMASIAN

Oleh:

(7)

Another journey have been done,

Another chapter has been closed,

BUT

Another challenge have awaken…

Another paper have waited…

By Albert Song

“Anggaplah hidup sebagai impian, sulapan, pelembungan

busa, pajangan, embun atau kilat. Maka hidup akan

mengalir indah.” - Rattana Sutra 32

(8)

PRAKATA

Segala puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Kerjasama Apotek Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menurut Persepsi Apoteker Pengelola Apotek Yang Tergabung Dalam Apotek Jaringan Dalam Rangka Peningkatan Pelayanan Kefarmasian” dapat terselesaikan dengan baik.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyusunan skripsi ini tentunya tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu tidak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Drs. Sulasmono, Apt selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia membimbing, memberi kritik dan saran selama persiapan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Edi Joko Santoso, S.Si., Apt. yang telah bersedia membantu, dan memberi kritik dan saran selama persiapan usulan penelitian hingga terselesaikannya daftar pertanyaan yang digunakan selama penelitian.

4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku dosen penguji yang bersedia untuk memberikan masukan yang berguna demi peningkatan hasil karya tulis ini.

(9)

5. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang bersedia untuk memberikan masukan yang berguna demi peningkatan hasil karya tulis ini. 6. Apoteker Pengelola Apotek di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang telah

bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

7. Ketua ISFI Proponsi DIY beserta pengurus yang telah bersedia untuk membantu proses validasi dan reliabilitas pertanyaan, serta memberikan surat rekomendasi Apoteker Pengelola Apotek yang dapat dikunjungi.

8. Gubernur DIY c.q. BAPEDA DIY, untuk ijin yang diberikan dalam melakukan penelitian ini.

9. Walikota Yogyakarta c.q. Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, untuk ijin yang diberikan dalam melakukan penelitian ini.

10.Bupati Kabupaten Sleman c.q. BAPPEDA Kabupaten Sleman, untuk ijin yang diberikan dalam melakukan penelitian ini.

11.Bupati Kabupaten Bantul c.q. BAPPEDA Kabupaten Bantul, untuk ijin yang diberikan dalam melakukan penelitian ini

12.Papa, Mamaku, dan saudara-saudaraku atas doa dan semangat yang diberikan. 13.Ricka Indiryani Wijayanti, S.Farm. selaku kakak seperguruan yang banyak

membantu dalam skripsi ini.

14.Rita, S. Farm. yang telah banyak membantu penulis dari segi emosi, moral, mental dan spiritual selama penyusunan skripsi ini.

15.Edi Sugianto S. Farm. yang telah banyak membantu penulis dari segi emosi, mental dan memacu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini secepatnya.

(10)

16.Edi Sugianto, S. Farm., Junaidi (a.k.a. A-Fu), Mardoni, S. Farm., Paskalis Handie, dan Yulius yang menemani penulis selama pengetikan, penyusunan skripsi ini, dan telah memberi tempat di kos selama penyusunan skripsi ini. 17.Adrianus Arinawa Y., Ema Nillafitaputri K., Heribertus Dwi H., Hendra Tri

Pramono, Stefanus Hardjanto Ario S.; selaku saudara seperguruan yang telah bersama-sama saling membantu dalam menyusun skripsi.

18.Adrianus Arinawa Y., Adistyawan Yoga Wicaksono, Benny Sugientoro, S. Farm., Edi Sugianto, S. Farm., Ferry Mahardika, Florentina Dewi ’05, Hartono Kobero, Heribertus Dwi H., Junaidi (a.k.a. A-Fu), Mardoni, S. Farm., Ricka Indiryani Wijayanti, S.Farm., Rita, S. Farm., Stefanus Hardjanto Ario S., Susanto, Vicky Ariestya C., Yosephine; yang telah hadir dan membantu proses ujian terbuka dan tertutup penulis sehingga dapat berjalan lancar.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua kebaikan-kebaikan yang telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi semua pihak yang membutuhkan.

Yogyakarta, 29 Januari 2007

Penulis

(11)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

(12)

INTISARI

Misi praktek farmasi menurut buku Standar Kompetensi Farmasis Indonesia adalah menyediakan obat dan alat-alat kesehatan lain dan memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk menggunakan obat maupun alat kesehatan dengan cara yang benar. Ide penelitian berasal dari pernyataan Ketua BPD – ISFI DKI Jakarta Azwar Daris yang berjudul Peranan Farmasis (Apoteker) Menuju Indonesia Sehat 2010. Pernyataan yang menjadi topik penelitian adalah untuk Apoteker Pengelola Apotek diharapkan melakukan kerjasama yang baik dengan apotek sekitarnya dalam rangka meningkatkan pelayanan pada pasien.

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian observasional dengan rancangan penelitian deskriptif. Data diperoleh dari kuisioner yang diisi atau dijawab oleh Apoteker Pengelola Apotek yang apoteknya termasuk dalam suatu apotek jaringan di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebanyak 25 responden bersedia menjadi responden. Data dianalisis secara statistik deskriptif dalam bentuk persentase, jawaban yang sama dikelompokkan dan dihitung persentasenya serta ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel.

Dari penelitian diperoleh 36 % responden mendefinisikan apotek jaringan sebagai apotek di mana segala sesuatunya terkoordinir dengan suatu sistem kinerja, visi, misi, tujuan yang sama serta mempunyai suatu ciri khas yang menunjukkan identitas jaringannya. Mayoritas responden (76%) merasa tidak diperlukan peraturan tersendiri dalam hukum untuk mengatur apotek jaringan. Jawaban ini berhubungan dengan definisi apotek jaringan dimana apotek jaringan bukan bentuk apotek yang baru tetapi merupakan suatu sistem kerjasama atau bisnis. Sebanyak 92% responden yakin adanya hubungan antara apotek jaringan dengan peningkatan pelayanan kefarmasian.

Kata kunci: apotek jaringan, dan peningkatan pelayanan kefarmasian

(13)

ABSTRACT

Pharmacy’s mission acording to Standar Kompetensi Farmasis Indonesia book’s is to provide drugs and other medical tools and give service to society for using drugs or medical tools with correct way. The idea of research comes from ISFI DKI Jakarta chairman Azwar Daris that announce a paper with the title Peranan Farmasis (Apoteker) Menuju Indonesia Sehat 2010. A line that becomes research topic is for apoteker pengelola apotek was hoped to working together to the others pharmacies in society for increasing service to the patient.

This research is observational studies through descriptive research as the main method. Data obtained from questionnaires filled or answered by apoteker pengelola apotek which his/her pharmacy is a part of networking pharmacy in Daerah Istimewa Yogyakarta, 25 respondents agree to become respondents. Data was analyzed descriptively, as percentage, and presented in diagrams and tables.

From this research, it has been discovered that there were 36 % respondent that define networking pharmacy as a pharmacy where everything coordinated with same system, vision, mission, purpose and have uniqueness that show the identity of the network. Most respondent (76 %) feels didn’t need new regulations to rule networking pharmacy. This answer was connected with networking pharmacy definition where networking pharmacy was not a new model of pharmacy but a working together or business system. Most respondent (92%) sure there is connection between networking pharmacy with the pharmacy service increasing.

Key words: networking pharmacy, and pharmacy service increasing

(14)

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL………..………..………... ii

HALAMAN PERSETUJUAN...………..………... iii

HALAMAN PENGESAHAN………..………..…... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN..………..……... v

PRAKATA………..………... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..……… ix

INTISARI………..…………... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI……….…….………... xii

DAFTAR TABEL………..………... xvi

DAFTAR GAMBAR……….………... xvii

DAFTAR LAMPIRAN………..………... xviii

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang……….……... 1

1. Permasalahan……….………... 2

2. Keaslian penelitian.………... 4

3. Manfaat penelitian……….………... 4

B. Tujuan Penelitian……….………... 4

1. Tujuan umum ……… 4

2. Tujuan khusus ... 5

(15)

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

A. Apotek ...……….………... 7

B. Apoteker ...….…………....………. 8

C. Apoteker Sebagai Profesi ... 9

D. Kode Etik ... 13

E. Pelayanan Kefarmasian Menurut Peraturan Perundang-undangan ... 15

F. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek ... 17

G. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia ... 19

H. Kesalahan Pelayanan ……….… 25

I. Keterangan Empiris ……….……… 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian………..…………... 29

B. Definisi Operasional………... 30

C. Bahan Penelitian………..…... 30

D. Alat Pengumpulan Data………..…………... 31

E. Tatacara Pengumpulan Data……….…... 31

F. Analisis Data……….………... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ...………... 37

1. Kesediaan APA rekomendasi ISFI-DIY untuk menjadi responden.. 37

2. Jenis kelamin responden ... 39 3. Pengalaman bekerja sebagai apoteker sebelum bergabung dengan

apotek jaringan ... 40

(16)

4. Lama bekerja sebagai APA di apotek jaringan ... 41

B. Kerjasama Apotek di Propinsi DIY Menurut Persepsi APA Yang Tergabung Dalam Apotek Jaringan ... 42

1. Apotek yang responden kelola tergabung dalam suatu apotek jaringan ... 42 2. Definisi dari apotek jaringan... 44

3. Peraturan tersendiri dalam hukum untuk mengatur apotek jaringan. 45 4. Persyaratan utama untuk dapat bergabung dalam jaringan ... 47

5. Sanski-sanksi pada apotek jaringan ... 49

6. Alasan untuk bergabung atau bekerja pada suatu apotek jaringan ... 50

7. Terjadinya peningkatan pelayanan kefarmasian dengan adanya apotek jaringan ... 51

8. Kerjasama apotek-apotek dalam satu jaringan ... 52

9. Kerjasama dalam jaringan yang dapat meningkatkan pelayanan kefarmasian ... 54

10. Kelebihan apotek jaringan ... 55

11. Kekurangan apotek jaringan ... 56

12. Keidealan jaringan tempat apotek responden bergabung ... 57

13. Bentuk apotek jaringan yang paling ideal atau paling diharapkan oleh para responden ... 58

C. Masa Depan Apotek Jaringan ... 60 D. Kesesuaian Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang Apotek

dengan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia dan Peraturan

(17)

Perundang-undangan Apotek ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………..…………... 65

B. Saran……….………... 68

DAFTAR PUSTAKA ………..……...……... 69

LAMPIRAN ………...……... 72

BIOGRAFI PENULIS ……….……...………... 93

(18)

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel I. Alasan APA rekomendasi ISFI Yogyakarta menolak menjadi

responden ... 38

Tabel II. Definisi dari apotek jaringan ... 44

Tabel III. Alasan perlu dan tidak perlunya peraturan tersendiri dalam hukum untuk mengatur apotek jaringan... 46

Tabel IV. Persyaratan utama tiap-tiap jaringan ... 48

Tabel V. Sanksi tiap-tiap jaringan ... 49

Tabel VI. Alasan bergabung atau bekerja pada suatu apotek jaringan .... 50

Tabel VII. Alasan terjadinya atau tidak terjadinya peningkatan pelayanan kefarmasian dengan adanya apotek jaringan ... 52

Tabel VIII. Jenis kerjasama apotek-apotek dalam satu jaringan ... 53

Tabel IX. Kerjasama dalam jaringan yang dapat meningkatkan pelayanan kefarmasian ... 54

Tabel X. Kelebihan apotek jaringan ... 56

Tabel XI. Kekurangan apotek jaringan ... 57

Tabel XII. Alasan keidealan atau tidak idealnya jaringan ... 58

Tabel XIII. Bentuk apotek jaringan yang paling ideal ... 59

Tabel XIV. Kesesuaian Standar Kompetensi Farmasis Indonesia di bidang Apotek dengan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia dan Peraturan Perundang-undangan Apotek ... 62

(19)

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 1. Kesediaan APA rekomendasi ISFI untuk menjadi

responden... 37 Gambar 2. Jenis kelamin responden ... 39 Gambar 3. Pengalaman bekerja sebagai apoteker sebelum bergabung

dengan apotek jaringan …... 40 Gambar 4. Lama bekerja sebagai APA di apotek jaringan ... 41 Gambar 5. Apotek yang responden kelola tergabung dalam suatu apotek

jaringan ... 42 Gambar 6. Presentase kepemilikan apotek jaringan di DIY ... 43 Gambar 7 Peraturan tersendiri dalam hukum untuk mengatur apotek

jaringan ... 46 Gambar 8. Terjadinya peningkatan pelayanan kefarmasian dengan

adanya apotek jaringan ... 51 Gambar 9. Kerjasama apotek-apotek dalam satu jaringan ... 53 Gambar 10. Keidealan jaringan tempat apotek responden bergabung ... 57

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

Lampiran 1. Surat Rekomendasi ISFI DIY ………...…… 72

Lampiran 2. Surat Izin BAPEDA DIY ………. 75

Lampiran 3. Surat Izin Dinas Perizinan Kota Yogyakarta ... 76

Lampiran 4. Surat Izin BAPPEDA Kabupaten Sleman ... 77

Lampiran 5. Surat Izin BAPPEDA Kabupaten Bantul ... 78

Lampiran 6. Surat Keterangan Pergantian Pengurus dan Kegiatan WIPA ke KOPASFI ... 79

Lampiran 7. Surat Ajakan KOPASFI Kepada Seluruh Apotek di DIY Untuk Bergabung Dengan KOPASFI ... 81

Lampiran 8. Surat Pernyataan Peranan Farmasis (Apoteker) Menuju Indonesia Sehat 2010 ... 83

Lampiran 9. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian ……… 88

Lampiran 10. Kusioner Penelitian ……… 89

(21)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Standar kompetensi farmasis Indonesia menyebutkan bahwa peran farmasis diharapkan tidak hanya menjual obat seperti yang selama ini terjadi, tetapi lebih kepada menjamin tersedianya obat yang berkualitas, mempunyai efikasi, jumlah yang cukup, aman, nyaman bagi pemakainya, dan harga yang wajar serta pada saat pemberiannya disertai informasi yang cukup memadai, diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya dilakukan evaluasi. (Anonim, 2004b)

Filosofi profesi farmasi menurut standar kompetensi farmasis Indonesia adalah “Pharmaceutical Care”, yang perlu diterjemahkan ke dalam misi, visi, dan seterusnya. Misi dari praktek farmasi adalah menyediakan obat dan alat-alat kesehatan lain dan memberikan pelayanan yang membantu orang atau masyarakat untuk menggunakan obat maupun alat kesehatan dengan cara yang benar.

Pernyataan yang diberi judul peranan farmasis (Apoteker) menuju Indonesia sehat 2010 telah disebarluaskan di internet. Pernyataan sebanyak 4 lembar tersebut telah diperinci secara jelas, satu persatu perhatian utama atau fokus tiap-tiap apoteker di manapun dia bertugas. Apoteker Pengelola Apotek pada poin f, secara tertulis diharapkan: melakukan kerjasama yang baik dengan apotek sekitarnya dalam rangka meningkatkan pelayanan pada pasien (Daris, 2004).

(22)

Kode etik apoteker / farmasis Indonesia berdasarkan keputusan kongres nasional XVII ISFI nomor: 007/KONGRES XVII/ISFI/2005 pada tanggal 18 Juni 2005. Pada bab I pasal 5 mengingatkan kepada setiap apoteker / farmasis harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata. Pada bab III pasal 12 telah menganjurkan setiap apoteker / farmasis harus mempergunakan setiap waktu yang ada untuk meningkatkan kerjasama. (Anonim, 2005a)

Apotek jaringan muncul sebagai suatu sistem kerjasama antar apotek yang mulai populer dewasa ini. Beberapa apotek jaringan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berdasarkan rekomendasi ISFI-DIY adalah K-24, JAPISFI, KIMIA FARMA, dan WIPA. Nama-nama jaringan tersebut merupakan contoh dari sekian banyak jaringan yang ada.

Dari beberapa latar belakang yang telah disebutkan di atas; muncullah beberapa permasalahan yang dirasa menarik untuk diteliti dan ditelusuri lebih dalam oleh peneliti.

1. Permasalahan

Pada penelitian ini timbul beberapa masalah yang akan diteliti; msalah-masalah tersebut antara lain:

a. apakah para Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Propinsi DIY mengetahui bahwa apotek yang mereka kelola tergabung pada suatu jaringan?

b. apakah definisi dari apotek jaringan menurut para APA?

(23)

d. apakah ada peraturan atau persyaratan utama tertentu yang perlu dipenuhi untuk dapat bergabung dalam jaringan tersebut?

e. apakah ada sanksi yang diberlakukan pada anggota jaringan tersebut?

f. apakah yang membuat para APA tertarik untuk bergabung atau bekerja pada suatu apotek jaringan?

g. apakah dengan adanya apotek jaringan maka dapat meningkatkan pelayanan kefarmasian?

h. apakah dalam satu jaringan pernah dilakukan suatu kerjasama dalam berbagai hal?

i. apakah bentuk kerjasama dalam satu jaringan yang dapat meningkatkan pelayanan kefarmasian?

j. apakah ada kelebihan yang terdapat dalam jaringan tersebut? k. apakah ada kekurangan yang terdapat dalam jaringan tersebut?

l. apakah jaringan tersebut sudah cukup ideal bagi para APA di Propinsi DIY yang tergabung di apotek jaringan?

m. bentuk apotek jaringan seperti apakah yang paling ideal atau yang diharapkan oleh para APA di propinsi DIY yang tergabung di apotek jaringan?

(24)

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang serupa atau sama dengan judul penelitian yang telah dibabarkan belum pernah dilakukan sebelumnya, begitu juga penelitian dengan topik penelitian yang sama juga belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian penyusun dapat memberikan jaminan kepada siapapun untuk keaslian penelitian ini.

3. Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan oleh peneliti adalah:

a. mengetahui kelebihan dan kekurangan dari tiap-tiap apotek jaringan yang ada di DIY,

b. mengetahui bentuk apotek jaringan yang paling ideal atau yang paling diharapkan oleh para APA, dan

c. dapat dikembangkan apotek jaringan untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat bukan hanya sebagai konsumen semata tetapi juga sebagai pasien.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

(25)

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui apabila Apoteker yang apoteknya tergabung dalam suatu jaringan di Propinsi DIY tergabung dalam suatu apotek jaringan.

b. Mengetahui definisi dari apotek jaringan menurut para APA.

c. Mengetahui perlu tidaknya suatu peraturan tersendiri dalam hukum untuk mengatur apotek jaringan.

d. Mengetahui peraturan atau persyaratan utama tertentu yang perlu dipenuhi untuk dapat bergabung dalam jaringan tersebut.

e. Mengetahui sanksi-sanksi yang diberlakukan pada jaringan tersebut.

f. Mengetahui yang membuat para APA tertarik untuk bergabung atau bekerja pada suatu apotek jaringan.

g. Mengetahui ada tidaknya peningkatan pelayanan kefarmasian dengan adanya apotek jaringan.

h. Mengetahui pernah atau tidak pernahnya apotek-apotek dalam satu jaringan melakukan kerjasama.

i. Mengetahui bentuk kerjasama dalam satu jaringan yang dapat meningkatkan pelayanan kefarmasian.

j. Mengetahui kelebihan yang terdapat dalam jaringan tersebut. k. Mengetahui kekurangan yang terdapat dalam jaringan tersebut.

(26)
(27)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Apotek

Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/ 2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek; apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004a).

Menurut Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.26 tahun 1965 tentang apotek disebutkan dalam pasal 1 bahwa apotek merupakan suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Selanjutnya dalam pasal 2 disebutkan bahwa tugas dan fungsi apotek adalah:

1. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;

2. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat;

3. sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional (Anonim, 1992),

(28)

dengan demikian jelaslah bahwa apotek bukan sekedar tempat penjualan obat atau tempat untuk menebus obat yang telah diresepkan oleh dokter, tapi juga merupakan tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi dan atau alat kesehatan termasuk penyerahan obat keras tanpa resep dokter oleh apoteker.

B. Apoteker

(29)

C. Apoteker Sebagai Profesi

Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, didalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut (Basuki,2001).

Sebagai pekerjaan profesi terdapat hubungan khusus diantara sesama pelaku profesi yang diatur melalui praktek organisasi profesi serta mempunyai kode etik dan etika profesi, peraturan perundang-undangan, serta mengucapkan sumpah. Kode etik adalah aturan yang disusun oleh suatu kelompok profesi bagi kelompok itu sendiri sebagai pedoman perilaku dan panduan dalam bertindak sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan merugikan kelompok profesi tersebut. Etika profesi yaitu suatu aturan yang mengatur suatu pekerjaan itu boleh atau tidak dilakukan oleh pelaku profesi sewaktu menjalankan praktek profesinya.

International Pharmaceutical Federation mengidentifikasikan profesi sebagai suatu kemauan individu apoteker untuk melakukan praktek kefarmasian sesuai syarat untuk melakukan praktek kefarmasian sesuai syarat legal minimum yang berlaku serta mematuhi standar profesi dan etika kefarmasian.

Profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(30)

2. pendidikan khusus berbasis “keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi 3. memberikan pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang

keprofesiannya.

4. memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom 5. memiliki dan memberlakukan kode etik keprofesian

6. memiliki motivasi altruisik (tidak mementingkan diri sendiri, mendahulukan kepentingan orang lain) dalam memberikan pelayanan 7. proses pembelajaran seumur hidup

8. mendapatkan jasa profesi (Anonim, 2004b)

Goode (1960) dalam buku Sociology For Pharmacists An Introduction yang ditulis oleh Harding, dkk (1993) merangkumkan ciri-ciri profesi dalam trait theory.

1. Profesi dapat menentukan standar pendidikan dan pelatihannya sendiri. 2. Calon profesi menjalani masa pendidikan yang intensif dan

membutuhkan proses sosialisasi.

3. Pekerjaan keprofesian dikenal secara legal dengan adanya lisensi. 4. Anggota organisasi profesi harus memiliki lisensi dan mendapat

pengakuan dari masyarakat.

(31)

6. Profesi dapat mengalami peningkatan pendapatan, kekuatan dan status, dan juga dapat meningkatkan permintaan terhadap pelajar yang memiliki kecakapan atau kemampuan yang tinggi.

7. Profesi biasanya relatif bebas dari evaluasi masyarakat.

8. Norma yang mengatur profesi dalam menjalankan pekerjaannya biasanya lebih mengikat daripada hukum yang berlaku.

9. Anggota profesi memiliki rasa pengertian yang kuat antar individu dan pekerjaannya dalam satu kelompok profesi.

10.Profesi memiliki kesamaan dengan pekerjaan yang seumur hidup.

Apoteker dapat digolongkan sebagai suatu profesi karena menunjukkan beberapa ciri khusus seperti yang digambarkan dalam ciri-ciri profesi.

1. Monopoli pekerjaan (Monopoly of Practice).

Monopoli pekerjaan yang dilakukan profesi dijamin dan dilindungi oleh negara. Dengan kata lain, seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan sebagai profesi tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan keprofesian. Sejak 1954, apoteker telah mempunyai monopoli ini dengan sedikit pengecualian, misalnya berinteraksi dengan dokter, legitimasi negara tentang monopoli selama peracikan dan pembuatan obat. Dewasa ini, apoteker telah memiliki monopoli hingga penyebaran obat.

(32)

Untuk diterima menjadi profesi, seseorang harus menjalani pendidikan intensif. Masa pendidikan tersebut bervariasi dengan spesialisasi tinggi. Sedangakan untuk menjadi lulusan farmasi membutuhkan masa pendidikan tiga sampai empat tahun yang diikuti dengan satu tahun pendidikan profesi. Pada saat menempuh masa pendidikan, apoteker akan dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan khusus yang disesuaikan dengan tugasnya dalam mempersiapkan dan menerapkan penggunaan obat secara klinis.

3. Berorientasi pada pelayanan (Service Orientations).

Pernyataan ini menandakan bahwa profesi harus bekerja sebaik-baiknya untuk memenuhi keinginan client. Profesi tidak diperbolehkan untuk memaksa client dengan maksud untuk memenuhi kebutuhannya pribadi. Apoteker dipersiapkan untuk melakukan pelayanan kefarmasian termasuk di dalamnya menyediakan obat-obatan dan perlengkapannya, membantu terapi pada penyakit ringan, dan memberikan informasi tentang kesehatan.

4. Pengaturan diri (Self-regulation).

Dewasa ini untuk mengatur pekerjaan, suatu profesi memantau atau mengawasinya sendiri. Organisasi profesi diperbolehkan untuk mengatur sistem pendidikan, memutuskan seseorang yang memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota profesi dan memperkirakan seseorang yang berkompeten dalam menjalankan pekerjaannya

(33)

D. Kode Etik

Isi kode etik apoteker/farmasis Indonesia berdasarkan keputusan kongres nasional XVII ISFI nomor : 007/KONGRES XVII/ISFI/2005 pada tanggal 18 Juni 2005.

KODE ETIK APOTEKER / FARMASIS INDONESIA MUKADIMAH

Bahwasanya seorang Apoteker/Farmasis di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa

Apoteker/Farmasis di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker/Farmasis.

Menyadari akan hal tersebut Apoteker/Farmasis di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu:

KODE ETIK APOTEKER / FARMASIS INDONESIA BAB I

KEWAJIBAN UMUM Pasal 1

Sumpah/Janji

Setiap Apoteker/Farmasis harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker/Farmasis

Pasal 2

Setiap Apoteker/Farmasis harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker/Farmasis Indonesia

Pasal 3

Setiap Apoteker/Farmasis harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker/Farmasis Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya

Pasal 4

Setiap Apoteker/Farmasis harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya

Pasal 5

(34)

Pasal 6

Seorang Apoteker/Farmasis harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain

Pasal 7

Seorang Apoteker/Farmasis harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya

Pasal 8

Seorang Apoteker/Farmasis harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perunddang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.

BAB II

KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PENDERITA Pasal 9

Seorang Apoteker/Farmasis dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi makhluk hidup insani

BAB III

KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT Pasal 10

Setiap Apoteker/Farmasis harus memperlakukan teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan

Pasal 11

Sesama Apoteker/Farmasis harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik

Pasal 12

Setiap Apoteker/Farmasis harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker/Farmasis di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.

BAB IV

KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAINNYA

Pasal 13

(35)

Pasal 14

Setiap Apoteker/Farmasis hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya (Anonim, 2005a).

BAB V PENUTUP

Pasal 15

Setiap Apoteker/Farmasis bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan kode etik Apoteker/Farmasis Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika seorang Apoteker/Farmasis baik dengan sengaja maupun tidak sengaja melanggar atau tidak mematuhi kode etik Apoteker/Farmasis Indonesia, maka dia wajib mengakui dan menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (ISFI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

E. Pelayanan Kefarmasian Menurut Peraturan Perundang-undangan Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, bab III pelayanan, disebutkan 3 hal yang harus dilakukan dalam pelayanan di Apotek:

1. Pelayanan resep. 1.1. Skrining resep

Apoteker melakukan skrining resep meliputi: 1.1.1. persyaratan administratif:

a. Nama, SIP dan alamat dokter. b. Tanggal penulisan resep.

c. Tanda tangan /paraf dokter penulis resep.

d. Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. e. Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta.

f. Cara pemakaian yang jelas. g. Informasi lainnya.

1.1.2. Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

(36)

Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan dengan dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

1.2. Penyiapan obat. 1.2.1. Peracikan.

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah.

Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

1.2.2. Etiket

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

1.2.4. Penyerahan obat.

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

1.2.5. Informasi obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis,bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

1.2.6. Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya,sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau pengguna salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.

(37)

1.2.7. Monitoring penggunaan obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, astma, dan penyakit kronis lainnya.

2. Promosi dan Edukasi.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.

3. Pelayanan residensial (Home Care).

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

(Anonim, 2004a)

F. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, disebutkan pada bab I pendahuluan, bahwa pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmacutical care). Pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (product oriented menjadi patient oriented).

(38)

menghindari terjadinya hal tersebut. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2004a).

Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah (Anonim, 2004a). Menurut World Health Organization (WHO) dan Council Of Europe Patient and Medication Safety, medication error adalah semua kegiatan yang dapat dicegah yang mungkin dapat menyebabkan atau menuju ke penggunaan medis yang tidak pantas atau penderitaan pasien yang didapatkan selama medikasi di bawah pengawasan profesional kesehatan; medication error juga bisa dikarenakan oleh profesional kesehatan; produk kesehatan; prosedur kerja; sistem-sistem yang tidak jelas, termasuk peresepan; komunikasi; label produk, kemasan produk, nama produk; peracikan obat; distribusi; jalur pemejanan; pendidikan; pengawasan; dan penggunaan (Anonim, 2005b)

Standar pelayanan kefarmasian di apotek disusun sebagai pedoman praktek apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktek kefarmasian (Anonim, 2004a).

Pengelolaan Apotek menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 244/MENKES/SK/V/1990 (pasal 10) meliputi:

(39)

b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya

c. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi.

Pelayanan informasi yang dimaksud meliputi: informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan serta pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat dan perbekalan farmasi lainnya (Anonim, 1990).

G. Standar Kompetensi Farmasis Indonesia

Ruang lingkup pelayanan kefarmasian meliputi lingkup kegiatan, tanggung jawab, kewenangan, dan hak. Seluruh ruang lingkup pelayanan kefarmasian harus dilaksanakan dalam kerangka sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada masyarakat. Berikut disebutkan Standard Operating Procedurs farmasis di apotek:

1. Kompetensi A: asuhan kefarmasian

a) Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal.

Tujuan:

1) menjamin bahwa seluruh proses terapi obat pasien yang diberikan merupakan terapi yang tepat, efektif, aman dan nyaman bagi pasien. 2) mengidentifikasi masalah-masalah yang dapat mengganggu tujuan

terapi.

3) mencegah timbulnya masalah-masalah dalam terapi obat yang akan menurunkan kualitas hidup penderita di masa mendatang.

4) memecahkan masalah obat yang aktual maupun potensial.

5) mencapai tujuan terapi sesuai kondisi medis penderita dan sesuai keinginan penderita.

6) menjamin bahwa kemajuan terapi obat penderita mengarah ke tujuan terapi.

(40)

b) Memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan mandiri

Tujuan:

1) masyarakat mampu membuat keputusan dalam mengobati gejala penyakit yang ringan secara aman dan efektif.

2) tingginya kewaspadaan masyarakat terhadap faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengobatan mandiri.

3) masyarakat mampu mencegah, mengantisipasi dan mengambil tindakan jika terjadi masalah dalam pengobatan mandiri.

4) meningkatkan efisiensi biaya kesehatan masyarakat. c) Memberikan pelayanan informasi obat

Tujuan:

1) tersedianya informasi obat yang memadai, terpercaya, relevan, jelas, pada saat diperlukan.

2) tersedianya sarana pelayanan informasi obat.

3) terpenuhinya kebutuhan penderita dan profesi kesehatan lain akan informasi obat.

4) peningkatan status kesehatan masyarakat dalam hubungannya dengan penggunaan obat dan perbekalan kesehatan lain.

d) Memberikan konsultasi obat Tujuan:

1) meningkatkan kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan. 2) mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan yang berkaitan

dengan terapi obat.

e) Melakukan monitoring efek samping obat Tujuan:

1) tersedianya informasi efek samping akibat penggunaan obat.

2) mencegah, meminimalkan dan mengatasi timbulnya efek samping obat.

f) Melakukan evaluasi penggunaan obat Tujuan:

1) menjamin bahwa terapi obat sesuai dengan standar terapi baik lokal, regional, nasional maupun internasional.

2) membuat pedoman/kriteria penggunaan obat yang tepat.

3) meningkatkan tanggung jawab/akuntabilitas farmasis dalam proses penggunaan obat.

4) mengontrol biaya obat.

5) identifikasi masalah penggunaan obat yang spesifik.

2. Kompetensi B: akuntabilitas praktek farmasi

(41)

Tujuan: tercapainya pengobatan yang rasional dari aspek farmasi berdasarkan bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mendukung meningkatnya kualitas pelayanan.

b) Merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku.

Tujuan: tercapainya standar kerja yang bersifat dinamis yang mendukung profesionalisme farmasis.

c) Bertanggungjawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil. Tujuan: terciptanya praktek kefarmasian yang dapat dipertanggungjawab-kan secara moral, etik, ilmiah dan profesional.

d) Melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat.

Tujuan: terhindarnya lingkungan dan umat manusia dari dampak buruk obat.

e) Melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus-menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan “stakeholder”.

Tujuan: terpenuhinya mutu terbaik pelayanan dan untuk memenuhi kepuasan stakeholder.

3. Kompetensi C: manajemen praktis farmasi

a) Merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi dibidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.

Tujuan:

1) praktek kefarmasian yang dilakukan memiliki kekuatan hukum. 2) terlindunginya profesi farmasi apabila terjadi tuntutan hukum.

3) terciptanya bentuk praktek kefarmasian yang berpihak kepada pasien dan masyarakat.

b) Merancang, membuat, melakukan pengelolaan apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran kompetensi diatas adalah dengan mendefinisikan falsafah asuhan kefarmasian, visi, misi, isu-isu pengembangan, penetapan strategi, kebijakan, program dan menerjemahkannya ke dalam rencana kerja (Plan of Action).

Tujuan:

1) tercapainya tujuan praktek kerfarmasian berdasarkan falsafah asuhan kefarmasian yaitu meningkatkan dan menjaga kualitas hidup pasien melalui hasil pelayanan asuhan kefarmasian di apotek yang positif. 2) terbentuknya pola pikir farmasi yang stratejik dan mampu

(42)

3) terselenggaranya praktek kefarmasian yang berbasis stratejik.

c) Merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran dari kompetensi diatas adalah dengan melakukan seleksi, perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan persediaan, perancangan dan melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem jaminan mutu pelayanan.

Tujuan:

1) tersusunnya daftar obat berdasarkan analisis farmakologi, farmako-epidemiologi dan farmakoekonomi sehingga dapat menjamin kualitas, ketersediaan, keamanan, dan efektifitas penggunaan obat.

2) terciptanya sistem pengadaan yang efisien sehingga dapat menjamin ketersediaan obat yang tepat, dalam jumlah cukup, dengan harga wajar, dan dengan standar kualitas yang telah dikenal dari sumber resmi dan dapat dipertanggungjawabkan.

3) terciptanya sistem penyimpanan dan pengamanan persediaan yang menjamin perpindahan obat dari sumber pemasok sampai ke pengguna dengan proses yang cost-effectiveness dan terpercaya, terhindar dari pemborosan, kerusakan, dan kehilangan, serta menjamin stabilitas / kualitas obat.

4) terciptanya sistem dispensing yang menjamin efektifitas penggunaan obat, dalam dosis dan jumlah yang sesuai dengan yang diresepkan, dengan intruksi yang jelas dan dalam bentuk kemasan yang menjaga potensi obat.

5) tersedianya data yang dapat menggambarkan pola penggunaan obat, memecahkan masalah-masalah penggunaan obat yang spesifik, dan memonitor penggunaan obat dari waktu ke waktu.

6) Terbentuknya sistem informasi yang menjamin bahwa setiap aktifitas kegiatan pengelolaan obat dilakukan secara bertanggung jawab dan menghasilkan keluaran sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan. d) Merancang organisasi kerja yang meliputi: arah dan kerangka organisasi,

sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen.

Tujuan:

1) terciptanya gambaran yang jelas mengenai falsafah, visi, misi, isu-isu pengembangan, tujuan, kebijakan, program dan sasaran organisasi, serta penganggaran dan cara evaluasi kegiatan organisasi tempat dilaksanakannya praktek kefarmasian.

2) terbentuknya sistem pengelolaan sumber daya manusia yang efektif yang mendukung tujuan akhir organisasi.

(43)

4) terciptanya sistem akuntasi manajemen yang baik serta dapat digunakan dalam pengambilan keputusan manajemen dan menilai kinerja keuangan organisasi.

5) terbentuknya sistem informasi manajemen yang handal dan bisa dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan, penilaian kenerja organisasi, dan mampu mendeteksi permasalahan yang terjadi.

e) Merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian.

Tujuan: terciptanya struktur harga yang rasional dengan mempertimbang-kan perubahan sosial, ekonomi dan politik baik regional, nasional maupun internasional meliputi kemampuan bayar untuk kepuasan konsumen, kemajuan institusi pemberi pelayanan, penghargaan terhadap profesi, pengembalian investasi dan prinsip-prinsip efisiensi dan aspek-aspek lain. f) Memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional

mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah pada kepuasan konsumen.

Tujuan: digunakannya hasil evaluasi sebagai gambaran situasi untuk alat perumusan strategi dan pengambilan keputusan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan secara berkesinambungan.

4. Kompetensi D: komunikasi farmasi

a) Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien.

Tujuan:

1) tercipta komunikasi yang efektif dan etis dengan pasien dan atau dengan keluarganya sehingga tujuan terapi dapat tercapai.

2) terhindar dari kesalahpahaman komunikasi yang berakibat pada tidak tercapainya tujuan terapi dan ketidakpuasan konsumen serta turunnya citra profesi.

b) Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat.

Tujuan:

1) meningkatnya kualitas keputusan farmakoterapi yang tercermin dalam pola penulisan resep yang rasional dan evaluasi efektifitas pengobatan. 2) meningkatnya kemampuan perawat dalam memberikan obat kepada

pasien secara tepat.

(44)

c) Memantapkan hubungan dengan semua tingkat atau lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat asuhan kefarmasian. Tujuan:

1) terciptanya hubungan yang harmonis dengan semua tingkat manajemen dalam kerangka pencapaian visi dan misi bersama atau institusi.

2) tercapainya persepsi yang sama tentang visi, misi, tujuan asuhan kefarmasian dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan.

d) Memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi.

Tujuan: tercipta suasana harmonis dalam hubungan kolegial antar farmasis sehingga terhindar dari pebuatan tercela dan tercapai kepuasan stakeholder secara optimal.

5. Kompetensi E: pendidikan dan pelatihan farmasi

a) Memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian

Tujuan: tertanamnya rasa tanggung jawab dan kesadaran pada setiap diri farmasis untuk ikut mengembangkan pendidikan dan pelatihan bagi farmasis generasi mendatang.

b) Merencanakan dan melakukan aktivitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekerja, dan juru resep dalam rangka peningkatan efiseinsi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan.

Tujuan: meningkatnya kualitas sumber daya insan farmasi yang berkelanjutan dalam kerangka peningkatan kualitas pelayanan farmasi. c) Berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk

meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian.

Tujuan: terciptanya farmasis yang berpikir kritis dan memiliki aksesibilitas tinggi terhadap perubahan di pelayanan kesehatan pada umumnya dan praktek kefarmasian pada khususnya, serta terhadap temuan-temuan baru di bidang pelayanan kesehatan termasuk praktek kefarmasian.

d) Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat.

Tujuan:

1) terbentuknya pasien dan masyarakat yang terdidik perihal kesehatan secara umum, dan khususnya terlatih dalam hal pengelolaan pengobatan untuk diri sendiri atau keluarganya.

(45)

6. Kompetensi F: penelitian dan pengembangan farmasi

a) Melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lainnya.

Tujuan:

1) tumbuhnya semangat, kreativitas dan inovasi untuk melakukan penelitian dan pengembangan sebagai upaya pengembangan dan perbaikan praktek kefarmasian.

2) terciptanya dan terlaksananya suatu sistem penelitian dan pengembangan obat yang sesuai dengan standar yang telah dikenal serta dapat dipresentasikan dan dipublikasikan secara ilmiah.

b) Menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian.

Tujuan: terciptanya budaya untuk selalu menggunakan data dan hasil penelitian dan pengembangan dalam pengambilan keputusan serta pengembangan dan peningkatan praktek kefarmasian.

(Anonim, 2004b)

H. Kesalahan Pelayanan

Menurut Elu (2005) kesalahan dari pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia hampir serupa dengan yang melanda Amerika Serikat. Perkembangan terakhir tentang persaingan pelayanan kesehatan yang tidak terkendali di Amerika Serikat dikemukakan oleh Michael Porter dan Elizabeth Olmsted Teisberg dalam Redefining Competition in Helath Care (Harvard Business Review, Juni 2004), dalam artikel tersebut disebutkan ada 8 kesalahan kompetisi pelayanan kesehatan, yaitu:

1. level persaingan; 2. sasaran;

(46)

6. informasi;

7. pemilik sarana; dan 8. motivasi karyawan.

Sistem pelayanan kesehatan yang berbasis nilai akan berkembang atau menyusut, tergantung dari sumber daya manusianya dalam menjalankan fungsi profesionalnya. Sumber daya manusia yang dimaksudkan, tidak lain adalah farmasis atau apoteker. Peran farmasis yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah “seven stars pharmacist” meliputi:

1. care-giver. Farmasis sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, farmasis harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok, farmasis harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan harus bermutu tinggi.

2. decision-maker. Farmasis mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, ke-efikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan ketrampilan farmasis perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan. 3. comunicator. Farmasis mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan

(47)

tersebut meliputi komunikasi verbal, nonverbal, mendengar dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhan.

4. leader. Farmasis diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

5. manager. Farmasis harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi farmasis mendatang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat. 6. life-long leaner. Farmasis harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat

belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan ketrampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Farmasis juga harus mempelajari cara belajar yang efektif.

7. teacher. Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih famasis generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagi ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh pengalaman dan peningkatan ketrampilan.

(Anonim,2004b) Hamel dan Prahalad (1998) mengemukakan bahwa kompetisi inti memiliki tiga kriteria untuk dapat berkembang, yaitu:

(48)

2. sulit untuk ditiru, dan

3. dapat mengakses berbagai tekanan pasar.

Pelayanan yang berbasis sistem nilai berpandangan bahwa kepuasan bagi konsumen berasal dari:

1. informasi yang diperoleh, bukan siasat penjualan, 2. hubungan antar subjek, bukan hanya transaksi, dan 3. kualitas, bukan banyaknya pilihan yang ditawarkan.

(Knox & Makalan, 1998)

Elu (2005) mengemukakan bahwa pandangan konsumen masih dianggap sebagai pembeli produk jasa dan bukan sebagai salah satu penentu pasar sekaligus investor keuangan bagi perusahaan adalah suatu kesalahan terbesar dalam pelayanan kesehatan. Begitu juga dengan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan obat nasional (Konas) yang memuat syarat-syarat registrasi dan pengawasan harga, sehingga harga eceran tertinggi obat untuk tiap-tiap daerah atau bahkan tiap-tiap apotek sangat bervariatif dan dapat mempengaruhi pelayanan kesehatan.

I. Keterangan Empiris

(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian dengan judul “Kerjasama Apotek Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menurut Persepsi Apoteker Pengelola Apotek Yang Tergabung Dalam Apotek Jaringan Dalam Rangka Peningkatan Pelayanan Kefarmasian” ini termasuk jenis penelitian observasional dengan rancangan penelitian deskriptif non-analitik. Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematis atas fenomena-fenomena yang diteliti. Arti luas observasi sebenarnya tidak terbatas pada pengamatan yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan tidak langsung misalnya melalui kuisioner dan test (Hadi,2004). Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, jadi penelitian ini juga menyajikan data yang ada dilapangan. Penelitian survei biasanya termasuk dalam penelitian ini. Penelitian deskriptif bertujuan untuk pemecahan masalah secara sistematis dan faktual mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi (Narbuko, 2005). Penelitian dengan sifat-sifat non-analitik terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998).

(50)

B. Definisi Operasional Penelitian

1. Apotek yang dimaksud adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat di propinsi DIY yang masih aktif sampai saat ini dan tergabung dalam suatu apotek jaringan.

2. Apoteker Pengelola Apotek (APA) yaitu adalah apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA) dan yang mengelola apotek-apotek di propinsi DIY yang masih aktif sampai saat ini dan tergabung dalam suatu Apotek jaringan. 3. Apotek jaringan adalah gabungan apotek-apotek yang direkomendasikan oleh

ISFI-DIY dalam surat ISFI-DIY No:42/ISFI-DIY/B/IV/06 (Lampiran 1). 4. Pelayanan kefarmasian adalah suatu bentuk pelayanan dan tanggungjawab

langsung profesi apoteker kepada pasien di apotek untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

5. Pasien adalah semua masyarakat yang menggunakan jasa apoteker di apotek-apotek di DIY.

C. Bahan Penelitian

(51)

D. Alat Pengumpul Data

Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa kuisioner yang berisi tentang:

1. karakteristik responden

2. kerjasama apotek-apotek di Propinsi DIY menurut persepsi APA yang tergabung dalam Apotek jaringan.

Pertanyaan tentang karakteristik responden berjumlah 4 pertanyaan. Pertanyaan mengenai kerjasama apotek-apotek di Propinsi DIY menurut persepsi APA yang tergabung dalam Apotek jaringan berjumlah 13 pertanyaan.

E. Tatacara Pengumpulan Data 1. Membuat angket atau kuisioner

Kuisioner adalah usaha mengumpulkan informasi dengan menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis, untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden (Nawawi, 1998). Kuisioner pada penelitian ini termasuk kuisioner langsung dan tipe isian-terbuka. Kuisioner langsung adalah kuisioner yang daftar pertanyaan dikirmkan langsung kepada responden untuk mengisi sesuai pendapat tiap-tiap responden. Kuisioner tipe isian-terbuka adalah kuisioner yang menyediakan kesempatan bagi responden untuk menjawab pertanyaan sebebas-bebasnya, tanpa disediakan pilihan-pilihan jawaban untuk tiap-tiap pertanyaan (Hadi, 2004).

a. Penyusunan kuisioner

(52)

pertanyaan yang akan diserahkan kepada APA yang tergabung dalam suatu Apotek jaringan yang berada di Propinsi DIY untuk diisi.

b. Uji validitas isi

Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrument pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003b).

(53)

c. Uji reliabilitas isi

Reliabilitas adalah suatu istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih (Masri, 1989). Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan homogen apabila pertanyaan yang dibuat untuk mengukur suatu karakteristik mempunyai kaitan yang erat satu sama lain (Adi, 2004).

Menurut Azwar (2003a), reliabilitas suatu kuisioner tidak perlu diuji lagi karena pertanyaan dalam angket atau kuisioner berupa pertanyaan langsung terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Data yang termaksud berupa fakta atau opini yang menyangkut diri responden. Reliabilitas hasil angket terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden akan menjawab dengan jujur seperti apa adanya.

Uji reliabilitas angket atau kuisioner ini dilakukan dengan mengadakan survei awal, yaitu dengan mengujikan kuisioner kepada 5 APA yang berada di luar sampel tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan responden dan bersedia untuk mengisi kuisioner.

2. Menentukan besarnya populasi

(54)

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh APA yang mengelola apotek-apotek, di mana Apotek tersebut tergabung dalam suatu Apotek Jaringan, berada di Propinsi DIY dan masih aktif sampai saat ini serta bersedia melakukan wawancara.

Penentuan populasi selama penelitian dibantu oleh ISFI-DIY, di mana ISFI-DIY memberikan rekomendasi kepada peneliti nama-nama jaringan beserta APA-nya yang dapat bekerjasama dalam penelitian. Terdapat 4 jaringan yang direkomendasikan, dan 35 APA yang terbagi ke dalam 4 jaringan tersebut. Dari ke-35 APA yang direkomendasikan, hanya 25 APA yang bersedia mengisi kuisioner. Penelitian ini tidak memakai sampel, melainkan memakai seluruh populasi sebagai sampel penelitian.

3. Penyebaran angket atau kuisioner

Cara yang dilakukan untuk menyebarkan angket atau kuisioner adalah secara langsung kepada APA yang merupakan responden dalam penelitian ini. Peneliti menjelaskan terlebih dahulu kepada APA maksud dari angket atau kuisioner dan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalamnya. Peneliti juga memberikan dua pilihan pengisian angket kepada APA.;

(55)

penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan dan atau mencatat secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keteranan yang diberikan. Wawancara yang dilakukan pada penelitian ini bersifat terpimpin, yang berarti wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan dari daftar pertanyaan kuisioner sebagai pedoman untuk memimpin jalannya wawancara, selain itu wawancara dengan metode ini memungkinkan juga bagi pihak yang ditanya untuk mempelajari daftar isi pertanyaan yang diajukan terlebih dahulu sehingga waktu wawancara berlangsung proses tanya-jawab dapat berjalan dengan lebih lancar (Narbuko,2005).

b. Meninggalkan kuisoner kepada APA dan menjelaskan kepadanya semua pertanyaan dan memberikan batas waktu untuk mengisi kuisoner tersebut; terdapat 22 APA yang memilih cara ini.

4. Pengumpulan kuisioner

(56)

5. Melakukan pengolahan data

Pengolahan data dilakukan dengan cara melakukan pengelompokan jawaban dan perhitungan jumlah dari masing-masing jawaban kuisioner yang telah diisi oleh responden, kemudian dilakukan interpretasi data hasil penelitian dengan melihat persentase jawaban responden.

F. Analisis Data

(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Data responden yang didapatkan selama proses pengambilan data

meliputi: kesediaan Apoteker Pengelola Apotek (APA) rekomendasi ISFI-DIY

yang bersedia menjadi responden, jenis kelamin responden, pengalaman bekerja

sebagai apoteker sebelum bergabung dengan apotek jaringan, lama bekerja

sebagai APA di apotek jaringan.

1. Kesediaan APA rekomendasi ISFI-DIY untuk menjadi responden

Terdapat 4 jaringan yang direkomendasikan oleh ISFI-DIY; yaitu

JAPISFI, WIPA, Kimia Farma, dan K-24. Diketahui terdapat 35 APA yang

masing-masing tergabung dalam salah satu dari ke-4 jaringan diatas. Dari 35 APA

yang direkomendasikan ISFI-DIY hanya 25 APA yang bersedia menjadi

responden dan 10 APA menolak, hasilnya dapat dilihat pada gambar 1.

Kesediaan APA Rekomendasi ISFI-DIY Untuk Menjadi Responden

71% 29%

Bersedia Menolak

Gambar 1. Kesediaan APA rekomendasi ISFI-DIY untuk menjadi responden

(58)

Adapun alasan beberapa APA hasil rekomendasi ISFI DIY yang menolak

menjadi responden dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel I. Alasan APA rekomendasi ISFI-DIY menolak menjadi responden

Alasan Presentase

1. Tidak aktif di jaringan 40 %

2. Belum ada ijin dari pengelola jaringan 20 % 3. APA sudah lebih dari 2 bulan tidak ke Apotek 20 % 4. Dalam proses mengundurkan diri dari jaringan tersebut 10 %

5. Hanya memakai nama jaringan 10 %

Data dari responden menunjukkan sebanyak 4 APA (40%) menyatakan

bahwa mereka sudah tidak aktif lagi di jaringan di mana apotek mereka tergabung,

sehingga mereka taku memberikan jawaban yang tidak benar mengenai jaringan

tersebut. Dua APA (20%) yang sudah 2 bulan tidak pernah hadir ke apotek, hal ini

diketahui peneliti setelah ditanyakan kepada orang yang diserahi untuk mengurus

Apotek tersebut. Dua APA (20%) lainnya menolak menjadi responden

dikarenakan belum ada ijin dari pengelola jaringan untuk menjadi responden

sampai batas tanggal ijin penelitian dari Bapeda DIY sehingga mereka menolak

utuk dijadikan responden. Satu APA (10%) menolak menjadi responden,

dikarenakan sedang dalam proses mengundurkan diri dari jaringan, maka dia

merasa bukan lagi bagian dari responden penelitian sehingga menolak mengisi

kuisioner. Satu APA yang menolak menjadi responden dikarenakan hanya nama

dan ciri apotek-nya saja yang sama dengan jaringan tersebut tetapi untuk

pengelolaan dan lainnya dikelola tersendiri atau sama sekali tidak berhubungan

(59)

2. Jenis kelamin responden

Dari penelitian terhadap 25 responden, diketahui bahwa sebanyak 44 %

(11 orang) APA yang bersedia menjadi responden berjenis kelamin laki-laki,

sementara sebnyak 56 % (14 orang) APA yang bersedia menjadi responden

berjenis kelamin perempuan.

Jenis Kelamin Responden

44%

56%

laki-laki perempuan

Gambar 2. Jenis kelamin responden

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa perbandingan jumlah APA yang

berjenis kelamin laki-laki dan perempuan di apotek jaringan di DIY hampir

merata, bahkan condong lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan. Terdapat

dugaan karena jam kerja di apotek yang tidak begitu terikat dan peluang pekerjaan

yang lebih banyak dibandingkan dengan bidang industri dan bidang rumah sakit,

sehingga lebih banyak perempuan yang memilih untuk bekerja sebagai APA

Gambar

Tabel I. Alasan APA rekomendasi ISFI-DIY menolak menjadi responden Alasan Presentase
Gambar 2. Jenis kelamin responden
Gambar 3. Pengalaman bekerja sebagai apoteker sebelum bergabung dengan apotek jaringan
Gambar 5. Apotek yang responden kelola tergabung dalam suatu apotek  jaringan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada solusi awal, variabel basis merupakan variabel slack (jika fungsi kendala merupakan pertidaksamaan ≤ ) atau variabel buatan (jika fungsi kendala menggunakan

Ragam jenis bambu yang dijumpai di Kota Langsa ditemukan sebanyak 4 marga terdiri atas 6 jenis, yaitu B.. Persebaran bambu di Kota Langsa paling banyak dijumpai di

[r]

Hasil penelitian ini terbagi atas empat bagian : kuadran I menjadi prioritas utama Garuda Indonesia dan harus dilaksanakan sesuai dengan harapan konsumen,

Adapun tingkat kategori untuk tanggapan responden terhadap kualitas Sistem Informasi SIPT Online sebesar 84,79% dinyatakan Sangat Baik dan Tanggapan responden

Penelitian yang sudah dilakukan adalah pelelitian oleh Diana Puspita, dengan judul Faktor-faktor yang mempengaruhi dokter dalam memilih obat generik dan obat merek

Hal ini berarti bawha dalam diri karyawan terdapat kebutuhan akan keteraturan dalam melakukan kontrol (kebutuhan ketertiban). Kemudian karyawan juga menginginkan agar

Bla karena suatu sebab orang tua tdak dapat menjamn tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak dasuh atau dangkat sebaga anak asuh atau