• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802012054 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802012054 Full text"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PERFEKSIONISME PADA REMAJA GIFTED

OLEH

BRIGITA ARDITA INDIRA VINDIASARI 802012054

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

PERFEKSIONISME PADA REMAJA GIFTED

Brigita Ardita Indira Vindiasari Enjang Wahyuningrum

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(7)

PENDAHULUAN

Di Indonesia, penanganan anak gifted masih belum tertangani dengan baik.

Menurut Van Tiel & Widyorini (2014), kurangnya pengetahuan mengenai anak

berbakat sering membuat anak berbakat mendapat diagnosis yang tidak tepat sehingga

anak mendapat label yang tidak tepat dan tidak perlu sebagai anak yang bermasalah dan

memiliki gangguan. Beberapa dampak dari kesalahan diagnosis yang diberikan, yaitu

penempatan dan layanan pendidikan yang salah mengakibatkan anak gifted menjadi

tidak dapat mengembangkan kemampuan yang mereka miliki dan dapat mengakibatkan

anak tersebut menjadi suka menyendiri, penerimaan sosial yang buruk juga dapat terjadi

sehingga anak berbakat mendapat label yang salah dari masyarakat bahkan dari

keluarga mereka sendiri akibatnya kemampuan mereka yang cemerlang tidak dilihat

namun lebih berfokus pada masalah yang mereka miliki.

Selain itu, program pendidikan anak berbakat di Indonesia masih belum terlalu

diperhatikan, hal tersebut terlihat dari jumlah sekolah yang memiliki program khusus

untuk anak gifted yaitu akselerasi dan percepatan yang masih kurang dan memiliki

berbagai dampak seperti menimbulkan masalah sosial dan emosional yaitu depresi

(Kolsenik,dalam Alsa; 2007). Seharusnya anak gifted mendapatkan pendidikan yang

sesuai dengan kapasitas intelektual dan gaya belajarnya, agar anak gifted ini dapat

mengembangkan kapasitas intelektual yang dimilikinya dan dapat berprestasi dengan

lebih baik.

Kecerdasan intelektual yang dimiliki anak giftedmenurut Wechsler (dalam

Hawadi, 2002) adalah anak yang memiliki IQ di atas 115 dengan tingkatan midlygifted

(IQ = 115 - 129), moderatelygifted (IQ = 130 - 144), dan highlygifted (IQ = 145 ke

(8)

yang menjadi syarat utama, anak gifted juga memiliki kemampuan kreativitas yang

tinggi, serta memiliki komitmen untuk menyelesaikan tugas yang juga tinggi (dalam

Van Tiel & Widyorini, 2014). Ketiga faktor inilah yang disebut Renzulli sebagai the

Three Ring of Renzulli atau Tiga Cincin Renzulli (Van Tiel & Widyorini, 2014).

Salah satu karakteristik kepribadian yang dimiliki anak gifted adalah

perfeksionisme. Perfeksionisme merupakan salah satu karakteristik kepribadian anak

gifted yang paling penting.Menurut Tjahjono (2002)perfeksionisme merupakan salah

satu permasalahan kepribadian yang mungkin muncul pada anak berbakat.Peters (1996)

mengemukakan bahwa perfeksionisme lebih banyak ditemukan pada individu yang

memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pruett

(2004) menyatakan bahwa tendensi perfeksionisme terlihat pada siswa dengan

kecenderungan gifted.

Perfeksionisme menurut Hewit dan Silverman (dalam Peters, 1996) adalah

keinginan untuk mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri

sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki

pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan memotivasi.

Salah satu dampak negatif dari perkembangan perfeksionisme yang kuat adalah

terbentunya faalangst negatif.Faalangst dalam bahasa Inggris juga disebut sebagai fear

of failure. Menurut Jessica Van Der Speak (2014; dalam Van Tiel & Van Tiel, 2015),

faalangst (fear of failure) secara singkat dapat dikatakan sebagai rasa takut salah atau

takut gagal padahal sebenarnya bisa.Faalangst dapat terbagi menjadi dua, yaitu

faalangst positif dan faalangst negatif (Van Tiel & Van Tiel, 2015).Faalangst positif

merupakan bentuk rasa takut gagal namun individu yang memiliki faalangstpositif ini

(9)

dikerjakanya. Sedangkan faalangst negatif merupakan suatu masalah psikologis

non-kognitif yang yang sangat dominan dalam karakteristik kepribadian yang dimiliki oleh

anak gifted, terutama mereka yang memiliki karakterisik kepribadian yang sangat

perfeksionisme (Van Tiel & Van Tiel, 2015).

Anak gifted dapat memiliki tingkat perfeksionis yang tinggi di bidang akademis,

namun ia juga dapat memiliki tingkat perfeksionis yang rendah di bidang hubungan

interpersonal atau sebaliknya. Perfeksionis anak gifted tidak selalu bersifat positif,

perfeksionisme anak gifted dapat menjadi hal yang negatif dan merugikan anak gifted

sehingga potensi yang mereka miliki tidak dapat berkembang dengan sempurna (Van

Tiel & Van Tiel, 2015).

Menurut Peters (1996), terdapat empat faktor yang menyebabkan seseorang

dapat memiliki perfeksionisme. Pertama, seseorang dapat memiliki perfeksionisme

dikarenakan orang tersebut memiliki harapan yang tinggi. Harapan yang tinggi tersebut

dapat berasal dari diri sendiri maupun dari orang lain. Kedua, faktor yang menyebabkan

orang memiliki perfeksionisme adalah keyakinan yang tinggi pada diri sendiri. Ketiga,

lingkungan yang kompetitif juga dapat membuat orang memiliki perfeksionisme karena

lingkungan yang kompetitif akan membuat orang berusaha untuk mendapatkan hasil

yang paling baik dan memuaskan sehingga orang tersebut dapat mengembangkan sifat

perfeksionisme. Keempat, umur mental lebih tinggi dari umur kronologis juga

merupakan faktor penyebab orang memiliki perfeksionisme, hal ini dapat terlihat dari

individu dengan keberbaktan atau gifted. Selain itu, Van Tiel & Van Tiel (2015)

berpendapat bahwa salah satu penyebab terbentuknya perfeksionisme adalah genetika.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ratna dan Widayat (2012) ditemukan

(10)

penetapan standar, pencapaian standar, personal, emosional, sosial, dan motivasional.

Sedangkan faktor yang mempengaruhi perfeksionisme pada remaja gifted adalah

harapan yang tinggi dari diri sendiri maupun orang lain, keyakinan tinggi pada diri

sendiri, pembelajaran dari orang tua, dan lingkungan yang kompetitif.Semantara itu

Pranungsari (2010), meneliti hubungan antara kecerdasan dengan perfeksionisme pada

anak gifted di kelas akselerasi. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara variabel kecerdasan dengan perfeksionisme pada anak

gifted di kelas akselerasi.

Ananda dan Mastuti (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh

perfeksionisme terhadap prokrastinasi akademik pada siswa program

akselerasi.Diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh perfeksinisme terhadap

prokrastinasi akademik.

Dari uraian diatas, peneliti tertarik dengan perfeksionisme yang dimiliki oleh

remaja gifted karena masih kurangnya penelitian dan informasi mengenai gambaran

perfeksionisme pada remaja gifted dan masalah yang dimilikinya salah satunya adalah

perfeksionisme karena penelitian sebelumnya hanya meneliti mengenai karakteristik

dan faktor yang mempengaruhi perfeksionisme pada remaja gifted.

Rumusan Masalah

Penelitian ini merumuskan bagaimana gambaran serta efek perfeksionisme pada

remaja gifted.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran serta efek perfeksionisme

(11)

TINJAUAN PUSTAKA a. Definisi Perfeksionisme

Perfeksionisme merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang dimiliki

oleh anak gifted. Perfeksionisme menurut Hewit dan Flett Sliverman (dalam Peters.,

1996) adalah keinginan untuk mencapai kesempurnaan yang diikuti dengan standar

yang tinggi untuk dirinya sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya

bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan memotivasi.

Sedangkan perfeksionisme menurut Adler (dalam Rice, 1998), merupakan aspek

perkembangan yang normal dan hanya menjadi masalah ketika individu menetapkan

standar-standar superioritas yang tidak realistis dalam mencapai tujuan atau

goals.Sementara itu menurut Hill dkk. (2004), perfeksionisme adalah hasrat untuk

mencapai kesempurnaan yang ditandai dengan conscientious perfectionism yang berasal

dari internal individu dan self-evaluated perfectionism yang berasal dari eksternal

individu.

b. Dimensi Perfeksionisme

Menurut Hill dkk. (2004), perfeksionisme dapat dibagi kedalam delapan

dimensi, yaitu:

1. Concern over mistake adalah kecenderungan untuk mengalami stress dan kecemasan

yang berlebih untuk membuat kesalahan. Hal ini dapat berupa kecemasan ketika

membuat kesalahan dan rasa menyesal.

2. High standards for others adalah kecenderungan untuk membandingkan orang lain

dengan standar yang dimiliki oleh orang yang memiliki perfeksionisme itu sendiri.

3. Need for approval adalah kecenderungan untuk mencari validasi dari orang lain dan

(12)

4. Organization adalah kecenderungan untuk menjadi rapi dan terorganisir.

5. Perceived parental pressure adalahkecenderungan untuk merasa harus melakukan

sesuatu secara sempurna demi memuaskan orang tua.

6. Planfulness adalahkecenderungan untuk memiliki rencana masa depan dan memiliki

kesengajaan dalam melakukan sesuatu atau memilih pilihan.

7. Rumination adalah kecenderungan untuk terobsesi dengan kesalahan dimasa lalu,

performa yang kurang sempurna dan hasil kerja yang kurang sempurna dimasa lalu,

dan kesalahan yang mungkin terjadi di masa depan.

8. Striving for excellence adalah kecenderungan untuk mengejar hasil yang sempurna

dan standar yang tinggi.

a. DefinisiGifted

Di Indonesia, istilah gifted sering disebut juga sebagai cerdas istimewa.

Sedangkan di negara-negara Eropa, istilah gifted ini sering disebut sebagai istilah high

ability atau anak yang memiliki potensi yang tinggi (Van Tiel & Widyorini, 2014).

Gifted merujuk pada faktor kapasitas inteligensi yang luar biasa yang juga

diikuti oleh kreativitas yang tinggi dan komitmen yang kuat dalam menyelesaikan

tugasnya (Van Tiel & Widyorini, 2014). Sedangkan menurut Munandar (1999) anak

yang mendapat predikat gifted dan talented adalah mereka yang didefinisikan oleh

orang-orang yang benar-benar profesional atas dasar kemampuan mereka yang luar

biasa dan kecakapan mereka dalam mengerjakan pekerjaan yang berkualitas tinggi

(13)

b. Karakteristik Gifted

Dalam penelitian ini, karakteristik gifted yang digunakan adalah karakteristik

menurut Renzulli (dalam Van Tiel & Widyorini, 2014) yang meliputi karakteristik

keberbakatan:

1. Kapasitas intelektual di atas rata-rata yang ditandai dengan score IQ (skala

Weschler) diatas 130.

2. Motivasi dan komitmen terhadap tugas yang tinggi.

3. Kreativitas yang tinggi.

METODE Partisipan

Partisipan pada penelitian ini adalah remaja gifted yang memiliki

perfeksionisme. Kriteria gifted ini diperoleh dari pengukuran inteligensi yang memiliki

score IQ tinggi yaitu diatas 130, remaja ini duduk di bangku SMA dan berada di kelas

akselerasi. Kelas akselerasi dipilih karena untuk masuk ke kelas akselerasi siswa harus

memiliki score IQ diatas 130 yang dibuktikan dari hasil tes inteligensi. Peneliti

mengambil 2 orang siswa kelas akselerasi yang memiliki tingkat perfeksionisme tinggi

yang didapat dari hasil wawancara awal dan questionnaire yang diberikan kepada

partisipan.Subjek dalam penelitian ini berusia 16 dan 17 tahun dan duduk di bangku

kelas XI Akselerasi dan XII Akselerasi.Kedua partisipan bersekolah di sekolah negeri.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena peneliti ingin

mendapatkan gambaran yang mendalam mengenai perfeksionisme pada remaja gifted.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus, penelitian ini berupaya

(14)

perfeksionisme pada remaja gifted. Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan

adalah observasi dan wawacara.Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis

observasi partisipan yaitu peneliti melakukan penelitian dengan cara terlibat langsung

dalam interaksi dengan objek penelitiannya.Wawancara yang digunakan adalah metode

wawancara terstuktur dengan pertanyaan terbuka dan tertutup.Dalam penelitian ini,

peneliti melakukan uji kredibilitas dengan teknik triangulasi yaitu triangulasi

sumber.Sumber triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang tua dan

teman-teman partisipan.

HASIL Gambaran Umum Partisipan I

a.Identitas Partisipan I

Nama : P1

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia Sekarang : 17 Tahun

Tempat dan Tanggal Lahir : Kabupaten Semarang, 26 Juni 1999

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pelajar

Sekolah : SMA Negeri 1 Salatiga

Kelas : XII Akselerasi

Statio dalam Keluarga : Anak pertama dari dua bersaudara

b.Latar Belakang

Partisipan I dalam penelitian ini berinisial P1.Partisipan merupakan anak

pertama dari dua bersaudara.Partisipan memiliki seorang adik laki-laki yang masih

(15)

Atas Negeri di Salatiga dan duduk di kelas duabelas program akselerasi.Partisipan

sering mengikuti lomba-lomba seperti kompetisi membuat karya ilmiah. Menurutnya, ia

adalah orang yang memiliki banyak ide dan sangat kreatif sehingga ia harus

menyalurkan ide dan kreativitasnya dengan mengikuti lomba-lomba yang ada. Hal

tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh ibu partisipan jika anaknya adalah orang

yang kreatif dan memiliki banyak ide. Ia bercita-cita sebagai seorang dokter bedah,

menurutnya pekerjaan menjadi dokter bedah adalah pekerjaan yang sangat bagus untuk

masa depannya dan pekerjaan itu adalah pekerjaan yang mulia karena dapat membantu

orang lain. Ayah partisipan bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil, sedangkan ibu

partisipan sebagai ibu rumah tangga. Menurut keluarga dan temannya, partisipan

merupakan orang yang ramah dan menyenangkan, partisipan termasuk orang yang

cerewet dan suka bercerita.Partisipan merupakan orang yang mudah bergaul dan

memiliki banyak tema.Menurut teman-temannya, partisipan adalah orang yang peduli

terhadap temannya.Pada saat partisipan duduk di Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah

Menengah Pertama, partisipan tidak tinggal bersama orang tuanya namun tinggal

bersama dengan kakek dan neneknya. Hal tersebut dikarenakan orang tua partisipan

bekerja di luar kota.

Gambaran Umum Partisipan II

a. Identitas Partisipan II

Partisipan : P2

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 16 Tahun

Tempat dan Tanggal Lahir : Kabupaten Semarang, 11 Februari 2000

(16)

Pekerjaan : Pelajar.

Sekolah : SMA Negeri 1 Salatiga

Kelas : XI Akselerasi

Statio dalam Keluarga : Anak ke dua dari tiga bersaudara.

b. Latar Belakang

Partisipan ke II dalam penelitian ini berinisial P2.Partisipan merupakan anak

kedua dari tiga bersaudara.Partisipan memiliki seorang kakak perempuan yang sudah

bekerja.Partisipan saat ini bersekolah di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri di

Salatiga dan duduk di kelas sebelas program akselerasi.Partisipan sangat senang dengan

pelajaran matematika.Menurutnya pelajaran tersebut membuat orang dapat berfikir

kreatif untuk memecahkan sebuah permasalahan. Menurut orang tuanya, ia adalah anak

yang penurut dan baik hati. Ayah partisipan bekerja sebagai seorang buruh pabrik,

sedangkan ibu partisipan sebagai ibu rumah tangga. Menurut keluarga dan temannya,

partisipan merupakan orang yang pemalu jika ia belum terlalu dekat dengan orang lain.

Menurutnya ia hanya memiliki teman dekat yang sedikit karena ia tidak terlalu dapat

dengan mudah dekat dengan orang yang baru dikenalnya. Namun jika ia sudah dekat

dengan orang ia sangat akan sangat baik dengan orang tersebut.Menurut

teman-temannya, partisipan adalah orang yang peduli terhadap temannya dan suka membantu

(17)

Tabel 1.

Kategorisasi Hasil Wawancara

NO DIMENSI INDIKATOR KATEGORISASI PARTISIPAN I

Merasa menyesal karena membuat kesalahan dan akhirnya gagal, kenapa bisa seperti itu, rasanya menyesal.

 Merasa kecewa karena membuat kesalahan tapi kekecewaan itu mendorong supaya tidak mengalami kegagalan itu lagi dan akan mengintrospeksi diri mengenai apa yang membuat kegagalan dan menyebabkan kegagalan-kegagalan itu, berbuat lebih baik.

Ingin memperbaiki kalau sudah lewat seperti tidak menuntut orang tersebut agar sesuai dengannya..

Merasa jengkel kalau tidak memenuhi harapan.

Jika tidak memenuhi standar akan berusaha untuk mengarahkan ke standarnya, tapi kalau benar-benar menolak dan tidak mau merubah hasil kerjanya akan di kerjakan sendiri. akan dihiraukan, tapi kalau kritikannya bagus akan dilakukan.

(18)

akan jengkel dengan orang tapi tergantung mood.

Akan merasa nyaman dan senang jika berada di tempat yang rapi. berantakan, tapi jika sedang santai lumayan tidak terlalu kotor dan berantakan.

Sebenarnya teratur tapi tergantung mood.

 Merasa jengkel sekali jika sudah mencari-cari barang tapi tidak ada di tempatnya.

 Kalau memang mau bersih itu sekalian bersih sampai yang kecil-kecil bersih semua, tapi kalau sudah tidak peduli dibiarkan berantakan dulu nanti akandibersihkan sampai sekolahnya, jika tidak sukses kasihan orang tua.

Melakukan pekerjaan demi orang tua dan diri sendiri.

Merasa terbebani tapi memacu untuk menjadi sukses dan bener-bener sukses.

Dipikirkan dulu segala resiko yang akan terjadi, menguntungkan apa merugikan, dan hasil yang akan dicapai.

Meminta pendapat orang tua.

Pengambilan keputusan biasanya menimbang-nimbang keputusan itu mencari baik buruknya disetiap keputusan, kadang-kadang mendiskusikan dengan orang tuadan teman-teman terdekat. Jadi membutuhkan waktu yang lama.

(19)

pilihan. lain. misalnya tidak sesuai dengan prediksi dan mengecewakan.

Merasa jika ada masalah itu karena dirinya.

Merasa kurang teliti dalam melakukan sesuatu.

(20)

PEMBAHASAN

Berdasarkan analisa hasil penelitian diketahui bahwa dimensi perfeksionisme

concern over mistake ini dapat terlihat pada saat kedua partisipan merasa menyesal

karena telah membuat kesalahan dan akhirnya gagal, hal tersebut membuat kedua

partisipan menyalahkan dirinya sendiri dan membuatnya merasa takut untuk membuat

kesalahan.

“Eeeee…Nyesel… Kayak kok bisa sih… tau gitu harusnya gini. Kemaren gini kalau nggak ya apa ya… ya kayak nyesel aja… Pengen diperbaiki kalau udah lewat itu kayak udah gak ada harapan gitu lho… Hehe…”

Menurut Jessica Van Der Speak (dalam Van Tiel & Van Tiel, 2015),

faalangst(fear of failure) dapat dikatakan sebagai rasa takut salah atau takut gagal

padahal sebenarnya ia bisa. Frost dkk., (dalam Mendaglio, 2007) menemukan bahwa

salah satu dari 4 kecenderungan self-critical pada seorang yang memiliki

perfeksionisme adalah kekhawatiran terhadap kesalahan (concern over

mistakes).Namun, P1 tidak memiliki motivasi seperti P2 agar ia tidak berbuat kesalahan

yang sama dan mengintrospeksi dirinya agar menjadi lebih baik, P1 justru menjadi

putus asa karena membuat kesalahan.

“Pengen diperbaiki kalau udah lewat itu kayak udah gak ada harapan gitu lho… Hehe…” (P1, 5-6).

"E….mungkin mengintrospeksi diri, apa sih yang membuat kegagalan, apa yang menyebabkan kegagalan-kegagalan itu dan berbuat lebih baik mungkin, menjadi lebih baik…”

P1 dan P2 juga akan merasa stress dan putus asa ketika P1 dan P2 membuat

kesalahan namun tidak dapat memperbaikinya jika hal tersebut sudah lewat. P1 terlihat

lebih pasrah ketika mengami masalah sedangkan P2 akan menangis dalam waktu yang

(21)

mistake yaitu kecenderungan untuk mengalami stress dan kecemasan yang berlebih

untuk membuat kesalahan.

Ketika kedua partisipan membandingkan orang lain dengan standar yang

dimiliki, hal tersebut membuat kedua partisipan merasa kecewa dengan pendapat orang

lain yang memiliki standar yang berbeda dengan dirinya. Sedangkan P2 merasa jengkel

dan berusaha mengarahkan orang lain agar sesuai dengan standar yang ia miliki. P1 dan

P2 juga akan menuntut orang lain agar sesuai dengan standar yang dia miliki, P1 akan

menuntut orang lain agar sesuai standar yang ia miliki jika orang tersebut sama seperti

dirinya. Namun untuk orang yang tidak sama dengan dirinya P1 tidak terlalu menuntut

agar orang tersebut dapat memenuhi standar yang ia tetapkan.

“Eeemmm…. kalau orangnya… eee apa bisa diajak…. apa ya....kayak orangnya ya sesuai sama kayak aku, sama kayak aku, ya ya…kalau nggak ya ngga, liat situasi orangnya sih mbak… kalau orangnya nggak patek bisa ya wes lah, sak sake seng penting kowe garap sampek yang semaksimal mungkin….”

Hal tersebut sesuai dengan Hill dkk. (2004) mengenai high standards for others yaitu

kecenderungan untuk membandingkan orang lain dengan standar yang dimiliki oleh

orang yang memiliki perfeksionisme itu sendiri.

Menurut Hill dkk. (2004), dimensi perfekisonisme need for approval merupakan

kecenderungan untuk mencari validasi dari orang lain dan sensitif terhadap kritik.

Ketika kedua partisipan mendapat kritik dari orang lain mengenai apa yang dilakukan,

P1 mengatakan jika ia mendapat kritik dari orang lain yang menurut P1 kritik tersebut

memiliki dampak positif untuk dirinya, P1 akan memperbaiki apa yang P1 lakukan

sesuai dengan kritik yang didapat. Namun, jika kritik tersebut menurut P1 justru

(22)

“Ya kalau misalnya memang jelek gitu ya setidaknya diperbaiki gitu lho…Kalau misalnya kritikannya itu jelek ya malah akunya cuek, tapi kalau kritikannya bagus ya tak lakuin.”

Hal tersebutakan berlaku jika kritik yang P1 dapat sesuai dengan keyakinan dan standar

yang P1 miliki. Sementara itu, P2 akan merasa jengkel jika orang lain mengkritiknya

namun kritikan tersebut salah. P2 juga aka mengintrospeksi dirinya sendiri jika kritikan

yang ia dapat sesuai dengan dirinya dan akan merubah diri.

Terlihat pada saat P1 berada di lingkungan yang berantakan.P1dan P2 merasa

nyaman jika berada di lingkungan yang rapi dan tidak berantakan, P1akan berusaha

untuk membersihkan lingkungannya agar terlihat rapi.Sementara itu, P2 merasa tidak

nyaman jika berada di lingkungan yang kotor kecuali kamarnya. P2 akan membersihkan

kamarnya jika ia memiliki mood yang baik, ia bahkan akan membersihkan hal yang

kecil-kecil agar terlihat rapi.

“Hehehe….kalau saya sih orangnya gimana ya, kalau bener -bener ya itu tadi, kalau emang mau bersih itu sekalian bersih sampai yang kecil-kecil itu bersih semua, tapi kalau udah nggak peduli biari berantakan dulu nanti sekalian aja dibersihin sampai bersi”

P2 juga merasa jengkel jika barang yang ia miliki tidak berada di tempatnya, ia akan

menyalahkan orang lain jika hal tersebut terjadi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

yang dikemukakan oleh Hill dkk.(2004) mengenai dimensi perfeksionisme

organization.Menurut Hill dkk.(2004), organization merupakan kecenderungan untuk

menjadi rapi dan terorganisir.

Perceived parental pressure adalah kecenderungan untuk merasa harus

melakukan sesuatu secara sempurna demi memuaskan orang tua (Hill dkk., 2004).

(23)

pekerjaan yang sempurna demi orang tua, hal tersebut membuatnya lega ketika dipuji

orang tuanya, namun masih merasa tidak puas akan pekerjaan yang dilakukan.

P1merasa jika pekerjaanya tidak menghasilkan hasil yang sempurna.

“Ya kayak leg…apa ya…dikit leg… ya lega sih, lega…cuma kayaknya menurutku kurang gini tapi orang tua udah, udah bilang udah bagus kok…diliatnya udah enak…udah keren, udah bagus…”

P1 akan melakukan sesuatu agar P1 sukses demi orang tua dirasanya merupakan hal

yang wajar jika orang tua menginginkan untuk sukses. Sementara itu, P2 akan terbebani

jika orang tuanya menginginkan ia untuk sukses, namun hal tersebut memacu P2 agar

menjadi benar-benar sukses.

Hill dkk.(2004) juga berpendapat mengenai dimensi perfeksionisme

planfulness.Menurut Hill dkk. (2004), planfulness merujuk pada kecenderungan untuk

memiliki rencana masa depan dan memiliki kesengajaan dalam melakukan sesuatu atau

memilih pilihan. Hal tersebut terlihat pada saat P1 dan P2 memiliki rencana dalam

membuat keputusan dan memiliki kesengajaan dalam membuat pilihan.Kedua

partisipanakan memikirkan segala resiko yang akan terjadi dan hasil yang akan dicapai

sebelum membuat suatu keputusan. P1 dan P2 juga akan meminta pendapat orang tua

dalam membuat pilihan karena P1 dan P2 menganggap orang tuanya lebih tau, namun

P2 membutuhkan waktu yang lama untuk membuat keputusan.

“Dipikir dulu kedepannya kayak gimana, trus resikonya kalau ngelakuin ini itu apa…Nguntungin apa ngerugiin…. trus hasihnya gimana…”

(24)

saya juga, baru saya mengambilkeputusan…Jadi kalau saya mengambil keputusan lama…”

Dimensi perfeksionisme rumination adalah kecenderungan untuk terobsesi

dengan kesalahan dimasa lalu, performa yang kurang sempurna dan hasil kerja yang

kurang sempurna dimasa lalu, dan kesalahan yang mungkin terjadi di masa depan (Hill,

2004). Dimensi perfeksionisme ini terlihat pada saat kedua partisipan merasa khawatir

akan hal-hal yang belum terjadi di hidupnya. Hal tersebut terlihat pada saat P1 merasa

khawatir akan hal-hal yang belum terjadi, P1 merasa takut kecewa jika tidak sesuai

dengan prediksinya.

“Iya..hehe….E…. ya kalau apa ya… khawatir sih…. kalau misalnya nanti…e….nggak sesuai dengan prediksi gimana gitu… kalau ngecewain gimana….”

“Sering mengkhawatirkan. Misalnya dalam hal

presentasi,tampil di depan orang itu saya sangat khawatir. Jadi misalnya mau ngomong ini, sebelum maju itu udah hafal tapi saya sebelum majuitu juga ada rasa takut gimana kalau sampai di depan nanti lupa satu kata dua kata apa lagi buyar semuanya gitu…”

Kedua partisipan juga terobsesi dengan kesalahan di masa lalu.P1akan menyalahkan

dirinya sendiri jika ada masalah. P2 merasa jengkel dengan diri sendri dan menyalahkan

diri sendiri mengenai apa yang terjadi. Selain itu, kedua partisipan juga terobsesi akan

performa yang kurang sempurna serta hasil kerja yang kurang sempurna. P1 merasa jika

hal yang dilakukan kurang sempurna. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Ratna dan Widayat (2012) yang menemukan bahwa salah satu faktor

penyebab perfeksionisme adalah ekspektasi yang tinggi dari orang lain maupun diri

sendiri. Partisipan memiliki ekspektasi yang tinggi untuk menjadi sempurna dan merasa

(25)

sendiri.Sementara itu, P2 merasa menyesal jika dimasa lalu performa dan hasil kerjanya

kurang sempurna.

Pada dimensi perfeksionisme striving for excellence menurut Hill dkk.(2004)

merupakan kecenderungan untuk mengejar hasil yang sempurna dan standar yang

tinggi.Hal tersebut terlihat pada saat kedua partisipan mengejar hasil yang sempurna. P1

dan P2 sering membandingkan hasil pekerjaannya dengan temannya yang lain. P1

merasa jika hasil pekerjaanya lebih jelek dari temannya dan hasil pekerjaan temannya

lebih baik dari dirinya.P1 merasa kecewa dengan pekerjaan yang telah dikerjakannya

mendapat hasilnya kurang sempurna menurutnya.P1juga merasa takut hasil yang

dikerjakan jelek.

“Iya tak bandingin..ih..biasanya sih menurutku apa ya misalnya punyaku kurang, kok punyaku biasa aja ya punya temen-temen yang lain tu yang wow.. gitu lho.. Tak apain ini biar keliatan wow… tapi kayaknya sama aja gitu lho… Aku juga nggak tau.”

Menurut Silverman (1999), seseorang yang memiliki perfeksionisme menetapkan

standar yang tinggi untuk diri mereka sendiri dan mengalami rasa sakit yang mendalam

ketika gagal memenuhi standar tersebut. P1akan melakukan segala sesuatu agar hasil

kerjanya bagus termasuk memperbaiki kembali hasil kerjanya. Hal tersebut sesuai

dengan karakteristik gifed menurut Renzulli yang juga dikenal dengan the Three Ring of

Renzullimengenai motivasi dan komitmen terhadap tugas yang tinggi. Partisipan

memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi untuk memperbaiki tugasnya agar

hasilnya sempurna.Menurut Siegle dan Schuler (dalam Thoresen, 2009) salah satu

karakteristik perfeksionisme self-oriented adalah memiliki motivasi yang kuat untuk

sempurna. Sementara itu, P2 lebih mencari motivasi untuk menjadi lebih baik dan

(26)

“Sering sih…tugas… bandingin tugas ya… ya gimana ya…misalnya kayak bandingin kemampuan… ya kadang cari motivasi gitu lho…apa… kok dia bisa kenapa aku nggak… lebih kesitu…”

Partisipan akan melakukan segala cara termasuk memperbaiki hasil kerjanya merupakan

motivasi kuat untuk sempurna.Hewit dan Silverman (dalam Peters., 1996) berpendapat

bahwa perfeksionisme merupakan keinginan untuk mencapai kesempurnaan diikuti

dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan

percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan

memotivasi. Perilaku partisipan yang sering membandingkan pekerjaannya dengan

orang lain karena menganggap hasil pekerjaannya tidak sempurna dan akan melekukan

segala sesuatu termasuk memperbaiki pekerjaannya agar sempurna sesuai dengan

pendapat Hewit dan Silverman (dalam Peters., 1996) yang menyatakan jika

perfeksionisme adalah keinginan untuk mencapai kesempurnaan. Sedangkan menurut

Hill dkk. (2004), perfeksionisme adalah hasrat untuk mencapai kesempurnaan yang

ditandai dengan conscientious perfectionism yang berasal dari internal individu dan

self-evaluated perfectionism yang berasal dari eksternal individu.

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa

gambaran perfeksionisme remaja gifted pada dimensi concern over mistakeadalah

perasaan menyesal dan kecewa sehingga menyalakan diri sendiri jika membuat

kesalahan, namun terkadang rasa menyesal dan kecewa tersebut dijadikan motivasi agar

tidak berbuat kesalahan yang sama. Dimensi high standards for other partisipan telihat

(27)

sesuai dengan standarnya. Gambaran dimensi need for approval terlihat dari ketika

menerima kritik dari orang lain, partisipan akan menerima kritik tersebut jika kritik

tersebut memiliki dampak positif untuk dirinya dan untuk mengintrospeksi diri.Dimensi

organization terlihat pada saat berada di lingkungan yang kotor, partisipan merasa tidak

nyaman dan akan menyalahkan orang lain jika barang-barang yang dimiliki tidak berasa

pada tempatnya.

Dimensi perceived parental pressure terlihat ketika partisipan merasa terbebani

jika orang tua partisipan mengharuskannya untuk sukses namun ketika dipuji merasa

lega. Dimensi planfulness pada partisipan terlihat pada saat membuat keputusan,

partisipan akan memikirkan resiko dan hasil yang akan diperoleh sebelum membuat

keputusan. Partisipan akan meminta pendapat orang tua dan teman-teman mereka

sebelum membuat keputusan dan terkadang membutuhkan waktu yang lama untuk

memutuskan sesuatu. Dimensi rumination terlihat ketika partisipan sering

mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi. Dimensi striving for excellent terlihat

ketika partisipan sering membandingkan tugas dengan orang lain dan berusaha untuk

memperbaki tugasnya karena merasa jika pekerjaannya tidak sempurna. Partisipan

membandingkan tugas mereka untuk mencari motivasi untuk lebih berprestasi.

Saran

Dengan adanya saran dari hasil penelitian ini, diharapkan kepada:

1. Bagi peneliti lain:

Peneliti selanjutnya yang ingin melanjutkan, menyempurnakan atau

mengembangkan penelitian ini, dapat meneliti mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi perfeksionisme remaja gifted.Faktor-faktor tersebut dapat berupa

(28)

giftedmungkin saja dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut yang tidak diteliti

dalam penelitian ini.

2. Bagi partisipan dalam penelitian ini:

Diharapkan partisipan dalam penelitian ini untuk lebih dapat menerima diri

sendiri apa adanya dan menerima jika membuat kesalahan dan tidak menyalahkan

diri sendiri atas kegagalan dan kesalahan yang dilakukan. Partisipan juga sebaiknya

tidak memikirkan dan mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi dan sudah

terjadi agar potensi yang ada pada diri partisipan dapat berkembang dengan lebih

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Ananda, N. Y., & Masturi E. (2013).Pengaruh perfeksionisme terhadap prokrasinasi akademikpada siswa program akselerasi.Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan, 2 (3), 226-231.

Alsa, A. (2007). Keunggulan dan kelemahan program akselerasi di SMA: tinjauan psikologi pendidikan pidato pengukuhan guru besar pada Fakultas Psikologi.

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Azwar, S. (1986).Rehabilitasi dan validasi.interpretasi dan komputasi. Yogyakarta: Liberty.

Hawadi, A. R. (2002). Identifikasi keberbakatan intelektual: melalui etode non-tes.

Jakarta: Grasindo.

Hill, R. W., Huelsman, T. J., Furr, R. M., Kibler, J., Vicente, B. B., Kennedy, C. (2004). A new measure of perfectionism: the perfectionism inventory. Journal of Personality Assessment, 82 (1).

Mendaglio, S. (2007). Should perfectionism be a characteristic of giftedness?.Gifted Education International, 23, 88-100.

Munandar, S. C. U. (1999). Kreativitas dan keberbakatan: strategi mewujudkan potensi kreatif dan bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Moleong, L. (2009). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Peters, C. (1996). Perfectionism,www.nwxus.edu.Diakses pada 17 September 2015.

Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif. Depok: Perfecta.

Pranungsari, D. (2010). Kecerdasan dengan perfeksionisme pada anak gifted di kelas akselerasi.Jurnal Humanitas, 7(1), 35-52.

Pruett, G. P. (2004). Intellectually gifted studens’s perfection of personal goals and

work habbits, http:www.highbeam.com/doc/161-1240.Diakses pada 10 Agustus 2016.

Ratna, P. T., & Widayat, I. W. (2012). Perfeksionisme pada remaja gifted (sudi kasus pada peserta didik kelas akselerasi SMA Negeri 5 Surabaya).Insan, 14(3), 203-210.

(30)

Silverman, L. K., (1999). Perfectionism: the crucrible of giftedness. Advanced Development, 8, 47-61.

Thorsen, K. A., (2009). Perfectionism in gifted student: a need for effective service in gifted programming. Virginia: The Collage of William and Mary, School of Education Faculty.

Van Tiel, J.M., & Widyorini, E. (2014). Deteksi dan penanganan anak cerdas istimewa (anak gifted). Jakarta: Prenada.

Van Tiel. J.M.,& Van Tiel. J.F. (2015).Perfeksionisme dan faalangst anakku cerdas istimewa (anak gifted). Jakarta: Prenada.

Vieth, A.Z.& Trull, T. J. (1999). Family patterns of perfectionism: an examination of collage students and their parents. Journal of Personality Assessment, 72, 49-67.

Tjahjono, E. (2004). Mengapa aku berbakat?pandangan anak berbakat tentang dirinya.

Gambar

Tabel 1.

Referensi

Dokumen terkait

Karena pada saat pengambilan tiap foto asumsi bahwa pada saat pemotretan berada dalam kondisi tegak lurus, sumbu-sumbu optik kamera tidak miring, jarak kamera

Vica Mitra Sealindo, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan kegiatan Evaluasi Sistem Informasi Penjualan Tunai pada PT.. Vica

ANTON APRIYANTONO.. Ketentuan lulus uji efektivitas pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah meliputi ketentuan lulus uji efektivitas secara teknis dan

Perhitungan indeks RCA bertujuan untuk menjelaskan kekuatan dayasaing komoditas nenas dan pisang Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain (dunia) yang juga

Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh ekstrak Graptophyllum pictum terhadap pertumbuhan Candida albicans pada plat gigi tiruan resin akrilik maka dapat diambil kesimpulan

Waktu pengaliran dapat diperoleh sebagai pendekatan dengan membagi panjang aliran maksimum dari saluran samping dengan kecepatan rata-rata aliran pada saluran tersebut..

Dengan demikian, mikrooganisme tanah bermanfaat yaitu bakteri pelarut fosfat dan bakteri penambat nitrogen non-simbiotik yang ditemukan pada rizosfer tanaman umbi di bawah

Akan tetapi, karena jauh lebih praktis menggunakan kekuatan tarik untuk menentukan kekuatan bahan, maka metode ini lebih banyak dikenal, dan merupakan metode