• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

33 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Perilaku Catcalling Di Sosial Media

Catcalling merupakan perbuatan yang termasuk kedalam pelecehan seksual, akan tetapi pelecehan seksual dari catcalling ini tidak melalui kontak fisik, catcalling dilakukan secara lisan dan juga catcalling dilakukan dengan cara mengunggah konten yang berbau catcalling di sosial media miliknya,. Seperti dalam contoh yang di temui oleh peneliti, Ada sebuah video catcalling yang dilakukan oleh seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi di yogyakarta yang sedang melakukan praktik kerja lapangan di salah satu rumah sakt daerah, mahasiswi tersebut membuat video catcalling yang di dalam video tersebut terdapat sebuah kalimat

“ketika harus masang kateter urin/DC untuk pasien cowok, mana udah cakep, seumuran lagi” dan mahasiswi tersebut mengunggah video tersebut ke dalam akun tiktok miliknyaDari beberapa contoh yang telah disampaikan, dengan tanpa sadar maupun sadar pengguna sosial media telah melakukan tindakan yang tergolong dalam perbuatan tindak pidana pornografi, dimana dijelaskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan.

Contoh lain yang ditemukan oleh peneliti, terdapat sebuah video yang menampilkan seorang wanita yang menerima perilaku catcalling dari seorang pria, dimana di dalam video tersebut soerang pria berkata “halo, kakak”, “makin hari makin bagus aja si kakak”, yang kemudian pada waktu

(2)

perbuatan tersebut terjadi wanita tersebut merekamnya dan mengunggah di sosial media miliknya.

Unsur-unsur yang terdapat di dalam tindak pidana catcalling, yakni sebagai berikut:

a. Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia

Catcalling telah memenuhi unsur yang pertama ini karena perbuatan yang dilakukan adalah melontarkan komentar atau membuat konten yang memiliki unsur pornografi atau sebuah kalimat godaan kepada orang lain dan pelaku tersebut mengunggahnya kedalam sosial media miliknya atau perilaku yang bisa menyebabkan rasa tidak nyaman atau risih terhadap orang lain, seperti memberikan komentar pada kolom komentar di sosial media ataupun konten yang berbau catcalling.

b. Diancam pidana

Dalam hal ini perbuatan catcalling termasuk kedalam perbuatan pelecehan seksual secara verbal yang dapat diancam dengan pidana, karena perbuatan tersebut termasuk kedalam perbuatan asusila dan mengandung unsur pornografi didalamnya. Pengaturan mengenai perbuatan catcalling di sosial media telah diatur di dalam peraturan Perundang-Undangan, seperti didalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, kemudian Pasal 4 Ayat (1) Pasal 29, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Pasal 1 Ayat (1), Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 5, Pasal 14 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tndak Pidana Kekerasan seksual.

c. Melawan hukum

Perbuatan catcalling bisa dibilang melawan hukum karena perbuatan tersebut telah menggangu dan mengurangi hak asasi manusia orang lain, dan perbuatan yang telah menggangu hak asasi orang lain sudah bisa dikatakan melawan hukum. Selain mengganggu dan mengurangi hak asasi orang lain, perbuatan catcalling telah ketentuan

(3)

peraturan Perundang-Undangan di Negara Indonesia, dalam hal ini perbuatan catcalling telah memenuhi beberapa unsur yang termuat di dalam beberapa Pasal yang termuat di dalam beberapa peraturan Perundang-Undangan, seperti di dalam Pasal 45 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016

d. Dilakukan dengan kesalahan

Unsur-unsur kesalahan yang terdapat di dalam perbuatan catcalling yakni kapasitas dari dalam diri pelaku tindak pidana tersebut untuk mampu bertanggung jawab atas perilakunya, kemudian hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya yang merupakan suatu kesengajaan atau kealpaan yang menyebabkan tidak adanya suatu alasan untuk penghapus kesalahan yang merupakan suatu alasan pemaaf atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

e. Orang yang mampu bertanggung jawab.

Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila tidak ada lagi alasan pembenar dan alasan pemaaf atas perbuatannya. (Masruchin Rubai,2014;90)

Catcalling bisa dikatakan sebagai suatu tindak pidana karena perbuatan tersebut sudah ditetapkan sebagai perbuatan melawan hukum seperti yang termuat di dalam Undang-Undang. Menurut Prof. Simons tindak pidana adalah suatu perbuatan yang diancan dengan pidana, melawan hukum, perbuatan tersebut dilakukan dengan kesalahan dan perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dianggap mampu bertanggung jawab.(Masruchin Rubai,2014;80-81)

Tindak pidana adalah suatu proses perbuatan yang melanggar aturan hukum dan terdapat ancaman sanksi terhadap pelaku atau orang yang melanggar aturan tersebut, dalam hal ini suatu larangan ditujukkan untuk perbuatannya, sedangkan sanksi ditujukkan kepada orang atau pelaku yang menimbulkan suatu perbuatan tindak pidana.(Moeljatno,1993;59)

Unsur dari tindak pidana pornografi yakni adanya sebuah kesengajaan, dimana di jelaskan di dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 44

(4)

Tahun 2008 Tentang pornografi, bahwa yang menjadi unsur tindak pidana pornografi ada 2 (dua) yakni perbuatan dan objeknya. Unsur Tindak pidana pornografi adalah memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, memanfaatkan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, membiarkan, menyewakan, menyediakan, meminjamkan/mengunduh, memperdengarkan, mempertontonkan, melibatkan, melibatkan anak, menyimpan, mengajak, membujuk, menyalahgunakan kuasa. dari berbagai unsur yang telah disebutkan di dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, perilaku pelecehan seksual secara verbal atau catcalling di sosial media telah memenuhi diantaranya adalah unsur membuat atau menyebarluaskan atau memanfaatkan atau menyiarkan. Unsur membuat dalam hal ini orang atau individu membuat konten catcalling di sosial media miliknya, kemudian unsur berikutnya yakni unsur menyebarluaskan dimana pemilik akun sosial media tersebut menyebarkan atau mengunggah konten catcallingnya di sosial media miliknya dan dapat dilihat oleh masyarakat luas atau netizen di Indonesia, Unsur memanfaatkan dalam hal ini pengguna sosial tersebut memanfaatkan atau menggunakan sosial media sebagai sarana dalam melakukan perbuatan catcallingnya, kemudian unsur berikutnya adalah unsur menyiarkan, jika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata menyiarkan memiliki arti memberitahukan kepada umum bisa melalui radio, surat kabar, dan sebagainya, dalam hal ini pelaku catcalling ini menggunakan media sosial untuk dibagikan kepada masyarakat umum.

Seiring perkembangan zaman dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, tindak pidana yang terjadi saat ini mengalami perkembangan juga, saat ini tindak pidana dapat dilakukan melalui sosial media, sosial media yang seharusnya digunakan untuk memberikan kemudahan dalam berkomunikasi, memberikan informasi,mengedukasi orang lain, justru digunakan untuk melakukan tindak pidana seperti catcalling. Menurut teori moralitas, dasar dari sebuah kriminalitas adalah

(5)

suatu perbuatan immoral yang diancam dengan pidana, dalam hal ini moralitas memberikan pengertian mengenai baik atau buruknya suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia.(Poespoprodjo,2017;118)

Perbuatan immoral tersebut adalah kerugian yang timbul di dalam masyarakat, dalam perbuatan catcalling kerugian yang diakibatkan dari perbuatan tersebut adalah kerugian psikis dan mental bagi korban, dalam persepsi tentang nilai yang bersifat relatif berbeda-beda, dalam suatu masalah yang sama bisa muncul persepsi yang berbeda yang melibatkan antara pelaku dan korban. bagi pelaku pelecehan seksual secara verbal atau catcalling merupakan hal yang biasa dan dianggap hanya sebuah candaan, namun berbeda bagi korban yang menilai perbuatan catcalling merupakan suatu masalah yang serius dan harus segera ditindak lanjuti, karena hal tersebut mengganggu kenyaman bagi korban (Budiono Kusumohamidjojo,2016;135).

Dalam teori sosiologi tindakan sosial atau social action merupakan perilaku yang dilakukan oleh seseorang atau individu atas pertimbangan interpretatif atas situasi, interaksi, dan hubungan sosial yang dikaitkan terhadap suatu nilai, kepercayaan, minat, emosi, kekuasaan, otoritas, kultur, kesepakatan, atau yang lainnya yang dimiliki oleh seseorang atau individu tersebut(Goerge Ritzer,2001;126). Unsur utama dalam pelecehan seksual secara verbal atau catcalling adalah adanya rasa tidak nyaman atau rasa yang tidak diinginkan oleh korban, selain unsur tersebut terdapat juga unsur yang lainnya yakni unsur tindakan yang tidak sopan yang mengarah kepada perilaku pelecehan seksual secara verbal.

Dengan adanya data yang sudah disajikan di depan maka dapat dilihat bahwa kejahatan saat ini sudah mengalami perkembangan yang pesat, maka di perlukan juga pembaharuan peraturan hukum, di Negara Indonesia saat ini guna mengantisipasi dan menanggulangi permasalahan kejahatan yang berbasis pada cyber, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan menggunakan

(6)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dapat digunakan untuk membantu dalam menyelesaikan perkara kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang berbasis pada cyber atau yang terjadi di sosial media.

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 Tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal yang dapat digunakan uuntuk menyelesaikan permasalahan pelecehan seksual secara verbal atau catcalling ini yakni, Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 45 Ayat (1). Kemudian Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang pornografi terdapat beberapa Pasal yakni, Pasal 4 Ayat (1), dan Pasal 29, yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Pasal 27 Ayat (1) menyatakan bahwa: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentrasnmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang dilarang baik secara disengaja dan tanpa hak untuk menyebarluaskan informasi elektronik yang memiliki muatan atau suatu konten yang mengandung unsur melanggar kesusilaan.

b. Pasal 45 Ayat (1) menyatakan sebagai berikut “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ataumembuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Pasal ini dijelaskan bahwa apabila seseorang yang sengaja menyebarluaskan dan mengakses informasi elektronik/dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan maka seseorang tersebut terbukti bersalah dan telah melanggar pasal tersebut akan mendapatkan sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau sanksi pidana denda paling banyak sebesar 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Permasalahan pelecehan seksual secara verbal atau perilaku catcalling yang terjadi di sosial media, selain menggunakan Undang-Undang Nomor

(7)

19 Tahun 2016 untuk membantu dalam menyelesaikan permasalahan tersebut kita dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dimana di dalam Undang-Undang ini seperti yang termuat di dalam Pasal 1 Ayat (1), Pasal 4 Ayat (1), pasal 9, pasal 29, dan pasal 35. Dari beberapa alternatif Pasal yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan catcalling di sosial media akan dijelaskan sebagai berikut;

Pasal 1 Ayat (1) menyatakan bahwa “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Pelecehan seksual secara verbal atau catcalling yang di lakukan di sosial media, dalam permasalahan catcalling melalui sosial media telah memenuhi unsur gambar bergerak atau video, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, video berarti “merupakan rekaman gambar hidup atau program televisi, atau dengan kata lain video merupakan tayangan gambar bergerak yang disertai dengan suara”.

Pasal 4 Ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memanfaatkan, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; pornografi”

Perbuatan catcalling yang dilakukan di sosial media telah memenuhi unsur yang ada di dalam pasal ini adalah unsur “memanfaatkan”, dan unsur

“pornografi”. Unsur memanfaatkan yakni pelaku perbuatan catcalling dalam melakukan tindakan atau aksinya melalui memanfaatkan media sosial. Unsur berikutnya adalah menyebarluaskan dalam hal ini pelaku perbuatan catcalling telah menyebarkan atau mengunggah di sosial pribadinya, dan konten tersbut dapat dan telah dilihat oleh masyarakat luas, kemudian uunsur yang telah terpenuhi adalah unsur membuat, dalam hal ini pelaku dengan senga membuat konten yang berbau catcalling di dalam sosial media miliknya.

(8)

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 Tentang Pornografi menyatakan sebagai berikut “setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.”

Perbuatan catcalling mengandung unsur pornografi yang menjadikan orang lain sebagai objeknya, di dalam pasal ini dijelaskan bahwa setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek pornografi, maka perbuatan catcalling telah memenuhi unsur unsur yang terdapat di dalam pasal ini.

Pasal 29 Undang-Undang nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi menyatakan bahwa “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.

250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”.

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi menyatakan sebagai berikut “setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”

Pelecehan seksual secara verbal saat ini tidak hanya terjadi secara kontak fisik atau secara langsung, saat ini pelecehan seksual secara verbal bisa dilakukan melalui sosial media, guna untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut pemerintah telah mebuat dan mengsahkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dimana Undang-Undang ini dapat digunakan untuk menyelesaikan permaslahan pelecehan secara verbal yang dilakukan di sosial media, seperti Pasal 1 Ayat (1), Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 5, Pasal 14 Ayat (1).

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyatakan bahwa “Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala sesuatu perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

(9)

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 pada Pasal 4 Ayat (1) disebutkan beberapa jenis tindak pidana kekerasan seksual seperti:

a. Pelecehan seksual nonfisik

b. pelecehan seksual fisik

c. pemaksaan kontrasepsi

d. pemaksaan sterilisasi

e. pemaksaan perkawinan

f. penyiksaan seksual

g. eksploitasi seksual

h. perbudakan seksual

i. kekerasan seksual berbasis elektronik.

Didalam pasal ini, unsur yang memenuhi dalam perbuatan catcalling di sosial media terdapat di dalam point A, di dalam pasal berikut dijelaskan bahwa terdapat beberapa macam tindak pidana kekerasan seksual, dan di dalam point A di sebutkan “pelecehan seksual nonfisik”, di dalam perilaku catcalling yang terjadi di sosial media, tidak melalui kontak fisik, melainkan secacra nonfisik yakni melalui ketikan atau sebuah video/sebuah konten.

Kemudian di tambahkan lagi pada Pasal 4 Ayat (2) yang menambahkan jenis kekerasan seksual yakni:

a. Perkosaan

b. Perbuatan cabul

c. persetubuhan terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak

d. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban

e. pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual

f. pemaksaan pelacuran

g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan uktuk eksploitasi seksual

h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga

i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalanya merupakan tindak pidana kekerasan seksual

j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari sekian macam pelecehan seksual yang disebutkan di dalam pasal 4 Ayat (2), apabila kita kaitkan dengan perilaku pelecehan seksual secara verbal atau perbuatan pelecehan secara nonfisik atau perbuatan catcalling yang dilakukan di sosial media, tentu telah memenuhi unsur pada point B di

(10)

dalam Pasal 4 Ayat (2), perbuatan catcalling merupakan suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan, dan perbuatan tersebut juga diluar kehendak dari korbannya, dan korban tentunya juga tidak ingin mengalami perbuatan tersebut.

Pasal 5 menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaanya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara palung lama 9 (sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Pelecehan seksual secara verbal atau perbuatan catcalling yang dilakukan di sosial media telah memenuhi unsur pasal diatas yakni perbuatan seksual secara nonfisik, karena catcalling di sosial media pelaku perbuatan tersebut melakukan kejahatannya secara tatap muka, melainkan melalui sosial media.

Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, menyatakan bahwa “setiap orang yang tanpa hak:

a. melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang menjadi objek, perekaman atau gambar atau tangkapan layar.

b. mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elekronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual.

c. melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual

Dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Jika menengok pada unsur pasal diatas pada huruf (b) yang menyatakan bahwa “setiap orang yang tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual” maka pelaku dari perbuatan catcalling memenuhi unsur Pasal diatas, sehingga dapat dipidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(11)

Contoh kebijakan hukum terkait kasus pelecehan seksual di Negara India, Negara India mealui The Protection Of Children From sexual Offences Act 2012 mengatur tentang 4 jenis kekerasan atau kejahatan seksual terhadap anak, sanksi yang diberikan yakni hukuman minimal 6 bulan kurungan penjara atau pidana denda yang setara dengan hukuman seumur hidup. Di Negara India seseorang dapat dikatakan telah melakukan pelecehan seksual apabila telah mengucapkan kata-kata, atau membuat suara apapun, atau bersikap atau mempertunjukkan bagian tubuh tertentu yang dapat di dengan maupun dilihat oleh anak-anak.

Kemudian mempertunjukkan bagian tubuh tertentu dari seorang anak sehingga dapat dilihat oleh orang lain; atau mempertontonkan anak-anak dalam media apapun untuk tujuan pornografi; atau mengulangi atau secara terus-menerus mengikuti atau melihat atau menghubungi seorang anak secara elektronik, digital atau bentuk lainnya; mengancam dalam media apapun, dalam elektronik bentuk nyata atau palsu , file atau digital atau bentuk lainnya, bagian tubuh dari seorang anak atau anak yang terlibat tindakan seksual; atau membujuk seorang anak untuk terlibat dalam pornografi atau memberikan hadiah kepada mereka untuk keperluan tersebut. Apabila seseorang telah melakukan pelecehan seksual tersebut dapat dijatuhi pidana penjara selama tidak kurang dari tiga tahun dan masih bisa di perpanjang masa tahanannya. (Justina Rostiawati,2014;15)

Negara Filipina telah membuat peraturan yang mengancam perbuatan pelecehan seksual secara verbal atau catcalling di ruang publik dapat dikenakan denda sebesar 200 Peso hingga 1.000 peso dan pidana penjara selama satu hingga lima belas hari. Contoh lain dari penegakan peraturan mengenai catcalling, di kota Alaska di Negara Amerika Serikat, memiliki Undang-Undang khusus guna menyelesaikan permasalahan catcalling ini, di kota Alaska pelaku catcalling dapat dikenakan denda sebsar 11.41.230 US Dollar. karena pelecehan seksual secara verbal atau catcalling bisa jadi dianggap sebuah serangan jika pelaku tersebut melontarkan yang mengakibatkan korban merasa takut atau mengakibatkan korbannya merasa

(12)

terancam keselamatannya.( Ika Ardina,Manila Resmi Melarang catcalling.

https://www.google.com/amp/s/beritagar.id/artikel-amp/gaya-hidup/manila- resmi-melarang-catcalling, diakses pada hari selasa 12 april 2022, pukul 10.00 wib)

2. Perlindungan terhadap korban dari perilaku catcalling berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia

Perlindungan terhadap korban perilaku catcalling di Negara Indonesia ini sama seperti perlindungan korban tindak pidana lainnya, tidak ada peraturan khusus yang menyatakan perlindungan dari tindak pidana catcalling ini.

Korban dari perilaku pelecehan seksual secara verbal atau catcalling baik yang dilakukan secara langsung maupun yang dilakukan melalui sosial media, sering kita jumpai bahwa korban mendapatkan stigmatisasi dari masyarakat, masyarakat beranggapan bahwa perbuatan catcalling ini timbul karena menganggap korban menggunakan pakaian yang memancing hasrat atau memancing orang lain untuk melakukan perbuatan pelecehan seksual secara verbal atau catcalling.(Myrtati D.Artaria,2002;56).

Akibat dari adanya stigmatisasi yang diberikan oleh masyarakat akan berdampak pada kondisi psikis korban, korban akan merasa malu dan takut untuk melaporkan perbuatan catcalling yang dialaminya. Sejatinya keingingan seseorang untuk berpakaian atau ingin membuat content di sosial media merupakan kehendak dari seseorang itu sendiri, akan tetapi meskipun seseorang telah berpakaian yang sopan dan meng-upload content di sosial media perilaku catcalling ini tetap terjadi dan tidak dapat dijadikan sebuah jaminan akan rasa aman agar terhindar dari perilaku pelecehan seksual secara verbal atau catcalling. Maka dari hal tersebut pemerintah perlu memberikan suatu peraturan yang tegas untuk memberikan rasa aman atau perlindungan terhadap perilaku pelecehan seksual secara verbal atau catcalling baik di dunia nyata maupun di sosial media.

Pemerintah telah memberikan perlindungan terhadap korban dari perilaku pelecehan seksual secara verbal atau catcalling, yakni Undang- Undang Nomor 31 tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan

(13)

selain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, yang dapat digunakan korban dari perilaku pelecehan seksual secara verbal atau catcalling yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia yang dapat digunakan sebagai dasar hukum perlindungan korban dari perilaku catcalling

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, di dalam Pasal 1 ayat (8) dijelaskan bahwa perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Kemudian di dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2006 diejalaskan tentang definisi korban, “korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekenomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.” Korban dari tindak pidana pelecehan seksual secara verbal atau catcalling memang tidak mengalami penderitaan fisik maupun kerugian ekonomi, akan tetapi korban dari perilaku catcalling ini mengalami penderitaan secara psikis atau mental yang apabila dalam jangka waktu yang lama korban akan merasakan trauma atas perbuatan tersebut.(

Maya Indah S, 2014;30).

Korban tindak pidana pelecehan seksual secara verbal atau catcalling sesuai dengan yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 di dalam Pasal 5 Ayat (1) disebutkan bahwa saksi dan korban berhak:

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

3. memberikan keterangan tanpa tekanan;

4. mendapat penerjemah

5. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

7. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

8. dirahasiakan identitasnya 9. mendapat identitas baru;

(14)

10. mendapat tempat kediaman sementara;

11. mendapat kediaman baru;

12. memeperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan

13. mendapat nasihat hukum

14. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau

15. mendapat pendampingan.

Hak-hak yang disebutkan diatas yang akan diperoleh oleh saksi ataupun korban akan tetapi sebagaimana dijelaskan di dalam Undang-undang nomor 31 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 31 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban di dalam Pasal 5 Ayat (2) dijelaskan bahwa hak sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. LPSK dalam hal ini mengawal korban selama proses awal persidangan dan selama proses persidangan berlangsung, agar korban memperoleh haknya seperti yang diatur dalam Undang-Undang.

Dijelaskan di dalam Pasal 28I yang berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab megara terutama pemerintah”, Phipus M. Hardjhon memberikan pandangannya bahwa perlindungan hukum yakni terdapat 2 (dua) macam yakni perlindungan hukum preventif dan represif, perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang memberikan kesempatan atau mengemukakan pendapat sebelum suatu keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga dengan adanya perlindungan hukum preventif ini menyebabkan pemerintah bersikap hati hati dan bijak dalam mengambil suatu keputusan.(Phipus M. Hardjhon,1987,2). Kasus pelecehan seksual secara verbal atau catcalling yang dilakukan di sosial media LPSK bisa mewakili pemerintah untuk memfasilitasi korban kasus tersebut, dalam hal ini sesuai yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 di dalam Pasal 28 Ayat (1) menyatakan bahwa “perlindungan saksi dan/atau korban diberikan dengan syarat sebagai berikut:

a) sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban

b) tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban

(15)

c) hasil analisis medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban d) rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau

korban.

Korban dari perilaku pelecehan seksual secara verbal atau catcalling pada sosial media dapat melaporkan kepada LPSK dengan tata cara yang seperti termuat di dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 Ayat (1) yang menyebutkan bagaimana tata cara korban memperoleh perlindungan sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 5, yakni sebagai berikut:

a) saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupuun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK

b) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana yanag di maksud pada huruf (a)

Pada Undang-Undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan penjelasan mengenai pengertian tentang hak korban pada Pasal 1 Ayat (16), yakni “Hak korban adalah hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang di dapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh korban. kemudian di dalam Ayat (17) menjelaskan bahwa penanganan adalah tindakan yang dilakukan untuk memberikan layanan pengaduan, layanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan hukum, layanan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Sedangkan di dalam Pasal 1 Ayat (19) menjelaskan tentang Pemulihan adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial korban. dan di dalam Pasal 1 Ayat (22) menjelaskan tentang pengertian rehabilitasi, rehabilitasi adalah upaya yang ditujukan terhadap korban dan pelaku untuk memulihkan dari gangguan terhadap kondisi fisik, mental, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar, baik sebagai individu, anggota keluarga, maupun masyarakat.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 di dalam Pasal 26 Ayat (1) dan Ayat (2) dijelaskan bahwa:

(16)

Pasal 26 Ayat (1), “Korban dapat didampingi oleh pendamping pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan” dan di dalam Ayat (2) dijelaskan kembali bahwa pendamping korban meliputi:

a. Petugas LPSK b. Petugas UPTD PPA c. Tenaga Kesehatan d. Psikolog

e. Pekerja Sosial

f. Tenaga Kesejahteraan Sosial g. Psikiater

h. Pendamping hukum, meliputi advokat dan para legal i. petugas lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat j. pendamping lain

Uraian dari Pasal 26 Ayat (1) dan Ayat (2) maka korban dari perilaku catcalling berhak untuk menerima haknya seperti yang termuat di dalam point (d) psikolog, point (g) psikiater, dan point (h) pendamping hukum, meliputi advokat dan para legal, apabila kita menengook pada point D dan G dapat membantu korban dengan membantu memberikan pendampingan secara psikis atau mental selama proses peradilan, kemudian point H korban berhak di dampingi oleh pendamping hukum hak ini bertujuan untuk membantu korban agar selama proses hukum berjalan korban dijamin atas hak nya dan terjaminnya kasusnya tetap berjalan dan selesai.

Dijelaskan kembali pada Pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2), di dalam Pasal 30 Ayat (1) menyatakan bahwa: Korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan” dan di pertegas kembali di dalam Ayat (2) yakni: “Restitusi sebagaimana yang di maksud pada Ayat (1) berupa:

a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan

b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai tindak pidana kekerasan seksual

c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis

d. Ganti kerugian atas kerugian lain yang di derita korban sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual.

Unsur-unsur yang telah disebutkan di dalam pasal ini yang sesuai dengan korban dari perilaku pelecehan seksual secara verbal atau perilaku catcallig adalah layanan pemulihan dan penggantian biaya perawatan medis dan atau psikologis, karena perilaku catcalling tersebut yang terserang adalah kondisi psikis korban maka apabila korban melakukan pengobatan ke psikiater

(17)

maka biaya dari pengobatan tersebut dapat dibebankan kepada pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 67 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, menyatakan bahwa hak korban terdiri dari 3 (tiga) yakni:

a. Hak atas Penanganan

b. Hak atas perlindungan

c. hak atas pemulihan

Yang dimaksud sebagai hak korban atas penanganan yang sebagaimana termuat di dalam Pasal 68 menyatakan bahwa:

a. Hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penangan, perlindungan, dan pemulihan

b. Hak mendapatkan dokumen hasil penanganan

c. Hak atas layanan hukum

d. Hak atas penguatan psikologis

e. Hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis

f. Hak atas layanan dan faislitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban

g. Hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik

Hak atas penanganan dari korban catcalling, jika melihat unsur unsur yang terdapat di dalam Pasal 68 maka korban berhak mendapatkan hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan, kemudian seperti yang tercantum di dalam point B dimana di dalam point tersebut dijelaskan bahwa korban berhak menerima atau mendapatkan dokumen hasil penanganan, point yang terpenting di dalam Pasal 68 ini bagi korban catcalling yang dilakukan di sosial media terdapat pada point D dan G, dimana korban yang kondisi psikisnya lemah maka berhak untuk memperoleh pengutan psikis, dalam hal ini bisa diartikan bahwa korban berhak untuk mendapat bimbingan penguatan mental baik melalui psikiater maupun dengan penguatan spiritual sesuai dengan agama

(18)

yang dianut oleh korban, kemudian point G disebutkan bahwa hak atas penghapusan konten yang bermuatan kekersan seksual yang terjadi di sosial media, penghapusan konten ini dapat membantu agar korban dapat segera pulih dengan tidak selalu teringat atas konten yang dibuat oleh pelaku.

Hak korban atas perlindungan, dalam hal ini di jelaskan di dalam Pasal 69 Undang-Undang nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual menyatakan sebagai berikut:

a. Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas perlindungan

b. penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan perlindungan

c. perlindungan dari ancaman atau kekerasan dari pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan

d. perlindungan atas kerahasiaan identitas

e. perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban

f. perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik

g. perlindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindakan pidana kekerasan seksual yang telah dilaporkan.

Pasal 70 Ayat (1) menjelaskan mengenai hak korban atas pemulihan meliputi:

a. Rehabilitasi medis

b. Rehabilitasi mental dan sosial

c. Pemberdayaan sosial

d. Restitusi dan/atau kompensasi

e. Reintegrasi sosial.

Korban dari tindak pidana perilaku pelecehan seksual secara verbal atau catcalling di sosial media mengalami kerugian berupa kerugian traumatik atau kerugian secara psikologis, korban merasa takut untuk mengekspresikan diri mereka di dalam sosial media, karena korban takut jika karya mereka yang mereka unggah di sosial media akan mendapatkan

(19)

komentar-komentar yang berbau sexiestme atau komentar yang mengarah kepada hal-hal yang berbau pornografi. Jika melihat pada Pasal 30 Ayat (1) disebutkan bahwa korban dari tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi, dan di sebutkan lebih lanjut pada Ayat (2) pada huruf (c) bahwa korban berhak mendapatkan ganti kerugian biaya pengobatan medis atau biaya pengobatan psikologis.

Hak korban yang disebutkan pada Pasal 67 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, dimana hak korban tindak pidana kekerasan seksual di bagi menjadi 3 (tiga) yakni hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan, dalam hal korban pelecehan seksual secara verbal atau perilaku catcalling di sosial media, korban tersebut berhak mendapatkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.

Referensi

Dokumen terkait

Namun, disebabkan teknologi serta populasi manusia yang semakin meningkat maka, air bawah tanah yang bersih mula tercemar dengan bahan-bahan pencemar seperti logam berat,

Sehingga dapat disimpulkan bahwa modal sosial yang terbentuk dari petisi online ini lebih cocok untuk difusi informasi, dan menjadi salah satu alternati bentuk

Intergasi cellular automata dan regresi logistik biner untuk prediksi perubahan penutup lahan di Kota Salatiga mampu mendapatkan overall akurasi 78,20% serta indeks kappa 0,48

Teknologi mengalami suatu kemajuan yang sangat pesat pada masa sekarang ini. Teknologi yang canggih telah menggantikan peralatan-peralatan manual yang membutuhkan banyak

- Kadar teofilina dalam plasma 7,5 mcg/ml : Dipipet 0,30 ml larutan baku induk, diencer- kan dengan plasma sampai 10,0 ml, dicampur.

Hal ini yang melatar belakangi mengapa “Meningkatkan Keamana Port SSH dengan Metode Port knocking Menggunakan Shorewall pada Sistem Operasi Linux” diangkat sebagai judul

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sikap masyarakat terhadap pengembangan Kampung Kelor, menganalisis hubungan antara faktor pembentuk sikap dengan sikap

Konflik keluarga dan pekerjaan merupakan salah satu bentuk dari inter- role conflict, yaitu tekanan atau ketidakseimbangan waktu dan peran antara peran di dalam pekerjaan