• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. matan-matan hadits tentang wakaf yang menyebutnya dengan habs, shadaqah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. matan-matan hadits tentang wakaf yang menyebutnya dengan habs, shadaqah"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wakaf adalah salah satu amal yang sangat dianjurkan dalam Islam sebab pahalanya tidak akan terputus selama barang yang diwakafkannya masih dipakai orang untuk ibadah.1

Wakaf adalah suatu istilah yang diberikan oleh ulama fiqh tentang suatu lembaga keagamaan dalam hukum Islam pada zaman Nabi, berdasarkan matan-matan hadits tentang wakaf yang menyebutnya dengan habs, shadaqah atau sabil.2 Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat al-Qur`an, Sunnah Nabi SAW, dan perbuatan sahabat.3

Ketentuan wakaf didasarkan kepada hadits Nabi SAW dan perbuatan sahabat, al-Qur`an tidak secara eksplisit menerangkan khusus tentang wakaf.

Ayat-ayat yang dipandang meliputi masalah wakaf adalah ayat-ayat umum yang meliputi amal shalih termasuk zakat, shadaqah dan infaq seperti firman Allah SWT yang berbunyi:4

1 Ibnu Mas‟ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’i, Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, h. 155. Selanjutnya Ibnu Mas‟ud dkk. , Fiqh Madzhab Syafi’i.

2 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: PT Bumi Askara, 1999, h. 235.

Selanjutnya Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam.

3 Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Depok: Mumtaz Publishing, 2007, h. 65. Selanjutnya Achmad Djunaidi dkk. , Menuju Era Wakaf Produktif.

4 Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, h. 233.

(2)



























Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. ” (Q. S. Al- Baqarah:2:267)5

Wakaf merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting yang tidak memiliki rujukan yang eksplisit dalam al-Qur`an. Oleh karena itu, ulama telah melakukan identifikasi untuk mencari “induk kata” sebagai sandaran hukum. Ulama berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr (secara harfiyah berarti kebaikan). Sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut:









Artinya: ”Dan berbuatlah kebajikan agar kamu memperoleh kemenangan. ” (Q. S. Al-Hajj:22:77)6

Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi menafsirkan kata al-khayr menunjukkan perintah untuk wakaf.7 Hal tersebut relevan dengan firman Allah SWT tentang wasiat.8 Dalam ayat tentang wasiat, kata al-khayr diartikan dengan harta benda. Oleh karena itu, perintah melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan ibadah bendawi.

5 Departemen Agama RI, Al-Qur`an Tajwid dan Terjemah, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2011, h. 45. Selanjutnya Departemen Agama RI, Al-Qur`an Tajwid dan Terjemah.

6 Departemen Agama RI, Al-Qur`an Tajwid dan Terjemah, h. 341.

7 Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi, Kifayah al-Akhyar, Surabaya: Al-Hidayah, tth. , h. 319.

8 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008, h. 7.

Selanjutnya Jaih Mubarok, Wakaf Produktif.

(3)

Ibadah bendawi merupakan kebaikan universal. Ia dianggap baik oleh semua orang, baik penganut agama maupun rang-orang yang tidak beragama.9

Istilah wakaf dalam bahasa arab kadang-kadang bermakna objek atau benda yang diwakafkan atau dipakai dalam pengertian wakaf sebagai institusi.10

Menurut istilah meskipun terdapat perbedaan penafsiran, disepakati bahwa makna wakaf adalah menghentikan atau menahan perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan kekal hartanya sehingga manfaat harta tersebut dapat digunakan untuk mencari keridlaan Allah SWT.11 dan menyerahkannya ke tempat-tempat yang ditentukan syara‟, serta dilarang berleluasa pada barang-barang yang dimanfaatkan itu.12

Wakaf menurut para imam madzhab merupakan suatu perbuatan sunah untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan sektor keagamaan baik pembangunan segi material maupun untuk pembagunan spiritual.

Sebagaimana halnya zakat, wakaf merupakan income dana umat Islam yang sangat potensial bila dikembangkan.13

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa wakaf merupakan bagian dari ibadah kebendaan dalam Islam, konsep wakaf berhubungan dengan

9 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 8.

10 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya, Bandung: Yayasan Piara, 1995, h. 6. Selanjutnya Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia.

11 Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jakarta: Depag RI, 1986, h. 41.

12 Ibnu Mas‟ud dkk. , Fiqh Madzhab Syafi’i, h. 155.

13 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat press, 2005, h. 73-74.

Selanjutnya Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia.

(4)

konsep harta dalam Islam. Harta dalam Islam memiliki beberapa kedudukan.

Pertama, harta dipandang sebagai titipan amanat. Kedua, harta yang digunakan bukan untuk kebaikan dapat mencelakakan pemiliknya. Oleh karena itu, bahwa sebagian harta berkedudukan sebagai musuh. Ketiga, harta berkedudukan sebagai perhiasan dan alat atau perkakas kehidupan dunia.

Pada intinya manusia bukan pemilik harta secara mutlak karena dalam harta yang dimilikinya terdapat hak orang lain, terutama harta orang-orang lemah.14

Secara umum, wakaf berhubungan dengan tiga kegiatan ekonomi.

Pertama, wakaf berhubungan dengan ekonomi kerakyatan karena benda yang telah diwakafkan tidak boleh diperjualbelikan. Kedua, wakaf berhubungan dengan ekonomi negara karena benda wakaf bukan lagi milik perorangan melainkan menjadi milik umum. Ketiga, wakaf berhubungan dengan ekonomi keluarga karena wakaf juga dapat dibedakan menjadi wakaf umum (khayri) dan wakaf keluarga (ahli). Wakaf yang berhubungan dengan ekonomi keluarga adalah wakaf ahli.15

Wakaf didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik sebagai perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.16

14 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 12.

15 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 12.

16 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 13.

(5)

Wakaf dijelaskan dalam buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan perbuatan hukum seseorang, kelompok orang, atau badan hukum dengan memisahkan sebagian harta benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Perbedaan antara definisi wakaf yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dengan definisi wakaf yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam terletak pada objek wakaf. Dalam peraturan pemerintah ditetapkan bahwa objek wakaf yang diaturnya adalah tanah milik karena Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 diberlakukan atas dasar amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria, pasal 49 ayat 3. Perwakafan tanah milik dalam pasal ini dilindungi dan diatur oleh peraturan pemerintah.

Sedangkan objek wakaf yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam adalah benda milik. Dengan demikian, objek wakaf yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam lebih luas dibanding dengan objek yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. 17

Wakaf didefinisikan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf sebagai perbuatan hukum untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syari‟ah. Definisi wakaf tersebut

17 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 13

(6)

memperlihatkan adanya durasi wakaf. Hal inilah yang membedakan definisi wakaf menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya.

Wakaf dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya ditetapkan bersifat mu`abbad (abadi, selamanya, atau langgeng). Benda yang diwakafkan tidak dapat ditarik kembali karena bukan lagi menjadi milik wāqif (tapi menjadi milik umum). 18 Benda yang sudah diwakafkan merupakan hak Allah SWT. Oleh sebab itu, tidak boleh dimiliki, dijual, diwariskan atau dihibahkan kepada siapa pun. Bila seseorang mewakafkan suatu barang, ia telah melarang dirinya untuk berbuat sesuka hatinya pada barang itu. 19

Sedangkan benda wakaf dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 ditentukan secara eksplisit merupakan benda yang dapat dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, di dalamnya terdapat pengakuan terhadap wakaf mu`aqqat (jangka waktu tertentu) dan pengakuan terhadap akad wakaf yang ghayr lazim. 20

Lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang- undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah bagian dari semangat memperbaharui dan memperluas cakupan objek wakaf dan pengelolaannya agar

18 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 14

19 Ibnu Mas‟ud dkk. , Fiqih Madzhab Syafi’I, h. 155.

20 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 14.

(7)

mendatangkan manfaat yang maksimum. Oleh karena itu, wakaf produktif dianggap sebagai paradigma baru wakaf di Indonesia. 21

Konsep wakaf produktif pada dasarnya dilandasi oleh ketidakpuasan pihak pemerintah terhadap pengelolaan harta wakaf yang dilakukan oleh para nazhir yang berjalan sekarang ini. Ketidakpuasan tersebut kemudian memicu pemerintah untuk memperbaikinya dengan paradigma wakaf produktif, antara lain dengan membentuk undang-undang tentang wakaf.

Jika dihubungkan antara konsep produksi dengan ketidakpuasan pemerintah atas pengelolaan wakaf yang dilakukan oleh para nazhir, definisi wakaf produktif secara terminologi adalah transformasi dari pengelolaan wakaf yang alami menjadi pengelolaan wakaf yang profesional untuk meningkatkan atau menambah manfaat wakaf. 22

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 jika dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya memiliki kelebihan karena mengatur peruntukkan wakaf secara eksplisit. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ditetapkan bahwa fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam.

Harta wakaf dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 ditetapkan untuk mencapai tujuan dan fungsi wakaf sebagai berikut:

1. Sarana dan kegiatan ibadah.

21 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 15

22Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 16.

(8)

2. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan.

3. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa.

4. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat.

5. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syari‟ah dan peraturan perundang-undangan. 23

Pesantren telah menjadi bagian dari lembaga keIslaman dan keindonesiaan kontemporer paling tidak sejak awal 80-an ketika LP3ES melakukan penelitian tentang lembaga tradisional ini. Sejalan dengan perlunya meningkatkan partisipasi masyarakat, pesantren dipandang sebagai lembaga alternatif untuk mendorong keterlibatan masyarakat bawah dalam proses pembangunan. Prinsip kemandirian pesantren diharapkan dapat menjadi pengimbang bagi kecendrungan pembangunan yang bersifat “dari atas”. Posisi ini menempatkan pesantren sebagai salah satu bentuk dari lembaga swadaya masyarakat yang paling konkrit. Dalam perkembangan belakangan pesantren pun tidak lepas dari perhatian gerakan demokratisasi yang berkepentingan untuk melakukan usaha pemberdayaan rakyat.

Pesantren juga dipandang sebagai aset bangsa sehingga mengundang perhatian pemerintah untuk melakukan sentuhan modernisasi (pembangunan).24

23Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 141.

24 Affandi Mochtar, Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren, Bekasi: Pustaka Isfahan, 2010, h. 72-73. Selanjutnya Affandi Mochtar, Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren.

(9)

Sub-direktorat khusus yang antara lain mengurusi pesantren dibentuk dalam kerangka pembangunan di lingkungan Departemen Agama. Beberapa departemen lain yang memiliki program-program pembangunan yang bersifat kemasyarakatan juga memanfaatkan pesantren secara efektif. Berdirinya madrasah, klinik dan pos kesehatan, pusat informasi pesantren, koperasi pesantren, balai latihan kerja dan lain-lain merupakan konsekuensi dari sentuhan pembangunan terhadap pesantren. 25

Pondok pesantren di Benda mengalami pembangunan yang pesat, termasuk didirikannya madrasah ibtidaiyyah, koperasi dan lain-lain yang berhubungan dengan masyarakat telah dibangun di lingkungan pondok pesantren Benda. Tanah-tanah yang dijadikan sarana-sarana untuk masyarakat diperoleh dari harta wakaf dan dikelola oleh nazhir dibantu dengan masyarakat setempat. Hasil dari semua pembangunan itu dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Benda yang pada masa sekarang telah dirasakan, seperti adanya madrasah dan lain-lain yang dikelola oleh nazhir di Pondok Pesantren Benda. Aset-aset wakaf yang dikelola yayasan pondok pesantren Al-Hikmah cukup besar. Sebelum yayasan Al-Hikmah belum menjadi dua, aset wakaf semua dikelola yang diketuai oleh KH. Masruri Abdul Mughni.

Setelah yayasan terbagi menjadi dua KH. Masruri Abdul mughni hanya

25 Affandi Mochtar, Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren, h. 73.

(10)

memegang kendali atas aset wakaf yang ada di yayasan pondok pesantren Al- Hikmah II.26

B. Perumusan Masalah

Pada bagian ini dibahas hal-hal sebagai berikut:

1. Identifikasi Masalah a. Wilayah Penilitian

Wilayah penelitian adalah termasuk ke dalam masalah perwakafan di Indonesia.

b. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang relevan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan studi empirik atau lapangan, yaitu dengan melakukan pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi.

c. Jenis Masalah

Jenis masalah dalam penelitian ini adalah perbedaan pendapat kiai pondok pesantren tentang wakaf produktif.

2. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permasalahan dalam penelitian ini, maka pembahasannya dibatasi pada pendapat para Kiai Pondok Pesantren

26 Wawancara dengan KH. M. Shalahuddin Masruri, anggota Majelis Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah II, Selasa, tanggal 6 Mei 2014 di Kediaman KH. M. Shalahuddin Masruri.

(11)

di Benda Kec. Sirampog Kab. Brebes tentang hukum wakaf produktif termasuk cara pemanfaatannya.

3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah hakikat wakaf produktif menurut Kiai Pondok Pesantren di Benda Kec. Sirampog Kab. Brebes ?

2. Bagaimanakah hukum, pengelolaan dan pemanfaatan harta wakaf dengan paradigma wakaf produktif menurut para Kiai Pondok Pesantren di Benda Kec. Sirampog Kab. Brebes?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui hakikat wakaf produktif menurut para kiai pondok pesantren.

2. Mengetahui hukum, pengelolaan dan pemanfaatan harta wakaf dengan paradigma wakaf produktif menurut para kiai pondok pesantren.

b. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat memperkaya karya tulis dan pengetahuan yang berkaitan dengan fiqh muamalah yang lebih spesifik, terutama mengenai wakaf produktif di lingkungan mahasiswa Ahwal Al-Syakhshiyah.

D. Kajian Terdahulu

(12)

Berdasarkan data-data yang penulis peroleh pada program studi Ahwal Al-Syakhshiyah yang berkaitan dengan penelitian masalah wakaf produktif belum dijumpai adanya penelitian serupa. Meski demikian, penelitian yang membahas pemanfaatan harta wakaf telah banyak dilakukan kalangan sarjana.

Beberapa penelitian tersebut antara lain: “Pemanfaatan Harta Wakaf Untuk Tujuan Wakaf Produktif Ditinjau Dari Hukum Islam” disusun oleh Arfian Wibowo mahasiswa Universitas Islam Indonesia fakultas hukum dalam bentuk skripsi.

“Manajemen Wakaf Produktif (Studi Kasus di Yayasan PDHI Yogyakarta Tahun 2004-2007) disusun oleh Indriati Karmila Dewi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Dakwah dalam bentuk skripsi.

“Pengelolaan Wakaf Produktif di Yayasan Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama” disusun oleh Mulyani mahasiswa STAIN Salatiga jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah dalam bentuk skripsi.

“Pengelolaan Tanah Wakaf Produktif (Studi Kasus Tanah Wakaf Dalam Bentuk Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di kel. Sawah Besar Kec. Gayamsari Kota Semarang)” disusun oleh M. Husen mahasiswa IAIN Walisongo Semarang jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah dalam bentuk skripsi.

E. Kerangka Pemikiran

Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasannya menjadikan wakaf sebagai media untuk memajukan kesejahteraan umum (sosial) berarti

(13)

menjadikan wakaf sebagai media untuk menciptakan keadilan ekonomi, mengurangi kefakiran dan kemiskinan, mengembangkan sistem jaminan sosial, dan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan serta fasilitas pelayanan umum yang layak.

Semangat baru yang terdapat dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, menjadikan wakaf sebagai instrument untuk menyejahterakan masyarakat muslim. Kata “menyejahterakan” dapat diartikan sebagai upaya para pihak (terutama pengelola wakaf) untuk meningkatkan kualitas hidup umat Islam melalui pendayagunaan objek wakaf.

Achmad Djunaidi dan kawan-kawan (pada tahun 2005) telah menawarkan dua hal yang berkaitan dengan wakaf produktif: Pertama, asas paradigma baru wakaf. Kedua, aspek-aspek paradigma baru wakaf. Djunaidi dan kawan-kawan mengemukakan bahwa asas paradigma baru wakaf adalah:

Pertama, Asas keabadian manfaat. Kedua, Asas pertanggungjawaban.

Ketiga, Asas profesionalitas manajemen. Keempat, Asas keadilan sosial.

Di samping itu, Djunaidi dan kawan-kawan juga menjelaskan bahwa aspek-aspek paradigma baru wakaf adalah: pertama, Pembaruan/reformasi pemahaman mengenai wakaf. Kedua, Sistem manajemen pengelolaan yang professional. Ketiga, Sistem manajemen kenazhiran/manajemen sumber daya insani. Keempat, Sistem rekrutmen wāqif.

(14)

Atas dasar asas dan aspek paradigma baru tersebut, wakaf diharapkan dikelola nazhir dengan pendekatan bisnis, yakni suatu usaha yang berorientasi kepada keuntungan, dan keuntungan tersebut disedekahkan kepada para pihak yang berhak menerimanya. 27

Harta wakaf dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 ditetapkan untuk mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi:

1. Sarana dan kegiatan ibadah.

2. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan.

3. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa.

4. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat.

Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syari‟ah dan peraturan perundang-undangan.28 Wakaf didayagunakan dan hasilnya yang disedekahkan. Keabadian atau kekekalan benda wakaf harus senantiasa terjaga. Oleh karena itu, dalam wakaf uang, uang yang diwakafkan harus dijadikan modal (ra`s al-mal), dan hasil usahanya (yang modalnya berasal dari benda wakaf) diberikan kepada pihak-pihak yang berhak. 29

Suatu hal yang perlu dipertimbangkan, jika benda wakaf dipinjamkan untuk modal usaha adalah penanaman modal sebuah usaha memiliki

27 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 27.

28 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 141.

29 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 139.

(15)

kemungkinan kebangkrutan dalam proses usahanya, dan modal yang dipakai untuk usaha bisa jadi menghilang, padahal sifat benda wakaf tersebut harus dijaga kekekalannya seperti yang telah disebutkan di atas.

Wakaf didefinisikan oleh versi lain merupakan upaya menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga dzatnya, memutus pemanfaatan terhadap dzat dengan bentuk pemanfaatan lain yang mubah yang ada, dari definisi ini terlihat bahwa harta yang boleh diwakafkan harus berupa benda tertentu yang dimiliki dan bukan yang dimaksudkan harta adalah uang dirham dan dinar sebab keduanya akan hilang jika sudah ditukarkan tidak ada dzatnya lagi dan syarat harta wakaf harus tetap terjaga dzatnya walaupun dimanfaatkan, jika pemanfaatan mengakibatkan hilangnya dzat, maka akad wakaf tidak sah sebab akad wakaf untuk terus menerus dan selama-lamanya dan benda yang diwakafkan ini jika diwakafkannya, maka tidak ada pemanfaatan pada dzatnya tidak boleh dijual dan digadaikan.30

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif analisis yang berkaitan dengan pendekatan empirik sebagai bukti melalui dari penelitian lapangan (filde research) sehubungan dengan masalah yang diteliti adalah para kiai Pondok Pesantren Al-Hikmah II di Benda yang

30 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat (Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam), Jakarta: Amzah, 2010, h. 395.

(16)

terlibat dalam kelembagaan perwakafan di Pondok Pesantren Al-Hikmah II dan yang memiliki pandangan secara eksklusif tentang wakaf produktif.

Penelitian ini secara metodologis dilaksanakan dengan melibatkan hal- hal sebagai berikut:

1. Sumber Data

a. Sumber data primer

Sumber data primer yaitu data yang paling utama sebagai sumber yang dianggap penting. Adapun yang dijadikan sumber data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan para kiai- kiai pondok pesantren, yaitu KH. M. Salahuddin Masruri, KH. Ahmad Siddiq dan KH. Faiq Aqil.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder yaitu sumber data tambahan yang diperoleh dari buku-buku dan sumber lainnya yang ada hubungannya dengan pembahasan skripsi ini yang dijadikan sebagai bahan rujukan.

Buku yang dijadikan sebagai bahan rujukan di antaranya adalah:

- Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayah al- Akhyar, Surabaya: Al-Hidayah, tth

- Mushtafa Ahmad Al-Zarqa, Ahkam al-Awqaf, „Aman: Dar „Amar, 1998

- Wahbah Az-Zuhayliy, Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy wa al-Qadlaya al-Mu’ashirah, Juz 9, Damsyiq: Dar al-Fikr, 2010

2. Langkah-langkah Pengumpulan dan Analisis Data

(17)

a. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

a) Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan.31 Dalam hal ini pengamatan langsung ke pondok pesantren, untuk memperoleh data tentang hukum wakaf.

b) Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. 32 Hal tersebut dilakukan dengan pengumpulan data dengan jalan mengajukan pertanyaan secara lisan kepada kiai pondok pesantren.

c) Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. 33 Dalam hal ini dilakukan dengan

31 H. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, 2008, h. 115. Selanjutnya disebut dengan H. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif.

32 H. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 108.

33 H. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, h. 121.

(18)

mengumpulkan data-data yang ada di tempat penelitian yaitu tentang sejaah pesantren dan harta wakaf yang dimiliki pesantren.

b. Analisa Data

Sedangkan data-data yang diperoleh tersebut dianalisis dengan cara:

a) Mencari data yang relevan dan kemudian menginventarisasi data- data yang berhubungan dengan judul skripsi.

b) Menganalisis data-data yang diperoleh sehingga akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada.

c) Kemudian menyimpulkan data-data tersebut dengan tetap mengacu pada kerangka pemikiran yang sudah ditetapkan.

G. Sistematika Penulisan

Laporan penelitian skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan dan menjadi pertanggungjawaban penelitian ini.

Dalam bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua menjelaskan tentang konsep dasar wakaf produktif. Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai pengertian wakaf, dasar hukum wakaf, rukun dan syarat wakaf, macam-macam wakaf dan paradigma wakaf produktif.

(19)

Bab ketiga mendeskripsikan kelembagaan pondok pesantren al- hikmah di Benda Kec. Sirampog Kab. Brebes. Penjelasan dalam bab ini meliputi sejarah singkat pondok pesantren di Benda, kondisi objekif pondok pesantren di Benda, pendapat para kiai pondok pesantren di Benda mengenai hakikat wakaf produktif.

Bab keempat mendeskripsikan dan menganalisis wakaf produktif dalam perspektif kiai pondok pesantren Al-Hikmah II. Dalam bab ini memuat pembahasan tentang pengelolaan dan pemanfaatannya dan keberlakuan wakaf produktif di pondok pesantren.

Bab kelima adalah penutup yang terdiri kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan asupan zat gizi sehingga dapat mengakibatkan ketidaksempurnaan pertumbuhan tubuh baik fisik maupun mental (Chinue,

Berdasarkan temuan terkait fenomena aktifitas dimensi kedua (urutan komunikasi), terutama pada urutan kedua, yaitu menyangkut fenomena aplikasi browser; channel; dan ragam

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa menurunnya efisiensi dan efektifitas Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam mengelola dan memanfaatkan potensi daerah dan digunakan

Proses otentikasi jaringan dengan menggunakan Kerberos terpusat pada server Kerberos. Setiap proses yang ada di instant message akan melalui proses

Solusi yang ditawarkan adalah memberikan saran untuk membranding Pantai Sempaning di Media sosial Instagram dan mengaplikasikan pariwisata berkelanjutan berbasis

Skripsi berjudul ”Pengaruh Mengkonsumsi Jus Buah Stroberi Terhadap Viskositas Saliva dan Pembentukan Plak Gigi Anak Usia 10-12 Tahun” telah diuji dan disahkan oleh

Penelitian ini menguji kaitan antara perubahan harga saham dan aktivitas volume perdagangan (excess trading volume) di Bursa Efek Jakarta dengan adanya

Hasil penelitian adalah perlindungan yang dilakukan Polisi terhadap saksi tindak pidana Narkotika baik saksi yang berasal dari masyarakat maupun saksi yang berprofesi