MEMBANGUN RUANG DENGAN PENDEKATAN HEALING ENVIRONMENT
I Putu Udiyana Wasista
Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang strategi ruang dalam pendekatan healing environment.
Ruang yang dibangun sangat relevan dengan kondisi untuk memperkuat imun di masa pandemi. Karena healing environment sesungguhnya merangsang imun melalui mood positif, yang diciptakan oleh kondisi lingkungan. Tulisan ini menggunakan metode scrapping literature dengan menyusun literatur-literatur ke dalam sebuah alur berpikir dalam pembahasan. Fokus pembahasan dilakukan pada faktor ruang, sebagai salah satu faktor penyokong dalam sistem healing environment. Hasilnya, ruang yang digabungkan dengan unsur-unsur alami seperti cahaya, tanaman, serta material, akan memberikan rangsangan yang lebih kuat untuk membentuk mood positif. Ini karena unsur-unsur alami ini mampu “melepaskan” beban mental manusia dan mengembalikannya menjadi makhluk intuitif yang alamiah sekaligus sempurna.
Kata kunci: healing environment, psikis, ruang, penyembuhan, mood booster.
PENDAHULUAN
Healing environment telah diteliti sejak tahun 1980-an. Healing environment dianggap salah satu faktor penting untuk menciptakan lingkungan yang mampu menunjang penyembuhan pasien di institusi kesehatan. Institusi kesehatan yang baik, wajib membangun atmosfer ruang dan pelayanan yang prima untuk mempercepat pemulihan pasiennya.
Namun, healing environment adalah sebuah sistem holistik. Lingkungan dalam healing environment berperan sebagai booster internal diri manusia. Lingkungan juga bukan hanya masalah ruang tempatnya beraktivitas, tetapi juga hubungan interpersonal.
Membangun lingkungan dalam hal ini, berarti juga memperbaiki atmosfer yang mampu merangsang kondisi psikis dengan tujuan membentuk lingkungan positif, baik untuk pasien maupun pengguna lain yang menyokong terapi.
Kondisi ini sangat relevan diaplikasikan dalam rumah tinggal sehubungan dengan kondisi pandemi. Ini karena menurut Ulrich (1991), healing environment membantu penyembuhan dengan merangsang imun melalui mood positif yang diberikan oleh lingkungan.
Tulisan ini membahas healing environment mulai dari penelitian yang pernah dilakukan, hingga pendekatan-pendekatan yang diaplikasikan untuk membangun healing environment. Fokus tulisan ini adalah faktor eksternal yaitu ruang sebagai pendukung healing environment. Tulisan ini akan memberikan gambaran tentang strategi yang dapat diimplementasikan pada ruang, untuk membangun atmosfer yang mampu merangsang
psikis penggunanya dengan tujuan penyembuhan diri sendiri. Metode scrapping literatur digunakan untuk menyusun pembahasan yang sesuai dengan tujuan tulisan ini.
PEMBAHASAN
1. Penelitian Tentang Healing Environment
Healing environment adalah sebuah sistem yang berperan untuk menunjang kapasitas proses penyembuhan pasien secara holistik, baik secara internal, interpersonal, perilaku, dan eksternalnya (Sakallaris dkk., 2015). Menurut pengertian ini, healing environment adalah sebuah sistem dalam kegiatan perawatan pasien. Healing environment harus mampu menggiring proses penyembuhan secara menyeluruh. Ini karena proses penyembuhan melibatkan diri sendiri (internal), hubungan antar individu (interpersonal), kebiasaan/perilaku, dan ruang (eksternal). Berikut diagram hubungan elemen-elemen pembentuk healing environment.
Gambar 1. Elemen-Elemen Pembentuk Healing Environment (Sumber : Sakallaris dkk., 2015)
Dari gambar 1, healing environment adalah sebuah jalinan sistem. Meskipun pada tulisan ini akan lebih fokus kepada elemen eksternalnya, tetapi sesungguhnya elemen- elemen yang lainnya sangat berperan besar dalam proses penyembuhan. Khususnya elemen internal, sebab dalam proses penyembuhan, manusialah yang menjadi pusat dari proses tersebut.
Penelitian tentang lingkungan yang mendukung penyembuhan, sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1980, khususnya yang berhubungan dengan alam (Kaplan &
Kaplan, 1989). Kemudian ada penelitian dari Ulrich (1984), yang menemukan bahwa desain ruang dengan jendela mengarah alam, akan membantu penyembuhan pasien pasca operasi. Hanya dengan menempatkan view ke alam, pasien mendapatkan manfaat untuk sembuh dengan cepat secara signifikan. Kondisi ini telah diukur baik dari faktor fisiologisnya ataupun psikisnya.
Berikutnya, penelitian tentang healing environment yang dilakukan oleh Sternberg (2009), menjelaskan bahwa pendekatan healing environment bertindak menyembuhkan melalui sistem imun seseorang. Menurut Cacioppo dan Tassinary (1990), kondisi stress membuat mood menjadi negatif dan berdampak buruk pada sistem imun. Sistem imun yang terganggu akan memperlambat proses penyembuhan dan menimbulkan penyakit lainnya. Imun tersebut dapat dipengaruhi dengan menstimulus panca indera manusia.
Stimulus ini dilakukan dengan menciptakan suasana dan lingkungan yang memiliki karakter spesifik, yang dapat menciptakan mood dan perasaan positif.
Penelitian-penelitian di atas mengimplikasikan bahwa dalam membentuk healing environment, yang terpenting adalah dukungan secara psikis kepada pasien. Dukungan secara interpersonal dan eksternal melalui ruang, akan merangsang elemen internal dirinya melalui perubahan mood dan kebiasaan yang positif.
2. Ruang yang Menyembuhkan
Desain dalam healing environment harus mampu membangun sebuah fasilitas, dengan lingkungan yang mampu menunjang kondisi psikologi dalam proses penyembuhan (Ulrich, 1991). Ruang dalam hal ini berfungsi sebagai elemen eksternal dalam rangkaian sistem healing environment.
Dalam Van der Linden dkk. (2016), membuat desain dengan pendekatan healing environment memiliki banyak pertimbangan terhadap aspek psikis pengguna.
Penyembuhan itu muncul dari diri sendiri. Ruang dengan pendekatan healing environment memberikan tempat untuk menyokong penyembuhan diri tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, dalam membuat ruang harus memperhatikan kemampuan ruang dalam memberikan perasaan positif dan khususnya membantu relaksasi.
Ruang yang mengisyaratkan kondisi “menerima” seperti di rumah adalah yang terbaik (2016). Ruang semacam ini telah melepas satu penghambat psikis penggunanya ketika memasuki ruang yang asing. Setelah hambatan ini terlepas, tahap lain dalam proses penyembuhan akan lebih lancar dan berhasil dengan persentase yang lebih besar. Merasa di rumah berarti berada pada tempat yang tidak asing atau mengalienasi seseorang (Marcus, 2007). Kondisi ini akan membawa perasaan aman dan nyaman yang tentunya akan membantu dalam proses penyembuhan.
3. Strategi Ruang dengan Pendekatan Healing Environment
Ruang dengan pendekatan healing environment harus mampu memberikan stimulus perasaan yang membentuk mood positif (Van der Linden dkk., 2016). Strategi
untuk membentuk suasana yang menyokong proses penyembuhan dapat dilakukan dengan cara, yaitu : 1) Membentuk ruang dengan sirkulasi yang lembut; 2) Membentuk sudut-sudut ruang yang lembut; 3) Menggunakan tanaman; 4) Menggunakan material bangunan yang alami; 5) Mengatur pencahayaan yang lembut; 6) Adanya sirkulasi udara yang baik (Day, 2002). Dengan melaksanakan strategi tersebut, ruang yang tercipta akan menciptakan atmosfer menenangkan, alamiah, akrab, dan juga sehat.
Untuk menciptakan nuansa ruang yang akrab, garis-garis patah menyudut hendaknya dilembutkan. Garis-garis patah menyudut baik pada sirkulasi ataupun sudut ruang, memberikan kesan kaku dan memerintah. Manusia sesungguhnya makhluk yang mengikuti intuisi dalam dirinya secara alamiah. Namun dalam kehidupan sosial bermasyarakat, ada aturan yang membentuk kondisi intuitif tadi menjadi sebuah kondisi yang “lebih sesuai” dengan kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini membentuk penjara dalam dirinya yang sejatinya intuitif dan mengakibatkan stress (2002). Dengan menghilangkan bentuk patah menyudut pada pojok-pojok ruang, atmosfer ruang akan menjadi lebih akrab serta penggunanya akan merasa dirangkul seperti berada di rumah sendiri. Menurut Marcus (2007), hanya di rumah tinggal manusia akan menjadi dirinya sendiri tanpa perlu peduli dengan urusan di dunia luar. Hanya dengan memangkas sudut- sudut yang kaku sebagai simbol “pemaksaan” dalam ruang, manusia dapat kembali pada dirinya sendiri dan mengikuti intuisi dalam dirinya. Tentunya kondisi ini dapat membangun mood positif yang nantinya berperan besar dalam proses penyembuhan.
Penggunaan tanaman juga memberikan manfaat besar bagi proses penyembuhan. Selain tulisan oleh Ulrich (1984) tentang view jendela ke alam, ada banyak tulisan lain tentang manfaat alam bagi proses penyembuhan. Misalnya tulisan oleh Kellert dkk. (2011), tentang manfaat alam bagi proses penyembuhan pasca operasi.
Lalu tulisan oleh Park dkk. (2008) dan Park dkk. (2010), tentang mandi hutan yang bermanfaat mengurangi ketegangan, stress, sekaligus berperan dalam relaksasi dan mencegah penyakit kardiovaskular. Tulisan-tulisan ini menunjukkan peran alam bagi proses penyembuhan yang merangsang kondisi psikis manusia. Sesungguhnya, hubungan dan alam tidak dapat tergantikan. Menurut Wilson (2003), jika manusia menjauh dari alam, maka ia akan mengarah pada kondisi destruktif bagi dirinya sendiri.
Suasana ruang dengan material alamiah memberikan dampak menenangkan bagi penggunanya. Adanya tekstur yang tidak merata pada elemen-elemen ruang yang timbul dari material alami, membentuk perasaan menenangkan (Day, 2002). Dinding tanah dan kayu yang tidak rata memberikan perasaan dekat dengan alam yang disebut biophilia.
Cahaya juga memegang peranan penting dalam mempengaruhi mood manusia.
Cahaya dapat mempengaruhi mood secara langsung ataupun tidak langsung (Milosavljevic, 2019). Bahkan reaksi perubahan mood tersebut dapat terjadi dalam hitungan satu menit saja (Prayag dkk., 2019). Ada terapi cahaya (BLT) bagi penderita SAD (Seasonal Affective Dissorder) yang merupakan sebuah penyakit dengan mood dissorder. Terapi cahaya ini dilakukan dengan melakukan penyinaran terhadap seseorang. Penyinaran yang dilakukan secara rutin, ternyata mampu membantu mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan circadian dissorder, seperti depresi, susah tidur, bulimia, dan merangsang hormon serotonin yang berhubungan dengan mood positif (Pail dkk., 2011). Cahaya yang digunakan dalam BLT bisa cahaya alami maupun buatan.
Cara lain merangsang mood positif dengan cahaya adalah membuat motif fraktal alami. Jika cahaya digabungkan dengan alam misalnya cahaya yang tembus di dedaunan, gabungan ini akan membentuk motif fraktal yang menarik secara visual. Motif fraktal ini selain menarik secara visual juga mampu memberikan suasana menenangkan (Abboushi dkk., 2019). Motif fraktal bukan hanya timbul dari bayangan dedaunan saja, melainkan dapat muncul dari terpaan sinar pada benda-benda alamiah yang tidak rata seperti dinding tanah dan kayu.
Dari penjelasan di atas, sederhananya apabila sebuah ruang mendapat sinar yang cukup, akan mampu merangsang mood positif penggunanya dan mencegah penyakit yang berhubungan dengan circadian dissorder. Selain itu, dengan menggabungkan cahaya dengan faktor alami dalam menciptakan motif fraktal yang menenangkan.
Memperhatikan aspek-aspek di atas, membentuk healing environment banyak melibatkan unsur-unsur alamiah, misalnya cahaya alami, bayangan dedaunan, tekstur
Gambar 2. Motif Fraktal Alami (Sumber : Abboushi dkk., 2019)
alami, serta bentuk-bentuk yang tidak kaku dan terkesan artifisial. Cara ini untuk merangsang psikis manusia agar kembali pada fitrahnya yang intuitif. Dengan kembalinya kondisi intuitif tersebut, dirinya akan menemukan formulasi yang tepat untuk membantu penyembuhan dirinya sendiri.
SIMPULAN
Ruang dalam pendekatan healing environment adalah faktor eksternal dari keempat faktor dalam sistem healing environment. Ruang disini berfungsi sebagai perangsang mood positif, yang membantu meningkatkan imun tubuh untuk merangsang penyembuhan diri sendiri. Dengan memperhatikan elemen-elemen ruang seperti sudut yang lebut, penggunaan cahaya alami, sirkulasi udara yang baik, dan intervensi faktor- faktor biophilic, akan membentuk ruang yang merangsang mood positif.
DAFTAR PUSTAKA
Abboushi, B., Elzeyadi, I., Taylor, R., & Sereno, M. (2019). Fractals in architecture: The visual interest, preference, and mood response to projected fractal light patterns in interior spaces.
Journal of Environmental Psychology, 61, 57-70.
https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2018.12.005
Cacioppo, J. T., & Tassinary, L. G. (1990). Principles of psychophysiology: Physical, social, and inferential elements. Cambridge University Press.
Day, C. (2002). Spirit and place. Routledge.
Kaplan, R., & Kaplan, S. (1989). The Experience of Nature: A Psychological Perspective.
Cambridge University Press.
Kellert, S. R., Heerwagen, J., & Mador, M. (2011). Biophilic design: the theory, science and practice of bringing buildings to life. John Wiley & Sons.
Marcus, C. C. (2007). House as a Mirror of Self: Exploring the Deeper Meaning of Home. Nicolas- Hays.
Milosavljevic, N. (2019). How Does Light Regulate Mood and Behavioral State? Clocks & Sleep, 1(3), 319-331. https://www.mdpi.com/2624-5175/1/3/27
Pail, G., Huf, W., Pjrek, E., Winkler, D., Willeit, M., Praschak-Rieder, N., & Kasper, S. (2011).
Bright-Light Therapy in the Treatment of Mood Disorders. Neuropsychobiology, 64(3), 152-162. 10.1159/000328950
Park, B. J., Tsunetsugu, Y., Ishii, H., Furuhashi, S., Hirano, H., Kagawa, T., & Miyazaki, Y.
(2008). Physiological effects of Shinrin-yoku (taking in the atmosphere of the forest) in a mixed forest in Shinano Town, Japan. Scandinavian Journal of Forest Research, 23(3), 278–283.
Park, B. J., Tsunetsugu, Y., Kasetani, T., Kagawa, T., & Miyazaki, Y. (2010). The physiological effects of Shinrin-yoku (taking in the forest atmosphere or forest bathing): evidence from field experiments in 24 forests across Japan. Environmental health and preventive medicine, 15(1), 18–26.
Prayag, A. S., Jost, S., Avouac, P., Dumortier, D., & Gronfier, C. (2019). Dynamics of Non-visual Responses in Humans: As Fast as Lightning? [Original Research]. Frontiers in Neuroscience, 13(126). https://doi.org/10.3389/fnins.2019.00126
Sakallaris, B. R., Macallister, L., Voss, M., Smith, K., & Jonas, W. B. (2015). Optimal healing environments. Global Advances in Health and Medicine, 4(3), 40-45.
https://doi.org/10.7453/gahmj.2015.043
Sternberg, E. M. (2009). Healing spaces. Belknap Press of Harvard University Press.
Ulrich, R. S. (1984). View through a window may influence recovery from surgery. Science, 224(4647), 420-421.
---. (1991). Effects of interior design on wellness: theory and recent scientific research.
Journal of Health Care Interior Design: Proceedings from the... Symposium on Health Care Interior Design. Symposium on Health Care Interior Design. (97-109).
Van der Linden, V., Annemans, M., & Heylighen, A. (2016). Architects’ Approaches to Healing Environment in Designing a Maggie’s Cancer Caring Centre. The Design Journal, 19(3), 511-533. https://doi.org/10.1080/14606925.2016.1149358
Wilson, E. O. (2003). Biophilia. Harvard University Press.