• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Animasi 2 Dimensi

Animasi adalah ilusi pergerakan sebuah gambar. Williams (2001) menceritakan Animasi sudah ada sejak zaman dahulu, dari menggambar menggunakan media batu pada zaman purba hingga menggambar di komputer seperti yang dijumpai di zaman modern (Williams, 2001). Dalam semua animasi tersebut, selalu ada tokoh, baik satu atau lebih. Tanpa tokoh, maka tidak ada animasi. Untuk dapat membuat animasi, maka dibutuhkan tokoh.

2.2. Tokoh

Tokoh berperan untuk menyampaikan cerita. Selain menyampaikan narasi, tokoh juga dapat menyampaikan informasi melalui fitur tokoh. Seperti yang dikatakan Haake dan Gulz, fitur menimbulkan ekspektasi mengenai tokoh (Haake, Gulz, 2008). Nurgiyantoro (2018) mengatakan bahwa tokoh merupakan sarana untuk menyampaikan pesan. Ketika merancang tokoh, agar tokoh dapat dipercaya, maka perlu dibuat latar belakang dan 3 dimensional character pada tokoh.

2.2.1. Latar Belakang Tokoh

Tokoh yang telah dibuat latar belakang sebelum digambar akan sangat membantu proses perancangan. Menurut Tillman (2011), ada enam pertanyaan utama yang dapat digunakan untuk mengembangkan latar belakang tokoh. Enam pertanyaan tersebut antara lain:

(2)

5 1. Siapakah tokoh yang diceritakan?

2. Apa yang dilakukan tokoh di dalam cerita?

3. Di mana cerita berlangsung?

4. Mengapa tokoh melakukan pekerjaan di dalam cerita?

5. Bagaimana tokoh melakukan pekerjaannya?

Pertanyaan lebih mendalam bisa dibuat untuk menggambarkan tokoh lebih detail. Tillman membagi pertanyaan antara lain mengenai data dasar, fitur yang membedakan, atribut dan sikap, karakteristik emosional, karakteristik spiritual, serta peran karakter di dalam cerita. Dengan pertanyaan tersebut, rancangan tokoh akan lebih menyempit. Rancangan menyampaikan karakteristik protagonis berdasarkan pertanyaan tadi.

2.2.2. 3 Dimensional Character

Menurut Egri (1960), tokoh baru bisa dikatakan hidup jika memilki 3 dimensional character. 3 dimensional character ini antara lain fisik, sosisologi, dan psikologis.

1. Fisiologi

Dimensi fisik tokoh meliputi gender, umur dan penampilan fisik. Egri (1960) mengatakan bahwa fisik mempengaruhi cara pandang seseorang. Egri memberi perbandingan cara pandang antar orang sakit dan orang tanpa penyakit, di mana orang sakit menganggap kesehatan sebagai sesuatu yang sangat berharga, sedangkan orang tanpa penyakit tidak menganggap penting kesehatan. Fisik

(3)

6 dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi bijaksana atau malah sebaliknya arogan. Fisik pun dapat mempengaruhi perkembangan mental seseorang, di mana orang bisa mendapatkan kompleks inferioritas atau superioritas (Egri, 1960).

2. Sosiologi

Egri (1960) mengatakan bahwa lingkungan seseorang dibesarkan atau masyarakat di sekitar mempengaruhi perilaku orang tersebut. Egri memberi contoh bahwa anak yang tumbuh di ruang bawah tanah akan memiliki cara pandang berbeda dengan anak yang dibesarkan di rumah mewah (1960).

3. Psikologi

Seperti yang dikatakan Egri (1960), psikologi merupakan hasil dari pengaruh fisik dan sosiolgi terhadap tokoh. Dimensi psikologi meliputi sikap, ambisi, frustasi, kompleks, dan temperamen.

2.3. Elemen Perancangan Tokoh

Setelah menentukan latar belakang dan 3 dimensional character, fitur tokoh dirancang untuk menyampaikan informasi tersebut. Sloan (2015) menjabarkan elemen-elemen yang digunakan untuk merancang fitur tokoh antara lain garis, bentuk, dan warna.

2.3.1. Garis

Sloan (2015) mengatakan bahwa garis berfungsi untuk menebalkan bentuk, menggiring arah pandang mata, menghubungkan antar bentuk, dan menunjukkan

(4)

7 gerakan serta arah. Tokoh kartun untuk anak-anak sering digambarkan dengan garis di sekeliling figurnya (outline). Menurut Sloan, outline dapat menggiring mata audiens untuk fokus ke tokoh.

Gambar 2.1. Powerpuff Girl memiliki outline yang jelas (The Powerpuff Girls, 2017)

Sebaliknya, tokoh yang dirancang realis jarang memperlihatkan outline (2015).

Gambar 2.2. Contoh outline tipis dalam kartun Pocahontas (Berry, 2011)

Garis memiliki beberapa jenis, seperti garis lengkung dan garis tajam. Sloan menjelaskan bahwa garis lengkung dapat mengekspresikan energi, alam, dan dinamisme. Lengkungan lebar mengekspresikan kebahagiaan dan kelucuan.

Sementara itu, lengkungan tidak lebar menggambarkan kelembutan, feminin, dan

(5)

8 sensual (Sloan, 2015). White mengatakan bahwa garis lengkung membuat tokoh terkesan lembut dan lucu. Sebaliknya, garis tajam membuat tokoh terkesan agresif (White, 2009).

2.3.2. Bentuk

Bentuk merupakan elemen grafis yang memiliki dimensi tinggi dan lebar (Supriyono, 2010). Bentuk dapat menceritakan tokoh secara visual. Menurut Sloan, bentuk dapat digunakan untuk menunjukkan elemen internal tokoh. Di dalam literatur, ada 3 bentuk dasar yang sering dibicarakan, yaitu bundar, kotak, dan segitiga (2015). Ketiga bentuk masing-masing memiliki arti.

1. Bundar

Bundar menggambarkan kesempurnaan, ceria, keanggunan, nyaman, kesatuan, perlindungan, dan kekanak-kanakkan (Tillman, 2011). Solarski (2012) mengatakan bentuk bundar direlasikan dengan garis lengkung. Bentuk bundar sering digunakan untuk tokoh yang ditujukan pada audiens muda atau hero yang tidak kompleks (Sloan, 2015).

Gambar 2.3. Mario sebagai protagonis dari “Mario Bross” memiliki bentuk bundar (Solarski, 2012, hlm. 181)

(6)

9 2. Persegi

Menurut Tillman, persegi menggambarkan keseimbangan, kepercayaan, kejujuran, tata tertib, kepatuhan, rasa aman, kesamaan, serta maskulinitas (2011). Sloan (2015) menyebutkan persegi sebagai bentuk yang paling stabil dan kuat, biasanya melambangkan stabilitas dan kekuatan. Solarski (2012) menjabarkan bahwa persegi direlasikan dengan garis horizontal dan vertikal.

3. Segitiga

Tillman mengatakan segitiga dihubungkan dengan aksi, agresi, energi, licik, konflik, dan tekanan. Otak manusia secara tidak sadar memproses bentuk lancip sebagai ancaman (Lidwell, Holden & Butler, 2010). Sloan menyebutkan segitiga bisa memiliki pengertian berbeda berdasarkan penggunaannya.

Segitiga melancip ke atas melambangkan stabilitas, kekuatan, dan ketenangan.

Segitiga melancip ke bawah melambangkan bahaya, ketidakstabilan, dan tekanan. Solarski menyebutkan segitiga direlasikan dengan garis diagonal dan sudut.

Gambar 2.4. Wario (kiri) dan Goomba (kanan) adalah antagonis dengan bentuk segitiga.

(Solarski, 2012, hlm. 181)

(7)

10 Solarski menyebutkan bahwa pengertian-pengertian di dalam bentuk- bentuk dasar tersebut berasal dari alam. Solarski menambahkan benda-benda tumpul di alam yang tumpul cenderung dianggap aman, sedangkan benda tajam atau berbasis segitiga cenderung diwaspadai (2012). Tillman mengatakan bahwa bentuk dasar akan selalu memiliki pengertian yang sama meskipun diubah. Tillman (2011) memberi contoh jika perancangan tokoh berupa segitiga yang bundar, maka orang akan mengartikan tokoh sebagai sebuah perlindungan yang memperbolehkan tokoh untuk agresif.

2.3.3. Tipe Tubuh

Sloan (2015) membagi tipe tubuh menjadi 3 bagian umum.

1. Ectomorphs

Sloan mengatakan bahwa tipe tubuh ectomorph memiliki ciri-ciri tubuh langsing, pundak kecil dan lemak tubuh yang sedikit. Orang dengan tipe tubuh ini juga dapat memiliki tinggi melebihi rata-rata. Pemilik tubuh ectomorphs memberi kesan gesit, kreatif, introvert, intens, dan perhatian (2015).

2. Mesomorphs

Menurut Sloan, orang dengan tipe tubuh mesomorphs bertubuh kekar, tidak begitu memiliki lemak, serta otot terlihat jelas. Pemilik tubuh mesomorphs memberi kesan pemberani, suka berpetualang, mendominasi, kompetitif, dan asertif (2015).

(8)

11 3. Endomorphs

Sloan mengatakan bahwa pemilik tipe tubuh endomorphs memiliki tubuh proporsi lemak lebih banyak dibandingkan otot. Tipe pemilik tubuh ini cenderung pendek dan bulat. Pemilik tubuh endomorphs, tergantung jenis endomorphs yang dimaksud, memberi kesan lucu dan bersahabat (2015).

2.3.4. Tipe Mata

Hart mengatakan bahwa ada beberapa bentuk mata yang sering digunakan dalam perancangan tokoh dan membaginya sebagai berikut (2013).

1. Bujur

Bentuk mata ini adalah bentuk mata yang paling banyak digunakan dan dapat diterapkan pada tokoh siapapun (Hart, 2013).

Gambar 2.5. Mata bujur (Hart, 2013, hlm. 45)

2. Bujur pipih

Bentuk mata bujur pipih membuat tokoh terkesan sarkastik. Mata bujur pipih juga dapat membuat tokoh terlihat seakan golongan bawah (Hart, 2013).

(9)

12 Gambar 2.6. Mata bujur pipih

(Hart, 2013, hlm. 45)

3. Almond

Bentuk almond biasa diterapkan pada tokoh perempuan. Untuk membuat tokoh terlihat lebih feminin, ujung mata almond biasa dipertajam (Hart, 2013).

Gambar 2.7. Mata almond (Hart, 2013, hlm. 46)

2.3.5. Gaya Visual

Garis, bentuk, dan warna merupakan elemen yang masing-masing memiliki makna sehingga menghasilkan sebuat representasi tokoh. Akan tetapi, seperti kutipan Sloan (2015), audiens tidak akan menganalisa elemen-elemen tersebut satu per satu.

Audiens akan melihat seluruh elemen sebagai satu kesatuan yang dikemas dalam satu gambar tokoh. Sloan mengatakan bahwa satu gambar tokoh inilah yang menceritakan sifat tokoh serta menyuguhkan estetika untuk dinikmati audiens.

Gaya visual gambar dapat menambah ketertarikan aundiens terhadap gambar.

(10)

13 Sloan menjelaskan dari teori McCloud bahwa gaya visual secara umum dapat diukur menggunakan skala seberapa kartunis sebuat tokoh. Tergantung skalanya, gaya visual tersebut dapat memberi representasi yang berbeda. Misalnya, tokoh bergaya kartunis cenderung lebih dapat diidentifikasikan dengan banyak orang dibandingkan tokoh fotografi. Hal ini disebabkan karena, seperti yang disimpulkan Sloan dari kutipan McCloud, orang mengidentifikasi representasi fotografi sebagai orang lain, sedangkan orang lebih bisa mengidentifikasi dirinya dengan tokoh kartun yang dirancang sangat sederhana. Sloan menjelaksan lebih jauh 3 gaya visual representasi ekstrim sebuah tokoh, yakni abstark, fotografis, dan simbolis berdasarkan teori dari McCloud (2015).

1. Abstrak

Berdasarkan terori McCloud, Sloan mengatakan gambar terdiri dari garis, bentuk, dan warna, di mana elemen-elemen tersebut dalam kasus ekstrim bisa tidak memiliki makna apapun (2015).

2. Fotografis

Sloan mengutip dari McCloud bahwa fotografis merupakan gambar yang merepresentasikan kenyataan melalui fotografis, di mana tokoh direpresentasikan serupa dengan orang asli jika digunakan secara ekstrim (2015).

(11)

14 3. Simbolik

Berdasarkan teori McCloud, Sloan menjelaskan bahwa simbolik merupakan gambar yang memiliki makna simbolik dalam visualnya, misalnya huruf dan angka (2015).

Sloan menganalisis bahwa tokoh biasanya tidak sepenuhnya dirancang hanya menggunakan satu gaya visual saja seperti di atas. Jika tokoh hanya dirancang menggunakan gaya visual abstrak, maka tokoh tidak akan bisa dikenali dan tidak memiliki makna apa pun. Tokoh yang hanya dirancang menggunakan gaya visual fotografi membatasi kekreatifan visual dan seperti yang diteliti oleh Tinwell (2014), jika tokoh yang terlalu mirip dengan aslinya namun animasinya tidak serupa dengan manusia asli, maka akan menimbulkan efek Uncannvey Valley, yaitu ketidaknyamanan audiens melihat tokoh karena tokoh terkesan layaknya psikopat. Tokoh yang hanya memiliki gaya visual simbolik merubah tokoh hanya menjadi sebagai objek penyampai ide secara visual (Sloan, 2015).

Menurut Sloan (2015), gaya visual dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:

1. Genre

Sesuai yang dikatakan Tillman, penonton telah memiliki standar mengenai elemen yang harus ada di dalam genre. Misalnya, jika cerita bergenre fantasi, maka harus ada unsur fantasi pula di dalam peracangan (2011).

Menggunakan genre, gaya visual dalam perancangan dapat dibatasi.

Misalnya, seperti kutipan Sloan, saat mencari referensi gaya visual seperti

(12)

15 game, film dan animasi, maka gaya visual dapat dibatasi hanya pada genre

yang sama dengan cerita yang hendak dibuat (2015).

2. Target Audiens

Selain mendalami elemen-elemen perancangan seperti garis, bentuk, siluet, dan warna untuk membuat tokoh yang dirancang memiliki estetika lebih mendalam, seperti kutipan Sloan, tokoh juga harus dirancang sesuai dengan target audiens.

Seperti yang dikatakan Tillman (2011), target audiens mempengaruhi perancangan visual tokoh. Gaya visual akan berubah tergantung umur target audiens (2015).

Tillman (2011) menjelaskan hal ini disebabkan karena setiap golongan umur memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam menyerap informasi. Ketika mengetahui target audiens yang dituju, maka rancangan tokoh harus menyesuaikan dengan kemampuan target audiens untuk menerima informasi. Semakin tua umurnya, semakin banyak informasi yang dapat dimasukkan ke dalam rancangan.

Tillman membagi umur target audiens menjadi 4 kelompok, yaitu 0-4 tahun, 5-8 tahun, 9-13 tahun, dan 14-17 tahun. Tokoh untuk target audiens dengan umur 0-4 tahun biasanya dirancang dengan bentuk yang sederhana, mata dan kepala besar, bertubuh pendek, serta warna cerah. Rancangan tokoh dibuat sederhana agar informasi mudah diserap oleh audiens.

(13)

16 Gambar 2.8. Tokoh untuk 0-4 tahun

(Tiilman, 2011, hlm. 105)

Tokoh untuk target audiens berumur 5-8 tahun hampir sama dengan 0-4 tahun, namun bentuk lebih diperumit, mata dan kepala lebih diperkecil, dan warna lebih diturunkan saturasinya. Rancangan mulai menceritakan identitas tokoh terhadap audiens.

Gambar 2.9. Tokoh untuk 5-8 tahun (Tillman, 2011, hlm. 106)

Tokoh untuk target audiens berumur 9-13 tahun, proporsi tokoh dibuat lebih menyerupai proporsi asli, di mana rancangan lebih detail dan warnanya lebih realistik. Tokoh mulai dibuat menyerupai realitas karena anak pada usia 9-13 tidak

(14)

17 lagi menerima informasi mentah-mentah, melainkan memproses dan berpikir lebih jauh akan apa yang mereka lihat.

Gambar 2.10. Tokoh untuk 9-13 tahun (Tillman, 2011, hlm.107)

Tokoh untuk target audiens berumur 14-18 tahun dirancang menyerupai dunia asli, di mana rancangan memiliki detail yang banyak, proposi dibuat serupa dengan aslinya, dan warna kompleks (Tillman, 2011). Tokoh dibuat mendekati realitas karena di usia 14-18 tahun, audiens memiliki pengetahuan akan hidupnya di dunia nyata. Oleh karena itu, ketika audiens melihat visual, mereka menginginkan visual yang dapat direlasikan dengan atau mendekati kehidupan nyata.

Gambar 2.11. Tokoh untuk 14-18 tahun (Tillman, 2011, hlm.109).

(15)

18 Tillman (2011) menjelaskan jika rancangan sesuai dengan target audiens, maka selain informasi tokoh dapat diserap, audiens juga dapat mengidentifikasi dirinya dengan tokoh. Seperti yang ditulis oleh Furniss (2014), tokoh yang dapat diidentifikasi audiens akan membuat audiens lebih tertarik dan peduli dengan tokoh.

2.3.6. Penyederhanaan dan Eksagerasi

Gambar 2.12. Penyederhanaan dan eksagerasi pada tokoh (Hedgpeth dan Missal, 2018, hlm.202)

Tokoh animasi membutuhkan rancangan yang dapat menyampaikan informasi.

Namun, menurut Hedgpeth dan Missal (2013), jika dirancang terlalu detail, penonton malah tidak dapat menangkap informasi tersebut. Selain itu, Hedgpeth dan Missal mengatakan jika detail terlalu banyak, animasi tokoh akan memakan waktu sangat lama karena harus menganimasikan detail-detail tersebut. Hedgpeth dan Missal juga mengatakan rancangan akan lebih efektif dalam animasi jika dirancang sederhana, namun masih dapat dipercaya (Hedgpeth dan Missal, 2013).

(16)

19 Untuk membuat kesan kuat kepada penonoton, seperti yang dikatakan Hedgpeth dan Missal (2013), tokoh dapat dieksagerasi dalam perancangannya.

Hedgpeth dan Missal memberi contoh jika tokoh gemuk, maka proporsi tubuh dapat dieksagerasi dengan membuat tubuhnya sangat gemuk. Dengan eksagerasi gemuk, penonton akan memiliki kesan kuat bahwa tokoh gemuk. Hedgpeth dan Missal menambahkan bahwa eksagerasi juga dapat menekankan informasi penting.

Misalnya, obesitas pada tokoh merupakan informasi penting. Dengan mengeksagerasi gemuk tokoh, informasi tokoh obesitas tersampaikan kepada penonton dan akan diingat kuat (Hedgpeth dan Missal, 2013).

2.3.7. Warna

Sloan mengatakan bahwa warna dapat meningkatkan potensial untuk memberi informasi tokoh secara visual. Menurut Tillman (2011), tokoh serta ceritanya dapat diketahui melalui warna. Warna tersebut biasanya disusun menjadi skema warna, di mana di dalamnya skema dibagi menjadi 12 warna umum yang dikelompokkan menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah primer, terdiri atas merah, kuning, dan biru. Bagian kedua adalah sekunder, terdiri dari hijau, jingga dan ungu. Bagian terakhir adalah tertier, yaitu biru-ungu, biru-hijau, kuning-hijau, kuning-jingga, merah-jingga, dan merah-ungu (Sloan, 2015).

(17)

20 Gambar 2.13. Skema Warna

(Mollica, 2018)

Berdasarkan skema warna, komponen-komponen warna menurut Sloan (2015) adalah:

1. Hue

Sloan (2015) mengatakan bahwa hue merupakan warna pada umumnya, terdiri dari merah, jingga, kuning, hijau, cyan, biru, ungu, dan magenta.

Hues secara dasar dapat dibagi menjadi hangat dan dingin. Warna hangat,

yaitu magenta hingga kuning, menggambarkan optimis, gairah, dan girang, sedangkan warna dingin, yaitu hijau hingga ungu, menggambarkan ketenangan, objetivitas, nyaman, dan pemeliharaan.

Berikut adalah interpretasi umum warna (Tillman, 2011, Sloan, 2015):

1. Merah: menggambarkan determinasi, kekuatan dan gairah. Di lain sisi, merah melambangkan amarah dan bahaya.

(18)

21 2. Biru: mengambarkan kepercayaan, bangsawan, bijaksana, percaya diri, pintar, toleransi, namun juga dapat melambangkan kesedihan dan melankolis.

3. Cyan: menggambarkan rasa damai dan feminin.

4. Hitam: menggambarkan elegan, misterius, dan kekuatan. Di lain sisi, hitam menggambarkan kejahatan, ketakutan, dan depresi.

5. Kuning: menggambarkan optimisme dan kegembiraan. Namun, di lain sisi, kuning juga dapat menggambarkan kecemburuan dan pengecut.

6. Putih: menggambarkan kebaikan dan kemurnian.

Gambar 2.14. Pembagian warna warm dan cool (Mollica, 2018, hlm. 12)

(19)

22 2. Value

Menurut Mollica, value merupakan terangnya warna, di mana biasanya diukur dengan skala hitam ke putih, di mana warna paling terang berada di ujung skala putih. Mollica menjelaskan bahwa jika hues digabung dengan values tinggi dan saturasi rendah, maka akan menciptakan warna pastel, di

mana warna menggambarkan kemurnian dan cocok untuk audiens lebih muda. Sebaliknya, values yang rendah membuat warna lebih gelap dan memberi kesan realistis. Value bisa digunakan untuk menunjukkan kontras warna, di mana kontras tersebut dapat menunjukkan perbedaan antara dua tokoh (2018).

Gambar 2.15. Contoh value menggunakan warna merah.

(Mollica, 2018, hlm.8)

3. Saturasi

Menurut Mollica, saturasi merupakan intensitas warna. Semakin tinggi saturasi, maka warna semakin terang (2018).

(20)

23 Gambar 2.16. Saturasi tinggi (kiri), saturasi rendah (tengah), saturasi seimbang (kanan)

(Mollica, 2018, hlm. 8)

Saturasi dapat digunakan untuk memberi kontras antar tokoh. Saturasi tinggi membuat warna tidak realistis, di mana tokoh terkesan gagah dan mencolok.

Saturasi rendah membuat warna lebih realistis sehingga membuat tokoh terkesan lebih kompleks dan penyediri (Mollica, 2018).

2.4. Stereotipe Perempuan Ideal dalam Film

Sterotipe perempuan ideal tanpa disadari telah tertanam di dalam benak masyarakat.

Dikutip dari Prabasmoro (2003) dan Yulianto (2007), Puspa mengatakan bahwa stereotipe ini dimulai dari zaman dahulu, yaitu saat masa penjajahan. Penjajah yang merupakan kaum kulit putih dianggap lebih superior dibandingkan kaum yang dijajah. Hal ini menyebabkan terbentuk pemikiran bahwa orang yang ideal adalah mereka yang berkulit putih dan pemikiran tersebut tertanam erat di dalam masyarakat (Puspa, 2010).

Persepsi bahwa perempuan ideal berkulit putih diperkuat dengan pengaruh media. Pemikiran tersebut bermula dari pengaruh male gaze dalam film, di mana perempuan diajadikan sebagai objek seksual. Mulvey (1999) menjabarkan dalam jurnalnya bahwa film menawarkan aspek scopophilia. Dikutip dari Freud, Mulvey

(21)

24 menjelaskan bahwa scopophilia adalah sebuah kenikmatan yang muncul hanya dari mengamati saja, terutama pada daerah erotis. Di dalam film, karena mayoritas penonton yang dituju adalah laki-laki, perempuan pun digunakan sebagai penyalur aspek scocophilia, menyebabkan perempuan menjadi objek seksual dari penonton atau male gaze. Di dalam jurnal Miller, Frederickson dan Roberts menjelaskan karena perempuan menganggap dirinya sebagai objek seksual, perempuan pun membentuk standar citra diri untuk tetap menarik di mata orang lain.

Menurut Frederickson dan Roberts dalam jurnal Miller, media sangat berpengaruh dalam meggambarkan perempuan sebagai objek seksual. Persepsi perempuan sebagai objek seksual ini diterapkan tidak hanya pada film, namun juga dalam media-media lainnya seperti iklan. Frederickson dan Roberts menjelaskan lebih lanjut bahwa fokus utama iklan saat menggambarkan perempuan adalah bagian tubuh sehingga memperdalam persepsi bahwa perempuan adalah objek seksual. Hal ini menyebabkan perempuan di dunia nyata mulai melihat dirinya sebagai objek seksual pula dan berusaha membuat penampilan semenarik mungkin sesuai dengan standar kecantikan yang ada.

Di dalam iklan, seperti yang dikatakan Miller, perempuan atraktif yang menjadi objek seksual sering kali digambarkan sebagai Kaukasia muda yang cantik dan langsing. Selain iklan, seperti yang dijabarkan Neagu dan Rainer (2015), media juga sering menyiarkan kartun yang menggambarkan tokoh gemuk sebagai tokoh antisosial, tidak pintar, dan tidak menarik. Mainan yang dipromosikan media, seperti barbie, memiliki tubuh langsing digambarkan sebagai perempuan ideal (Neagu dan Rainer, 2015). Akibatnya, anak-anak yang mengkonsumsi kartun dan

(22)

25 mainan telah memiliki persepsi akan perempuan ideal bahkan sejak dini. Secara tidak langsung, media menanamkan citra perempuan cantik adalah mereka yang bertubuh langsing dan berkulit putih. Alhasil, masyarakat mengkonsumsi citra tersebut dan menjadikannya sebagai standar kecantikan perempuan ideal (Puspa, 2010).

Jika perempuan tidak memenuhi standar kecantikan tersebut, maka ia dicap tidak cantik. Cap tersebut terjadi karena pengaruh oposisi biner yang melekat pada sistem masyarakat. Oposisi biner, menurut Putri dan Sarwoto yang dikutip dari Smith, adalah sebuah sistem yang terdiri dari 2 teori saling berlawanan (Putri, Sarwoto, 2016). Contoh oposisi biner antara lain gelap dan terang, laki-laki dan perempuan, baik dan jahat. Oposisi biner ini berlaku pula pada persepsi masyarakat, bahwa di dalam sistem ada perempuan ideal dan tidak ideal. Jika perempuan ideal adalah mereka yang memiliki ciri khas ideal maka perempuan yang tidak memiliki ciri khas tersebut dianggap berlawanan dari ideal.

Sloan (2015) memaparkan tokoh perempuan dalam media yang ideal adalah mereka yang memiliki bentuk tubuh feminin, wajah feminin, kulit putih dan sehat, dan rambut panjang lurus. Berikut adalah elemen-elemen yang membentuk stereotipe perempuan ideal menurut Sloan.

2.4.1. Bentuk Tubuh Feminin

Tubuh ideal perempuan adalah tubuh yang kurus (Neagu dan Rainer, 2015). Bentuk tubuh feminin menurut Sloan adalah bentuk tubuh gelas pasir, di mana pinggang memiliki proporsi kecil namun setara dengan dada dan pinggul (Sloan, 2015).

(23)

26 Dalam jurnal Singh (2006), bentuk tubuh jam pasir dideskripsikan sebagai representasi kecantikan perempuan zaman sekarang.

2.4.2. Wajah Feminin

Wajah feminin, menurut Sloan (2015), adalah wajah kecil dan bulat, hidung kecil dan bibir serta mata lebar yang proporsinya seimbang. Valenzano, Mennucci, Tarterelli, dan Cellerino, dalam jurnal mereka berjudul “Vison Research: Shape Analysis of Female Facial Attractiveness” (2005), menyimpulkan bahwa faktor utama wajah perempuan disebut atraktif terletak pada bentuk bagian bawah wajah.

bagian bawah wajah perempuan cantik memiliki dagu yang kecil dan tajam, tapi sudut rahang bawah tidak hilang dan tidak adanya penonjolan rahang atas serta bawah.

2.4.3. Kulit Putih dan Sehat

Perempuan cantik sering digambarkan berkulit putih. Persepsi perempuan cantik berkulit putih tersebut dipengaruhi media, salah satunya iklan. Rahardjo, Hagijanto ,dan Maer menganalisis bagaimana iklan menggeser konsep kecantikan seiring berubahnya zaman. Dimulai pada tahun 1980, Rahardjo, dkk. menganalisis iklan kecantikan di Indonesia dan mendapatkan bahwa model kecantikan yang digunakan adalah perempuan berkulit sawo matang, yaitu ciri khas perempuan Jawa kuno.

Namun, seiring berjalannya waktu, iklan mengganti model kecantikan menjadi perempuan berkulit putih, yang disimpulkan oleh Rahardjo, dkk. Sebagai ras Kauskasoid yang merupakan ras dari luar negeri. Rahardjo, dkk. pun menyimpulkan bahwa di zaman sekarang, konsep kecantikan telah berbaur dengan budaya luar, mengakibatkan ciri khas kecantikan lokal seperti kulit sawo matang

(24)

27 bukan merupakan stereotipe lagi, melainkan kulit putih seperti kaum luar negeri lah yang menjadi stereotipe kecantikan (2016).

Selain warna kulit, Sloan (2015) menambahkan bahwa kulit sehat membuat tokoh lebih atraktif. Kulit yang berwarna putih pucat malah akan membuat tokoh terkesan tidak sehat dan mengurangi atraktif tokoh. Tubuh yang sehat, menurut Sloan, adalah tubuh dengan darah mengalir sehingga kulit yang sehat adalah kulit putih berwarna kemerah-merahan (Sloan, 2015).

2.4.4. Rambut Panjang dan Lurus

Berdasarkan analisis Rahardjo, Hagijanto, dan Maer, gaya rambut perempuan cantik yang sering digunakan adalah rambut panjang lurus. Pada tahun 2010, gaya rambut perempuan cantik adalah gaya rambut yang sedang populer di luar negeri, rambut lurus dengan bagian bawah rambut sedikit berombak (2016). Mesko dan Bereczkei (2003) mengatakan bahwa gaya rambut panjang atau medium membuat perempuan terkesan lebih menarik dibandingkan gaya rambut lain.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu membuat keputusan terkait masalah yang berhubungan dengan sistem hematologi pada anak dan mengaplikasikan

Salah satu alternatif kegiatan yang bisa dilaksanakan untuk membantu anak yang mengalami masalah perkembangan motorik halus anak usia dini adalah dengan

Trauma akibat bencana alam biasanya banyak terjadi pada anak-anak yang menjadi korban bencana. Upaya penanggulangan terhadap trauma pada anak- anak yang menjadi

Tahapan pertama yang dilakukan dalam penelitian pengembangan ini yaitu melakukan studi pendahuluan yang bertujuan untuk memperoleh data yang mendukung pengembangan

Berdasarkan  kriteria  tersebut  maka  industri  yang  terdapat  di  Kecamatan  Palu  Selatan  adalah  tergolong  ke  dalam  industri  kecil  dan  kerajinan 

Pada skala sikap dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkap sikap siswa yang berkaitan dengan motivasi belajar siswa melalui pendekatan PBL. Rubik yang di buat

a) Pasukan Penyiasat bertanggungjawab menyediakan Laporan Hasil Siasatan atau Laporan Akhir dan kemukakan kepada Urusetia Kehilangan dan Hapuskira dalam tempoh dua