• Tidak ada hasil yang ditemukan

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Fatma NPM : 0606151772

Tanda Tangan : ………

Tanggal : 19 Desember 2008

(2)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Fatma NPM : 060651772 Program Studi : Pascasarjana

Departemen : Hukum Ekonomi/Bisnis Fakultas : Hukum

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Rpyalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

ANALISA YURIDIS TERHADAP TINDAKAN EKSEKUTORIAL ATAS BENDA JAMINAN LEMBAGA KEUANGAN YANG DIIKAT MELALUI PERJANJIAN FIDUSIA DI BAWAH TANGAN (Studi Kasus : Putusan Kasasi Nomor 1670 K/Pdt/2003)

beserta instrumen/disain/perangkat. Berdasarkan persetujuan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihkan bentuk, mengalihmediakan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, serta mempublikasikan tugas akhir saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta dan juga sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya secara sadar tanpa paksaan dari pihak manapun.

Dibuat di : Jakarta

Pada Tanggal : 19 Desember 2008

Yang Membuat Pernyataan,

( F a t m a )

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... iv

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan/Manfaat Penelitian ... 9

E. Metode Penelitian ... 9

F. Kerangka Konsepsional ... 11

G. Sistimatika Penulisan ... 12

BAB II : JAMINAN KEBENDAAN DALAM PERJANJIAN KREDIT A. Jaminan Pada Umumnya ... 14

B. Perjanjian Jaminan Kebendaan ... 17

C. Lembaga Jaminan Kebendaan ... 19

D. Pembebanan Jaminan Kebendaan Dalam Perjanjian Kredit ... 25

BAB III : PENGIKATAN OBJEK JAMINAN KREDIT DENGAN FIDUSIA A. Lembaga Fidusia Sebagai Pengikatan Atas Jaminan Kredit ... 30

B. Prosedur Pengikatan Jaminan Fidusia ... 34

C. Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Lembaga Fidusia ... 41

(4)

BAB IV : TINDAKAN EKSEKUTORIAL TERHADAP BENDA OBJEK PERJANJIAN FIDUSIA DENGAN AKTA DI BAWAH TANGAN PADA JAMINAN LEMBAGA KEUANGAN

A. Jenis Tindakan Eksekutorial Dalam Praktek ... 46 B. Tindakan Eksekutorial Menurut Undang-undang nomor 42 tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia ... 56 C. Akibat Hukum Dari Tindakan Eksekutorial Atas Perjanjian Fidusia di

Bawah Tangan ... 61 D. Studi Kasus ... 66 E. Analisa Kasus ... 82

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83 B. Saran ... 84

DAFTAR REFERENSI ... 88

(5)

ANALISA YURIDIS TERHADAP TINDAKAN EKSEKUTORIAL ATAS BENDA JAMINAN LEMBAGA KEUANGAN

YANG DIIKAT MELALUI PERJANJIAN FIDUSIA DI BAWAH TANGAN

(Studi Kasus : Putusan Kasasi Nomor 1670 K/Pdt/2003)

TESIS

F A T M A 0606151772

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA

JAKARTA DESEMBER 2008

(6)

ANALISA YURIDIS TERHADAP TINDAKAN EKSEKUTORIAL ATAS BENDA JAMINAN LEMBAGA KEUANGAN

YANG DIIKAT MELALUI PERJANJIAN FIDUSIA DI BAWAH TANGAN

(Studi Kasus : Putusan Kasasi Nomor 1670 K/Pdt/2003)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum

F A T M A 0606151772

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA

JAKARTA DESEMBER 2008

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam pemberian fasilitas kredit, antara bank selaku kreditur dengan nasabah selaku debitur dilakukan suatu ikatan secara hukum, yang disebut dengan perjanjian kredit. Meski dalam Undang-undang Perbankan tidak disebutkan pengertian perjanjian kredit, namun menurut Remy Sjahdeiny, perjanjian kredit adalah perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.1

Perjanjian kredit ini memiliki fungsi :2

a. Sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan.

b. Sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.

c. Sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

Menurut Pasal 8 butir 1 Undang-undang Perbankan, Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Untuk melaksanakan ketentuan pasal 8 butir 1 inilah diperlukan adanya jaminan kredit atau agunan. Pasal 1 butir 23 Undang-undang Perbankan menyatakan Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan

1 Johannes Ibrahim, Pengimpasan (Kompensasi) Dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Utomo, 2003), hal. 49.

2 HR Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 183.

(8)

berdasarkan Prinsip Syariah.

Dalam menerima jaminan ini sendiri, bank dan debitur biasanya juga membuat perjanjian khusus. Jaminan yang lahir karena perjanjian ialah jaminan ada karena diperjanjikan terlebih dahulu antara kreditur dan debitur.3 Petunjuk yang dapat dipakai untuk menentukan rumusan jaminan khusus ini adalah pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang mensyaratkan bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan utangnya. Menurut Pasal 1131 KUHPerdata, Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan- perikatan perorangan debitur itu. Hal ini kemudian ditegaskan juga oleh Pasal 1132 KUHPerdata yang menyatakan Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.

Adapun mengenai pengikatan jaminan atau lembaga jaminan ini, oleh Bank Indonesia dalam Surat Edarannya (SE-BI) Nomor 4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972, disebutkan bahwa untuk benda-benda bergerak dipakai lembaga fidusia dan atau gadai, dan untuk benda-benda tidak bergerak dipakai lembaga jaminan hipotik dan atau credietverband. Kemudian, dalam SE-BI Nomor 23/6/UKU tanggal 28 Februari 1991, disebutkan bahwa pengikatan agunan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.4

Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam pasal 8 Undang-undang Perbankan nomor 7 tahun 1992 dijelaskan bahwa dalam memberikan kredit bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan, sehingga bagi bank yang konservatif dapat menafsirkan bahwa kepastian pengembalian kredit harus disertai dengan jaminan.5 Jaminan kredit adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji

3 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2004), cetakan kedua, hal.

145.

4 HR Daeng Naja, loc cit, hal. 243.

5 Heru Supraptomo, Masalah Eksekusi Jaminan Fidusia dan Implikasi Lembaga Fidusia dalam Praktik Perbankan, (Jakarta : makalah pada Lokakarya 10 Agustus 2006 di Hotel Kartika Candra, Jakarta), hal. 4.

(9)

sebagai jaminan untuk pembayaran dari utang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat kreditur dan debitur.6

Salah satu bentuk pengikatan jaminan kredit adalah melalui fidusia.

Penjelasan Undang-undang Fidusia menyatakan, Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para Pemberi Fidusia untuk menguasai Benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan Jaminan Fidusia. Pada awalnya, Benda yang menjadi objek fidusia terbatas pada kekayaan benda bergerak yang berwujud dalam bentuk peralatan.

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, Benda yang menjadi objek Fidusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang tak berwujud, maupun benda tak bergerak.

Fidusia sendiri merupakan suatu hak kebendaan. Sebagai hak kebendaan, jaminan fidusia mempunyai hak didahulukan terhadap kreditur lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan piutangnya atas eksekusi benda jaminan.

Hak tersebut tidak hapus walaupun telah terjadi kepailitan pada debitur.

Pemegang fidusia merupakan kreditur separatis sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 56 Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengakuan hak separatis akan memberikan perlindungan hukum bagi kreditur pemegang fidusia.7 Dengan demikian, adanya pengakuan ini membuat kreditur pemegang fidusia memiliki kewenangan untuk bertindak mendapat haknya lebih dahulu.

Kegiatan pemberian fasilitas kredit di Indonesia sebelum lahirnya Undang- undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, selalu menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dan lembaga Hipotek atas tanah dan credietverband.

Keberadaan fidusia ini memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dan pendaftaran Jaminan Fidusia memberikan hak yang

6 Sutarno, loc cit, hal, 142.

7 Tan Kamedo, Hukum Jaminan Fidusia : Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : Alumni, 2004), hal. 29.

(10)

didahulukan (preferen) kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lain. Karena Jaminan Fidusia memberikan hak kepada pihak Pemberi Fidusia untuk tetap menguasai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berdasarkan kepercayaan, maka diharapkan sistem pendaftaran yang diatur dalam Undang-undang ini dapat memberikan jaminan kepada pihak Penerima Fidusia dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap Benda tersebut.8

Adapun khusus untuk pengikatan agunan dengan menggunakan lembaga fidusia, sebelum pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, sebenarnya lembaga fidusia sudah disukai oleh para pelaku bisnis.

Pada dasarnya, Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi.

Bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam transaksi pinjam-meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah, dan cepat, tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum. Pada waktu itu, pranata jaminan fidusia muncul atas dasar adanya kebutuhan masyarakat akan kredit dengan jaminan barang bergerak tanpa (secara fisik) melepaskan barang yang dijadikan jaminan.9

Hal ini disebabkan karena tumbuhnya lembaga fidusia sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga jaminan kebendaan bagi benda bergerak yang sederhana tanpa harus menyerahkan benda ke dalam kekuasaan kreditur, telah memberikan bantuan kepada para pengusaha yang membutuhkan modal. Lembaga fidusia atau Fiduciaire Eigendoms Overdracht (FEO) ini, dalam perkembangannya kemudian muncul sebagai lembaga jaminan yang juga berlaku bagi benda tidak bergerak terutama tanah.10

Jaminan Fidusia memberikan kemudahan bagi para pihak yang menggunakannya, khususnya bagi Pemberi Fidusia. Namun karena Jaminan Fidusia tidak didaftarkan, kurang menjamin kepentingan pihak yang menerima fidusia. Pemberi Fidusia mungkin saja menjaminkan benda yang telah dibebani dengan fidusia kepada pihak lain tanpa sepengetahuan Penerima Fidusia.

8 Penjelasan Umum Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

9 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), cetakan ketiga, hal. 6.

10 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 363.

(11)

Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Sementara itu, yang dimaksud dengan Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

Sebelum Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dibentuk, pada umumnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka menurut Undang-undang ini objek Jaminan Fidusia diberikan pengertian yang luas yaitu benda bergerak yang berwujud maupun tak berwujud, dan benda tak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Hadirnya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, menurut ketentuan Pasal 2-nya adalah untuk diberlakukan terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda dengan Jaminan Fidusia. Pasal tersebut mengajarkan kepada kita bahwa Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia merupakan suatu ketentuan umum dan karenanya berlaku umum. Dengan itu berarti, bahwa suatu hubungan hukum yang mempunyai ciri-ciri fidusia sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, berlaku Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia sekalipun tidak memakai judul “fidusia”.

Salah satu ciri pokok yang harus ada adalah adanya maksud untuk membebani

(12)

benda dengan jaminan fidusia.11

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, maka banyak kalangan bisnis yang terbantu, termasuk kalangan perbankan. Keberadaan undang-undang ini membuat praktek perbankan pun makin bisa bergerak leluasa di dalam menerima jaminan kredit yang diberikan oleh debitur dalam praktek pemberian kredit. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia memberikan keleluasaan bagi pihak bank ada untuk menerima jaminan atas benda tidak terdaftar melalui fidusia.

Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyatakan yang dimaksud dengan Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.

Menurut Pitlo, pembedaan atas benda atas benda bergerak dan benda tetap itu adalah merupakan pembedaan yang terpenting sejak dahulu, namun di Nederland perkembangan ilmu pengetahuan sekarang mengenal pembedaan benda atas benda-benda atas nama dan benda tidak atas nama. Pada umumnya benda-benda atas nama adalah terdaftar di dalam register dan disebutkan atas nama yang berhak. Benda-benda tak bergerak terdaftar dalam register umum di kantor-kantor hipotik. Sedangkan benda-benda bergerak hampir semuanya merupakan benda-benda tidak atas nama. Sedangkan H. Drion mengatakan bahwa di Nederland terdapat tendensi bahwa menurut pendapat-pendapat modern, mereka cenderung untuk mengakui pembedaan benda atas benda-benda atas nama dan tidak atas nama, atau benda-benda terdaftar dan benda-benda tidak terdaftar (registergoederen/niet registergoederen) daripada pembedaan secara lama yaitu atas benda bergerak dan tak bergerak. Yang dimaksud dengan benda terdaftar ialah benda-benda di mana pemindahan dan pembebanannya disyaratkan harus didaftarkan dalam register yang bersangkutan.12

Dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, diatur tentang pendaftaran Jaminan Fidusia guna memberikan kepastian hukum

11 J. Satrio, Hukum Jaminan : Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal.

189.

12 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Jogjakarta : Liberty, 2000), cetakan kelima, hal. 21-22.

(13)

kepada para pihak yang berkepentingan dan pendaftaran Jaminan Fidusia memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lain. Karena Jaminan Fidusia memberikan hak kepada pihak Pemberi Fidusia untuk tetap menguasai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berdasarkan kepercayaan, maka diharapkan sistem pendaftaran yang diatur dalam Undang-undang ini dapat memberikan jaminan kepada pihak Penerima Fidusia dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap Benda tersebut.

Keberadaan Lembaga Jaminan Fidusia adalah sebagai unsur pengamanan terhadap kredit perbankan, yang dilahirkan dengan terjadinya perjanjian kredit bank. Ketentuan pasal 4 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyebutkan, Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.13

Pengikatan Fidusia sendiri dilakukan melalui sebuah perjanjian.

Sebagaimana perjanjian jaminan utang lainnya, seperti perjanjian gadai, hipotik, atau hak tanggungan, maka perjanjian fidusia juga merupakan suatu perjanjian yang assesoir (perjanjian buntutan). Maksudnya adalah perjanjian assesoir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok. Dalam hal ini, yang merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian utang piutang. Karena itu, konsekuensi dari perjanjian assesoir ini adalah bahwa jika perjanjian pokok tidak sah, maka secara hukum perjanjian fidusia sebagai perjanjian assesoir juga ikut menjadi batal.14

Perjanjian fidusia adalah perjanjian utang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dengan demikian, perjanjian ini memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada

13 Ratu Rusmiati, Masalah Hukum Pendaftaran Fidusia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : makalah pada Lokakarya 10 Agustus 2006 di Hotel Kartika Candra, Jakarta), hal. 2.

14 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), cetakan kedua revisi, hal. 19.

(14)

kreditor (parate eksekusi), sesuai Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak dibuatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat di bawah tangan.

Dalam prakteknya, perjanjian fidusia yang tidak dibuatkan akta notaris atau dibuat di bawah tangan ini banyak terjadi di kalangan lembaga pemberi kredit, khususnya di kalangan Bank Perkreditan Syariah atau kalangan lembaga pembiayaan seperti multifinance, yang sering menggunakan perjanjian fidusia yang non notariil dan tidak didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia. Persoalan akan muncul ketika harus dilakukan eksekusi. Apakah eksekusi bisa langsung dilakukan mengingat perjanjian fidusianya tidak dibuat notariil? Pertanyaan ini masih menjadi pro dan kontra sampai saat ini. Bertolak dari kondisi seperti ini, penulis akan mengkajinya lebih lanjut dalam sebuah tesis berjudul :

“ANALISA YURIDIS TERHADAP TINDAKAN EKSEKUTORIAL ATAS BENDA JAMINAN LEMBAGA KEUANGAN YANG DIIKAT MELALUI PERJANJIAN FIDUSIA DI BAWAH TANGAN”

(Studi Kasus : Putusan Kasasi Nomor 1670 K/Pdt/2003)

B. IDENTIFIKASI MASALAH

1) Bagaimana akibat hukum dari tindakan eksekutorial terhadap benda objek perjanjian Fidusia dengan akta di bawah tangan?

2) Bagaimana langkah hukumnya apabila terjadi masalah dalam pelaksanaan eksekutorial terhadap benda objek perjanjian fidusia dengan akta di bawah tangan?

C. TUJUAN PENELITIAN

1) Untuk mendapatkan data mengenai aspek hukum dari tindakan eksekutorial terhadap benda objek perjanjian Fidusia dengan akta di bawah tangan.

2) Untuk mendapatkan data tentang sejauh mana resiko-resiko yang muncul dalam tindakan eksekutorial terhadap benda objek perjanjian Fidusia dengan akta di bawah tangan dan cara mengantisipasinya.

(15)

D. KEGUNAAN/MANFAAT PENELITIAN 1) Secara teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum jaminan kebendaan tidak terdaftar, terhadap perkembangan ilmu hukum Indonesia, terutama terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada maupun yang akan ada.

2) Secara praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pelaku bisnis di bidang perkreditan dan bidang lainnya, pengadilan dan para perancang peraturan perundang-undangan dari sisi hukum positifnya, yang berkaitan dengan eksekusi jaminan fidusia yang diikat dengan perjanjian di bawah tangan.

E. METODE PENELITIAN 1. Tipe Penelitian

Adapun tipe penelitian hukum yang akan dilakukan adalah yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang membuka peluang terjadinya15 eksekusi jaminan fidusia yang diikat melalui perjanjian di bawah tangan.

Penelitian hukum tersebut akan mencakup :16 a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

b. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;

c. Sejarah hukum.

2. Bahan Hukum

Adapun bahan-bahan yang dipergunakan sebagai pisau analisis nantinya adalah :

15 Johnny Ibrahim, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayumedia Publishing, 2006), cetakan kedua, hal. 390-391.

16 Hamid S. Attamimi, Perspektif Normatif Dalam Penelitian Hukum, dalam Diktat Metode Penelitian Hukum yang dikumpulkan oleh Valerine J.L.K, (Jakarta : PPS FHUI, 2005), hal. 366.

(16)

1. Bahan baku primer : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (berikut dengan perubahannya), Undang- undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Undang- undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Undang- undang Republik Indonesia nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Undang-undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009, Surat Edaran Bank Indonesia (SE-BI) Nomor 4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972, SE-BI Nomor 23/6/UKU tanggal 28 Februari 1991, dan lain-lain.

2. Bahan hukum sekunder ; buku-buku, artikel, makalah, hasil penelitian, putusan pengadilan dan sebagainya.

3. Bahan hukum tertier ; kamus istilah hukum, Black’s Law Dictionary, kamus bahasa Inggris dan sebagainya.

3. Prosedur Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan atau sumber data sekunder yang dijadikan sebagai sumber data utama dalam penelitian ini. Data-data tersebut di atas, selanjutnya oleh penulis akan disusun dalam satu catatan ilmiah yang sistematis agar mudah menganalisa topik permasalahan yang akan dibahas. Adapun penelitian

(17)

kepustakaan ini akan dilaksanakan di Perpustakaan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta, Perpustakaan Mahkamah Agung RI di Jakarta dan sebagainya.

4. Analisis Data

Bahan yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan dan lapangan akan diuraikan dan disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk melihat pola kecenderungan dan modus operandi17 para pelaku usaha di dalam melaksanakan eksekusi jaminan fidusia yang diikat dengan perjanjian di bawah tangan, sehingga dapat membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam penyusunan tesis ini.

F. KERANGKA KONSEPSIONAL

 Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. (Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

 Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. (Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

 Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani

17 Johnny Ibrahim, op cit, hal. 393.

(18)

hak tanggungan atau hipotek. (Pasal 1 butir 4 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

 Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. (Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

 Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. (Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

 Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara langsung maupun kontinjen. (Pasal 1 butir 7 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

 Kreditor adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang. (Pasal 1 butir 8 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

 Debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang- undang. (Pasal 1 butir 9 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)

 Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

(Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris)

 Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

(Pasal 1 butir 7 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris)

 Grosse Akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", yang mempunyai kekuatan eksekutorial. (Pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris)

G. SISTIMATIKA PENULISAN

(19)

Karya ilmiah ini terdiri dari 5 (lima) bab dengan sistimatika penulisan:

- BAB I: PENDAHULUAN, yang berisikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan/manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Kerangka Konsepsional dan Sistimatika Penulisan.

- BAB II : JAMINAN KEBENDAAN DALAM PERJANJIAN KREDIT, yang berisikan mengenai Jaminan Pada Umumnya, Perjanjian Jaminan Kebendaan, Lembaga Jaminan Kebendaan, Pembebanan Jaminan Kebendaan Dalam Perjanjian Kredit.

- BAB III : PENGIKATAN OBJEK JAMINAN KREDIT DENGAN FIDUSIA, yang terdiri dari Lembaga Fidusia Sebagai Pengikatan Atas Jaminan Kredit, Prosedur Pengikatan Jaminan Fidusia, dan Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Lembaga Fidusia.

- BAB IV : : TINDAKAN EKSEKUTORIAL TERHADAP BENDA OBJEK PERJANJIAN FIDUSIA DENGAN AKTA DI BAWAH TANGAN ATAS JAMINAN PADA LEMBAGA KEUANGAN, yang terdiri dari Jenis Tindakan Eksekutorial Dalam Praktek, Tindakan Eksekutorial Menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Akibat Hukum Dari Tindakan Eksekutorial Atas Perjanjian Fidusia Di Bawah Tangan, Studi Kasus dan Analisa Kasus.

- BAB V: PENUTUP, yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran.

Kesimpulan ini pada hakikatnya merupakan jawaban dari permasalahan yang ada, sedangkan saran-saran merupakan jalan keluar yang dianjurkan oleh penulis atas berbagai persoalan yang diteliti, baik berupa penyempurnaan maupun hanya sebatas memperbaiki kelemahan yang ada.

(20)

BAB II

JAMINAN KEBENDAAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

A. JAMINAN PADA UMUMNYA

Petunjuk yang dapat dipakai untuk menentukan rumusan jaminan adalah pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang mensyaratkan bahwa tanpa diperjanjikanpun seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan utangnya. Pada dasarnya pihak yang memberi jaminan adalah pihak yang berwenang menjaminkan barang itu yaitu pemilik barang. Orang atau badan hukum yang tidak memiliki barang atau benda secara sah menurut hukum tidak berwenang untuk menjaminkan barang atau benda tersebut. Dengan kata lain yang berhak menjaminkan atas barang atau benda adalah pemilik barang atau pemilik benda tersebut. Singkatnya, subjek dalam perjanjian pengikatan jaminan yaitu kreditur sebagai penerima/pemegang jaminan dan debitur/pihak lain pemilik jaminan sebagai pemberi jaminan. Mereka itulah yang menanda tangani akta perjanjian pengikatan jaminan.18

Hukum jaminan yang dimaksudkan adalah hukum jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Pihak si berutang (debitor) bertanggung jawab atas benda bergerak atau benda tidak bergerak terhadap semua perikatan yang telah dibuatnya. Tanggung jawab hukum itu berlaku bukan saja untuk benda yang sudah ada tetapi juga untuk benda yang akan ada (toekomstige zaken). Dalam KUH Perdata diatur 2 (dua) jenis lembaga jaminan kebendaan yaitu jaminan gadai (pand) dan jaminan hipotek. 19

Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan dapat berupa jaminan materiil berwujud dan immateriil tidak berwujud. Jaminan materiil berwujud antara lain seperti tanah, bangunan, mesin-mesin, kapal laut di atas 20m3, pesawat udara, mobil, sepeda motor, persediaan bahan baku, perhiasan dan lain-lain.

18 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2003). Hal. 143.

19 Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 2 September 2006, hal, 25.

(21)

Sedangkan jaminan immateriil tidak berwujud antara lain seperti deposito, saham, piutang, tabungan, obligasi dan lain-lain.20

Menurut Prof. R. Subekti dalam bukunya Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit, jaminan yang baik atau ideal adalah jaminan yang memenuhi persyaratan :

1. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukan.

2. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya.

3. Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si penerima (pengambil) kredit.

Jaminan atau agunan dalam sebuah kredit perbankan adalah suatu hal yang mutlak, karena berdasarkan ketentuan Undang-undang Perbankan tiada kredit tanpa jaminan. Suatu jaminan diperlukan guna kepastian, ketertiban dan kelancaran pelunasan utang debitur kepada kreditur. Dalam proses pemberian kredit, sangat diperhatikan jaminan yang bersifat material dan immaterial. Hal ini diperlukan untuk mencegah kesan bahwa bank hanya mementingkan jaminan fisik semata. Oleh karena itu, dalam praktek perbankan dikenal yang namanya 5C yaitu Character (watak), capacity (kemampuan), Capital (modal), Condition of Economic (kondisi ekonomi) dan Collateral (jaminan). Menurut penjelasan Undang-undang Perbankan, disebutkan bahwa untuk memperoleh keyakinan bank sebelum memberi kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Undang- undang Perbankan ini jelas menegaskan bahwa pemberian jaminan merupakan salah satu syarat untuk memberikan keyakinan pada pihak bank.

Ada beberapa jenis jaminan yang dapat dikelompokkan menurut sifatnya, objeknya dan lain-lainnya. Setidaknya ada 5 jenis kelompok jaminan, yaitu 21 :

1. Jaminan yang lahir karena undang-undang dan karena perjanjian.

20 Sutarno, opcit. Hal. 142.

21 Ibid. Hal. 144-150

(22)

i. Jaminan karena undang-undang, yaitu jaminan yang karena ditentukan oleh undang-undang tidak perlu ada perjanjian antara kreditur dengan debitur. Perwujudannya adalah pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang akan menimbulkan jaminan umum, artinya semua harta benda debitur menjadi jaminan bagi seluruh utang debitur dan berlaku untuk semua kreditur. Para kreditur mempunyai kedudukan konkuren yang secara bersama-sama memperoleh jaminan umum yang diberikan undang- undang.

ii. Jaminan karena perjanjian, ialah jaminan yang ada karena diperjanjikan terlebih dahulu antara kreditur dan debitur.

Jaminan dalam bentuk hak tanggungan/hipotik, fidusia, gadai tergolong jaminan karena diperjanjikan terlebih dahulu antara kreditur dan debitur.

2. Jaminan umum dan jaminan khusus.

i. Jaminan umum lahir dan bersumber karena undang- undang, adanya ditentukan dan ditunjuk oleh undang- undang tanpa ada perjanjian dari para pihak (kreditur dan debitur).

ii. Jaminan khusus lahirnya karena ada perjanjian antara perjanjian antara kreditur dengan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan atau jaminan bersifat perorangan.

3. Jaminan kebendaan, yaitu jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda- benda itu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu berada (droit de suite).

4. Jaminan penanggungan utang (borgtocht), adalah jaminan yang bersifat perorangan yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu.

(23)

5. Jaminan benda bergerak dan tidak bergerak, dalam hal ini akan terjadi pembedaan dalam hal-hal :

a. Pembebanan jaminan :

1) Terjadi pembedaan jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak.

2) Pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak akan menentukan bentuk atau jenis pembebanan atau pengikatan jaminan atas benda tersebut dalam pemberian kredit.

b. Penyerahan (levering). Pembedaan mengenai benda bergerak dan benda tidak bergerak mengakibatkan perbedaan dalam penyerahan benda itu. Untuk benda bergerak penyerahan dengan nyata (penyerahan bendanya), untuk benda tidak bergerak dilakukan dengan balik nama.

c. Dalam hal daluwarsa (verjaring), untuk benda bergerak tidak mengenal daluwarsa, sedangkan benda tidak bergerak mengenal daluwarsa (30 tahun).

d. Berkenaan dengan bezit untuk benda bergerak berlaku ketentuan pasal 1977 KUHPerdata yaitu seorang bezitter dari barang bergerak adalah pemilik benda itu, sedangkan untuk benda tidak bergerak tidak demikian.

B. PERJANJIAN JAMINAN KEBENDAAN

Perjanjian kredit memiliki karakteristik tersendiri. Salah satu karakteristik yang membuat perjanjian kredit berbeda dari perjanjian lainnya adalah perjanjian ini sering diikuti dengan perjanjian lainnya, yang mana bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap perjanjian kredit itu sendiri. Salah satu perjanjian yang sering mengikuti sebuah perjanjian kredit adalah perjanjian pemberian jaminan atau dikenal pula dengan istilah perjanjian pengikatan jaminan.

(24)

Perjanjian pengikatan jaminan ini muncul dikarena hampir semua bank dalam memberikan kredit selalu meminta kepada debitur untuk menyediakan jaminan dalam bentuk benda tertentu. Jaminan yang diberikan oleh debitur untuk menjamin pengembalian kredit harus disebutkan dalam pasal perjanjian kredit, yang nantinya diikuti dengan pengikatan jaminan dengan akta tersendiri yang dikenal dengan perjanjian jaminan. Sebelum melakukan pengikatan jaminan maka harus disebut secara jelas dan tegas benda yang dijaminkan. Jaminan-jaminan yang telah disebut tadi harus diikuti dengan pengikatan jaminan sesuai dengan jenis bendanya.22

Dengan demikian, perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar perjanjian ikutannya yaitu perjanjian pengikatan jaminan.

Pemberian kredit pada umumnya dijamin dengan benda-benda bergerak atau benda tidak bergerak milik debitur atau milik pihak ketiga yang harus dilakukan pengikatan jaminan.23

Adapun semua perjanjian pengikatan jaminan bersifat accesoir, yang artinya perjanjian pengikatan jaminan eksistensinya atau keberadaannya tergantung kepada perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian kredit. Perjanjian pokok ini adalah perjanjian pinjam meminjam atau utang piutang yang diikuti dengan perjanjian tambahan sebagai jaminan. Perjanjian tambahan tersebut dimaksudkan agar keamanan kreditur lebih terjamin dan bentuknya dapat berupa jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan.24

Dengan demikian kedudukan perjanjian pengikatan jaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accesoir mempunyai akibat hukum yaitu 25:

1. Eksistensinya tergantung perjanjian pokok (perjanjian kredit).

2. Hapusnya tergantung perjanjian pokok (perjanjian kredit).

3. Jika perjanjian pokok batal, perjanjian jaminan ikut batal.

4. Jika perjanjian pokok beralih, maka ikut beralih juga perjanjian jaminan.

22 Ibid. Hal. 117.

23 Ibid. Hal. 130.

24 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata : Hak-hak Yang Memberi Jaminan Jilid 2. (Jakarta : Ind-Hill Co, 2002). Hal. 6.

25 Sutarno, opcit. Hal.143.

(25)

5. Jika perjanjian pokok beralih karena cessie, subrogasi maka ikut beralih juga perjanjian jaminan tanpa adanya penyerahan khusus.

Jika perjanjian kredit berakhir karena kreditnya telah dilunasi atau berakhir karena sebab lain, maka berakhir pula perjanjian pengikatan jaminan.

Jika perjanjian kredit cacat yuridis dan batal maka perjanjian pengikatan jaminan ikut batal juga. Sebaliknya jika perjanjian pengikatan jaminan cacat dan batal karena suatu sebab hukum, misalnya barang jaminan musnah atau dibatalkan karena pemberi jaminan tidak berhak menjaminkan maka perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok tidak batal. Debitur tetap harus melunasi utangnya sesuai perjanjian kredit.26

Adapun yang dimaksudkan dengan subjek dalam perjanjian pengikatan jaminan adalah pihak-pihak yang tersangkut dalam perjanjian pengikatan jaminan yang mencakup dua pihak yaitu pihak kreditur sebagai penerima jaminan dan debitur/pihak lain sebagai pemberi jaminan. Pemberi jaminan sebenarnya bisa debitur sendiri dan bisa pula pihak ketiga (bukan debitur) sebagai pemilik benda jaminan.

Sedangkan objek hukum dari perjanjian pengikatan jaminan sendiri adalah jaminan kredit yang diberikan oleh penerima kredit. Jaminan kredit ini adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari utang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat kreditur dan debitur. Kredit yang diberikan selalu diamankan dengan jaminan kredit dengan tujuan untuk menghindarkan adanya resiko debitur tidak membayar utangnya. Apabila debitur oleh karena sesuatu sebab tidak mampu melunasi utangnya maka kreditur dengan bebas dapat menjual dan menutup utang dari hasil penjualan jaminan dimaksud.27

C. LEMBAGA JAMINAN KEBENDAAN

Bentuk pengikatan jaminan sebenarnya tergantung jenis dari jenis benda yang menjadi jaminan, apakah benda bergerak atau benda tidak bergerak. Dengan

26 Ibid. Hal. 143.

27 Ibid. Hal. 142.

(26)

adanya pengelompokan jenis-jenis jaminan seperti tertera di atas, maka dengan adanya pembedaan itu pula sesuai dengan ketentuan undang-undang mempunyai bentuk lembaga pengikatan jaminan yang berbeda-beda sehingga dapat pula pengikatan jaminan itu dibedakan menjadi 28:

1) Hak tanggungan (hipotik).

2) Fidusia.

3) Gadai.

4) Borgtocht.

5) Cessie.

Ad 1. Hak tanggungan (hipotik)

Istilah hipotik berasal dari hukum Romawi, yaitu “hypotheca”. Istilah ini diadopsi oleh KUHPerdata. Menurut pasal 1162 KUHPerdata, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Istilah hipotik ini kemudian oleh Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tidak dipergunakan lagi, dan sebagai gantinya digunakan istilah hak tanggungan. Namun dalam beberapa undang-undang, istilah hipotik tetap digunakan.

Adapun yang dapat dijadikan sebagai objek hipotik adalah : 1. Hak milik.

2. Hak guna bangunan.

3. Hak guna usaha.

4. Rumah susun yang terletak di atas tanah hak milik, atau hak guna bangunan.

5. Satuan rumah susun yang terletak di atas tanah hak milik atau hak guna bangunan.

6. Perumahan yang terletak di atas tanah hak milik atau hak guna bangunan.

7. Kapal yang berbobot 20 m3.

8. Pesawat udara.

28 Ibid. Hal. 151.

(27)

Peristilahan hak tanggungan ini kemudian diperkuat dengan munculnya Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Menurut pasal 1 butir Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Hak Tanggungan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, yang menggunakan ketentuan Hypotheek atau Credietverband berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria diakui, dan selanjutnya berlangsung sebagai Hak Tanggungan menurut Undang-Undang ini sampai dengan berakhirnya hak tersebut.

Hak tanggungan merupakan lembaga jaminan atas tanah yang telah bersertifikat memiliki ciri-ciri: pertama, memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya; kedua, selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada; ketiga, memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak- pihak yang berkepentingan; keempat, mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Selain asas-asas tersebut di atas, hak tanggungan menganut asas pemisahan horizontal yang berasal dari hukum benda. Asas ini juga tidak secara ketat dianut karena dalam pelaksanaannya lebih memperhatikan asas assesi. Di sinilah letak kelenturan asas dalam jaminan hak tanggungan yang diterapkan secara kongkret relatif. 29

29Tan Kamello, opcit, hal. 30

(28)

Ad 2. Fidusia

Jaminan fidusia tidak diatur dalam KUH Perdata, melainkan dikenal di Indonesia melalui pengakuan yurisprudensi dan dalam perkembangannya dikukuhkan dalam hukum positif, yang pengaturannya masih bersifat parsial. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, eksistensi jaminan fidusia secara yuridis formal menjadi subsistem hukum jaminan kebendaan. Dalam undang-undang tersebut dibedakan secara tegas antara fidusia dengan jaminan fidusia.30

Lahirnya jaminan fidusia disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena pengaturan lembaga gadai dalam KUH Perdata terlalu sempit; kedua, pengaruh dari kehadiran Undang-Undang Pokok Agraria antara lain terdapatnya hak atas tanah yang tidak dapat dijaminkan melalui hak tanggungan; ketiga, adanya kebutuhan hukum masyarakat sendiri akan lembaga jaminan fidusia karena memberikan keuntungan dibandingkan dengan lembaga jaminan lainnya. Pemakaian lembaga jaminan fidusia dalam praktik bank semakin hari semakin populer di hati para nasabah debitor dan merupakan suatu kebutuhan yang didambakan sebagai jaminan utang baik dalam perjanjian kredit bank maupun dalam perjanjian pembiayaan lainnya.31

Menurut Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pasal 1 butir 1, Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Butir 2 undang-undang ini menyatakan bahwa Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima

30 Ibid, hal. 27

31 Ibid, hal. 26

(29)

Fidusia terhadap kreditor lainnya.

Sementara itu pada butir 5 dan 6-nya disebutkan bahwa Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, sedangkan Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.

Ad 3. Gadai

Gadai diatur dalam pasal 1150 sampai 1161 KUHPerdata. Menurut pasal 1150 KUHPerdata, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang- orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Pada saat ini, gadai dalam praktik perbankan mulai kembali digemari masyarakat dengan menggunakan deposito sebagai obyeknya. Persyaratan yang ditetapkan bank dalam perjanjian gadai deposito adalah: pertama, deposito merupakan milik pemberi gadai; kedua, deposito tersebut belum pernah dipindahkan haknya atau dijaminkan kepada pihak lain; ketiga, deposito tidak berada dalam sengketa dan atau disita; keempat, deposito tidak tertunda pembayarannya; kelima, segala kerugian yang ditimbulkan akibat deposito ditanggung oleh pemberi gadai; keenam, pemberi gadai membebaskan penerima gadai dari segala tuntutan yang berhubungan dengan deposito itu.32

Ad 4. Borgtocht

32 Tan Kamelo, opcit, hal. 26

(30)

Borgtocht atau penanggungan diatur dalam Bab Ketujuh Belas KUHPerdata mulai dari pasal 1820 sampai 1850 KUHPerdata. Menurut pasal 1820 KUHPerdata, penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.

Sifat-sifat borgtocht :

1. Jaminan bersifat assessosir.

2. Tergolong jaminan perorangan

3. Tidak memberikan hak preferen (diutamakan)

4. Besarnya penjaminan tidak melebihi atau syarat-syarat yang lebih berat perikatan pokok

5. Penjamin memiliki hak-hak istimewa dan tangkisan-tangkisan 6. Kewajiban penjamin bersifat subsider

7. Bersifat tegas, tidak dipersangkakan 8. Penjaminan beralih kepada ahli waris

Ad 5. Cessie

Dalam praktek perbankan, cessie kadang-kadang dijadikan sebagai tambahan jaminan selain jaminan pokok seperti proyek dan jaminan kebendaan lainnya. Cessie sebenarnya bukan merupakan lembaga jaminan tetapi merupakan lembaga pengalihan piutang atas nama. Cessie adalah pemindahan atau pengalihan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak bertubuh lainnya dari seorang berpiutang (kreditur) kepada orang lain, yang dilakukan dengan akta otentik atau akta di bawah tangan yang selanjutnya diberitahukan adanya pengalihan piutang tersebut kepada si berutang (debitur). Cessie ini diatur dalam pasal 613 KUHPerdata.

Selain dari 5 jenis pengikatan jaminan di atas, juga pernah dikenal pengikatan jaminan melalui credietverband, yang merupakan lembaga jaminan yang diatur di dalam Koninklijk Besluit 1908 nomor 50, Stb 1908 nomor 542.

Objek jaminan ini adalah hak milik tanah menurut hukum adat sehingga

(31)

dinamakan juga hipotik bumiputera (inlandsch hypotheek). Di dalam ketentuan peralihan Undang-undang Pokok Agraria Agraria nomor 5 tahun 1960 ditentukan bahwa selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hipotik dalam KUHPerdata dan Credietverband dalam Stb 1908 nomor 542. Setelah Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 diberlakukan, maka di antara hipotik dan credietverband terjadi persamaan, khususnya mengenai proses terjadinya hingga pendaftaran.

D. PEMBEBANAN JAMINAN KEBENDAAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

Dalam prakteknya, perjanjian antara para pihak terdiri dari berbagai jenis, salah satunya adalah perjanjian di bidang perbankan. Khusus untuk perjanjian yang menyangkut kredit perbankan, maka bagi pihak kreditur (bank) dan debitur (pihak lain) dikenal pula yang namanya perjanjian kredit.

Undang-undang Perbankan ternyata tidak mengenal istilah perjanjian kredit. Istilah perjanjian kredit sendiri baru ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet nomor 15/EK/10 tanggal 3 Oktober 1966 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia unit I nomor 2/539/UPK/Pemb tanggal 8 Oktober 1966 yang menginstruksi kepada masyarakat perbankan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun, Bank-bank wajib mempergunakan akad perjanjian kredit. 33 Dalam instruksi tersebut ditegaskan "Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan debitur atau antara bank sentral dan bank-bank lainnya". Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap bank devisa nomor 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh bank kepada debiturnya menjadi pasti bahwa :34

1. Perjanjian diberi nama perjanjian kredit.

33 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003. Hal. 97.

34 Ibid, hal. 99.

(32)

2. Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis.

Undang-undang Perbankan hanya mengenal kata kredit. Menurut Undang- undang Perbankan, Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Jika dilihat asal-usulnya, kata 'kredit' berasal bahasa Romawi, yaitu 'credere', yang artinya adalah 'percaya'.35 Sungguhpun kata kredit sudah berkembang ke mana-mana, tetapi dalam tahap apapun dan kemanapun arah perkembangan, dalam setiap kata 'kredit' tetap mengandung unsur 'kepercayaan'.

Walaupun sebenarnya kredit itu tidak hanya sekedar kepercayaan.36

Para sarjana hukum sendiri berpendapat bahwa perjanjian kredit dikuasai oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata Bab XIII Buku Ketiga karena perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam uang menurut pasal 1754 KUHP37. Pasal 1754 KUHPerdata menyatakan :

“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang- barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Ketentuan ini didukung pula oleh pasal 1756 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa :

Utang yang timbul karena peminjaman uang, hanya terdiri dan sejumlah uang yang digariskan dalam perjanjian. Jika sebelum utang dilunasi nilai mata uang naik atau turun, atau terjadi perubahan dalam peredaran uang yang lalu, maka pengembalian uang yang dipinjam itu harus dilakukan dengan uang yang laku pada waktu pelunasannya sebanyak uang yang telah dipinjam, dihitung menurut nilai resmi pada waktu pelunasan itu.

35 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 6.

36 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 6.

37 Sutarno, op cit. Hal. 96.

(33)

Perjanjian kredit sendiri merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti.38

Di pihak lain ada juga yang memberikan definisi yang jelas mengenai perjanjian kredit bank. Mariam Darus Badrulzaman misalnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kredit bank adalah 'perjanjian pendahuluan' (voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan- hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensual (pacta de contrahendo) obligatoir.39

Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit, tanpa perjanjian kredit yang ditanda tangani bank dan debitur maka tidak ada pemberian kredit itu. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara bank dengan debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua pihak sehubungan dengan pemberian atau pinjaman kredit (pinjam uang).40

Antara bank dan kredit sendiri merupakan dua hal yang saling menyatu dan berkaitan. Hal ini dikarenakan salah satu fungsi bank menurut Undang- undang Perbankan adalah memberikan kredit kepada masyarakat. Karena itu pula, perjanjian kredit bank adalah perjanjian antara bank selaku kreditur dengan nasabah selaku debitur, dengan mana bank menyediakan sejumlah dana tertentu untuk keperluan nasabahnya sebagai suatu bentuk pinjaman dengan pengembalian berupa utang pokok ditambah dengan bunga. Dalam pemberian pinjaman sendiri, bank juga biasanya mensyaratkan adanya jaminan tertentu yang harus dipenuhi oleh debitur sesuai dengan amanat Pasal 8 butir 1 Undang-undang nomor 7 tahun 1992 sebagaimana diubah Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik

38 Ibid. Hal. 99-100.

39 Mariam Darus Badrulzaman, op cit, hal. 32.

40 Sutarno, op cit, hal. 98.

(34)

dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan, dan amanat Pasal 1 butir 23 Undang-undang nomor 7 tahun 1992 sebagaimana diubah Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

Mengenai pengikatan jaminan atau lembaga jaminan ini, oleh Bank Indonesia dalam Surat Edarannya (SE-BI) Nomor 4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972, disebutkan bahwa untuk benda-benda bergerak dipakai lembaga fidusia dan atau gadai, dan untuk benda-benda tidak bergerak dipakai lembaga jaminan hipotik dan atau credietverband. Kemudian, dalam SE-BI Nomor 23/6/UKU tanggal 28 Februari 1991, disebutkan bahwa pengikatan agunan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pembebanan jaminan ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi di dalam pelaksanaan perjanjian kredit. Dalam praktek pembebanan jaminan ini, dari 5 jenis pembebanan yang dikenal maka pelaksanaannya adalah dengan cara :

1) Hak tanggungan (hipotik), pembebanannya menurut Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan dengan Tanah, harus dilakukan dengan cara pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) di mana akta PPAT ini berisikan pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. APHT ini dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, yaitu pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. PPAT ini bisa seorang notaris atau pejabat pemerintahan yang diberi wewenang untuk itu seperti Camat.

APHT sendiri harus didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di wilayah kabupaten, kotamadya, atau wilayah administratif lain yang setingkat, di mana objek APHT berada.

(35)

2) Fidusia sendiri dilakukan pembebanannya menurut Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia di mana menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) undang-undang ini, Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Akta ini kemudian didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman.

3) Gadai diatur di dalam pasal 1150 sampai 1160 KUHPerdata. Di dalam ketentuan ini tidak dijelaskan lebih lanjut cara pelaksanaan pembebanan gadai selain hanya merujuk kepada suatu 'persetujuan gadai'. Persetujuan ini berarti bisa dilakukan secara notariil atau dilakukan secara di bawah tangan.

4) Borgtocht sebagai perjanjian ikutan atau asesoir dapat dilakukan pembebanannya melalui pembuatan akte notariil atau di bawah tangan.

Pilihan ini dimungkinkan karena pasal 1820 - 1850 KUHPerdata yang mengatur mengenai borgtocht sama sekali tidak memberikan pengaturan yang jelas mengenai pembebanan borgtocht.

5) Cessie sendiri dapat dilakukan pembebanannya dengan membuat akte otentik (notariil) atau di bawah tangan sebagaimana disebutkan di dalam pasal 613 KUHPerdata.

(36)

BAB IV

TINDAKAN EKSEKUTORIAL TERHADAP BENDA OBJEK PERJANJIAN FIDUSIA DENGAN AKTA DI BAWAH TANGAN PADA JAMINAN LEMBAGA KEUANGAN

A. JENIS TINDAKAN EKSEKUTORIAL DALAM PRAKTEK

Tindakan eksekutorial atau lebih dikenal dengan eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau menjalankan keputusan pengadilan. Menurut pasal 195 HIR pengertian eksekusi adalah menjalankan putusan hakim oleh pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa piutang kreditur menindih pada seluruh harta debitur tanpa kecuali.50

Banyak orang yang menyebutkan eksekusi identik dengan pelaksanaan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, namun dalam prakteknya hal tersebut tidaklah sepenuhnya sama. Eksekusi tidaklah selalu identik dengan pelaksanaan putusan hakim yang tetap, mengingat syarat utama dalam suatu eksekusi harus memiliki “titel”, dan oleh karena dalam “titel” tersebut terkandung

“hak” seseorang yang harus dilaksanakan.

Adapun “titel” yang dimaksud dalam putusan pengadilan ataupun dalam akta-akta otentik adalah titel pada akta/putusan pengadilan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ternyata titel eksekutorial bukan hanya terdapat dalam putusan pengadilan, melainkan juga terdapat dalam akta-akta otentik dengan titel eksekutorial dimaksud dalam pasal 224 HIR/258 RBg, dikenal dengan nama grosse acte. 51

Eksekusi ternyata juga tidak hanya berkaitan dengan putusan pengadilan dan grosse akta, akan tetapi istilah eksekusi juga terdapat di dalam bidang hukum jaminan. Eksekusi obyek jaminan yang merupakan pelaksanaan hak kreditor pemegang hak jaminan terhadap obyek jaminan, apabila debitor cedera janji atau wanprestasi dengan cara penjualan obyek jaminan untuk pelunasan hutangnya.

50 Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, (Yogyakarta : Laksbang Pressindo, cetakan II, 2008), hal. 125.

51 Ibid, hal. 127-128.

(37)

Eksekusi terhadap obyek jaminan, selain berdasarkan kepada pasal 224 HIR/258 RBg terdapat juga pengaturan yang khususnya terhadap pelaksanaan hak-hak jaminan, dimana kreditor diberi hak khusus, yakni hak menjual atas kekuasaan sendiri apabila debitor cidera janji dikenal juga dengan nama “parate executie”

atau eksekusi langsung. Parate executie merupakan hak kreditor pertama untuk menjual barang-barang tertentu milik debitor secara lelang tanpa terlebih dahulu mendapatkan fiat pengadilan. Pengaturan parate executie diatur secara khusus,52 misalnya seperti yang terdapat dalam pasal 1155 KUHPerdata tentang Gadai, pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Pasal 1155 KUHPerdata menyatakan bahwa : “Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain, maka jika debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti, kreditur berhak untuk menjual barang gadainya di hadapan umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan tujuan agar jumlah utang itu dengan bunga dan biaya dapat dilunasi dengan hasil penjualan itu.

Menurut pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyatakan : apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia;

52 Ibid, hal. 128.

(38)

b. penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

c. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Rasio yuridis penjualan jaminan fidusia secara di bawah tangan adalah untuk memperoleh biaya tertinggi dan menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu, perlu kesepakatan antara debitor dengan kreditor tentang cara menjual benda jaminan fidusia. Misalnya, apakah yang mencari pembeli adalah debitor atau kreditor. Uang hasil penjualan diserahkan kepada kreditor untuk diperhitungkan dengan hutang debitor. Kalau ada sisanya, uang tersebut dikembalikan kepada debitor pemberi fudusia, tetapi jika tidak mencukupi untuk melunasi hutang, debitor tetap bertanggung jawab untuk melunasinya.53

Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia dikatakan bahwa debitor dan kreditor dalam perjanjian jaminan fidusia berkewajiban untuk memenuhi prestasi (Pasal 4 UU Nomor 42 Tahun 1999). Secara a contrario dapat dikatakan bahwa apabila debitor atau kreditor tidak memenihi kewajiban melakukan prestasi, salah satu pihak dikatakan wanprestasi. Fokus perhatian dalam masalah jaminan fidusia adalah wanprestasi dari debitor pemberi fidusia. Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak menggunakan kata wanprestasi melainkan cedera janji. Cidera janji seorang debitor pemberi fidusia memiliki akibat hokum yang penting. Oleh karena itu, harus terlebih dahulu diatur dalam perjanjian jaminan fidusia. Apabila debitor pemberi fidusia menyangkatl tidak adanya cidera janji dalam pelaksanaan perjanjian tersebut, hal itu harus dibuktikan dalam siding pengadilan. 54

Menurut Yahya Harahap, ada beberapa bentuk pengecualian yang dibenarkan undang-undang yang memperkenankan eksekusi dapat dijalankan di luar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu : 55

53 Tan Kamedo1, op cit. Hal 358-359.

54 Ibid. Hal 237-238.

55 Etto Sunaryanto cs, Panduan Lelang PUPN, ( Jakarta : na, 2006) hal. 4-5.

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republic Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Oraganisasi Dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan

Selaku Kuasa dari Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia/ Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan………., sesuai dengan Surat Kuasa tanggal…..Nomor

Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga pemerintah non departemen yang mempunyai bidang tugas dibidang pertanahan dengan unit kerjanya, yaitu kantor wilayah BPN

Bahwa yang menjadi obyek gugatan dalam Gugatan Tata Usaha Negara ini adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Riau

i Kantor Pertanahan Kab Bandung Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Prop. Lampung Kantor Pertanahan Kota Bandar Lampung.. Kantor Pertanahan Kab Tanggamus

Dalam rangka implementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI Nomor 9 tahun 2013 tentang surveyor berlisensi, Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara

KEPALA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI KALIMANTAN TIMUR di Samar inda cq.. KEPALA KANTOR PERTANAHAN

v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Institut Teknologi Nasional, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Dodi